WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang
SATU
Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak lagi karena nafasnya sudah sejak lama meninggalkan tubuh!
Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai batu tergurat tulisan:
TAMBUN TULANG
Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri. Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan. Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah buku. Dan pada kertas itu tertulis:
SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan. Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya. Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu, menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya, sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu? Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih. Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul dari dalam lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip me¬mandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat ke¬munculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya. Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia mem¬perhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahli-annya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup me¬nuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang, dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan penglihatan manusia yang menandakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka dibandingkan dengan kehebatan alarn!
Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar pe¬rahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diper¬hatikan laki-laki pemilik perahu ini.
”Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan sana…?"
"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula. Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu di¬khawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana¬mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat-¬sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam. Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup bersama karena derasnya, laut marah menyabung ge¬lombang, menghempaskan perahu kian ke mari semen¬tara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pe¬kat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu. Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar. Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri. Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan alam yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu. Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan perahu namun mana mungkin berenang dalam gelombang yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya. Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang. Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan’keras. Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya. Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan! Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya. Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari permukaan air laut.
***
Next ...
Bab 2
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 1"
Posting Komentar