Siluman Teluk Gonggo Bab 1 --> 5

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 022
Siluman Teluk Gonggo

SATU
MATAHARI bersinar terik membakar jagat. Pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih dengan ikat kepala juga kain putih merasakan tenggorokannya kering. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa bersyukur karena sepeminuman teh berlalu akhirnya dia sampai di sebuah kampung. Paling tidak dia bisa minta air segar pada penduduk. Tapi kebetulan di mulut jalan di temuinya sebuah kedai.
Pemuda ini masuk ke dalam kedai dan memesan minuman. Untuk mengurangi rasa panas dia berkipas-kipas sambil menunggu pesanan. Pada saat itulah tiga orang penunggang kuda berhenti di depan kedai. Sejenak si gondrong perhatikan ke tiga pendatang ini. Kelihatannya seperti orang-orang yang tengah mengadakan perjalanan jauh dan ingin melepaskan lelah sambil membasahi tenggorokan. Si gondrong palingkan kepala tak perdulikan orang-orang itu.
Ketika pelayan meletakan minuman di hadapan si pemuda, tahu-tahu ke tiga penunggang kuda tadi sudah melompat dan berdiri di hadapannya. Sekilas si pemuda melirik, lalu acuh tak acuh dia terus berkipas-kipas. Salah satu tangannya menjangkau gelas minuman. Tapi gerakannya tertahan oleh bentakan salah seorang tamu di sampingnya.
"Jadi menurutmu ini bangsatnya?!" Yang membentak ini berusia sekitar tiga puluh tahun, berambut pendek, memelihara berewok dan berbadan tinggi kekar.
Lelaki di sampingnya, seorang tua berambut kelabu, memandang sejenak pada pemuda rambut gondrong, sejurus kemudian dia anggukan kepala.
"Memang dia bangsatnya. Aku pasti betul!" kata si rambut kelabu.
Lelaki ke tiga seorang pemuda berbadan tegap lantas saja membuka mulut: "Jika dia malingnya tunggu apa lagi?!"
Sret! Dari balik pinggangnya pemuda ini cabut sebilah golok dan mengacungkannya ke arah pemuda berambut gondrong yang duduk di belakang meja.
Seperti seorang buta dan tuli layaknya, si gondrong ini seolah-olah tak melihat orang-orang di sekitarnya atau tak mendengar percakapan-percakapan di dekatnya. Dia terus saja berkipas-kipas dan malah kini mengambil gelas berisi minuman.
"Setan! Kau berani berlagak tolol pilon di depan kami!" sentak pemuda yang memegang golok. Tangan kanannya di ayunkan. Prang! Gelas di tangan pemuda gondrong papas berantakan. Sebagian isinya tumpah membasahi meja serta pakaian pemuda ini. Bagian bawah gelas yang papas di tebas golok tajam masih berada dalam genggaman tangan kiri pemuda itu. Di dalamnya masih berada sedikit sisa minuman. Si gondrong goleng-goleng kepala lalu menyeringai. Dari mulutnya keluar suara siulan. Lalu seenanknya sisa minuman yang masih ada dalam gelas yang tinggal sepotong itu diteguknya sampai habis!
Semua tamu yang ada di kedai melengak heran tetapi diam-diam juga menjadi tegang. Sebaliknya tiga lelaki yang berada di hadapan si gondrong jadi naik pitam. Dan pemuda yang memegang golok kembali menghardik: "Pencuri ternak! Kau memang di cincang!"
Untuk kedua kalinya golok besar itu berkelebat. Kali ini dibacokan ke kepala si gondrong. Beberapa orang tamu mengeluarkan seruan tegang karena sudah membayangkan sesaat lagi akan belahlah kepala pemuda berambut gondrong itu dihantam golok!
Tetapi gilanya manusia yang dirinya terancam bahaya maut itu justru kelihatan tenang-tenang saja. Malah cengar-cengir.
Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar merupakan satu kejutan.
Sedetik sebelum golok besar itu menghantam sasarannya, terdengar pekikan keras. Golok kelihatan mencelat ke atas dan menancap di langit-langit kedai. Pemuda yang tadi memegang senjata itu terhuyung empat langkah ke belakang sambil pegangi siku tangan kanannya. Entah kapan si gondrong ini bergerak tahu-tahu dia telah menangkis serangan maut yang dilancarkan bahkan memukul tangan sambungan siku orang yang inginkan jiwanya!
"Pelayan! Ambilkan minuman baru. Rasa hausku belum habis, tahu-tahu ada saja monyet kesasar yang datang mengganggu!" Si gondrong berseru memanggil pelayan sambil salah satu kakinya dinaikan keatas kursi.
"Bangsat pencuri! Berani kau mencelakai adikku!" Tiba-tiba lelaki berewok hantamkan tinju kanannya yang besar kuat ke dada si gondrong.
"Buk!
Tinju tepat mendarat dengan kerasnya di dada si gondrong. Tapi yang menjerit kesakitan bukannya pemuda itu, malah justru si berewok. Tubuhnya terjajar ke belakang dan tangan kanannya kelihatan merah bengkak!
Marah dan kesakitan si berewok berteriak "Laknat! Sekalipun kau punya ilmu setan, aku mau lihat apa kau kebal senjata!" Sebilah belati di cabutnya dari pinggang lalu secepat kilat ditikamkannya ke arah si pemuda.
Seperti tadi waktu di serang dengan golok, tak kelihatan pemuda rambut gondrong itu bergerak tahu-tahu golok sudah mental dan penyerang kena di hantam. Kali inipun terjadi hal yang sama. Lelaki berewok menjerit kesakitan ,belati ditangannya mental ke udara dan menancap di langit-langit kedai, tepat disamping golok!
"Pelayan! Mana minuman baru! Lekas, aku benar-benar kehausan!" teriak si gondrong. Sampai saat itu sedikitpun dia tidak beringsut dari kursi yang di didukinya!
Kini semua orang dalam kedai itu serta merta menjadi maklum. Pemuda berpakaian putih, berambut gondrong, bertampang lugu bahkan seperti agak sinting ini, bukan manusia sembarangan.
Pelayan datang setengah berlari membawakan minuman. Kali ini digelas besar.
Setelah meneguk isi gelas sampai setengahnya, si gondrong hembuskan nafas panjang. Perlahan-lahan dia palingkan kepalanya ke arah lelaki tua berambut kelabu yang tegak di samping mejanya dengan mulut menganga dan tampak terkesiap.
Si gondrong sunggingkan senyum. "Orang tua berambut kelabu. Apa kau juga hendak turun tangan terhadapku?!"
"Maling ternak, kau tunggulah disini! Sekali kulaporkan yang kau lakukan, orang-orang Adipati Japara akan datang menghajar dan menangkapmu!".
Orang tua berambut kelabu menjawab sambil mengancam. Tampaknya dia tak punya nyali untuk ikut-ikutan turun tangan.
Si gondrong tertawa.
"Gila! Tuduhanmu sungguh tidak enak. Maling ternak! Maunya kupecahkan mulutmu dan juga dua kembarmu itu! Menuduh seenaknya. Tanpa alasan, tanpa bukti. Tak ada saksi!"
"Saksiku adalah mataku sendiri! Aku masih belum buta! Memang kau yang mencuri selusin kerbau yang ku gembalakan di tepi hutan Manuk!"
"Cc…cc…cc…" si gondrong leletkan lidah.
"Benar kau belum buta, orang tua. Tapi mungkin sudah lamur. Kau pasti salah lihat!"
"Tidak mungkin! Lekas katakan dimana kau sembunyikan kerbau-kerbau curian itu!"
Si gondrong geleng-gelengkan kepala.
"Dengar orang tua. Namaku WIRO SABLENG. Mungkin aku pemuda gendeng, tapi bukan pencuri kerbau!"
"Bukan pencuri kerbau! Puah! Pencuri kerbau bukan, tapi maling kerbau ya!" mendamprat pemuda yang sambungan sikunya copot.
Si rambut gondrong yang ternyata adalah pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dia berpaling pada si rambut kelabu. "Orang tua, coba kau jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi."
"Tidak perlu!" potong lelaki berewok. "Jelas kau malingnya. Ayahku tak mungkin salah lihat!"
"Oh, jadi si rambut kelabu ini ayahmu," ujar Wiro. "Yang ini pasti adikmu. Dengar berewok. Mencuri selusin kerbau bukan soal mudah. Paling sedikit harus dilakukan oleh tiga orang. Kalian lihat sendiri. Aku disini cuma sendirian."
"Jangan coba mengelabui kami. Kawan-kawanmu saat ini tentu tengah menggiring kerbau-kerbau itu ke satu tempat!"
Lama-lama murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi jengkel juga. Seumur hidup malang-melintang di dunia persilatan baru hari itu dituduh jadi maling, pencuri kerbau! Kembali digaruk-garuk kepalanya. "Mau percaya atau tidak, terserah. Aku tidak mencuri kerbau kalian. Aku tak pernah berada di sekitar Gili Manuk. Aku datang dari timur dan…"
"Memang mana ada maling mau mengaku!" tukas si rambut kelabu memberengut.
Wiro Sableng menyeringai dingin dan si berewok kembali membuk mulut: "Tanda-tanda yang kami ikuti menuju ke tempat ini. Disini ayahku menemukanmu. Ciri-ciri pencuri itu tepat seperti dirimu…"
"Mungkin ayahmu hanya melihat dari jauh" Wiro coba membela diri.
"Jauh atau dekat bukan soal. Yang jelas kau memang telah melarikan kerbau-kerbau kami!"
"Berewok. Jika kau tetap menuduhku sebagai pencuri, berarti kau tak bakal menemukan pencuri sebenarnya. Kau benar-benar akan kehilangan kerbau-kerbaumu…Jika katamu pencuri itu menuju kejurusan sini, tentu dia atau mereka masih belum jauh dari sini. Kalian masih punya kesempatan untuk mengejar!" Habis berkata begitu Wiro berdiri dan berkata pada adik si berewok. "Mari kusambungkan kembali tulang sikumu."
"Tak perlu!" jawab si pemuda sambil pegangi tangannya yang cidera.
"Ya, memang tak perlu," kakaknya yang berewok menimpali beringas. Lalu dia mengajak adik dan ayahnya segera melapor ke Kadipaten.
"Kalian ayah dan anak sama saja keras kepalanya. Lebih baik untuk sementara kalian jadi patung saja, supaya tidak menggangguku!" Dengan bergerak cepat Wiro Sableng menotok ke tiga orang itu hingga tak mampu lagi bergerak. Setelah membayar minumannya dia lambaikan tangan pada ke tiga beranak itu dan melangkah pergi.
"Maling kerbau! Jangan lari kau!" teriak si berewok.
"Bangsat pencuri!" adiknya menimpali. "Sekali engkau lari ke ujung dunia akan kukejar dan kucincang!"
Sang ayah tak ketinggalan berteriak: "Petugas-petugas Kadipaten akan menangkap dan menghajarmu!"
Mereka ingin mengejar namun tak mampu bergerak. Akhirnya hanya bisa memaki-maki sementara Wiro sudah tak kelihatan lagi.
***
JAUH di sebelah timur tampak menjulang gunung Muryo. Dengan mempergunakan ilmu lari "kaki angin" pendekar itu lari kencang kejurusan itu. Tujuannya adalah Japara. Disitu dia akan mencari keterangan mengenai suatu tempat yang hendak didatanginya.
Sang surya mulai condong kebarat. Di depan sana terbentang daerah berbukit-bukit. Sebagaimana lazimnya keadaan alam, jika ada bukit-bukit maka di situ akan terdapat pula lembah-lembah.
Wiro berdiri di puncak sebuah bukit, memandang berkeliling. Lembah dan bukit di daerah itu tampak hijau subur, tetapi masih liar belum dibuka manusia. Sesaat kemudian, ketika dia siap untuk meneruskan perjalanan, mendadak langkahnya tertahan.
Jauh di bawah sana, di dasar salah satu lembah dilihatnya dua penunggang kuda tengah menggiring serombongan kerbau. Tak dapat dipastikan berapa jumlah binatang itu, namun Wiro yakin bahwa ternak tersebut pastilah kerbau curian, milik ke tiga beranak di kedai yang tadi menuduhnya sebagai pencuri.
Sesaat Wiro berpikir. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia segera berlari menuruni bukit. Sesampainya di lembah diam-diam dia mengikuti kedua penggiring ternak itu. Mereka masih muda-muda. Seorang diantaranya berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan memakai ikat kepala sapu tangan putih. Sepintas lalu ciri-cirinya memang sama dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng ini merutuk dalam hati. Inilah pangkal Tidak salah kalau orang tua berambut putih itu menuduh bahwa dialah yang telah mencuri selusin kerbau mereka!
Walau yakin kedua pemuda itu pencuri, namun Wiro tidak segera turun tangan. Dia terus mengikuti perjalanan mereka dari balik semak belukar. Hal ini tidak sulit dilakukan. Walaupun menunggang kuda, tapi karena harus menggiring kerbau, dua pemuda itu terpaksa bergerak perlahan.
"Dimana kita akan istirahat?" tanya pemuda penunggang kuda berambut gondrong.
"Kita tidak akan istirahat Kunto. Jika kemalaman di jalan bisa berabe!"
Si gondrong yang bernama Kunto menyahuti: "Kau selalu kawatir kemalaman. Mengapa tidak lewat jalan umum saja? Dalam waktu dua jam kita akan sampai ke kota. Dan menikmati hasil penjualan kerbau-kerbau ini!"
Sang kawan tidak kelihatan senang. Dia berkata: "Kau masih terlalu hijau untuk jadi pencuri ternak. Lewat jalan umum memang lebih cepat tapi sama saja dengan menyerahkan batang lehermu pada petugas-petugas Kadipaten. Aku yakin pemilik ternak ini telah melapor ke Kadipaten!"
Kunto tertawa. “Ario, kaulah yang tolol. Apa kau tidak tahu kalau orang-orang Kadipaten hanya mau mendengar laporan dan minta uang pada si pelapor tapi tidak pernah melakukan sesuatu? Apalagi mengurusi kerbau. Kecuali jika pemilik kerbau itu menjanjikan separoh dari kerbaunya yang hilang akan diberikan pada mereka!”
“Ya, aku tahu hal itu,” jawab Ario. “Tapi aku tetap tak mau cari penyakit. Kalau tidak melapor ke Kadipaten bukan mustahil pemilik kerbau itu mengumpulkan orang sedesa dan mengejar kita. Sekali tertangkap kita akan mereka gebuk sampai lumat!”
Kunto terdiam sesaat. Lalu bertanya: “Kalau kau sudah takut begitu lalu bagaimana kita membawa ternak ini langsung ke kota dan menjualnya seolah-olah milik kita?”
“Aku tidak tolol dan tidak akan melakukan seperti itu. Ternak ini aku titipkan dulu di luar kota di tempat Sumengkar. Kita cari pembeli di kota, jika harga cocok baru di bawa ke tempat Sumengkar.”
“Susah-susah ke kota bagaimana kalau kerbau itu aku saja yang membeli?” tiba-tiba satu suara meimpal.
Tentu saja Kunto dan Ario kaget bukan main!
Keduanya sesaat saling pandang. Setan atau manusiakah yang barusan bicara? Keduanya lalu sama-sama berpaling ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Memandang berkeliling juga tak seorangpun kelihatan. Aneh. Jelas mereka mendengar suara, tapi dimana orangnya? Ario dan Kunto kembali saling pandang. Keduanya menunjukan wajah takut.
“Kudengar daerah sekitar sini banyak dedemitnya,” bisik Kunto seraya rapatkan kudanya ke kuda kawannya. “Jangan-jangan…”
“Mungkin kita cuma salah dengar,” sahut Ario. “Tiupan angin kadang-kadang seperti suara manusia. Apalagi kalau kita sedang melamun.”
“Kita tidak sedang melamun, Ario. Suara manusia mana bisa sama dengan suara desau angin. Kalau bukan suara manusia itu tadi, pasti suara setan. Mari kita bergerak lebih cepat!”
Kedua orang itu segera menghalau kerbau-kerbau di depan mereka.
“Hai! Tunggu dulu!” tiba-tiba suara tadi kembali terdengar. Lebih jelas dan lebih keras. “Kalian belum menjawab pertanyaanku!”
Kunto menggigil sekujur tubuhnya. Dia ingin menghambur duluan meninggalkan tempat itu. Ario pegang hulu goloknya. Dengan mata liar dia memandang berkeliling lalu membentak dengan suara bergetar: “Setan atau manusiakah yang bicara!? Harap tunjukan muka!”
Terdengar suara tawa bergelak. Tiba-tiba semak belukar di samping kiri jalan tersibak. Seorang pemuda berambut gondrong sambil cengar-cengir menyeruak keluar. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Siapa kau?!” sentak Ario. Kunto segera lenyap rasa takutnya ketika dilihatnya yang muncul ternyata hanya manusia biasa dan sendirian pula.
“Aku manusia biasa, bukan setan bukan dedemit. Kalian belum jawab pertanyaanku. Mau jual kerbau-kerbau ini padaku?”
Dalam hati Ario membatin. Pemuda di depannya itu memperlihatkan tindak tanduk seperti orang kurang waras. Maka dia bertanya: “Kau bergurau atau bagaimana, sobat?!”
“Orang mau beli kerbau dibilang bergurau!” Wiro menggerutu.
“Kau punya uang untuk membeli ternak ini semua?!” Kunto ajukan pertanyaan.
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kulit. Ketika digoyangnya kantong itu mengeluarkan suara berdering. Kunto dan Ario saling pandang. Kunto mendekati kawannya dan berbisik: “Jika bisa dibereskan disini kita tak usah susah-susah ke kota”
Ario mengangguk.
“Kalau kau punya tiga puluh ringgit perak, kau boleh ambil semua kerbau ini!” berkata Ario.
“Ah, itu terlalu mahal sobat,” kata Wiro Sableng. “Terlalu mahal untuk kerbau-kerbau kurus tak berdaging yang seperti binatang sakit ini. Apalagi kerbau curian pula!”
Paras Ario dan Kunto kontan berubah.
“Pemuda asing. Apa maksudmu mengatakan kerbau curian?” bentak Ario.
“Siapa mengatakan apa?” tanya Wiro.
Kunto jadi jengkel. “Barusan kau menuduh kami pencuri kerbau!”
“Aku tidak menuduh begitu. Aku cuma bilang kerbau ini kerbau curian…”
“Sudah! Tak usah bicara panjang lebar. Kalau kau sanggup bayar dua puluh ringgit perak kau boleh ambil kerbau-kerbau ini!”
“Itu juga masih keliwat mahal sobat,” kata Wiro sambil timang-timang uang di dalam kantong.
“Lalu kau mau bayar berapa?!” bentak Ario.
“Setengah ringgit perak kurasa sudah cukup pantas untuk selusin kerbau ini!”
“Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan kami! Bajingan tengik!” Kunto menarik tali kekang kudanya hingga binatang ini melompat kehadapan Wiro.
“Siapa yang kurang ajar? Siapa yang bajingan tengik? Siapa pula yang main-main?” tukar Wiro. Dari dalam kantong kulit di keluarkannya sebuah mata uang perak. Dengan kedua tangannya enak saja dia mematahkan uang perak itu hingga terbelah dua. Tentu saja ini membuat Ario dan Kunto terkejut. Karena mematahkan uang perak dengan tangan biasa merupakan suatu hal yang mustahil.
Ario jadi curiga. Jika pemuda asing yang seperti kurang waras ini memiliki kepandaian tinggi, bukan tak mungkin dia adalah seorang jagoan dari Kadipaten yang sengaja menyamar untuk membuntuti mereka.
“Orang muda, apakah kau petugas Kadipaten? Atau dari Kotaraja?” tanya Ario.
Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya.
“Aku bukan petugas Kadipaten. Apalagi Kotaraja. Aku datang kemari untuk membeli kerbau kalian. Nah ini uangnya setengah ringgit. Terimalah!”
Wiro lalu lemparkan potongan uang yang tadi di belahnya ke arah Kunto. Lemparan itu kelihatannya biasa-biasa saja, perlahan. Tetapi begitu mengenai dada Kunto langsung lelaki ini menjerit kesakitan. Kesakitan dan marah Kunto segera hendak cabut goloknya. Tapi heran! Celaka! Dia tidak bisa menggerakkan tangannya. Juga bagian-bagian tubuhnya yang lain. Sekujurnya badannya kaku tegang! Masih untung dia bisa membuka mulut dan berteriak: “Ario! Bangsat ini menotokku!”
Kagetlah Ario. Tanpa menunggu lebih lama dia segera mencabut goloknya dan membabatkan senjata ini ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bajingan tengik! Kau betul-betul ingin mampus!”
“Puah! Kalianlah yang perlu di hajar!” damprat Wiro.
Dia menunduk. Golok Ario berkelebat di atas kepalanya. Sesaat kemudian Ario terdengar menjerit dan seperti Kunto tubuhnyapun kini kaku kejang dihantam totokan. Tanpa perdulikan jeritan dan caci maki kedua orang itu Wiro membelintangkan Keduanya diatas kuda milik Kunto. Dia sendiri lalu naik ke atas kuda Ario lalu menggiring kedua pencuri itu bersama selusin kerbau menuju kampung dimana Kunto dan Ario telah mencuri binatang-binatang tersebut.
Hari telah malam ketika Wiro sampai di kedai di mulut jalan itu. Tapi di dalam kedai orang banyak masih berkumpul menyaksikan pemilik kerbau dan kedua anaknya yang masih berdiri tegak dalam keadaan kaku. Tak ada satu orangpun yang tahu bagaimana caranya melepaskan totokan mereka. Banyak yang mencoba dengan jalan mengurut-urut atau memukul-mukul, tetapi sia-sia. Akhirnya semua orang hanya bisa melihat saja tanpa bisa berbuat sesuatu. Dalam keadaan itulah Wiro muncul dan masuk kembali kedalam kedai. Serta merta banyak orang menyingkir. Bukan saja mereka merasa takut terhadap pemuda ini, tetapi juga kaget melihat dua sosok tubuh yang dilemparkan Wiro ke lantai kedai. Apa pula yang telah terjadi, pikir semua orang.
Orang tua berambut kelabu membuka mulut siap untuk memaki. Tapi Wiro cepat menutup mulutnya dengan tangan kiri sementara dua anaknya memandang dengan mata melotot, beringas tetapi tak berani keluarkan suara. Kalau saja Keduanya tidak dalam keadaan tertotok, pastilah keduanya sudah menyerang Wiro.
“Orang tua,” kata Wiro pula. “Kau lihat pemuda gondrong yang menggeletak di depan kakimu itu? Selintas tampang dan perawakannya mirip aku, bukan?”
Si rambut kelabu sejenak memandang pemuda yang terbujur di lantai dalam keadaan tertotok itu. “Apa maksudmu? Siapa mereka?” tanya orang ini begitu Wiro lepaskan tekapannya dari mulut lelaki itu.
“Merekalah yang mencuri kerbaumu. Yang gondrong itu bernama Ario. Temannya Kunto. Kerbau-kerbaumu ada di luar kedai!”
“Kurang ajar! Jadi!”
“Jadi ya jadi!” kata Wiro sambil senyum-senyum. “Sekarang kalian baru percaya kalau aku bukan pencuri. Nah kalian mau berbuat apa terhadap mereka. Mau ke Kadipaten memang itu baiknya. Mau di gebuk lebih dulu asal tidak sampai mampus, aku tak mau ikut campur!”
Habis berkata begitu Wiro lantas lepaskan totokan pada tubuh orang tua itu dan kedua anaknya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke pintu.
“Hai, tunggu dulu!” seru orang tua pemilik kerbau. Dia dan kedua anaknya mengejar ke pintu. Namun sampai di luar dia hanya melihat kegelapan. Selusin kerbau mereka berkeliaran di halaman kedai.
***

DUA
KIRA-KIRA setengah hari perjalanan dari gunung Muryo di sebelah tenggara terdapat sebuah bukit kecil yang amat rimbun di tumbuhi semak belukar dan pepohonan liar. Menurut penduduk yang tinggal jauh dari situ, konon tak pernah seorang manusiapun sejak tiga puluh tahun silam berani berada dekat bukit itu. Apalagi coba mendatanginya. Pohon-pohon jati yang tumbuh disitu amat bagus jenisnya. Namun tak seorangpun penebang kayu yang mau datang kesitu untuk menebangnya. Kenapa sampai terjadi demikian tentu ada sebab-musababnya.
Menurut orang-orang tua yang tahu kisahnya, sebelum tiga puluh tahun yang lalu, bukit itu seperti bukit-bukit lainnya di sekitar situ banyak di datangi orang. Kemudian terbetik berita bahwa setiap orang yang berani datang ke bukit itu pasti tak akan kembali lagi. Entah hilang kesasar entah mati. Yang jelas orang atau mayatnya tak pernah di temui kembali.
Selama bertahun-tahun terjadi hal semacam itu hingga penduduk takut. Bukit itu di anggap angker. Tak seorangpun lagi berani datang dekat-dekat ke situ. Dan entah siapa yang mulai menamakannya, bukit satu itu lalu diberi nama Bukit Hantu!
Pada malam-malam tertentu, terutama ketika sedang gelap bulan, dari puncak bukit terdengar suara pekik jerit aneh mengerikan. Sekali-sekali suara jeritan itu diseling oleh lolongan anjing. Karena diketahui tak seorangpun diam di bukit itu.
Namun hari itu terjadi satu kelainan yang bisa di katakan satu keluar biasaan. Sewaktu awan kelabu bergerak dan berarak dari arah tenggara, seorang penunggang kuda berpakaian mewah tampak memacu kuda tunggangannya menuju Bukit Hantu. Apakah dia seorang asing yang tidak tahu angker dan bahayanya memasuki daerah itu? Tetapi dari gerak-gerik dan caranya orang ini menunggangi kuda menempuh jalan agaknya dia mengetahui betul seluk beluk daerah tersebut. Sekurang-kurangnya pernah mendatangi tempat itu sebelumnya.
Di pertengahan lereng Bukit hantu, orang ini hentikan kudanya. Sesaat dia memandang berkeliling, lalu mengelus tengkuk kudanya sambil bergerak turun.
“Kembalilah pulang. Cukup kau mengantarkan aku sampai di sini…”
Sang kuda, yang sejak tadi dari kaki bukit menunjukan sikap aneh, tiba-tiba menaikkan kedua kakinya tinggi-tinggi dan meringkik keras, lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan tuannya.
Orang berpakaian bagus dan mahal itu menghela nafas dalam. Paling tidak usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Meskipun tampangnya sudah mulai keriputan tapi juga membayangkan sifat keras dan buas!
Tak lama sesudah kudanya pergi, orang ini melanjutkan perjalannnya menuju puncak bukit dengan jalan kaki. Kira-kira sepeminuman teh lagi dia akan sampai ke puncak Bukit Hantu, jalan yang di tempuhnya mulai tidak sesukar sebelumnya. Semak belukar hampir tak ada sama sekali seperti pernah di tebang dan di rapikan orang. Bahkan di hadapannya kini muncul satu jalan kecil dan rata menuju ke puncak. Dimulut jalan kecil mendadak sontak sepasang kaki orang ini berhenti melangkah dan laksana dipakukan ketanah!
Dia sudah mendengar seribu satu macam kangkeran yang ada di bukit itu. Tapi adalah tidak menduga sama sekali kalau apa yang di saksikannya di hadapannya saat itu benar-benar akan membuat tubuhnya mengeluarkan keringat dingin! Tiga puluh tahun yang silam, selagi dia masih seorang pemuda, pemandangan itu belum ada. Pastilah apa yang kini dilihatnya berasal dari puluhan manusia yang pernah dikabarkan hilang di Bukit Hantu!
Berdiri disitu maulah laki-laki ini membalikkan tubuh dan lari meninggalkan bukit tersebut. Namun sesuai dengan ketentuan, hari itu adalah “Hari Perjanjian”. Dia harus datang sesuai dengan sumpahnya. Kalau dia mungkin, makhluk aneh mengerikan, yang selalu mendatanginya setiap malam Jum’at akan datang lagi kepadanya dan sekali ini untuk mencekiknya sampai mati, mencopot kepalanya!
Agaknya tak ada jalan kembali. Memutar haluan berarti mati secara mengerikan.
Sekilas tebayang olehnya istri serta keempat orang anak yang disayanginya. Dia akan meninggalkan mereka semua untuk selama-lamanya demi memenuhi sumpah tiga puluh tahun yang lewat. Tapi tak apa. Dia coba menghibur diri. Toh istri dan anak-anaknya kini hidup bahagia dalam sebuah rumah besar dan mewah, harta berlimpah, sawah lading luas, ternak berkandang-kandang. Semua kekayaan itu tak akan habis sampai tujuh turunan.
Dikatupkannya mulut rapat-rapat. Dengan menetapkan hati serta pikiran dan melangkah maju kembali. Jalan kecil di hadapannya tampak memutih. Putih oleh tulang belulang manusia beraneka bentuk. Dan di atas jalan tulang belulang inilah kakinya melangkah. Kedua tepi jalan kecil itu dibatasi dengan puluhan tengkorak kepala manusia. Tubuhnya terasa bergetar. Dia terus melangkah. Perutnya terasa mual. Akhirnya dia sampai di ujung jalan. Dihadapannya tegak kini sebuah bangunan kecil yang keseluruhannya terbuat dari tulang belulang manusia. Berapa puluh atau berapa ratus manusiakah yang telah jadi korban di atas bukit ini? Dari sela-sela dinding tulang kelihatan merambas asap aneka warna. Hidungnya dilanda oleh bau aneh. Bau harum aneh yang menggidikkan karena berbaur jadi satu dengan bau anyir busuk!
Bangunan kecil itu mempunyai sebuah pintu yang tidak tertutup. Dari tempatnya berdiri, lelaki tadi dapat melihat kedalam. Di dalam bangunan tulang ini tampak duduk seorang lelaki kurus bermuka dahsyat. Jika dia masih benar seorang manusia maka wajahnya adalah sepuluh kali lebih mengerikan dari wajah setan! Manusia ini memiliki rambut putih panjang yang menutupi Sebagian wajahnya. Di belakang tikar kecil dimana manusia ini duduk terdapat lima buah belanga. Di dalam belanga ada cairan masing-masing berwarna hitam, merah, biru, ungu dan hijau. Dari setiap belanga mengepul asap yang warnannya sesuai dengan cairan di dalamnya.
Orang itu menggerakkan kepalanya. Rambut putih yang menutupi sebagian wajahnya tersibak. Kini kelihatanlah keseluruhan wajahnya yang mengerikan itu.
Lelaki di ambang pintu serasa terbang semangatnya sewaktu si muka setan tiba-tiba mengeluarkan suara seperti lolongan srigala di malam buta. Begitu kerasnya lolongan itu hingga bangunan tulang belulang serta tanah yang di pijak terasa bergetar. Anehnya mulut si muka setan sedikitpun tak kelihatan membuka!
Sesaat kemudian terdengar suaranya: “Bagus! Kau datang tepat pada waktunya Sonya! Sebelum kau melangkah ke hadapanku, sebelum kau memasuki bangunan ini, tanggalkan dulu pakaian bagusmu dan pakai ini!” Ternyata suara si muka setan halus seperti perempuan, hanya saja mengandung pengaruh yang hebat luar biasa. Dari balik pakaiannya yang seperti jubah berwarna hitam di keluarkannya satu stel pakaian butut penuh tambalan dan bau apek. Pakaian itu dilemparkannya kehadapan orang di ambang pintu yang dipanggilnya dengan nama Sonya.
Setelah lebih dulu menjura, Sonya mengambil pakaian butut bau itu. Dibukanya pakaian yang dikenakannya, dilemparkannya jauh-jauh lalu dikenakannya pakaian yang diberikan si muka setan. Setelah berganti pakaian diapun masuk ke dalam bangunan tulang.
“Duduk!”
Si muka setan tudingkan jarinya yang kurus dan berkuku panjang. Sonya lalu duduk di hadapannya.
“Ceritakan dengan singkat garis kehidupanmu sejak tiga puluh tahun silam kau meninggalkan bukit ini!” kata si muka setan pula.
Sonya menelan ludahnya baru menjawab: “Berkat ilmu yang Datuk ajarkan aku telah menjadi kaya raya. Aku kawin dan punya empat orang anak.”
“Kau senang? Bahagia…?”
Sonya mengangguk.
“Pada detik kau duduk di hadapanku ini, kau telah dan harus meninggalkan kesenangan dan kebahagiaan itu!”
“Aku tahu Datuk,” jawab Sonya.
“Kau bakal dapat kebahagiaan lain! Asal saja kau tempuh cara hidup seperti yang kututurkan tiga puluh tahun yang lewat!”
“Aku akan tempuh Datuk.”
“Lengkap dengan syarat utamannya!”
“Lengkap dengan syarat utamannya, “ mengulang Sonya.
“Bagus. Sekarang coba kau katakan syarat utama itu!”
“Syarat utama itu ialah setiap permulaan tahun baru aku harus membunuh anakku yang paling kecil dan melemparkannya ke dalam laut.” Suara Sonya bergetar.
“Bagus! Ternyata kau betul-betul masih ingat syarat utama itu!” kata sang Datuk pula. Lalu dari mulutnya keluar suara tawa aneh menggidikkan. Kemudian sambil menuding ke belakang dia bertanya: “Adakah kau melihat lima buah belanga itu?”
“Ada Datuk.”
“Berdirilah!”
Sonya berdiri.
“Di dalam belanga itu terdapat cairan berlainan warna. Masing-masing cairan harus kau minum sebanyak tiga teguk. Sebagian sisanya diguyurkan ke kepala dan badanmu. Segera mulai dengan belanga di ujung kiri!”
Sonya melangkah mendekati belanga di ujung kiri. Di situ terdapat cairan berwarna merah pekat, kental dan mengepulkan asap. Sesuai dengan perintah sang Datuk muka setan maka diminumnya cairan itu sebanyak tiga teguk. Belum lagi minum, baru mencium bau cairan, Perutnya sudah terasa mual dan tenggorokannya mau muntah.
“Kau ragu Sonya?!” suara sang Datuk bernada menegur dan mengancam Sonya segera meneguk cairan busuk itu tiga teguk. Lalu menyiram kepala dan badannya dengan cairan yang sama. Kemudian dia mendekati belanga kedua dan seterusnya.
“Sudah Datuk,” suara Sonya seperti tercekik.
“Bagus. Sekarang duduk di hadapanku!”
Dengan sekujur kepala serta pakaian basah kuyup dan berbau busuk, Sonya duduk kembali di hadapan si muka setan.
“Pejamkan matamu Sonya!”
Sonya Menurut dan pejamkan matanya.
“Sekarang buka!”
Sonya buka kedua matanya. Pandangan matanya kini membersit aneh. Liar menyeramkan. Bagian mata yang tadi putih kini kelihatan merah.
“Bagaimana perasaanmu?” bertanya Datuk.
“Tubuhku terasa hangat. Sangat ringan. Di samping itu ada perasaan aneh, yang aku tidak tahu, menyelimuti diriku…”
“Itu bukan perasaan aneh. Kau harus dapat menerangkannya. Ayo!”
Sonya berpikir kemudian menjawab. “Betul. Bukan perasaan aneh. Perasaan itu adalah nafsu. Nafsu untuk membunuh. Nafsu untuk ingin melihat kematian manusia lain secara mengerikan!”
Orang tua berambut putih panjang bermuka setan tertawa panjang. “Bukan hanya nafsu untuk membunuh Sonya! Bukan hanya hasrat untuk melihat kematian yang menyeramkan. Tapi ada lagi satu nafsu kini mendekam dalam tubuhmu. Nafsu kotor!”
Sonya mengangguk aneh.
“Ya. Nafsu kotor,” katanya mengulang. “Nafsu terhadap perempuan,” sambungnya dengan suara berdesis.
Kembali sang Datuk keluarkan suara tertawa panjang.
“Bila kau sudah meninggalkan tempat ini, kau harus hidup menurut kehendak hatimu Sonya. Menurut nafsu yang kini tertanam dalam dirimu! Kau boleh membunuh semaumu. Kau boleh mengumbar nafsumu terhadap perempuan mana saja yang kau inginkan! Tentunya kau pilih yang cantik-cantik bukan Sonya? Tak perduli anak atau istri orang. Apalagi janda…hik…hik…hik!”
Sonya hanya bisa mengangguk.
“Sebelum pergi kau harus tinggal disini selama satu minggu. Sesudah itu baru kau boleh pergi. Dengar Sonya?”
“Tentu Datuk.”
“Kelak jika ilmu itu telah kau kuasai, dunia luar akan menjadi geger! Dan tak satu tokoh silat atau orang saktipun di dunia luar yang dapat mengalahkanmu! Itulah kehebatan ilmu siluman cipataanku!” Sang Datuk tertawa lagi panjang dan lama.
Sonya ikut tertawa.
Tiba-tiba sang Datuk hentikan tawanya dan berdiri.
“Kau akan tinggal selama tujuh hari disini. Selama tujuh hari kau akan tidur bersamaku, melayaniku sambil aku mengajarkan ilmu padamu. Kau dengar dan mengerti Sonya?”
“Dengar Datuk, tapi kurang mengerti…”
Sang Datuk menyeringai dan tertawa kembali. Tiba-tiba dia buka jubah hitamnya dan kini dia tegak berdiri dihadapan Sonya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
Sonya terbeliak kaget. Dari sosok tubuh telanjang yang berdiri di hadapannya itu tidak disangkanya kalau sang Datuk ternyata adalah seorang perempuan!
“Datuk, jadi kau…”
“Hik…hik…hik. Aku memang seorang perempuan Sonya. Kau kecewa tubuhku tidak sebagus tubuh perempuan muda…?!”
“Ti…tidak Datuk,” sahut Sonya. Walau yang dilihatnya memang hanya tubuh tinggal kulit pembalut tulang. Perut dan dada keriput.
“Sekarang kau harus lebih dulu melayaniku Sonya…”
Meski tubuh itu jelek luar biasa, tapi nafsu aneh mendekam dalam dirinya telah membakar birahi Sonya. Dia mengangguk dan melangkah mendekat. Lalu seperti seekor singa lapar dirangkulnya tubuh sang Datuk. Keduanya segera saja berguling di lantai!
PAGI hari kedelapan. Sonya duduk di hadapan sang Datuk muka setan.
“Semua ilmu baru cipataanku telah kau kuasai Sonya. Sebelum kau meninggalkan tempat ini akan kutegaskan lagi Beberapa hal kepadamu. Pertama begitu turun dari bukit ini kau harus pergi ke TELUK GONGGO di pantai utara. Aku telah membangun sebuah tempat di sana yang dapat kau tinggali sebagai istana. Dari luar pintu bangunan itu hanya merupakan sebuah goa buruk, mudah saja mencarinya.
Hal kedua yang akan kuberitahukan ialah selama dunia terkembang kau tak bakal mengalami kematian. Kecuali jika terjadi dua hal. Pertama Kau tak boleh kena air hujan. Jika itu sampai terjadi ilmu siluman yang kau miliki akan luntur dan seseorang dengan mudah bakal dapat membunuhmu! Pantangan kedua yang bisa menyebabkan kematianmu ialah binatang itu…”
Datuk muka setan mendongak ke atas langit-langit bangunan. Di sana di dalam sebuah sangkar yang terbuat dari tulang-tulang iga manusia tampak seekor burung nuri merah.
“Nyawamu adalah juga nyawanya Sonya. Dengan kata lain kau baru bisa mati kalau seseorang membunuh burung itu!”
“Bagaimana kalau binatang itu sewaktu-waktu sakit dan mati. Apakah aku juga akan mati Datuk?”
“Tidak, kau tidak akan mati. Cuma mampus! Karenanya kau harus rawat dia baik-baik!” kata Datuk sambil tertawa gelak-gelak. “Dan jangan lupa syarat utama tempo hari. Kau tidak diperkenankan menjenguk anak istrimu; Pada hari Pertama pergantian tahun kau baru boleh mendatangi mereka, tapi hanya untuk membunuh anakmu yang paling kecil! Tahun berikutnya anakmu yang paling muda, begitu seterusnya. Jika keempat anakmu sudah habis maka kau harus mencari anak orang lain tapi yang berusia tidak boleh lebih dari tiga tahun!”
Sonya mengangguk tanda mengerti.
“Jika kau lalai melaksanakan syarat itu maka siluman peliharaanku akan mendatangimu. Menyiksamu selama tujuh tahun sebelum menamatkan riwayatmu!” Sang Datuk lalu mengambil burung Nuri dalam sangkar dan menyerahkannya pada Sonya. “Bawa ini dan simpan di istanamu di Teluk Gonggo. Sebelum kau pergi ada satu hal yang akan terjadi Sonya.”
“Hal apakah Datuk?” tanya Sonya sambil mengambil burung Nuri.
“Nanti kau akan lihat sendiri. Jika hal itu sudah terjadi kau bakarlah bangunan ini dengan segala apa yang ada di dalamnya! Dengan segala apa yang ada di dalamnya! Ingat itu baik-baik!”
Selesai berkata begitu Datuk muka setan menyeringai aneh. “Kau puas melayaniku selama satu minggu Sonya?”
“Puas Datuk.” Diam-diam Sonya menduga sang Datuk akan menyuruhnya lagi melayani nafsu gilanya. Sang Datuk melolong panjang.
“Bagus. Kalau begitu aku akan mati dengan perasaan tenang!” Selesai berkata begitu sang Datuk hantamkan tinju kanannya ke kepalanya sendiri!
Prak!
Tak ampun lagi kepala itu pun pecah. Darah dan otak berhamburan. Tubuhnya terguling tanpa nyawa. Sonya kaget bukan main. Tubuhnya bergetar dan dari sela bibirnya tiba-tiba melesit suara tertawa aneh disusul suara lolongan seperti srigala. Dia tertawa menyaksikan kematian menyeramkan gurunya sendiri!
Sesuai dengan pesan sang guru, semua yang ada di dalam bangunan harus di musnahkan!
***

TIGA
BUKIT HANTU……..?” kata orang kedai sambil memandang tamunya yang duduk mengunyah nasi di hadapannya.
Wiro mengangguk.
“Orang muda, rupanya kau belum pernah mendengar berita atau cerita tentang bukit itu hingga menanyakan jalan terdekat menuju ke situ!”
“Banyak sekali yang kudengar pak.”
“Kalau begitu pikiranmu kurang sehat. Selama ini tak seorangpun berani dekat-dekat kesana, apalagi bermaksud mengunjunginya. Siapa yang berani mendekati bukit itu tak pernah kembali. Jangankan kau yang punya satu nyawa, sekalipun kau punya tiga nyawa pasti ketiga nyawamu bakal melayang!”
“Sudahlah pak, kalau kau tak keberatan tunjukan saja arahnya. Soal mati biar aku yang tanggung akibatnya.”
Pemilik kedai angkat bau. Dia menunjuk lewat pintu kedai. “Lihat gunung itu?”
Wiro manggut.
“Itu gunung Muryo. Pergilah ke arah tenggara. Di sana akan kau temui daerah berbukit-bukit. Bukit paling tinggi itulah Bukit Hantu!”
Selesai makan, Wiro membayar apa-apa yang dipesannya lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti pandangan pemilik kedai. “Masih ada saja orang yang mencari mati di dunia ini!” gumamnya.
Dengan mengandalkan ilmu larinya, tak lama Setelah matahari pagi naik, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah sampai di puncak Bukit Hantu. Ternyata dia terlambat. Hanya sepenanakan nasi sebelumnya Sonya meninggalkan tempat itu. Yang ditemuinya hanyalah tumpukan tulang belulang yang menghitam jadi arang. Ketika diperhatikannya lebih teliti, dibawah tumpukan tulang belulang putih itu dilihatnya sesosok tubuh manusia yang telah gosong. Dengan sebatang cabang kayu kecil disibakannya tulang-tulang itu.
“Pasti ini si keparat Datuk Siluman,” kata Wiro dalam hati. “Sialan. Aku terlambat. Seseorang telah duluan membunuhnya!” Meskipun bukan dia yang turun tangan namun murid Eyang Sinto Gendeng ini merasa lega juga karena manusia penimbul malapetaka besar bagi dunia persilatan telah tamat riwayatnya.
Karena tak ada hal lain yang akan dilakukannya maka Wiro segera meninggalkan Bukit Hantu sambil bersiul-siul. Jalan yang ditempuhnya justru yang sebelumnya juga ditempuh oleh Sonya!
Satu bulan yang lalu, beberapa tokoh silat di wilayah timur telah meminta bantuan Pendekar 212 untuk memusnahkan Datuk Siluman yang bercokol di Bukit Hantu. Hidup matinya manusia jahat ini amat menentukan ketentraman dunia persilatan. Bukan rahasia lagi bahwa diketahui Datuk Siluman itu telah menciptakan suatu ilmu hitam yang amat hebat, dan kelak akan menimbulkan malapetaka dahsyat bilamana tidak segera dicegah. Nyatanya kini Datuk golongan hitam itu telah menemui ajalnya. Seseorang telah menghancurkan batok kepalanya lalu membakar sang Datuk bersama tempat kediamannya. Siapakah yang telah melakukan hal itu? Jago atau tokoh silat dari mana? Tentu saja Wiro tidak mengetahui kalau Datuk Siluman sengaja bunuh diri setelah lebih dulu mewariskan semua ilmu hitam yang dimilikinya kepada murid tunggalnya yang cuma di gembleng selama satu minggu yaitu Sonya.
Kita tanggalkan dulu perjalanan Wiro dan mengikuti perjalanan Sonya. Saat itu dia tengah menuju ke pantai utara, yaitu sesuai dengan perintah gurunya. Dia berada sekitar dua jam perjalanan di depan Wiro. Menjelang tengah hari Sonya sampai di tepi sebuah telaga berair jernih. Dia berhenti di situ dan duduk di bawah pohon yang rindang. Burung Nuri dalam sangkar tulang yang jadi pautan nyawanya di letakan di tanah dijaganya hati-hati.
Udara yang panas seperti saat itu membuat dia ingin turun ke telaga dan mandi. Tapi dia khawatir kalau-kalau disekitar situ ada binatang buas yang selagi dia mandi menyergap burung Nurinya. Sekali burung itu disergap binatang buas maka putus pulalah nyawanya!
Setelah hilang letihnya, Sonya bersiap meninggalkan tepian telaga. Pada saat itulah lapat-lapat didengarnya suara rentak kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Sonya menyelinap dan bersembunyi ke balik pohon besar. Tak lama kemudian kelihatanlah serombongan penunggang kuda mengawal sebuah kereta barang. Begitu melihat telaga berair jernih dan sejuk, lelaki gemuk berpakaian bagus yang duduk di samping kusir kereta berseru: “Kita istirahat dulu di sini!”
Maka rombonganpun berhentilah.
Lelaki gemuk berpakaian bagus itu adalah seorang saudagar kayu yang tengah membawa barang dagangannya menuju Jepara. Namanya Raden Mas Kuncoro. Bersamanya ikut lima orang pengawal yang dipimpin oleh Rah Brojo, seorang jago silat berkepandaian tinggi. Memang meskipun masa itu daerah Jawa Tengah cukup aman, tetapi saudagar seperti Raden Mas Kuncoro mana berani mengangkut barang tanpa pengawal. Sudah lazim para pedagang menyewa pengawal-pengawal berkepandaian tinggi demi keselamatan harta dan nyawa selama perjalanan.
Sang saudagar turun dari kereta. Setelah meneguk air sejuk dari dalam sebuah kantong kulit yang dibawanya, diapun melangkah ke tepi telaga guna mencuci muka serta kakinya. Saat itulah pandangannya menangkap sosok tubuh Sonya yang berdiri di balik pohon besar sambil memegangi sebuah sangkar aneh berisi Nuri merah.
Raden Mas Kuncoro adalah seorang saudagar yang gemar memelihara burung. Di tempat kediamannya sengaja dia membangun sebuah bangunan besar dimana dipeliharanya puluhan jenis burung yang bagus-bagus. Melihat Sonya berdiri memegangi burung Nuri tertariklah hatinya. Dia seperti tidak melihat kelainan pada tampang dan pakaian Sonya. Pikirannya hanya tertuju pada burung dalam sangkar tulang. Sementara rombongan duduk di tepi telaga sebelah lain, Kuncoro melangkah mendatangi Sonya.
“Burung Nuri itu bagus sekali,” Raden Mas Kuncoro menyapa. Sambil tersenyum.
Sonya diam saja.
“Burungmu?”
“Ya, Kenapa?” Sonya balik bertanya.
“Bagus sekali. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat Nuri seperti satu ini.” Saudagar itu membungkuk agar dapat melihat binatang itu lebih jelas. “Sangkarnya Kenapa aneh begini?”
“Bagiku tidak aneh,” sahut Sonya kaku.
Kuncoro mengangkut kepalanya. Sikap pemilik burung itu dianggapnya tidak ramah. Membuatnya tidak enak. Ketika diperhatikannya tampang Sonya hatinya tambah tidak enak. Ada rasa ngeri melihat wajah manusia itu. Lalu pakaiannya yang kotor penuh tambalan dan bau busuk yang membersit dari tubuh orang itu.
“Dengar saudara,” kata Kuncoro. “Aku seorang penggemar burung. Kau mau menjual Nuri ini?”
Sonya seperti kaget. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum. Senyum aneh di mata sang saudagar.
“Katakan saja harganya pasti kubayar,” kata Raden Mas Kuncoro seraya meraba sabuk uang di pinggangnya.
“Burung ini tak kujual,” kata Sonya tandas.
“Sepuluh ringgit emas!” kata Raden Mas Koncoro tak tanggung-tanggung. Sepuluh ringgit emas adalah harga gila dan amat mahal untuk seekor burung meskipun sebagus Nuri itu. Tapi bagi seseorang yang senang akan suatu benda harga bukan menjadi persoalan. Apalagi bagi seorang seperti saudagar itu. Sepuluh ringgit emas bukan apa-apa baginya. Dengan tenang Kuncoro keluarkan sabuk uangnya.
Sonya pencongkan mulut dan berkata: “Lima puluh ringgit emas pun burung ini tak akan kujual!”
Saudagar itu terkesiap sejenak. Dia berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata: “Begini saja saudara, kau ikut kerumahku. Di sana kau boleh pilih tiga ekor Nuri yang sama seperti ini. Kemudian kutambah dua puluh ringgit emas dan serahkan Nuri itu padaku!” Sang saudagar merasa pasti kali ini Sonya akan menyetujui. Tapi jawaban Sonya membuat dia terkejut.
“Sekali aku bilang burung ini tidak dijual, tetap tak akan kujual. Kau tidak tuli bukan?!”
“Tiga burung Nuri ditambah tiga puluh ringgit emas!” kata Raden Mas Kuncoro sambil mengangkat kedua tangannya.
“Sekalipun nyawamu nanti kau berikan padaku burung ini tak akan kujual!” sahut Sonya dan memutar tubuh meninggalkan tempat itu. Kuncoro memegang bahunya.
“Tawaranku masih belum selesai. Aku bisa menaikkannya lagi. Berapa kau suka, saudara? Kau jangan main-main….”
Sonya hentikan langkahnya, berpaling menghadapi Kuncoro. Sepasang matanya membersitkan sinar aneh. Sinar menggidikkan.
“Siapa bilang aku main-main. Aku akan buktikan bahwa aku tidak main-main. Nah mampuslah!”
Sonya mengangkat tangan kanannya. Lima jari tangan kanannya yang berkuku panjang terpentang mengerikan. Lalu terdengar pekik Raden Mas Kuncoro. Tubuhnya roboh ditepi telaga. Mukanya hancur mengerikan. Hampir tak dapat dikenali lagi. Hidungnya tanggal dan mulutnya robek. Itulah keganasan “Cakar Siluman”, ilmu yang telah dipergunakan Sonya untuk menamatkan sang saudagar hanya dengan sekali gerakan saja!
Mendengar jeritan Kuncoro dan melihat sosok tubuh saudagar itu roboh ke tanah, lima pengawal tersentak kaget dan melompat mendatangi. Rah Brojo paling depan. Matanya membeliak melihat kematian sang saudagar.
Suaranya bergetar, rahangnya menggembung. “Orang asing! Pasal apakah maka kau sampai membunuhnya begini keji?!”
“Tak ada pasal tak ada lantaran!” jawab Sonya.
“Kenapa kau lalu membunuhnya?”
“Karena aku ingin membunuhnya. Habis perkara!”
“Kalau begitu kau adalah iblis edan yang harus dihajar!”
Rah Brojo hantamkan satu jotosan ke dada Sonya. Gerakannya cepat dan keras. Yang di serang tertawa aneh. Sinar mengerikan kembali membersit di kedua matanya. Dia berkelit mengelakkan jotosan lawan. Di lain kejap sambil dibarengi teriakan “Mampuslah!”, tangan kanannya kirimkan cakaran ke muka kepala pengawal itu.
Sebagai kepala pengawal kereta dagang Rah Brojo memiliki ilmu silat tinggi ditambah segudang pengalaman. Cepat-cepat dia menghindar ke samping. Cakaran lawan berhasil dielakkannya. Tapi kelima jari tangan itu tiba-tiba saja membalik cepat dan memburu ke mukanya. Kali ini Rah Brojo tak sanggup lagi berkelit. Jeritannya yang terdengar. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dia mati dengan muka rusak mengerikan seperti yang barusan dialami Raden Mas Kuncoro.
“Manusia biadab! Bersiaplah untuk mati!” teriak seorang pengawal kereta. Bersama tiga kawannya, dengan bersenjatakan golok dan dibantu pula oleh kusir kereta yang memegang sepotong besi panjang , mereka serentak mengurung dan menyerbu Sonya!
Dikeroyok lima begitu rupa Sonya menunggu dengan keluarkan suara aneh. Dengan tangan kiri masih tetap memegang sangkar tulang, lelaki ini berkelebat. Kelima penyerangnya terkesiap ketika mendapatkan orang yang menjadi sasaran lenyap dari hadapan mereka. Senjata masing-masing malah ada yang saling beradu satu sama lain. Belum habis rasa kaget mereka tiba-tiba terdengar bentakan:
“Mampuslah!”
Setelah itu suara pekik terdengar susul-menyusul. Empat pengawal tersungkur di tanah dengan muka hancur mengerikan. Satu-satunya yang masih hidup yakin kusir kereta, yang lumer nyalinya, tanpa tunggu lebih lama segera putar badan ambil langkah seribu. Tapi nasibnya cuma tertunda tiga langkah. Pada langkah ke empat lima jari tangan dengan ganas berkelebat di depannya. Untuk kesekian kalinya lima jari siluman meminta korban!
Sonya membersihkan tangannya yang penuh darah. Lalu dia menggeledah pakaian para korban. Setiap uang dan benda berharga yang ditemuinya diambilnya. Jumlah terbanyak yang didapatnya adalah dari tubuh Raden Mas Kuncoro.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang sampai di tempat itu dua jam kemudian merasa heran menemukan beberapa ekor kuda dan kereta tanpa kelihatan seorang manusiapun. Namun keheranannya itu berubah menjadi rasa terkejut sewaktu menemui tujuh mayat yang bergelimpangan di tepi telaga. Semuanya mati dengan muka hancur mengerikan!
Murid Sinto Gendeng ini mengrenyit, geleng-geleng kepala dan garuk rambutnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini? Rombongan itu di serang rampok? Lalu mengapa kereta barang tidak di ganggu?
“Gila!” maki Wiro dalam hati.
Setelah mengurus jenazah itu sebisa yang dilakukannya dia lalu lanjutkan perjalanan.
***

EMPAT
Sonya sengaja menempuh hutan belantara agar lebih cepat sampai ke tujuan yaitu Teluk Gonggo di pantai utara. Namun sewaktu malam tiba dan Perutnya terasa lapar, mau tak mau dia segera mendatangi kampung terdekat.
Kampung Waringin merupakan kampung ramai karena terletak dipersimpangan tiga jalan arus perdagangan. Kampung ini tidak beda dengan sebuah kampung kecil. Disini terdapat sebuah rumah makan yang bagian belakangnya disewakan untuk penginapan. Kesinilah Sonya pergi untuk mengisi perutnya.
Di dalam rumah makan saat itu telah banyak pengunjungnya. Kedatangan Sonya tentu saja menarik perhatian tamu dan pemilik kedai. Bajunya yang kotor penuh tambalan dan bau badannya yang busuk membuat semua orang merasa jijik dan menjauhi. Tapi Sonya mengambil tempat duduk tanpa perdulikan hal itu.
“Pengemis dari mana yang berani-beranian masuk ke kedaiku!” kata pemilik kedai dalam hati dengan mendongkol. Mula-mula hendak disuruhnya Sonya keluar. Tapi ketika dilihatnya wajah Sonya yang membayangkan sinar aneh, beratlah dugaannya bahwa Sonya adalah seorang pengemis berotak miring. Agar tidak terjadi keributan maka pemilik kedai ini membiarkan saja Sonya duduk disalah satu sudut.
Sonya berseru memanggil pelayan dan memesan makanan. Setelah mendengar makanan apa yang diminta oleh tamunya, maka bertanyalah pelayan rumah makan itu.
“Pengemis, apakah kau punya cukup uang untuk membayar harga makanan mahal yang kau pesan?”
Air muka Sonya tampak berubah. Kelam membatu dan sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan.
“Katakan berapa harga kepalamu. Aku akan bayar detik ini juga!” kata Sonya pada si pelayan.
Karena ngeri, si pelayan cepat-cepat memutar tubuh. Ucapan Sonya ini membuat semua orang tambah memperhatikannya dan juga burung Nuri dalam sangkar aneh yang diletakannya di atas meja.
Kebetulan saat itu di rumah makan tersebut terdapat rombongan Adipati Cokroningrat dari Leles. Sambil menyantap makanannya Adipati memperhatikan gerak-gerik Sonya. Sekali-sekali dia berbisik pada pembantu yang duduk di sampingnya. Selesai makan sang Adipati mengatakan sesuatu pada pembantunya itu dan si pembantu lalu berdiri, melangkah ke hadapan Sonya yang saat itu asyik menggerogoti paha ayam goreng.
“Pengemis,” demikian pembantu Adipati menegur. “Selesai makan harap kau menemui atasanku. Adipati Leles. Beliau ingin bicara soal burung yang kau bawa ini.”
Tidak menjawab apa-apa, seperti tidak mendengarkan orang bicara, Sonya terus saja melahap paha ayam. Pembantu Adipati itu kembali ke tempatnya. Mereka menunggu sampai Sonya selesai makan. Setelah selesai makan dan kelihatannya Sonya masih tetap saja duduk tenang-tenang di tempatnya Cokroningrat berkata pada pembantunya.
“Mungkin dia lupa. Panggil lagi. Suruh ke sini.”
Si pembantu datangi Sonya sekali lagi.
“Pengemis, seperti kataku tadi lekas kau menghadapi Adipati!”
Sepasang mata Sonya menyipit.
“Jika dia yang perlukan aku, suruh dia merangkak kemari!”
Kata-kata itu diucapkan Sonya dengan suara lantang hingga semua orang dalam rumah makan ikut mendengar dan terkejut mendengar ucapan yang berani serta kurang ajar itu. Adipati Leles sendiri kelihatan berubah wajahnya. Serta merta, merasa terhina, dia berdiri dan mendatangi meja Sonya. Dia menyeret sebuah kursi dan duduk di hadapan lelaki yang diduganya pengemis itu.
“Kata-katamu tadi kasar dan kurang ajar. Kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa, pengemis bau?”
“Berlalulah dari hadapanku. Atau kusemburkan seribu kata hina dan kotor di mukamu?!”
Rahang Cokroningrat menggembung. Sebetulnya ingin sekali dia menampar muka pengemis itu. Tapi mengingat dia ada satu maksud maka ditahannya kemarahannya. Dia melirik pada burung Nuri merah.
“Burung ini milikmu?”
Sonya mengangguk. Sikapnya tak acuh.
“Sangkarnya aneh. Dari tulang. Tulang kambing atau tulang kerbau?”
Sonya menyeringai. “Itu bukan tulang kambing. Bukan tulang kerbau. Bukan tulang binatang. Itu tulang belulang manusia!”
Adipati Cokroningrat terkejut. Diperhatikannya lagi sangkar itu. Dia memang belum pernah melihat tulang belulang manusia. Tapi kalau itu dikatakan tulang-tulang manusia tak percaya dia. Pengemis ini agaknya berotak miring.
“Dengar, burung itu tak pantas kau pelihara. Kau pasti tak bisa merawatnya. Jual saja padaku…”
“Oh, itu rupanya maksudmu,” ujar Sonya dan lagi-lagi sambil menyeringai. “Berapa kau sanggup membelinya, Adipati?”
“Dua ringgit perak!”
Sonya tertawa gelak-gelak.
“Setan, Kenapa pengemis ini tertawa! Dasar gila!” maki Cokroningrat dalam hati.
Dari balik pakaiannya Sonya mengeluarkan dua ringgit emas dan meletakkannya di atas meja.
Terkejutlah sang Adipati. Juga semua orang yang ada di situ. Siapa menduga kalau pengemis edan macam begitu memiliki dua ringgit emas?!
Malu dan terhina Adipati Leles dan berkata. “Baiklah, akan kubayar tiga ringgit emas!”
Sonya kembali mengeruk pinggang pakaiannya. Dikeluarkannya tiga ringgit emas dan diletakannya di atas meja.
“Sudah, kubeli Nurimu enam ringgit emas!” Adipati itu cepat-cepat meletakan enam ringgit emas di hadapan Sonya. Sebaliknya Sonyapun keluarkan enam ringgit emas dan menyodorkannya ke hadapan Cokroningrat!
Kini marahlah Adipati itu. Tapi dia berusaha menahan diri. “Katakan berapa kau mau jual burung itu!”
Sonya tertawa. Sebuah kantong kulit digebrakannya di atas meja. Ini adalah kantong milik saudagar Kuncoro yang telah dibunuh dan dirampoknya. Kantong itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara berdering.
Di dalam kantong itu terdapat lebih dari seratus ringgit emas. Kau mau…?
Gelaplah muda Cokroningrat. Dia benar-benar dibikin malu.
“Pengemis hina dina! Mulut dan sikapmu benar-benar keterlaluan!”
“Ambil uangmu dan berlalu dari hadapanku Paduka Adipati sialan!”
“Haram jadah. Kalau kau bukan orang sinting sudah kupecahkan batok kepalamu!”
“Sinting atau tidak, biar aku beri pelajaran manusia kurang ajar ini!” Yang berkata adalah pembantu Adipati. Tapi sang Adipati cepat menarik pembantunya. Setelah mengambil uangnya yang enam ringgit dari atas meja dia kembali ke tempat duduknya semula. Dia tak mau terjadi keributan dalam rumah makan itu. Dia berbisik pada pembantunya: “Kita hadang dia ditengah jalan.” Sang pembantu mengerti dan mengangguk.
“Aneh, kenapa lampu pada mati?” ujar pemilik rumah makan. Dia memanggil pelayan dan menyuruh agar lampu di hidupkan. Karena tak ada jawaban maka lampu-lampu itu dihidupkannya sendiri.
Ketika seluruh rumah makan terang benderang kembali maka terkejut dan hebohlah semua orang yang ada disitu. Betapakan tidak! Pelayan rumah makan kedapatan menggeletak di lantai dengan muka hancur mengerikan. Nyawanya tak disangsikan lagi pasti sudah melayang. Di seberang sana, Adipati Cokroningrat beserta pembantunya mengalami nasib yang sama. Mati dalam keadaan masih duduk di kursi masing-masing, muka hancur, hidung tanggal, biji-biji mata berbusaian dan bibir robek. Tubuh sang Adipati dan pembantunya berada dalam keadaan kaku tegang, begitu juga si pelayan yang malang. Nyatalah bahwa ketiganya telah ditotok sebelum dibunuh!
Memandang ke sudut ruangan, pengemis aneh tadi dan juga burung Nurinya tak ada lagi disitu. Di meja hanya ada sekeping uang perak. Sesuai dengan harga makanan yang dipesannya.
Sonya tak mau melewati Jepara karena dia ingin lekas-lekas sampai di Teluk Gonggo. Dengan ilmu larinya yang aneh, yang dipelajarinya secara aneh dari datuk Siluman, pada hari ke tiga dia sampai pada suatu daerah liar penuh dengan batu-batu. Disini angin bertiup Sangat keras. Satu pertanda bahwa tak lama lagi dia akan sampai di daerah pantai.
Menjelang rembang petang, ketika dia mendongak memandang langit, berubahlah paras Sonya. Dari arah tenggara berarak cepat awan tebal hitam. Dalam waktu singkat mendung telah menyungkup udara sedang dikejauhan kilat tampak mulai menyambar, sesekali diselingi suara gelegar guntur.
Dia berhenti berlari, memandang berkeliling mencari tempat untuk berteduh bila hujan turun. Tak ada sebatang pohonpun yang tumbuh di daerah berbatu-batu itu. Sekalipun ada tak mungkin dia bisa berlindung tanpa terkena air hujan.
Angin bertiup tambah kencang.
Sonya tambah cemas.
Burung dalam sangkar tulang kelihatan gelisah. Binatang ini menggelepar kian kemari dan mengeluarkan suara aneh, membuat Sonya bertambah kecut.
Dalam keputus asaannya Sonya berlari kencang kejurusan timur. Memang nasibnya baik. Kira-kira sepeminuman teh berlari disalah satu lamping bukit batu ditemuinya sebuah lobang setinggi dada. Tak menunggu lebih lama dia segera memasuki lobang ini. Hanya beberapa saat saja setelah dia masuk ke dalam lobang hujan lebat turun laksana dicurahkan dari langit!
Sonya menarik nafas lega. Wajahnya yang tadi pucat karena ketakutan kini berdarah kembali. Dia coba masuk lebih jauh ke dalam lobang agar jangan sampai terkena tampiasan atau percikan air hujan. Angin bertiup keras dan dingin. Akhhirnya dia duduk menjeleplok dalam lobang itu. Setelah duduk beberapa lama Sonya merasakan sesuatu yang aneh. Hawa dingin dari luar tidak terasa lagi meskipun angin masih terus bertiup. Di sekitarnya teras hangat. Di samping itu hidungnya mencium bau harum semerbak. Tak syak lagi hawa hangat dan bau harum itu pastilah datang dari dalam lobang. Mungkin ada makhluk penghuni di dalam sana? Tapi mengapa lobang itu tampak gelap dan seperti buntu?
Sambil terus membawa burung Nuri dalam sangkar, perlahan-lahan Sonya masuk membungkuk-bungkuk lebih jauh kedalam lobang. Tambah ke dalam tambah hangat terasa udara dan bau harum semakin keras. Di sebelah atas lobang batu itu tampak tambah meninggi hingga kalau tadi dia harus membungkuk-bungkuk, kini dia dapat berjalan seperti biasa.
Langkahnya terhenti di hadapan sebuah batu besar hitam dan rata. Semula disangkanya dia sudah sampai diujung lobang dan buntu. Namun sewaktu diperhatikannya baik-baik, disamping kanan batu ditemuinya sebuah celah sepemasukan tubuh manusia. Sonya melangkah mendekati celah. Hati-hati dia mengulurkan kepalanya, mengintai ke ruang di belakang batu.
Sepasang mata Sonya membesar ketika menyaksikan pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya. Tepat dibelakang batu hitam itu terdapat sebuah tangga terbuat dari batu mar-mar putih, menurun menuju sebuah ruangan empat persegi yang lantainya dihampari permadani merah berbunga-bunga.
Di atas permadani itu duduk seorang lelaki tua bermuka putih, berambut kelabu menjela bahu. Di hadapannya bersila seorang perempuan berpakaian kuning polos yang wajahnya tak dapat dilihat oleh Sonya karena duduk memunggungi batu.
Pada saat itu terdengar si orang tua berambut kelabu berkata:
“Muridku, batapapun seseorang mendalami ilmu silat dan kesakitan harus pula mempelajari ilmu yang menyangkut keagamaan serta segala sesuatu yang ada hubungannya dengan budi nurani manusia luhur. Itu semua akan menjadi semacam kendali baginya untuk mempergunakan kepandaian silat serta kesaktiannya hanya untuk maksud kebaikan semata, bukan untuk berbuat jahat. Agama dan hati nurani luhur mengingatkan seseorang untuk tidak menyeleweng dari rel kebenaran, menjaganya agar jangan menjadi sesat! Karena itulah meski saat ini kau telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun kau belum mengizinkan kau meninggalkan tempat ini guna mencari musuh besarmu. Soal balas dendam soal mudah Dwiyana. Kau harus tinggal disini selama dua tahun lagi guna mempelajari agama dan seluk beluk budi luhur. Sambil belajar itu semua kau sekaligus dapat pula melatih dan memperdalam ilmu silatmu. Bukankah itu lebih baik bagimu?”
“Jika Eyang berpendapat begitu tentu itu memang lebih baik. Dan saya akan menurut saja…” jawab perempuan berpakaian kuning.
Kini mengertilah Sonya. Kedua orang itu adalah guru dan murid. Dan sang murid dapat dipastikannya adalah seorang gadis. Meski dia belum dapat melihat paras gadis itu, namun satu hawa jahat telah menggerayangi diri Sonya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Ujung lidahnya tiada henti dileletkan membasahi bibir sedang cuping hidungnya kembang kempis. Nafsu kotor mulai membakar manusia dengan cepat!
“Nah muridku, kuharap kau tidak kecewa dengan keputusanku ini,” kata sang guru.
“Sama sekali tidak Eyang,” menyahuti murid yang bernama Dwiyana. “Malah saya menghaturkan banyak terima kasih atas perhatian dan petunjuk Eyang. Apa yang Eyang lakukan semata adalah untuk kebaikan saya.”
Sang guru mengangguk-angguk. Lalu batuk-batuk beberapa kali. Sesaat dia memandang ke arah batu hitam di atas ruangan. Dia tampak tersenyum lalu buka mulut:
“Kalau ada tamu di luar sana, megapa berdiri saja? Silahkan masuk……….”
Sonya terkesiap. Dia menahan nafas. Si rambut kelabu itu rupanya memiliki indera keenam. Dengan menyeringai kemudian Sonya memasuki celah. Batu lalu melangkah menuruni anak tangga demi anak tangga. Si orang tua memberi isyarat pada muridnya. Dwiyana berdiri lalu duduk di sudut ruangan.
Di ujung ruangan Sonya hentikan langkah. Sesaat pandangannya saling beradu dengan mata orang tua itu. Sebuah lampu kecil kelihatan terletak di sebuah ruangan lain, lalu sebuah pendupaan yang mengeluarkan asap harum. Sonya melirik pada Dwiyana. Ternyata gadis itu memiliki paras cantik. Tambah berkobarlah nafsu terkutuk dalam tubuh murid Datuk Siluman ini! Perlahan-lahan dia melangkah ke hadapan orang tua yang duduk bersila di atas permadani merah.
***

LIMA
Sekali saja melihat paras Sonya baik si orang tua maupun Dwiyana segera mengetahui bahwa manusia bertampang buruk bengis yang mengenakan baju dekil bertambal-tambal ini bukan seorang manusia baik-baik. Sinar matanya menunjukkan hal itu. Namun demikian si orang tua penghuni goa batu mempersilahkan tamunya duduk dengan sikap ramah.
"Tamu aneh yang datang membawa burung Nuri dalam sangkar aneh, apakah kau seorang pemburu?"
"Namaku Sonya. Aku bukan pemburu," jawab Sonya dengan nada kaku. "Kau sendiri siapa?" dia balik bertanya.
Yang ditanya tersenyum.
"Orang memanggilku Malaikat Berambut Kelabu. Tapi walau bagaimanapun aku hanyalah seorang manusia biasa. Seorang tua peot keriput yang sudah dimakan usia. Namaku Akik Mapel."
Sonya seperti tidak acuh mendengar jawaban itu. Dia lebih tertarik pada gadis yang duduk di sudut ruangan. Dia berpaling pada Dwiyana dan memandang lekat-lekat. Dipandang begitu rupa dengan hati kesal Dwiyana tundukkan kepala.
Untuk kesekian kalinya Sonya basahi lagi bibirnya dengan ujung lidah. Akik Mapel juga mulai merasa tak suka dengan tindak tanduk tamu yang tidak diundang ini.
"Gadis itu muridmu?" tanya Sonya .
Akik Mapel mengangguk. Sejak tadi dia telah mencium bau busuk yang keluar dari tubuh dan pakaian Sonya. Masih untung ruangan itu diasapi dengan ramuan pengharum.
"Di luar hujan. Aku terpaksa berteduh di sini," menerangkan Sonya.
"Aku tahu. Sebenarnya kau datang dari mana dan hendak menuju kemana?"
Sonya mengerling lagi pada Dwiyana. Lalu angkat bahu. "Aku tidak tahu datang dari mana dan kau mau kemana."
"Ah, itu adalah lucu," kata adik Mapel. Dia menggoyangkan kepalanya pada muridnya. "Lekas hidangkan minuman untuk tamu kita."
"Tak usah. Aku tak haus," jawab Sonya cepat. Dia khawatir kalau-kalau Akik Mapel sudah menaruh curiga dan memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. Dia malah kini berpikir-pikir apa segera saja bertindak mengumbar keinginan jahat terkutuknya.
"Burung itu milikmu?" tiba-tiba Akik Mapel bertanya.
"Lalu punya siapa lagi? Apa kau menginginkannya?!"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin tahu mengapa binatang itu bersangkar aneh."
"Di dalam dunia ini memang banyak hal aneh-aneh, Akik Mapel. Dan semua keanehan itu berakhir pada kematian!"
Kata-kata Sonya itu membuat Akik Mapel kerenyitkan kening.
"Betul tidak, Akik Mapel?"
Akik Mapel batuk-batuk sebelum menjawab. "Mungkin…mungkin betul," jawabnya. Diam-diam dia mulai meragukan apakah sang tamu memiliki otak sehat.
"Nah, bagaimana kalau saat ini kukatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi satu keanehan yang berkahir pada kematian?"
"Maksudmu Sonya?"
"Bahwa sebentar lagi kau bakal mati di tanganku?!"
Akik Mapel menatap wajah tamunya. Sinar aneh dilihatnya memancar dari sepasang mata Sonya.
"Kau hendak melakukan keanehan yang mahal Sonya. Kalau tidak mau kukatakan gila!"
Sonya tertawa gelak-gelak. Lalu disusul oleh suara lolongan panjang seperti raungan srigala!
Tiba-tiba laksana kilat tangan kanannya yang berkuku panjang meluncur kedepan, mencengkeram ke muka Akik Mapel. Orang tua ini kaget bukan kepalang. Cepat-cepat tangan kanannya diangkat ke atas untuk melindungi muka sekaligus menepis serangan lawan. Maka terjadilah bentrokan dua lengan yang menimbulkan suara keras!
Akik Mapel merasakan lengannya sakit dan panas. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh terbanting ke atas permadani. Di hadapannya dilihatnya Sonya tertawa menyeringai. Menandakan bahwa manusia bermuka setan ini memiliki kepandaian amat tinggi.
Setelah menenangkan hatinya, Akik Mapel berkata: "Sonya, aku sejak tadi menduga bahwa kedatanganmu kemari tidak membawa maksud baik. Ternyata dugaanku terbukti!"
Sonya kembali tertawa panjang. "Apa kau tuli kakek-kakek pikun? Sudah kukatakan bahwa kau akan mati ditanganku!"
Sekali lagi Sonya menggerakkan tangan kanannya yang berkuku panjang. Melancarkan serangan "cakar siluman" yang sebelumnya telah meminta lebih dari setengah lusin korban. Menyadari bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu benar-benar ingin mencelakainya, orang tua itu beringsut ke belakang sambil tundukan kepala. Begitu melompat bangun dia tendangkan kaki kanannya ke kepala lawan!
Sonya keluarkan suara lolongan srigala haus daging dan darah manusia. Walaupun kaki kanan Akik Mapel sudah menderu dekat di depan keningnya, tapi dia sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak. Namun tiba-tiba dia tampak menggerakkan kedua tangannya. Sesaat kemudian Akik Mapel tersentak kaget ketika merasakan bagaimana pergelangan kaki kanannya tahu-tahu telah dicekal lawan amat kuatnya. Betapapun dia berusaha melepaskan kakinya namun sia-sia belaka.
Akik Mapel tekuk lutut sambil miringkan tubuh ke bawah. Tinju kirinya menderu ke dada lawan sedang tangan kanan menemplang ke batok kepala Sonya. Inilah gerakan yang dinamakan "beringin sakti tumbang."
Akan tetapi sebelum kedua tinjunya itu mencapai sasaran, Akik Mapel merasakan pergelangan kakinya dipuntir sakit sekali dan tubuhnya melayang berputar di udara, kemudian terlempar ke dinding ruangan batu!
Jika saja orang tua itu bukan seorang tokoh silat yang lihay, niscaya tubuhnya akan remuk ketika melabrak dinding batu yang luar biasa kerasnya itu!
Tanpa kehilangan akal karena dilemparkan begitu rupa, Akik Mapel ulurkan kedua tangannya ke depan untuk menyentuh dinding batu dengan telapak tangan lalu mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, kakek ini jatuhkan diri, seterusnya bergulingan di lantai. Dengan cara begini dia berhasil menyelamatkan diri.
Sonya tertawa mengekeh dan perlahan-lahan bangkit dari duduknya.
"Eyang, biar aku yang menghajar manusia busuk ini!" Dwiyana tiba-tiba melompat dan bergerak mendekati Sonya.
"Kembali ke tempatmu Dwiyana! Kalau belum kugebuk dia, belum puas hatiku!" sahut sang guru. Dia sudah dapat mengukur kehebatan lawannya dan diam-diam menyadari kalau ketinggian ilmunya belum bisa menandingi ilmu manusia muka setan ini, apalagi muridnya. Karena itu dia mencegah tindakan Dwiyana.
"Betul sekali ucapan gurumu. Gadis cantik molek, sebaiknya kau tetap di sudut sana. Sayang kalau tubuhmu yang mulus itu tergores luka. Apalagi kalau sampai kena gebuk!"
"Sonya!" tukas Akik Mapel. "Aku beri kesempatan padamu untuk meninggalkan goa ini. Kalau tidak, aku akan betul-betul menggebukmu sampai babak belur!"
Sonya hanya tertawa. Dia pejamkan kedua matanya dan berdiri tanpa bergerak. "Kakek pikun. Kau mau menggebukku? Silahkan!"
Mau tak mau Akik Mapel jadi tambah marah dan penasaran. Didahului suara menggembor orang tua ini menerjang. Gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin deras. Kedua tangannya didorongkan ke depan. Dua larik angin bersiur keras. Ruangan batu bergoyang laksana dilanda lindu. Sonya terhuyung-huyung.
"Setan alas!" maki Sonya marah ketika angin deras serbuan Akik Mapel membuat sangkar dan burung di dalamnya terlepas dari pegangannya dan mental ke sudut ruangan. Di saat itu pula telapak tangan Akik Mapel telah menghantam ke arah keningnya, siap untuk menghancurkan kepala Sonya.
Sampai saat itu Akik Mapel mempunyai anggapan bahwa Sonya adalah seorang berilmu tinggi tetapi berotak miring. Karenanya sewaktu serangannya dirasakannya betul-betul akan menamatkan riwayat lawannya itu, timbullah perasaan tak tega di hati orang tua ini. Dia tarik pulang tangannya dan sebagai ganti mengirimkan totokan kilat ke arah pangkal leher.
Sonya mendengus. Dia tahu apa artinya kalau totokan untuk sempat mendarat di sasarannya. Untuk kesekian kalinya manusia muka iblis ini keluarkan suara lolongan srigala. Suara lolongannya lenyap sedetik kemudian. Tubuhnya pun ikut lenyap! Akik Mapel terkesiap kaget.
Sebelum orang tua itu mengetahui di mana lawannya berada, satu hantaman menghajar tubuhnya sebelah belakang. Akik Mapel mengeluh tinggi. Tubuhnya terhantar di permadani. Tulang punggungnya sebelah kanan hancur! Dengan susah payah dia mencoba bangun sementara di hadapannya Sonya berdiri dengan sikap mengejek. Tangan kanan bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sangkar tulang.
“Manusia gila keparat! Terima ini!” Tiba-tiba terdengar bentakan Dwiyana. Murid Akik Mapel yang sudah tidak sabaran ini menyerbu.
Sonya yang hendak menyerang Akik Mapel, terpaksa batalkan gerakannya ketika merasakan siuran angin serangan datang dari samping. Cepat dia berkelit dan berpaling, lalu menyeringai.
“Gadis galak, sebaiknya kau tetap di sudut sana. Aku tak ingin membuat tubuhmu yang mulus jadi luka. Aku sendiri yang akan rugi nanti jadinya!”
“Setan! Jaga batang lehermu!” teriak Dwiyana dengan muka merah. Hatinya geram karena serangan tangan kosongnya dapat dielakkan lawan dengan mudah. Tidak menunggu lebih lama gadis ini segera cabut sebilah pedang mustika terbuat dari perak yang tersisip di belakang punggungnya. Serangkum sinar putih berkiblat ketika senjata ini di babatkan ke leher Sonya dengan dahsyat.
Di saat muridnya menggempur dengan pedang, Akik Mapel tidak tinggal diam. Dia lepaskan satu pukulan sakti bernama “sinar pelangi”. Patut diketahui, ilmu pukulan ini lebih dari sepuluh tahun dipelajari dan diyakini oleh kakek sakti itu, dan merupakan satu dari sekian banyak pukulan sakti yang terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan. Apalagi saat itu Akik Mapel mengerahkan lebih tiga perempat kekuatan tenaga dalamnya untuk Melancarkan pukulan tersebut!
Tujuh warna pelangi berkiblat. Ruangan baru bergoncang keras.
Wuus !
Sinar pukulan sakti itu menyapa ke seluruh bagian tubuh Sonya. Di kejap itu pula terdengar bentakan keras. Dwiyana merasakan selarikan angin menyambar ke arahnya, membuat pedangnya tergeser ke samping. Tubuhnya terdorong ke belakang sampai beberapa langkah. Penasaran gadis ini susul serangannya yang tadi buyar dengan satu tusukan. Namun dia harus cepat menjauhkan diri kalau tidak pukulan gurunya sendiri akan menghantamnya.
Akik Mapel hampir tidak percaya ketika melihat bagaimana Sonya mampu mengelak dan bertahan terhadap pukulannya. Selama malang melintang di dunia persilatan, tak satu lawanpun sebelumnya yang sanggup bertahan terhadap pukulan “sinar pelangi”.
“Apakah masih ada pukulan saktimu yang lain?” tanya Sonya mengejek yang membuat Akik Mapel serasa di panggang. Sebelum dia sempat membuka mulut, dilihatnya muridnya sudah menyerbu kembali dengan serangan pedang perak.
Melihat amukan si gadis Sonya mundur beberapa langkah. Begitu sambaran senjata lawan lewat, cepat dia dorongkan tangan kanannya ke dada Dwiyana hingga gadis ini jatuh terguling di lantai.
“Bedebah kurang ajar! Terkutuk!” teriak Dwiyana. Gerakan tangan Sonya tadi bukan hanya sekedar mendorong, tetapi sekaligus sengaja meremas payudara si gadis. Dwiyana melompat beringas dan siap menyerbu kembali.
“Sudah! Kau tidurlah enak-enak di sudut sana!” kata Sonya lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya. Selarik asap hitam panjang yang tak ubahnya seperti seutas tali meluncur ke arah Dwiyana dan berputar bergelung-gelung di sekitar kepala si gadis.
Dwiyana menghantam dengan tangan kirinya. Angin pukulannya keras sekali. Tetapi asap hitam itu tak mampu dimusnahkannya malah kini gelungannya semakin menyempit, membuat gadis ini terpaksa mundur ke sudut ruangan yang diinginkan Sonya. Dalam pada itu detik demi detik Dwiyana merasakan kedua kelopak matanya menjadi berat, kepalanya pusing dan pemandangannya berkunang. Akhirnya secara aneh gadis ini terduduk di sudut ruangan batu. Kedua matanya terpejam. Punggungnya tersandar. Sikapnya persis seperti orang sedang tidur duduk!
Akik Mapel terbeliak melihat kejadian ini. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat ilmu aneh begitu rupa. Hatinya berdebar. Bukan karena takut menghadapi lawan yang jauh lebih hebat dari dia, tetapi karena sudah dapat menduga apa sebenarnya maksud Sonya memperlakukan Dwiyana seperti itu.
Dari balik pakaiannya Akik Mapel cepat keluarkan tasbih yang terbuat dari untaian mutiara. Tasbih ini pernah di rendam selama tiga tahun hingga dari putih kini warnannya kelihatan biru gelap dan memancarkan sinar angker.
Sesaat Sonya perhatikan benda di tangan lawannya lalu tertawa menyeringai.
“Hai, itu senjatamu Akik Mapel?” ujar Sonya. Tahu-tahu dia sudah berkelebat untuk merampas mutiara tersebut. Tapi hal ini tidak terlalu mudah untuk melakukannya. Akik Mapel mengelak sebat. Sesaat kemudian segulung sinar biru menggidikkan melabrak ke arah delapan bagian tubuh Sonya!
Serangan tasbih itu memang hebat dan ganas. Dan Akik Mapel jarang sekali mengeluarkan senjata andalannya ini kalau tidak dalam keadaan Sangat berbahaya dan terdesak.
Yang diserang keluarkan suara menggereng laksana singa lapar terluka. Dia menyelusup di antara gulungan sinar biru. Memang hebat sekali murid Datuk Siluman ini. Dia masih sanggup menyelamatkan diri dari gempuran sinar maut itu. Bahkan kembali mencoba untuk merampas mutiara di tangan Akik Mapel. Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak mampu untuk merampas tasbih itu, marahlah manusia muka setan ini!
Sonya pindahkan sangkar burung ke tangan kanan dan lambaikan tangan kirinya. Terdengar suara mendesis. Asap hitam pekat keluar berguling dari telapak tangannya, menderu dan membungkus ke arah kepala Akik Mapel. Si orang tua terbatuk-batuk, tak tahan oleh bau sengit asap hitam aneh. Dia kerahkan tenaga dalam dan menghembus ke depan. Tak terlambat. Tubuhnya dirasakannya menciut, makin kecil, makin pendek. Sebaliknya tubuh Sonya dilihatnya bertambah besar dan menjadi tinggi. Dia merasa seperti seekor siput atau seekor semut yang baru keluar dari lubang.
“Celaka, ilmu iblis apa pula ini!” keluh orang tua itu.
“Akik Mapel! Lihat mukaku! Pandang mataku!” kata Sonya. Suaranya lantang, menggema dalam ruangan batu itu. Semula dia ingin membunuh kakek ini. Tapi Selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Akik Mapel yang sudah terpengaruh oleh kekuatan iblis mengikuti apa yang dikatakan lawannya. Dia mendongak dan memandang ke wajah Sonya. Menatap sepasang mata itu.
“Katakan siapa aku! Katakan lekas!” terdengar suara Sonya.
“Kau Sonya…….Sonya!” sahut Akik Mapel.
“Sonya siapa?!”
“Sonya majikanku. Kau tuan besarku!”
“Dan kau sendiri Sekarang siapa huh?!”
“Aku….? Tentu saja hamba sahayamu,” jawab Akik Mapel.
Sonya tertawa gelak-gelak.
“Sebagai hamba sahaya kau harus turut setiap perintah majikan. Kau mengerti Akik Mapel!”
“Mengerti. Aku mengerti Sonya!”
“Bagus!” Sonya lalu lambaikan tangan kirinya.
Asap hitam sedikit demi sedikit lenyap. Wajah Akik Mapel yang sebelumnya berwarna putih polos kini kelihatan menghitam akibat ilmu siluman lawannya.
“Sekarang kau Pergilah keluar! Tunggu aku di mulut goa!” kata Sonya pula. “Tapi berikan dulu tasbih itu!”
Akik Mapel menurut. Senjata mustikanya diserahkan pada Sonya lalu dia melangkah keluar ruangan.
“Hai tunggu dulu,” seru Sonya.
“Apa lagi Sonya?”
“Sialan! Mulai saat ini Panggil aku Paduka. Mengerti….?”
“Baik. Aku akan Panggil kau Paduka…..”
Dengan terbungkuk-bungkuk Akik Mapel meninggalkan tempat itu. Ilmu siluman telah merubah jalan pikiran sehatnya. Dia berdiri di mulut goa seperti yang di perintahkan. Pandangan matanya kuyu. Di luar hujan masih terus turun dengan lebatnya.
Di dalam ruangan batu Sonya melangkah mendekati Dwiyana. Dipandangnya wajah gadis yang sedang “tertidur” itu. Diletakkannya sangkar burung ke lantai. Lalu tangan kanannya dilambaikan ke wajah Dwiyana. Asap hitam berguling-gulung membungkus kepala si gadis. Lalu dia tersentak bangun dan terbatuk-batuk. Sonya lambaikan tangannya. Asap hitam lenyap. Matanya dan mata Dwiyana saling pandang.
“Dwiyana. Lihat mukaku. Pandang mataku…..”
Dwiyana mengangkat kepalanya dan menatap wajah serta mata Sonya.
“Mulai hari ini kau menjadi gadis peliharaanku, mengerti?”
Dwiyana mengangguk.
“Kau harus melayani apa mauku!”
Dwiyana kembali mengangguk.
“Kau harus Panggil aku Paduka!”
Si gadis mengangguk lagi.
“Sekarang berdiri!”
Dwiyana berdiri.
“Tanggalkan pakaianmu!”
Di luar kesadaran akal sehatnya yang telah di sungkup oleh kekuatan iblis, Dwiyana mulai membuka pakaiannya. Setiap gerakan gadis ini di saksikan Sonya tanpa berkesip dan lidah menjulur basah. Akhirnya Dwiyana berdiri di hadapannya tanpa selembar benang pun menutupi auratnya.
Sonya tertawa panjang. Hidungnya kembang kempis.
“Melangkah lebih dekat kesini, Dwiyana…..”
Dwiyana mendatangi.
“Lebih dekat lagi!”
Si gadis maju hingga tubuhnya beradu dengan badan Sonya. Buah dadanya yang kencang tertekan rata sewaktu Sonya merangkul punggungnya dengan penuh nafsu.
“Sekarang kau harus meninggalkan pakaianku, Dwiyana….”
Si gadis menurut. Dia ulurkan kedua tangannya dan membuka pakaian Sonya satu demi satu.
Dipukau oleh ilmu siluman, sampai jauh malam Dwiyana terus saja melayani nafsu terkutuk Sonya yang seperti tidak ada ujungnya itu. Sementara di luar sang guru duduk termenung. Tak beda seperti seekor anjing yang bertugas menjaga pintu, dan tak berani masuk ke dalam tanpa izin majikannya. Malang sekali nasib guru dan murid itu.
***

Next ...
Bab 6

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424 



Related Posts :

0 Response to "Siluman Teluk Gonggo Bab 1 --> 5"

Posting Komentar