Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 2

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 010
Banjir Darah Di Tambun Tulang

DUA
Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka. Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam akhirat, berada di neraka?!
Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia. Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas! Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?! Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi! Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada dihadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada sanggup?
Didengarnya suara berkeretekan di belakang kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas. Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak dikenal ini!
Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok seperti paruh burung kakak tua. Dia tersenyum, tapi senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri dihadapannya itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai.
"Sudah sadar hah?!" bentaknya menggeledek. Wiro terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara berkereketan.
"Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan. Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta menunjukkan hati jahat?!
"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali bergetar. Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara meskipun perlahan; "Air…"
"Apa?!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?! Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang tua mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.
"Ah… anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu. Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta air…? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!" Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba¬tiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai! Kau dengar apa tidak?!"
Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua, lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro. "Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak, bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!" Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali. Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.
Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir lagi Wiro segera menyambarnya.
Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua.
"Ah… salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah. Eee… itu tangan kananmu musti begini. Bagus…. Sekarang coba memukul ke muka… ah salah! Salah! Dasar bocah geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng. Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pe¬mandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan meman¬dang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu. Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat?! Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi laki-laki banci pengecut?!"
Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali orang tua ini," katanya dalam hati. "Mungkin otaknya kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali. Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan kau laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil membalikkan badan dan melangkah ke pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di situ?!" bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah. Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu amblas sampai setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua bertampang angker itu dia adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar 212 menjura dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan menjura segala?!"
"Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang budi. Aku…."
"Hutang nyawa?! Hutang budi…?! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian merawatku di sini?!"
Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak pernah menolong orang gila macam kau!"
Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku bisa berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku, juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih. Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan namamu, orang tua…."
"Buat apa?!"
"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu ke¬mudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya, bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda. Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun! Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai akhirnya habis!
Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini. Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak terlihat memegangnya!
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan. Buah kelapa telah menghantam kendi air terus membobolkan dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si tampang angker ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!" Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu. Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni 212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepat¬cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih itu telah melibat! lengannya!
Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot! Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!
"Ha… ha! Orang, gila macam begini yang hendak membangkang kepadaku?!" ejek orang tua itu begitu Wiro sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang tapi sukar sekali.
"Orang gila siapa namamu?!"
"Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal.
"Ah… kau memang gila!" tukas si muka angker.
"Ayo katakan siapa namamu!"
"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak gusar.
"Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan kesal.
"Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!"
"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro Sableng?! Nah… itu buktinya kau memang orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya dengan edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian…."
"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu padamu…."
"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah… kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan si muka angker dan menghardik: "Orang tua, jangan hina guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan nenek gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan benang kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!"
“Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng menantang.
Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelo¬paknya yang merah membuka lebar dan tampangnya jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-gelak.
"Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau beri tahu nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri tahu?!"
"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun, kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kayangan yang dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
***

Next ...
Bab 3

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



Related Posts :

0 Response to "Banjir Darah Di Tambun Tulang Bab 2"

Posting Komentar