Dewi Siluman Bukit Tunggul 10

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
SEPULUH
Pendekar 212 Wiro Sableng segera maklum bahwa asap biru pekat yang membungkus diri dan membuat matanya tak bisa melihat apapun adalah sangat berbahaya dan mengandung obat jahat yang bisa melemahkan tubuh. Dengan cepat pendekar ini tutup jalan nafas lalu melompat ke samping. Tapi anehnya lompatan itu tidak membuat dia keluar dari kurungan asap. Di sekelilingnya masih gelap gulita.

Wiro Sableng pusatkan tenaga dalamnya pada kedua kaki. Dengan membentak nyaring pendekar ini membuat gerakan yang dinamakan: Gunung Meletus Batu Melesat ke Luar Kawah.
Gerakan ini membuat tubuhnya mencelat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Di lain pihak Inani begitu melihat lawannya terbungkus asap biru segera pergunakan tangan kiri untuk mengambil segulung benang yang sangat halus, sehalus jaring laba-laba. Sekali menyentakkan maka gulungan benang yang terbuat dari sutera itu menerobos asap biru gelap laksana seekor ular. Inani gembira sekali sewaktu benang suteranya dirasakannya melibat sasarannya di dalam asap gelap itu. Setelah yakin betul-betul bahwa Wiro Sableng tidak berdaya lagi dilibat benang sakti tersebut maka Inani semprotkan asap putih dari mulut kalung tengkorak.
Sekejapan kemudian maka sirnalah asap biru gelap dan suasana menjadi terang benderang kini.
Dan betapa terkejutnya gadis jelita berbaju biru ini. Yang dilibat oleh benang suteranya bukanlah tubuh lawannya, melainkan pohon beringin besar yang terletak kita-kira sepuluh langkah di hadapannya.
Inani memandang berkeliling dengan cepat. Di belakangnya Wiro Sableng tertawa gelakgelak.
“Sejak kapan ada manusia yang bermusuhan dengan pohon beringin?!” ejek Wiro.
Penuh geram Inani gulung dengan cepat benang suteranya. Dengan kalung tengkorak di tangan kembali dia menyerang Wiro Sableng. Sang pendekar sendiri menyambut kedatangan si gadis dengan putaran jala biru.
“Sekali-sekali kau musti merasakan juga bagaimana kalau jala ini melibat dirimu sendiri!” ujar Wiro.
Inani tidak percaya bahwa si pemuda akan sanggup gunakan jala itu karena untuk memakainya mempunyai cara tersendiri yang hanya anak-anak buah Dewi Siluman yang mengetahuinya.
Karenanya tanpa ada keraguan sedikit pun Inani sama sekali tidak batalkan serangannya.
Kalung tengkorak yang kekuatannya lebih keras dari bola baja itu menyambar ganas siap untuk menghancurkan kepala lawannya. Tapi betapa terkejutnya gadis ini sewaktu dikejap yang sama jala sutera biru di tangan lawan membuka dan menebar menyungkupi tangan kanan terus kepala dan tubuhnya.
Wiro Sableng adalah seorang yang. bermata tajam. Sewaktu Inani mengeluarkan jala biru itu dia merasa sangat tertarik dan memperhatikan dengan seksama bagaimana si gadis memainkan senjata tersebut. Sehingga pada saat jala itu berada di tangannya, dengan mudah dia bisa pula mempergunakannya.
Inani coba berontak dan lepaskan diri dari sekapan jala. Tapi sudah terlambat. Seluruh jala telah membungkus tubuhnya sampai ke lutut. Membuat dia tak bisa lepaskan diri lagi.
Wiro tertawa gelak-gelak dan berdiri tolak pinggang.
“Lepaskan jala ini!” teriak Inani.
“Enak betul,” sahut Wiro. “Kalau kulepaskan pasti kau akan serang diriku lagi!” Dan Pendekar 212 lalu melangkah ke hadapan Inani.
“Kau mau bikin apa?! Pergi!”
“Eh, aku cuma mau lihat parasmu apa tidak boleh!”
“Pergi!” teriak Inani.
Wiro Sableng menyengir. Dia melangkah lagi dan jarak mereka cuma terpisah dua jengkal saja. Inani dapat merasakan hembusan nafas pemuda itu di parasnya yang jelita. Sepasang mata mereka untuk kesekian kalinya beradu pandang.
“Pergi!”
“Saudari, kau betul-betul inginkan aku pergi? Baik! Tapi biar kutotok dirimu dulu!” Wiro lantas totok tubuh Inani sehingga si gadis kini berdiri mematung. “Aku akan pergi dan kau akan sendirian di sini untuk selama-lamanya. Kalau tidak ada binatang liar buas yang menggerogoti dirimu, kau akan mati kelaparan di sini!” Lalu Pendekar 212 balikkan badan berpura-pura hendak pergi.
Apa yang dikatakan Wiro terasa benar dan mengerikan bagi Inani. Ketika dilihatnya pemuda itu berlalu dia cepat berseru. “Saudara, tunggu dulu!”
Wiro jual mahal dan terus melangkah.
“Saudara, kembalilah!” seru Inani lagi.
Wiro berpaling, “Ada apa?”
Dengan rasa jengah dan paras merah Inani berkata. “Kembalilah dulu!”
“Lucu! Tadi kau bentak aku agar pergi! Sekarang malah menyuruh kembali!”
“Lepaskan jala ini. Juga totokanku!”
“Tidak bisa.” jawab Wiro seraya menggeleng.
Marahlah Inani.
“Kalau kawan-kawanku datang kau pasti akan mereka bekuk!”
Wiro tertawa sinis. “Kau bisa berteriak memanggil mereka,” katanya.
Inani buka mulut betul-betul hendak berteriak. Tapi entah mengapa hal ini kemudian tak jadi dilakukannya. Malah dia berkata. “Jangan kira dengan kehebatan yang kau miliki kau bisa menghadapi Dewi Siluman! Tak satu ketinggian ilmu silat, tak satu kesaktian, pun yang sanggup mengalahkan Dewi Siluman!”
“Hemm begitu…?” Wiro garuk-garuk rambutnya.
“Aku tidak mengerti, apakah Dewi Siluman itu benar-benar seorang manusia atau seorang siluman? Apakah parasnya secantik Dewi ataukah mengerikan seperti Siluman?!”
“Pemuda kurang ajar! Jangan kau berani lancang mulut menghina Dewi kami!” bentak Inani.
“Eh, siapa yang menghina? Aku cuma tanya?!”
“Lekas lepaskan kau mau berjanji memetik kecapi memainkan sebuah lagu untukku!”
Inani memaki-maki dalam hati. Rahang-rahangnya bertonjolan. Wiro Sableng dudukkan dirinya di atas batu besar. Sambil memandang ke lembah di hadapannya pendekar ini berkata.
“Dunia sungguh aneh. Siapa yang akan menyangka kalau gadis-gadis berparas cantik sanggup melakukan kejahatan luar biasa? Membunuh manusia-manusia tiada berdosa, bahkan anak-anak dan orang tua renta?”
Inani memandang tajam-tajam pada Pendekar 212.
“Aku tak pernah membunuh manusia! Jangan main tuduh sembarangan!”
Wiro palingkan kepala dan memandang dengan tersenyum pada si gadis. “Kau toh anak buahnya Dewi Siluman, biang penebar kematian dan kejahatan di Pulau Madura ini? Yang kabarnya, mau menguasai dunia persilatan di delapan penjuru angin?!”
“Tapi tidak semua anak buah Dewi Siluman yang jadi pembunuh!”
“Lantas kau jadi apa?” tanya Wiro Sableng. “Jadi tukang rias atau tukang kipasnya?!”
“Sudah! Tutup mulutmu dan lekas lepaskan jala serta totokanku ini!”
“Bersekutu dengan orang-orang jahat, menjadi anak buah orang jahat tiada beda dengan berbuat kejahatan itu sendiri! Masa muda yang begini indah, yang cuma sekali saja dalam kehidupan, dipakai untuk mengabdi pada kejahatan! Sungguh sayang. Kebahagiaan dunia tiada dapat, dan kelak di akhirat akan menerima siksaan….”
“Aku tak perlu nasihatmu!”
“Dengar saudari. Aku akan bebaskan kau kalau kau berjanji mau menunjukkan dimana sarangnya Dewimu itu.”
“Kau paksa pun aku tidak akan beritahu,” jawab Inani. “Sekalipun kau sampai ke sana, kau Cuma akan mengantar nyawa!”
Wiro tersenyum. “Kau tak akan bisa hidup dalam cara begini terus-terusan saudari. Satu hari kebenaran akan datang menumpas. Kebenaran kadangkala tidak memandang bulu. Siapa yang berserikat dengan kejahatan pasti akan ditumpas, termasuk kau! Apakah gunanya hidup begitu rupa?
Hidup percuma mati tiada harga? Padahal dunia ini begini indah dan semua keindahan itu untuk kita semua…?”
Tergetar hati Inani mendengar ucapan Pendekar 212. Mulutnya terkatup rapat-rapat. Inilah kali pertama dia bertemu dengan seorang pemuda dan ini pula pertama kali dia mendengar ucapan demikian rupa. Walau bagaimanapun Inani adalah seorang perempuan yang berperasaan halus dan lekas tersentuh lubuk hatinya. Namun demikian kehidupan di tengah-tengah anak buah Dewi Siluman telah sangat meresap dan mempengaruhi dirinya sehingga sesaat kemudian kembali gadis ini membentak agar dirinya dilepaskan.
Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala.
“Sayang.” katanya. Dibukanya jala yang melibat tubuh Inani. Digulungnya jala sutera itu dan diletakkannya di atas bahu si gadis. “Kau akan kubebaskan, kau bisa pergi dengan aman.
Jangan kira kau kubebaskan karena takut pada Dewimu itu. Aku kasihan padamu….”
“Aku tak minta dikasihani.”
“Kuharap kau masih mau berpikir!” ujar Wiro.
Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Inani.
“Di lain hari kita akan bertemu lagi saudari. Saat itu mungkin dalam suasana yang lain.
Jangan menyesal jika nanti aku turun tangan jahat terhadapmu. Selagi masih ada kesempatan, tinggalkanlah pulau ini. Kau bisa memulai hidup baru yang jauh lebih baik….”
Inani tak berkata apa-apa. Dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Saudari tunggu dulu!” seru Wiro. “Kecapimu ketinggalan!”
Si gadis baru ingat akan kecapi itu. Dia berbalik dan cepat-cepat menyambar benda itu.
Sewaktu dia hendak berlalu kembali tiga sosok tubuh berkelebat dari arah timur.
Terdengar satu seruan nyaring. “Inani! Perjanjian apakah yang kau buat Sehingga kau hendak meninggalkan musuh besar kita begitu saja?!”
Inani terkejut sekali. Juga Wiro Sableng.
Dan sedetik kemudian tiga sosok tubuh itu sudah berada di hadapan mereka!
***
Next ...
Bab 11

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

Related Posts :

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul 10"

Posting Komentar