Mawar Merah Menuntut Balas Bab 1

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

SATU
ANAK perempuan berumur delapan tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya menyanyi. Di tangan kanannya tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga yang baru dipetiknya di dalam hutan. Saat itu matahari pagi telah naik tinggi. Si anak mempercepat larinya. Dia takut kalau kalau orang tuanya mengetahui bahwa dia telah pergi ke hutan lagi. Tentu dia akan dilecut seperti kemarin.
Baru saja dia memasuki jalan kecil yang akan menuju keperkampungan, anak perempuan ini dikejutkan oleh derap kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat celaka diterjang kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung di balik sebatang pohon. Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat. Si anak tak tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat banyak dan semua berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis melintang serta cambang bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis. Dan masing-masing membawa sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan penunggang kuda itu telah berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan menutupi pemandangan. Setelah debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik pohon dan berlari sepanjangjalan menuju ke kampungnya.
Kampung itu terletak di sebuah lembah subur yang dialiri sungai kecil berair jernih. Sekeliling perkampungan terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi tengah menguning hingga kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari. Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak kelihatan oleh orang tuanya. Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan bunga-bunga itu dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi …. Jalan pikiran si kecil itu terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya terdengar suara hiruk pikuk. Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan kuda, suara teriakan orang laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan anak-anak, lalu suara beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara ringkik kuda yang membuat kecutnya hati anak perempuan itu.
Ada apakah di kampung? Begitu si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya terhenti-henti. Satu perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi ke kampung, jangan pulang. Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak meskipun dalam langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai di sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan segala barang-barang rongsokan.
Justru di sini anak tersebut menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya yang tadi kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena ketakutan. Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah, Namun pada saat itu muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar bertampang ganas. Salah seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah perkelahian dua lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat tinggi ilmu silatnya karena tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan ayahnya. Senjata di tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat. Tapi nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di perut serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu membakar rumah orang tuanya. Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah ibu dan kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk. Si anak hendak berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang kawannya berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia segera ikut menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda, Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu. Gadis itu menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun tubuhnya sendiri kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti anaknya, diapun diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata adalah laki-laki ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di dekat gubuk reyot. "Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung ini menjadi milikku dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling, seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata! Sudah lebih dari selusin perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan pada sobat sendiri yang dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!" gertak lakilaki yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot garang. Mau tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh padat si gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung! Ini adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak. Kawannya yang bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah.
"Kalau tidak dia biar yang ini saja untukku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk pada perempuan berumur sekitar tigapuluh lima tahun yang tengah didekap oleh kawannya yang bemama Singgil Murka.
"Tidak bisa!" Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!" kata Bayunata. Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak boleh melihat perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun saat itu lebih selusin dari perempuan-perempuan kampong telah diambilnya.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah tertawa.
"Kelak kalau aku sudah mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan. Jadi tak perlu menggerutu!"
"Kau keterlaluan, Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!" Bayunata membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau berani mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam dekapannya yang saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau ikut aku, gadis molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup senang! Mari …!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku marah," kata Bayunata. Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau ingin aku berbuat kasar sebelum waktunya?! Baik!" Tangan kanan Bayunata bergerak dan bret! Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap lebar. Memuncaklah birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu. Dilumatnya dada itu dengan ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar ucapan, "Dada bagus …. dada bagus … uh … uh!"
"Lepaskan aku! Manusia dajal ….!"
Bayunata tertawa mengekeh dan memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda. Pada saat itulah anak kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu …. kakak!" Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena satu telapak tangan berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh! Kau tahu tak satu anak kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil itu berpaling dan dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang yang menekap mulutnya. Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-setan yang pernah diceritakan oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma punya satu mata yaitu di sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan lobang hitam yang dalam. Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya sedang hidungnya melesak penyet!
"Jangan takut anak, jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya ketiga penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang menekap mulut si gadis cilik.
"Mari ikut aku, anak! Kau anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang sepertimu ini yang kucari-cari!"
‘Tidak!" si gadis cilik meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau lari ke mana, anak?!"
"Ibu … ibu … aku akan mengejar ibu!" jawab si anak.
"Ah … akan mengejar ibumu dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!"
Manusia bermuka hitam seram yang temyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa mengekeh.
"Sekecil ini kau telah menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku harus bersifat demikian! Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Tapi satu bayangan putih memapas larinya dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam! Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main dan menghentikan larinya.
"Bangsat! Setan alas dari mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
***

Next ...
Bab 2

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 1"

Posting Komentar