Kutukan Empu Bharata Bab 1

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 013
Kutukan Empu Bharata

SATU
SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali. Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang kelangit.
"Mendung sekali pagi ini…" katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.
"Untung! Kau kemarilah . . . "
Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.
"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.
Si orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir siap …" berkata orang tua itu, "cuma ada beberapa bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari kayu-kayu kering untuk api penempa. Aku kawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu kering. . . "
"Persediaan kayu yang kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung Pararean.
"Ya, sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat kembali."
Untung Pararean segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya.
"Bawa terus kedalam Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko Jagat dari dalam lemari."
"Baik Empu", sahut Untung Pararean.
Sementara pemuda itu menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum semerbak baunya.
"Kalau Mustiko Jagat sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan pada Kerajaan…"
"Aku tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil menyeka butirbutir keringat yang terbit dikulit keningnya akibat panasnya perapian.
Orang tua itu mengelus janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko Jagat adalah sebilah keris sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah satu masa yang singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat apapun, jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi sakti hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan. Disamping itu, Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa menjadi obat segala macam racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan pada Sri Baginda untuk mempertahankan Kerajaan dari segala macam bahaya dan malapetaka. Dan kau Untung … kaulah nanti yang akan kuutus untuk menyampaikan Mustiko Jagat ke istana."
"Jadi senjata yang bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada Kerajaan?" tanya Untung Pararean heran.
"Ya."
"Aku kira tadinya untuk Empu pakai sendiri." Empu Bharata tertawa pelahan.
"Aku sudah tua, Untung. Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak satupun yang akan kubawa ke liang kubur, Disamping itu apakah sumbangan dan balas jasaku kepada tanah air dan Kerajaan? Keris sakti itu berguna bagi Kerajaan dan bagi anak-anak cucuku … termasuk kau."
Untung Pararean berpikir sejenak. Lalu tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh dipakai untuk membunuh, Empu… ?"
"Boleh! Memang boleh! Tapi untuk membunuh manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk menumpas kejahatan dari muka bumi ini."
"Dan kalau dipakai untuk membunuh orang baik-baik, bagaimana Empu?" tanya Untung Pararean pula ingin tahu.
"Itu berarti melakukan satu kejahatan besar. Yang melakukannya akan berdosa besar. Dan setiap kejahatan sudah barang tentu ada pembalasannya," jawab Empu Bharata. "Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam lemari."
"Baik Empu." Untung lalu masuk kedalam sebuah kamar. Di kepala tempat tidur yang terbuat dari jambu terletak satu lemari kayu jati. Ketika lemari dibuka, sinar biru yang amat terang rnerambas keluar. Itulah sinar keris Mustiko Jagat yang terletak diatas sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam sarungnya karena ada beberapa bagian yang masih belum diperhaluskan dan dipertajam. Untung Pararean pernah mendengar dari Empu Bharata bahwa senjata sakti apa saja sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan kedalam sarungnya. Apa sebabnya Untung Pararean pernah menanyakan pada orang tua itu, tapi Empu Bharata tak mau menerangkannya.
Meskipun sudah pernah beberapa kali disuruh oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata ini tapi saat itupun kedua tangan Untung Pararean menjadi bergetar sewaktu mengangkat kain putih di mana keris Mustiko jagat terletak. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir dari keris sakti kelengannya. Dengan menanting senjata itu di kedua tangannya Untung Pararean keluar dari Kamar.
Empu Bharata dlihatnya sudah duduk dimuka perapian membelakanginya, tengah mengatur-atur perkakas. Dalam melangkah mendekati orang tua itu tiba-tiba selintas pikiran jahat muncul di benak pemuda ini. Selintas pikiran jahat itu datangnya seperti satu bisikan melalui telinga Untung Pararean.
"Untung Pararean, kenapa kau begitu buta hingga tak melihat kesempatan baik di depan matamu? Bukankah sudah sejak lama terniat di hatimu hendak menjadi pendekar sakti mandraguna, hendak memiliki keris Mustiko Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau punya kesempatan untuk memiliki keris itu sekarang!"
"Tapi Empu Bharata tentu akan marah," jawab kata hati Untung Pararean.
Dan suara aneh jahat berbisik lagi ketelinga pemuda itu. "Tolol, sungguh kau pemuda tolol! Kalau orang tua itu marah padamu, tusuk saja dia dengan Mustiko Jagat. Bunuh! Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki keris itu dan kau akan jadi pemuda sakti mandraguna, ditakuti di delapan penjuru angin. Disamping itu jika namamu sudah dikenal kau akan mudah menduduki jabatan Perwira Bala tentara Kerajaan! Perwira … ! Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat itu? Ayolah! Bunuh orang tua tak berguna itu!"
"Kalau aku membunuhnya berarti aku berbuat dosa," kata hati Untung Pararean, "dan aku jadi orang jahat. Lalu kelak aku bakal menerima pembalasan!"
"Betul-betul kau tolol orang muda! Jika keris itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah menjadi seorang sakti mandraguna siapa yang sanggup dan berani turun tangan terhadapmu? Kalau tidak kau bunuh si tua renta itu, kau bakal menjadi manusia tak berharga, jadi hamba sahaja seumur-umurmu!"
Di diri Untung Pararean saat itu seolah-olah terjadi perang tanding antara kejahatan dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan diatas kebenaran namun lama-lama, dalam detik-detik yang mencapai puncak ketegangan itu, kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan pikirannya!
Ketika dia cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu dihunjamkannya ke punggung kiri Empu Bharata. Orang tua itu mengeluh tinggi, tubuhnya tersungkur di muka perapian, darah cepat membanjiri punggung dan selempang kain putihnya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung Pararean yang berdiri, dengan keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan kanannya.
"Pemuda dajal …" desis Empu Bharata diantara nafasnya yang mulai menyengal. "Apakah yang membuat kau sampai melakukan kejahatan terkutuk ini terhadapku …?" Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu. "Aku tahu . . . aku ta … hu. Kau inginkan keris itu bukan?" Empu Bharata menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko Jagat, manusia jahat. Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di kemudian hari. Demi para Dewa di Swar … swargalo … ka … kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir ba . . . ba…"
Ujung kata-kata yang diucapkan Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar teratak kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan dan Kuasa ini turut menyaksikan dan menangisi kematian Empu Bharata. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika diperhatikannya paras Empu Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari mulutnya membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke dalam sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus, senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung Pararean. Dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng timur Gunung Slamet.
Seminggu sesudah dibunuhnya Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki, Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah putihnya saja yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai teratak tua tempat kediaman Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu orang ini berseru, "Dimas Bharata, aku datang!" Suara seruannya yang keras menggetarkan seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri. "Heran, kenapa sepi-sepi saja."
membathin orang ini. Tubuhnya bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup itu tertutup oleh sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena air mengumbar bau yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya yang kotor.
"Dimas Bharata, Untung Pararean, apa kalian tuli hingga tak mendengar kedatanganku?!" seru si muka Bopeng. Dia melangkah besar-besar ke pintu teratak yang terbuka lebar. Sampai diambang pintu mendadak sontak langkahnya terhenti. Sepasang kakinya yang kurus kering itu laksana dipantek ke lantai tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian dia sudah menghambur masuk dan menjatuhkan diri disamping mayat Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu Bharata. Meski mayatnya sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan tidak busuk hingga kalau tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat dipunggung dan di lantai, orang tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah tidur nyenyak.
"Dimas Bharata! Siapa yang melakukan ini? Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka Bopeng. Namanya Gambir Seta.
Tapi didunia persilatan dia lebih dikenal dengan nama gelaran yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng, dan dia adalah kakak kandung Empu Bharata. Seperti orang gila Pengemis Sakti Muka Bopeng terus juga berteriak-teriak menanyakan siapa yang telah membunuh adiknya. Tapi siapakah yang akan memberikan jawaban?! Dengan bercucuran air mata didukungnya mayat adiknya. Dia hendak meninggalkan teratak itu tapi ia ingat sesuatu dan menghentikan langkan lalu memandang berkeliling "Untung! Untung Pararean, dimana kau?!" serunya memanggil. Tak ada jawaban. Dia berteriak lagi tetap saja tak ada yang menyahut karena memang Untung Pararean sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-laki ini menjadi syak wasangka. Dia masuk ke dalam kamar yang diketahuinya sebagai kamar si pemuda pembantu adiknya dan menggeledah. Tak satu potong pakaianpun ditemuinya disitu.
Juga dengan masih mendukung mayat adiknya, Pengemis Sakti Muka Bopeng kemudian masuk ke kamar Empu Bharata. Dia tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah keris sakti bernama Mustika Jagat. Tapi senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd setelah diperiksa seluruh teratak, keris sakti itu tetap tak bersua.
"Bangsat! Pasti pemuda itu yang membunuh adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan melarikan Mustiko Jagat!" Gerahamgeraham Pengemis Sakti Muka Bopeng bergemeletakan. Dia tak dapat mengendalikan kelakar marahnya. Sambil berteriak-teriak bahwa dia akan melakukan pembalasan, memecahkan kepala Untung Pararean, orang tua ini mengamuk hebat, menendangi segala apa yang ada di dalam teratak hingga bangunan itu hancur berpelantingan. Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum puas. Pohon-pohon dan apa saja yang ada di sekitar tempat itu habis ditendanginya. Ada kira-kira sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu rupa. Sambil menangis dan kadang-kadang berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti Muka Bopeng lari menuruni Gunung Slamet dengan membawa jenazah adiknya.
***

Next ...
Bab 2

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245







Related Posts :

0 Response to "Kutukan Empu Bharata Bab 1"

Posting Komentar