WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
SATU
MATAHARI yang tadi bersinar amat terik kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka berhenti di satu bagian bukit yang terjal. Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping. Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu…."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka, namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya melompati sebuah anak sungai. Kilat tibatiba menyambar lagi. Gadis baju kuning yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak! Tunggu!"
"Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan larinya dan berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa tahu …"
"Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak baunya.
Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri dua orang gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol. Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih kelihatan menghambur lewat jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari samping. Kini dia terkurung di tengahtengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah?!" si pemuda berkata dengan suara keras.
"Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua puluh tahun.
Wajahnya cakap dan kulitnya kuning. Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati di tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah turutkan kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian …"
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya?!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu …" ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
***
Next ...
Bab 2
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 1"
Posting Komentar