Rahasia Lukisan Telanjang Bab 1

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 009
Rahasia Lukisan Telanjang

SATU
LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar megah. Serombongan burung-burung pipit berarak dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar matahari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung.
Bila seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia memandang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa penjaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena ditimpa sinar matahari.
Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyuruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya.
Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia!
Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk mencangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup!
Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang panjangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya.
Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwarna di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak mengetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.
Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara. Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah teriknya sinar matahari!
Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti lukisannya.
“Ah… bagus sekali… bagus sekali! Bocah itu tentu akan senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti perempuan.
Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini? Sementara itu si orang tua kelihatan menambah beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memperhatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta meningkahi derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan. Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak berpaling. Apakah dia tuli? Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si orang tua.
“Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta bisa lewat.” Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanannya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melanjutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah kanan lukisan. Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun tidak! Dari dalam kereta terdengar suara seseorang.
“Pengawal, ada apakah kereta berhenti?”
“Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” jawab prajurit yang turun dari kuda. Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. Digeleng-gelengkan kepalanya.
“Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata lakilaki ini. Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi pekerjaannya.
“Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. Apakah kau sudi menjualnya?” Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan tersenyum lagi.
“Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi sayang, lukisan ini bukan untuk dijual…” Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.
“Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja harganya…” Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.”
“Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata Raden Mas Cokro.
“Menyesal sekali…”
“Akan kubeli lima puluh ringgit.”
“Maaf Raden Mas…”
“Seratus ringgit!”
“Ah… sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun tak dapat kukabulkan Raden Mas…”
“Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
“Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.
“Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat kujual Raden Mas. Mohon maafmu…” Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan sikap si orang tua. Maka berkatalah dia,
“Apa dengan harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada Adipati Pamekasan?”
“Ah…” Si orang tua menjura dalam-dalam.
“Tak tahunya aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya,
“Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau tak perlu membayar mahal… Kau pasti tak akan kecewa Raden Mas…” Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke dalam kereta.
“Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas Cokro lewat jendela kereta. Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia menjawab,
“Aku seorang pengembara luntang lantung, Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku akan antarkan sendiri ke Pamekasan…” Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasaran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintahkannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan pekerjaannya. Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. Betul-betul manusia ini aneh sekali! Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng memperhatikan dengan seksama. Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning kelihatan menjorok ke luar.
“Ha… ha… ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang tersandar di batu. Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan katakata pada bagian bawah kanan lukisan itu.
“Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata si gemuk dengan suara keras lantang hingga mengumandang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diperdulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi tiada diambil perhatian oleh si orang tua!
“Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” bentak si gemuk. Barulah orang tua itu berpaling. Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit senyum tersungging di bibirnya.
“Ah, kalau mataku tak salah lihat… bukankah saat ini aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis Dari Selatan?”
***

Next ...
Bab 2

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




Related Posts :

0 Response to "Rahasia Lukisan Telanjang Bab 1"

Posting Komentar