WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 020
Hidung Belang Berkipas Sakti
SATU
Matahari bersinar terik membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu melangkah menyusuri jalan berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh dua orang prajurit bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat dengan sepasang matanya yang disipitkan diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang kokoh itu. Lalu dia berpaling pada salah seorang pengawal yang berdiri di situ.
”Apakah ini gedung kediaman Adipati Kebo Panaran?” bertanya si pemuda.
Pengawal yang ditanya tidak segera menjawab. Dia memandang penuh curiga, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda adalah seorang desa yang baru saja turun ke kota.
Dengan sikap meremehkan pengawal itu menjawab.
“Betul. Kau ada keperluan apa orang desa?!”
“Aku ingin bertemu Adipati,” jawab si pemuda.
“Ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran? Heh….” Pengawal yang satu ini berpaling pada kawannya. Lalu tertawa bergelak. “Sobat,” katanya pada kawannya. “Kau dengar ucapan pemuda ini?”
Prajurit yang satu ikut-ikutan tertawa dan berkata. “Sebelum kami muak melihatmu, sebaiknya lekas pergi dari sini!”
“Tapi… aku ingin bertemu Adipati,” sahut Si pemuda pula.
“Heh, memaksa rupanya. Apa maumu sebenarnya?!” prajurit pertama maju selangkah sambil menggenggam tombaknya.
“Mau cari pekerjaan,” jawab si pemuda tanpa ragu-ragu.
“Buset! Tak ada pekerjaan untuk manusia macammu di sini. Adipati sudah punya tukang kebun. Sudah punya penjaga kuda….”
“Bukan pekerjaan macam begitu yang aku inginkan,” memotong pemuda desa tadi.
“Ahai! Lalu pekerjaan macam apa yang kau inginkan? Jadi juru masak barangkali?!”
Sepasang mata pemuda itu semakin menyipit. Tiba-tiba dia tersenyum.
“Prajurit pengawal pintu!” kata pemuda itu dengan suara tandas. “Kau dengar baik-baik. Namaku Dipasingara. Katakan pada Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari pekerjaan!”
“Sekalipun namamu Bapak Moyang Setan aku tidak perduli. Menyingkir dari sini atau batang tombak ini akan membuat kepalamu jadi benjol besar!”
Si pemuda masih saja tersenyum mendengar ancaman itu. Malah dia menyambuti dengan ucapan: “Rupanya suasana di kota benar-benar harus memakai segala macam kekerasan. Sobat, aku minta tolong padamu agar memberi tahu Adipati, kalau tidak..”
“Kalau tidak kau mau apa?” Si prajurit jadi berang.
“Aku terpaksa nyelonong sendiri masuk ke dalam gedung!”
“Pemuda desa kurang ajar! Kau betul-betul minta digebuk!”
Tombak besi di tangan pengawal pintu gerbang menyambar ke arah pemuda yang mengaku bernama Dipasingara itu. Sesaat lagi pastilah remuk atau paling tidak benjol besar kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat terkejut kawan prajurit yang satu ini.
Hampir sama sekali tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu pengawal yang mengemplangkan tombak telah terpental ke atas untuk kemudian jatuh bergedebuk di tanah tanpa sadarkan diri lagi. Tombak yang tadi dipakainya untuk memukul kini berpindah tangan digenggam Dipasingara!
“Bangsat rendah! Berani kau mencelakai kawanku!” teriak pengawal yang seorang lagi marah sekali. Dia melompat dan tusukkan mata tombaknya ke dada pemuda desa itu.
Dipasingara ulurkan tangan kirinya. Tahu-tahu bagian belakang mata tombak berhasil dicekalnya lalu disentakkan kuat-kuat. Tak ampun lagi pengawal yang menyerang terbetot kencang ke depan, terguling di tanah dengan muka berkelukuran! Meski dia tidak jatuh pingsan namun luka-luka yang mengeluarkan darah memenuhi tubuhnya, sakitnya bukan kepalang. Dia terduduk di tanah tanpa bisa berbuat apa-apa selain mengerang kesakitan.
Dipasingara menimang-nimang dua batang tombak yang barusan dirampasnya. Satu demi satu tombak itu kemudian ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua kaki prajurit Kadipaten itu. Kemudian dia melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia menggerakkan tangan untuk membuka pintu, Sebuah kereta yang dikawal oleh serombongan penunggang kuda yang rata-rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang kuda paling depan yang berkumis melintang membentak dari punggung kuda tunggangannya.
“Apa yang terjadi di sini?!”
Bola matanya yang besar menyorot si pemuda. Kembali dia membentak: “Siapa kowe?!”
Dengan tenang pemuda itu menjawab. “Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran. Untuk maksud baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta izin dan tolong kedua pengawal ini. Tapi tanpa alasan mereka malah menurunkan tangan kasar terhadapku. Cuma sayang mereka terlalu kesusu!”
“Pemuda edan! Anak-anak tangkap pemuda ini!” teriak si kumis melintang. Rupanya dia yang jadi pimpinan.
Empat lelaki berpakaian seragam, bertubuh besar tegap melompat turun dari punggung kuda lalu serempak menyerbu Dipasingara untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun mereka cuma bisa menangkap angin. Karena pada detik itu Si pemuda telah lenyap dan tahu-tahu sudah berdiri di samping kereta.
Justru saat itu pula tirai kereta disingkapkan orang dari dalam. Sebuah kepala laki-laki kemudian muncul. Di sampingnya tampak kepala seorang perempuan muda berparas cantik luar biasa.
“Sura… ada apa ribut-ribut?” tanya lelaki dalam kereta. Suaranya besar parau, tak sedap didengar.
Suramanik, demikian nama lelaki berkumis melintang yang tadi berikan perintah untuk menangkap Dipasingara cepat menjawab:
“Tidak ada apa-apa Adipati. Tak perlu khawatir. Cuma seekor kecoak sinting kesasar kemari dan berbuat sedikit kerusuhan. Mohon maafmu. Kami akan segera mengenyahkannya dari sini!”
Dipasingara memalingkan kepalanya ke jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki berpakaian bagus, berkopiah tinggi, bermuka putih. Menurut taksirannya paling tidak orang ini berusia setengah abad. Di sebelahnya duduk seorang perempuan berparas rupawan yang membuat Dipasingara sejenak tertegun. Namun menyadari bahwa orang di dalam kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan istrinya maka cepat-cepat Dipasingara membuka mulut.
“Adipati Kebo Panaran. Mohon dimaafkan segala tindakanku. Semuanya terjadi karena terpaksa. Aku harus mempertahankan diri dari orang-orangmu yang menyerang secara sewenang-wenang. Aku datang dari jauh. Sengaja hendak menemuimu untuk minta pekejaan. Bolehkah aku tolong membukakan pintu gerbang agar keretamu bisa lewat…?”
Sesaat Kebo Panaran menatap tampang pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya sederhana tetapi hormat tanda dia bukan seorang pemuda gelandangan tak karuan,
“Orang muda, kau siapa?” bertanya sang Adipati.
Sepasang mata Dipasingara mengerling sekilas pada perempuan yang duduk dalam kereta di samping Adipati. Cuma sekilas, tetapi pandangan mata tajam pemuda ini membuat bergetar hati serta dada Galuh Resmi, istri Kebo Panaran.
“Namaku Dipasingara” menjawab si pemuda. “Sengaja datang dari jauh untuk cari pekerjaan.”
“Hemmm.. begitu?” ujar Kebo Panaran. Dia mengerling pada dua pengawal pintu gerbang yang terkapar di tanah.
“Apakah menghantam dua prajurit Kadipaten itu salah satu pekerjaan yang kau inginkan…?!”
“Mohon maaf Adipati. Bukan maksudku untuk berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin aku berdiam diri jika yang satu dari mereka hendak mengemplang kepalaku, yang satu lagi hendak menembus dadaku dengan tombak?!”
Kebo Panaran terdiam.
Sebaliknya Suramanik yang sejak tadi menahan amarah kini membentak: “Adipati, biar kuhajar pemuda hina dina ini!”
Tapi sang Adipati melambaikan tangannya. Mencegah kepala pengawalnya untuk melaksanakan maksudnya.
“Aku akan bukakan pintu gerbang untukmu,” kata Dipasingara tanpa mengacuhkan Suramanik. Lalu didorongnya daun pintu gerbang lebar-lebar.
Kusir kereta memandang pada pemuda itu dengan air muka tidak senang. Tetapi Adipati Kebo Panaran memberi isyarat agar kereta segera dimasukkan ke dalam.
Ketika Dipasingara ikut-ikutan hendak masuk ke dalam Suramanik mengusirnya dengan beringas.
“Biarkan dia masuk Sura,” terdengar suara Adipati dari dalam kereta.
Dengan amat penasaran Suramanik terpaksa membiarkan Dipasingara memasuki halaman Kadipaten.
***
DUA
Adipati dan istrinya turun dari kereta. Dipasingara berdiri dekat tangga Kadipaten. Sepasang matanya yang sipit menatap paras perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi mengerling pula, sesaat pandangan mata mereka saling bertemu. Galuh Resmi palingkan wajahnya dan cepat-cepat menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung. Bentrokan pandangan ini sama sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran. Sebaliknya Suramanik sempat melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya terhadap Dipasingara.
Kusir membawa kereta ke halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik dan anak buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang prajurit sebelumnya sudah disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu gerbang yang cidera.
“Nah sekarang katakan pekerjaan apa yang kau inginkan,” kata Adipati. Tapi dia tak menunggu jawaban malah menambahkan: “Untuk mengurus kandang kuda aku sudah punya orang. Tukang kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan sebagal perawat kuda-kuda kesayanganku?”
“Terima kasih Adipati. Terima kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan macam itu yang aku inginkan.”
Di bawah langkan gedung Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah. Sudah diberi pekerjaan menolak pula. Dasar manusia kampung tidak tahu diri. Demikian kepala pengawal Kadipaten itu mengumpat dalam hati.
“Lantas pekerjaan yang bagaimana yang kau inginkan?” tanya Adipati pula.
“Aku ingin menjadi kepala pengawal di Kadipaten ini, Adipati!”
Kebo Panaran tersentak kaget mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir apakah pemuda ini sehat otaknya atau bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot kedua matanya. Saat itu dia adalah kepala pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan itulah yang diinginkan Si pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik menjadi panas dingin menahan amarah. Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah sejak tadi dilabraknya pemuda lancang mulut itu!
Kebo Panaran batuk-batuk beberapa kali. “Tentunya kau tidak bicara bertele-tele atau ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin jabatan itu kuberikan padamu.”
“Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Adipati,” jawab Dipasingara.
“Disamping itu untuk jadi kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-syaratnya.”
“Apakah syarat-syarat itu Adipati?”
Kebo Panaran merasa didesak dan jadi jengkel.
“Sudahlah orang muda. Aku tak punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak ada pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja sebagai perawat kuda-kudaku. Kalau tidak silahkan pergi dan cari pekerjaan di tempat lain!”
Dipasingara terdiam sejenak. Lalu angkat bahu. Dia menjura “Jika begitu katamu baiklah Adipati. Aku minta diri….”
Pemuda itu membalikkan tubuh dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar Kebo Panaran berkata:
“Tunggu dulu!”
“Ada apa Adipati?” tanya Dipasingara.
Saat itu sang Adipati teringat akan dua pangawal pintu gerbang yang telah dipreteli Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini memiliki kepandaian silat yang diandalkan. Kalau tidak mana dia mampu dan punya keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika dia menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten pasti dia tidak main-main.
“Dengar orang muda,” kata Kebo Pananan. “Aku akan memberikan jabatan yang cukup layak untukmu. Asal saja kau mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau miliki!”
“Maaf Adipati. Rahasia diriku tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan jabatan kepala pengawal. Lain tidak….”
Suramanik yang sejak tadi sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar tubuhnya. Dia merasa dihina oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke langkan Kadipaten dan berkata lantang:
“Adipati, aku bersedia menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika dia sanggup menerima pukulanku satu kali saja pada dadanya!”
Suramanik memang bukan sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi tentu dia tak akan menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi ruwet jika pemuda desa itu sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya? Sebaliknya dengan tenang Dipasingara menyahuti:
“Kalau aku sanggup menahan pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala pengawal!”
“Mari kita buktikan!” bentak Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap. Dalam hatinya dia berkata: “Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau akan terbang ke neraka!”
Dipasingara berpaling pada Adipati Kebo Panaran.
“Adipati, apakah kau izinkan kami menjalankan pertaruhan ini?”
“Itu urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik. Lebih bagus kau mencari selamat dan tinggalkan tempat ini!” Begitu jawaban Kebo Panaran karena dia tahu kehebatan kepala pengawalnya.
“Karena aku tetap menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu Adipati kalau aku terpaksa melayani tantangannya.”
Dipasingara turun ke halaman. Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran yang juga ingin menyaksikan adu tanding itu ikut turun sementara beberapa prajurit berdiri membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik dan Dipasingara saling berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan hati berdebar. Yang mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-diam dia telah mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa yang bakal terjadi.
Entah mengapa dia sangat menyesalkan ketololan pemuda bertampang gagah itu yang mau saja melayani tantangan Suramanik. Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan kabarnya memiliki pukulan sakti.
“Dia pasti mati begitu pukulan Suramanik menghantam dadanya!” membathin Galuh Resmi. Aneh. Perempuan ini merasa kawatir. Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Sudah siapkah kau menerima pukulanku?!” terdengar suara Suramanik. Rahang-rahangnya tampak menonjol.
“Sebentar sobat,” jawab Dipasingara. “Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa mencari bagian yang empuk untuk kau pukul!”
“Manusia takabur! Sebentar lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang sembrono!” tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada. Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
“Nah kau carilah sasaran yang empuk!” kata pemuda itu pada Suramanik disertai senyum sinis.
Seorang prajurit Kadipaten memaki dalam hatinya:
“Pemuda gendeng! Sudah mau mati masih saja bicara sombong!”
Dengan menyeringai geram Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan keseluruhan kekuatannya karena ingin melihat pemuda kurang ajar itu meregang nyawa dalam sekali pukul!
Sebagai kepala pengawal Kadipaten Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti. Yang paling hebat adalah pukulan “Wesi Ireng”. Selama lima tahun dia telah melatih diri untuk menguasai ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan itulah yang akan dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah menjadi kehitaman. Semua orang termasuk Dipasingara melihat perubahan yang mengerikan itu. Adipati Kebo Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin menghabiskan riwayat pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu, jangankan dada manusia, tembok tebal sekali pun akan hancur luluh dihantam pukulan itu. Dan yang mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si pemuda itu masih saja tenang-tenang bahkan selalu menyunggingkan senyum mengejek terhadap Suramanik.
“Kasihan…” kata Kebo Panaran dalam hati. “Dia tak sadar kalau sebentar lagi akan menemui kematian!”
Suramanik mundur selangkah. Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
“Kau sudah siap untuk mampus orang muda?” ujar Suramanik.
“Cepatlah, aku sudah siap sejak tadi!”
“Kalau begitu kau terimalah detik kematianmu!”
Didahului satu bentakan garang Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada Dipasingara.
“Buk!”
Tinju keras tepat menghantam dada Dipasingara di bagian jantung. Dan terdengarlah satu pekikan dahsyat!
***
TIGA
Tubuh Dipasingara sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Didepannya Suramanik terbungkuk-bungkuk memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri. Belasan kerut kesakitan muncul di kulit mukanya yang beringas. Semua orang kini menyaksikan bagaimana tangan kanan Suramanik yang tadi sebatas pergelangan berwarna hitam, kini menjadi gembung lecet. Dari mulut kepala pengawal ini tiada hentinya terdengar suara rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo Panaran. Juga semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang mengintip di balik tirai jendela. Semula semua orang sudah sama memastikan bagaimana pemuda itu akan terjengkang dilanda jotosan sakti Wesi Ireng, menggeletak di tanah tanpa nyawa. Apa yang kemudian terjadi hampir tak dapat mereka percaya.
Suramanik masih mengerang. Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak mampu. Dia jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari bagian-bagian yang lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. Setelah menarik nafas dalam dia berkata:
“Suramanik, ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulanmu….”
Rahang Suramanik menggembung. “Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah kawatir. Aku bukan bangsa manusia yang tidak memegang janji. Kau terimalah pemuda hina dina itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!”
Habis berkata begitu Suramanik memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu!” seru Dipasingara. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong kertas kecil. Di dalam kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
“Taburkan obat ini di tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!”
Suramanik mendengus dan menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
“Aku tak butuh obatmu! Apa yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena aku pasti datang menemuimu!”
Suramanik membalikkan tubuh dan berlalu cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan semua mata kini ditujukan pada Dipasingara. Pada dasarnya prajurit-prajurit Kadipaten itu diam-diam mengagumi kehebatan si pemuda. Namun masing-masing mereka juga merasa kurang senang terhadap sikap dan tindak tanduk Dipasingara yang mereka anggap ombong.
Setelah beberapa lama kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka mulut:
“Orang muda, sesuai perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari sini maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun sebelum jabatan itu kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau lewati….”
“Adipati, apa maksudmu?” tanya Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu pada enam orang prajurit Kadipaten dia berseru:
“Cabutlah golok kalian dan serang dia!” Pada Dipasingara Kebo Panaran menambahkan “Kau harus sanggup merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak satu pun harus terluka!”
Dipasingara menyambut golok yang dilemparkan sambil tersenyum sementara enam prajurit dengan golok terhunus menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela Galuh Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas. Dikeroyok oleh enam prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup bertahan?
Enam golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara menekuk kedua lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas dalam bentuk lingkaran. “Trang… trang… trang….” Terdengar suara beradunya senjata sampai enam kali berturut-turut. Lalu suara bergedebukan dan pekik kesakitan susul menyusul.
Dengan mata kepalanya sendiri Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah menangkis serangan enam golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan tangan kirinya serta gagang golok untuk menghajar ke enam pengeroyoknya hingga tiga orang terpelanting roboh, dua kena di totok dan satu berdiri sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Di belakang jendela Galuh Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo Panaran memegang bahu Dipasingara. “Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau memang pantas menjadi kepala pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan tugas di Kadipaten Gombong!”
Dipasingara tersenyum dan menjura dalam-dalam.
“Terima kasih Adipati. Terima kasih.” Katanya seraya mengembalikan golok yang tadi diberikan Kebo Panaran.
Ketika Adipati itu berlalu Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela. Meski cuma sekilas tapi masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi merasakan wajahnya bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia tegak di depan kaca menatap wajahnya sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia mengintip. Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu merasa tertarik padanya?
Kebo Panaran, Adipati yang berusia setengah abad itu menaruh kepercayaan penuh pada kepala pengawalnya yang baru. Namun dia tidak menduga sama sekali kalau justru Dipasingara sebenarnya adalah manusia biang racun yang bakal merusak rumah tangganya.
Tanpa setahu siapa pun di gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai main api dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang membuat istri Adipati Gombong itu melayani kedipan mata, lirikan nakal dan senyum berbisa Dipasingara. Pertama Dipasingara seorang pemuda bertampang gagah. Pertemuan pertama dulu dengan ketinggian ilmunya telah mendatangkan rasa kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua, karena kehidupan rumah tangga perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak berbahagia. Sebagai seorang lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang cantik jelita dan baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini ditambah pula dengan seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke desa-desa. Lalu pergi menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk memberi laporan. Semua ini membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan keberaniannya yang nakal berbisa Galuh Resmi tak kuasa untuk mengelak bahkan tanpa disadari dia sendiri senantiasa membalas setiap senyuman kepala pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun tidak merupakan kebiasaan tapi pada umumnya setiap pembesar di masa itu mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk istrinya. Demikian pula dengan Kebo Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di kamar besar di sebelah depan gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain yang bersebelahan. Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu. Dengan adanya dua kamar inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih berani.
Suatu malam, ketika seluruh gedung Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan Dipasingara ke luar dari kamarnya di bagian belakang gedung Kadipaten. Malam itu dia telah menyusun rencana untuk melaksanakan niat terkutuk yang selama ini masih ditahan-tahannya. Dia yakin Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun ternyata nanti perempuan cantik itu tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya dengan kekerasan, lalu menyingkir dari Gombong. Habis perkara! Bukankah maksudnya meminta jabatan kepala pengawal Kadipaten itu sebenarnya hanyalah kedok belaka? Karena yang diintainya bukan lain adalah istri Adipati Gombong yang muda belia dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala pengawal itu berhenti, tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur Adipati Kebo Panaran.
Dipasingara kembali ke pintu pertama dan mulai mengetuk daun pintu perlahan-lahan. Tak selang beberapa lama didengarnya suara orang turun dari ranjang, disusul suara langkah¬langkah kaki. Lalu pintu di depannya terbuka sedikit. Wajah Galuh Resmi menyeruak di celah pintu. Perempuan ini tampak agak kaget melihat Dipasingara.
“Ada apakah…?” tanya Galuh Resmi.
“Adipati telah tidur?”
“Ya, kenapa?”
“Boleh aku masuk?” tanya Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa menunggu jawaban dia mendorong daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai di dalam daun pintu ditutupnya dengan cepat.
“Kepala pengawal, tindakanmu masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat diluar kesopanan!” Suara Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara tersenyum.
“Kau tau mengapa aku datang kemari, Galuh?” ujar Dipasingara pula. Suaranya setengah berbisik dan senyum masih terus menyungging di bibirnya.
Galub Resmi merasakan dadanya berdebar. Pemuda yang selama ini selalu memanggilnya dengan sebutan “jeng” kini langsung menyebut namanya.
“Kau ingin bertemu dengan Adipati?”
Dipasingara menggeleng.
“Aku hanya ingin menemuimu. Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita nantikan?”
“Kepala pengawal. Jaga mulutmu..”
“Namaku Dipasingara.”
“Jika Adipati tahu kau masuk malam-malam ke sini, kau bisa celaka!”
“Dan agar suamimu tidak tahu boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar sebelah?”
“Tidak! Kau harus ke luar dan sini Dipasingara. Saat ini juga!”
Kembali si pemuda tersenyum. Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu menguncinya.
“Kau…! Apa-apaan ini? Apa maksudmu Dipasingara?”
Kepala pengawal itu melangkah ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini tersurut mundur.
“Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!” Galuh mengancam.
“Galuh, jangan tipu dirimu sendiri,” bisik Dipasingara. “Jangan tipu perasaan hati sanubarimu. Apakah layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama ini hendak kau musnahkan dengat satu teriakan yang akan membangunkan seluruh isi gedung Kadipaten ini?”
“Tapi….”
“Aku menyukaimu. Dan kau menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah kau hendak berpura-pura?” “Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh ini. Kau berani masuk ke kamarku!”
“Lagi-lagi kau menipu dirimu Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari bahwa satu saat pertemuan seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke mari menemuimu, orang yang kukagumi kecantikannya, yang ku… yang kukasihi. Apakah semua itu hendak kau hancurkan…?”
Gauh Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
“Masih banyak kesempatan untuk bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan malam¬malam begini. bukan di kamar….”
“Jadi kau inginkan aku keluar dari kamar ini?” tanya Dipasingara.
Galuh Resmi tak menjawab. Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai Dipasingara pada saat pertama kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan Dipasingara masuk ke dalam kamar seperti itu sangat berbahaya. Namun untuk menyuruh si pemuda ke luar dari kamarnya hatinya terasa sangat berat. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri. Kemudian dirasakannya nafas pemuda itu menghembus hangat di wajahnya. Lalu terasa pegangan jari¬jari tangan Dipasingara pada kedua bahunya.
“Kau izinkan aku bersamamu malam ini di sini Galuh?”
Pemuda itu mengusap dagu Galuh Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga perempuan itu menengadah. Sepasang mata mereka saling bertatapan.
“Dipa, kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani.” desis Galuh Resmi.
“Semuanya karena kau. Demi kau Galuh…” balas berbisik Dipasingara.
Perempuan itu menggeliat sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah, betapa tubuhnya menjadi menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya menyentak-nyentak. Betapa lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu dibanding dengan rangkulan suaminya yang berusia setengah abad itu!
“Jangan di sini Dipa. Jangan di sini…” kata Galuh Resmi waktu pemuda itu membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi Dipasingara menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya. Membuat perempuan itu bergelinjang, menggeliat dan mengeluarkan suara lirih. Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
“Tidak di sini Dipa. Aku khawatir suamiku bangun….”
“Semua pintu telah kukunci. Tak ada yang harus kau takutkan,” kata Dipasingara. Dia membungkuk, membenamkan hidungnya di celah antara kedua buah dada Galuh Resmi, membuat perempuan itu mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke punggung Dipasingara. Ketika tubuhnya diangkat, Galuh menggelungkan tangannya ke leher si pemuda.
Kini dia terbaring di atas tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh memejamkan matanya. Tak berani menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian dirasakannya jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh Resmi tersentak, menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan lelaki tua bernama Kebo Panaran yang menggerayangi tubuhnya. Betapa lainnya dengan rabaan seorang pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi, lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan menggigit dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan tapi sekaligus menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang lebih berani. Galuh Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus sewaktu pemuda itu mulai membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka matanya. Tak berani dia membuka mulut. Desau nafasnya membara. Dirasakannya tubuh Dipasingara meneduhi tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah terjadi hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara dengan Galuh Resmi. Antara seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi istri Adipati atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan permulaan saja dari serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka berdua.
***
EMPAT
Betapa pun suatu kejahatan tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin dibungkus disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium dan ketahuan juga. Demikian pula dengan segala perbuatan mesum yang dilakukan Dipasingara dan Galuh Resmi.
Hanya dalam waktu dua bulan, entah bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten telah mengetahui hubungan gelap dan kotor kedua orang itu. Hanya karena takut terhadap Galuh Resmi, terlebih lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan Dipasingara yang berilmu tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani menyampaikan atau mengadukan kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun pada akhirnya diam-diam Kebo Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak tanduk istrinya.
Kemudian diperhatikannya pula tingkah laku Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika berada di dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah ada hubungan tertentu antara kedua orang ini. Dan hubungan antara lelaki muda dengan seorang perempuan jelita apalagi kalau bukan menjurus pada hubungan hati dan badaniah? Sudah sampai sebegitu jauhkah hal itu terjadi?
Kebo Panaran berusaha mencari bukti-bukti. Tetapi gagal. Dicobanya memancing kedua orang itu dengan pura-pura pergi menjalankan tugas ke kota atau ke desa-desa. Lalu diam¬diam bersama beberapa pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi semuanya tetap tidak membawa hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran mendapat akal. Sengaja dicarinya satu kesempatan baik. Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi berkatalah Adipati ini:
“Istriku Galuh, seingatku telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah menyambangi ibu mertuamu di Karangtretes….”
“Memang betul kanda. Sudah tiga bulan kita tak pernah ke sana.” Menyahuti Galuh Resmi.
“Aku kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan menganggapmu sebagai seorang menantu yang tak punya perhatian…”
Galuh Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik dan meneruskan:
“Bagaimana kalau besok kau berangkat ke Karangtretes?”
“Jika begitu kehendak kanda, saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut serta pula bukan?”
“Ada urusan yang perlu kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin menemanimu. Sampaikan saja salam hormatku pada orang tuaku….”
“Ah, mana enak pergi tanpa kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda sendiri tidak ikut,” mengajuk Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak bimbang apa benar sedemikian besar perhatian serta kasih sayang istrinya.
“Lagi pula saat ini daerah yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman,” kata Galuh Resmi lebih lanjut.
“Hal itu tak usah dinda kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi bersama beberapa prajurit.”
“Meskipun demikian, jika urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap kanda mau menjemput ke Karangtretes dan pulang bersama-sama.”
Kebo Panaran menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun masuk ke kamar mereka. Di atas ranjang malam itu Galuh Resmi sangat bergairah. Ini agak mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya perempuan itu bergairah karena ingat saat berdua¬dua dengan Dipasingara yang bakal dialaminya dalam perjalanan ke Karangtretes pulang pergi.
Karangtretes sebuah desa subur di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu setengah hari perjalanan dari Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan mengendarai kuda, pada malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat perdagangan yang terletak setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti dan menginap di sana. Keesokan hari baru melanjutkan perjalanan lagi.
Demikian pula dengan rombongan Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu siang telah berganti malam. Dipasingara yang memimpin rombongan langsung membawa rombongan ke sebuah penginapan. Di situ disewanya tiga buah kamar.
Kamar yang paling besar dan bagus serta bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua yang bersebelahan dengan kamar pertama ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-prajurit yang berjumlah tiga orang. Kamar terakhir yang terletak di sebelah kiri kamar Galuh Resmi ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui bahwa yang menginap adalah rombongan istri Adipati Gombong maka pemilik dan pembantu-pembantunya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena perjalanan seharian penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir kereta yang keletihan langsung masuk kamar dan tertidur pulas. Sebelumnya kepada mereka Dipasingara berkata bahwa malam itu dia sendiri yang akan berjaga-jaga. Tetapi semua orang sudah maklum kalau pimpinan mereka itu akan mempergunakan kesempatan untuk bersenang¬senang berbuat mesum dengan istri Adipati. Karena mereka tidak perduli dan sudah muak maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh Resmi berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang halus dengan bedak harum. Di antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian mendengar suara ketukan halus di pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak bedak di atas meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
“Aku masih belum selesai berhias, engkau sudab datang kemari,” kata Galuh Resmi dengan senyum lebar memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
“Orang secantikmu tak perlu berdandan lagi Galuh,” ujar Dipasingara.
“Seorang permaisuri raja pun tetap memerlukan berhias. Apalagi aku…” sahut Galuh Resmi.
“Soalnya mungkin permaisuri itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah membosankan,…”
Tak sabar lagi Dipasingara langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya mereka telah biasa berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena merasa lebih bebas serta aman maka masing-masing lebih terangsang oleh kobaran nafsu, lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah telanjang keduanya berguling¬guling di atas tempat tidur. Tempat tidur besar itu kini berubah menjadi sebuah arena pertandingan. Pertandingan mesum.
“Dipa…” bisik Galuh Resmi suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-jarinya mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara tahu betul apa arti bisikan itu. Satu demi satu segera ditanggalkannya pakaian yang melekat di tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini hendak melepaskan pakaian terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu kamar ditendang dari luar hingga terpentang lebar dan hancur berantakan!
Menyusul terdengar suara bentakan menggeledek.
“Manusia-manusia dajal! Malam ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!”
Galuh Resmi memekik. Dia mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
“Wuutt!”
Satu sambaran angin keras menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran! Dia
berhadap-hadapan dengan Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam sebilah pedanq panjang. Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
“Pemuda haram jadah! Jadi inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!”
Untuk kedua kalinya Kebo Panaran membabatkan pedangnya ke arah kepala Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula kepala pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak. Dengan kalap karena diamuk amarah Kebo Panaran memburu dan hantamkan pedangnya bertubi-tubi.
“Kanda! Kanda Kebo Panaran! Hentikan… Hentikan…!” Galuh Resmi menjerit panjang sambil menjangkau kain untuk menutupi auratnya yang polos.
“Perempuan laknat! Kau mampus duluan!”
Kebo Panaran tusukkan pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.
***
LIMA
Sebelum ujung pedang menembus dada yang putih telanjang itu, satu deru angin dahsyat datang memapas dari samping. Kebo Penaran terhuyung-huyung, bahkan hampir
terpelanting jika dia tidak lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya. Tusukan
pedangnya meleset jauh.
Ternyata Dipasingara telah lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal ini membuat Adipati Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya dipukulkan ke depan.
Serangkum cahaya putih yang luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti bernama “Perak Mendidih” yang merupakan pukulan paling hebat yang dimiliki oleh Adipati Gombong itu. Dia sengaja mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang karena ingin menamatkan riwayat Dipasingara detik itu juga.
Dipasingara kaget bukan kepalang. Tidak disangkanya Adipati tua yang kelihatannya mulai pikun itu ternyata memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang demikian hebatnya. Buru-buru dia melompat ke samping selamatkan diri. Tak urung hawa panas masih sempat menyambar pundak kirinya hingga kelihatan menjadi merah dan perih.
Pukulan “Perak Mendidih” lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus berkeping-keping dengan suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh isi penginapan.
“Bangsat!” bentak Adipati Kebo Panaran geram ketika melihat pukulannya tidak mengenai sasaran. Dia pukulkan tangan kirinya sekali lagi untuk melancarkan serangan yang sama.
Namun saat itu Dipasingara sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat itu lebih lama dalam keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik pakaiannya yang terletak di tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
“Sreett!”
Benda hitam itu terbuka. Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali Dipasingara menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang sangat menggidikkan. Pukulan “Perak Mendidih” yang siap dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih. Sinar hitam terus melabrak.
Kebo Panaran menjerit keras. Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai, hangus hitam tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada henti.
Di luar kamar yang porak poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara menggigit bibir. Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Kipas hitam diselipkannya dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa di situ pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
“Dipa, kau mau ke mana…?” seru Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh yang lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh Resmi.
“Ke mana aku mau pergi itu bukan urusanmu!” Kata-kata itu terluncur dari mulut Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh Resmi.
“Jadi… jadi kau mau pergi begitu saja?!”
“Antara kita tak ada hubungan apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti itu!”
“Kau… jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama mu!”
Kembali Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
“Aku tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!’
“Mulutmu keji. Hatimu ternyata jahat! Kau manusia jahat!”
Dipasingara tertawa bergelak. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang sesaat masih terdengar menggema di kejauhan di malam yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh pingsan di lantai kamar.
Tiga prajurit Kadipaten menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik kedai dan pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai begitu menyaksikan sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam hampir tak dikenal menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya dalam keadaan tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya. Seseorang mengambil kain dan menutupi tubuh ini.
Untuk beberapa lamanya tak seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku oleh rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan bergerak. Dua prajurit segera mendekat untuk menolong. Tetapi perempuan muda ini tiba-tiba menjerit.
“Pergi! Jangan dekati aku! Jangan pegang!”
Perempuan itu melompat tegak. Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia tidak berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan banyak orang. Tiba-tiba dia menjerit keras.
“Istri Adipati ini pasti sudah jadi gila…” kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului oleh satu raungan panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat suaminya terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang dapat mencegah, perempuan ini mengambil pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
“Kanda Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku menyusulmu kanda!”
Apa yang terjadi kemudan sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak seorangpun sempat atau mampu mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah baru tersadar ketika Galuh Resmi sudah terkapar mandi darah di lantai. Pedang Kebo Panaran menancap di dadanya. Sungguh malang perempuan muda ini. Sisa hidupnya sejak beberapa bulan lalu penuh kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan kini kematiannyapun dalam jalan yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara. Pemuda terkutuk yang telah melarikan diri entah kemana!
***
ENAM
Jika seseorang berdiri di puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat melihat pemandangan indah terbentang di bawahnya. Di mana-mana hutan menghijau segar, di seling oleh sawah luas yang menghampar kuning laksana permadani emas. Beberapa sungai kecil yang mengalir berkilau-kilau airnya ditimpa sinar matahari, tak ubah seperti ular yang tengah melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di hadapan sebuah pondok papan tampak berdiri seorang lelaki tua yang menurut taksiran paling tidak usianya telah mencapai tuluhpuluhan. Di depan orang tua ini tegak seorang pemuda bersama seorang gadis manis ayu, berkulit kuning langsat.
Setelah memandang pada pemuda yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka berkatalah si orang tua:
“Walau bagaimanapun kita tidak dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu satu peristiwa dalam kehidupan manusia, sepasang di antaranya adalah pertemuan dan perpisahan. Setiap ada pertemuan tentu ada pula perpisahan. Pertemuan tidak kekal karena selalu adanya perpisahan. Demikianlah sifat segala apa yang ada di alam ini. Semuanya tidak kekal. Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang akan tetap kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah hitung tepat sewindu lamanya kau tinggal bersamaku dan mengenyam segala macam ilmu pelajaran. Justru di hari ini pula kepadamu akan kuberikan satu tugas. Tugas ini membuat kau harus berpisah denganku. Dan lebih dari itu terpaksa berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi aku yakin Sanjaya, perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya. Karenanya sebagai seorang lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan kebesaran jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau akan kembali kemari. Pertemuan kita nanti sekaligus akan merupakan hari paling bahagia dalam hidupmu. Yakni perkawinanmu dengan Wulandari…”
Sampai di situ orang tua itu hentikan kata-katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk dengan wajah kemerahan.
“Sebagai seorang berilmu tinggi,” melanjutkan orang tua itu, “Harus kau sadari bahwa setiap tugas adalah mahal. Dan memang adalah menjadi satu kewajiban bagi seseorang yang telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang tidak diamalkan tak ada gunanya. Tak ada manfaatnya.
Nah Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat ini. Segala sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah ke Kotaraja dan kembalilah bila tugasmu sudah selesai. Berikan pengabdianmu yang tulus pada kerajaan. Aku gurumu dan kekasihmu Wulandari akan menunggumu di sini”
Selesai berkata begitu si orang tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam pondok guna memberikan kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-murid kesayangannya.
Di bagian belakang pondok terdapat sebuah kebun kecil. Di ujung kebun terletak telaga buatan berair jernih karena berasal dari pancuran air gunung yang segar. Wulandari melangkah ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di tempat itu tanpa satu orangpun membuka mulut. Detik-detik perpisahan yang menggugah hati itu membuat seolah-olah lidah mereka menjadi kelu, membuat mulut masing-masing seperti terkunci, tak sanggup melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya agak bergetar.
“Wulan, perpisahan ini merupakan satu ujian bagi kita….”
“Aku kawatir kak,” sahut Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang jatuh memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
“Apa yang kau kawatirkan?” tanya Sanjaya.
“Kotaraja ribuan lebih bagus segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya cantik-cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak gunung Slamet ini. Akan sanggupkah kau menghadapi ujian seperti itu?”
Sanjaya kontan tersenyum lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang jari-jari Wulandari dia berkata:
“Selama rimba masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas, selama itu pulalah cintaku terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula aku setia pada cinta kita.”
Sunyi beberapa lamanya. Di kejauhan terdengar kicau burung-burung. Jari-jari tangan mereka saling beremasan. Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu mendekati wajahnya. Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan mesra pada keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
“Wulan, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik…“
“Hati-hati. Dan lekas kembali.” bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai perak di rambutnya dan menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
“Bawalah ini, simpan baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah. Mudah¬mudahan rindumu akan terobat.”
“Terima kasih Wulan,” kata Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai perak itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada Wulandari sebagai balasan. Tiba¬tiba dia teringat pada cincin berbatu biduri bulan di tangan kirinya. Ditanggalkannya benda itu lalu berkata: “Pakai cincin ini sebagai pengganti diriku….”
Sanjaya kemudian memasukkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanan Wulandari. Setelah menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam sebuah buntalan, Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit pemuda itu segera menuruni gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya sampai di sebuah tikungan dan baru kembali ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya itu lenyap dari pandangan di kejauhan.
“Ya Tuhan, selamatkanlah dia dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi Kerajaan. Selamatkan pula dia dalam perjalanan kembali…” demikian Wulandari berdo’a dalam hati untuk kekasihnya.
Hari itu adalah hari kedua sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung Slamet. Wulandari mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil sayuran segar di ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu dia membawa kendi serta sayuran itu kembali ke pondok, gadis ini dikejutkan oleh kemunculan seorang yang tak dikenal di hadapannya.
Orang ini masih muda belia, mungkin seusia Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana. Rambutnya hitam tebal menyela bahu. Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki sepasang mata sipit yang mempunyai pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya Wulandari demikian pula tampaknya pemuda asing itu. Dalam keterkejutan untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Maaf saudari…” si pemuda akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya sopan. “Kalau aku boleh bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur Pamenang?”
Wulandari tak segera menjawab. Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan kepala.
“Apakah saat ini beliau ada di dalam?” Wulandari mengangguk lagi. “Dapatkah aku bertemu dengan beliau?” Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok terdengar suara gurunya.
“Tamu yang datang, silahkan masuk ke dalam pondokku yang buruk.”
Wulandari memberi jalan. Si pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan pondok pemuda itu melihat seorang tua duduk bersila di atas sehelai kulit kambing putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih warna kuning yang memancarkan sinar terang.
Begitu sampai di hadapan si orang tua, pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang Wulur Pamenang adalah seorang yang paling tidak senang dihormati secara berlebihan, apalagi pakai berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
“Duduklah di tikar. Katakan siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa mencariku.”
Si pemuda duduk bersila di hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera membuka mulut memberikan jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjalnya.
“Anak muda, kau belum menjawab pertanyaanku,” menegur Wulur Pamenang.
“Eyang, saya bernama Handaka. Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan dari sini. Saya….”
Si pemuda tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Anak muda, tenanglah hatimu. Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang dikawatirkan di sini.”
“Saya, saya mencari Eyang karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya termasuk orang tua serta saudara-saudara saya.”
“Malapetaka apakah yang telah menimpa desa serta keluargamu?”
Si pemuda lantas menerangkan. “Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu seorang anggota gerombolan rampok yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati dalam cara amat mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam desa kami. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki hancur lumat bekas dicincang. Tak seorangpun tahu siapa yang membunuhnya dan bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian datanglah malapetaka itu.
Warok Grimbil dan orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang telah membunuh anak buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika penduduk sedang tidur Warok Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu. Setiap bangunan di desa dibakar. Semua orang dibunuh. Tak perduli orang tua, perempuan ataupun anak-anak yang tidak berdosa. Setelah melakukan perbuatan biadab itu gerombolan rampok membawa harta benda dan ternak penduduk lalu melarikan diri…”
Eyang Wulur Pamenang termenung. Memang sudah sejak lama mendengar kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang berkepandaian tinggi.
“Kau sendiri bagaimana bisa menyelamatkan diri?” bertanya Wulur pamenang.
“Sewaktu bencana itu terjadi, saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap dan langit merah tanda ada kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke Kembiring. Yang saya temui hanya kemusnahan yang memilukan dan mengerikan. Di mana-mana mayat berkaparan, Warok Grimbil dan anak buahnya telah melarikan diri di hadapan reruntuhan rumah saya, saya temui kedua orang tua saya dan semua saudara-saudara menemui ajal dengan cara yang mengerikan. Ketika saya menangis seperti orang gila, lapat-lapat saya dengar suara orang menggerang sambil memanggil nama saya. Orang itu ternyata adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya penuh luka bekas tusukan senjata tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih bisa menerangkan bahwa Warok Grimbil bersama anak-anak buahnyalah yang telah melakukan kebiadaban itu….”
Ketika Handaka mengakhiri ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi sampai akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka mulut:
“Setelah kejadian itu, kau langsung menuju kemari?”
“Betul Eyang.”
“Tentunya dengan mengandung sesuatu maksud.”
“Benar. Tentang maksud itu saya rasa Eyang tentu sudah maklum.”
“Ah, aku yang sudah tua ini terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang.”
“Eyang… apa yang telah terjadi dengan orang tua dan saudara-saudara saya, telah menimbulkan satu dendam kesumat yang berurat berakar dalam dada saya. Walau bagaimanapun, dan sampai di manapun saya harus membalaskan sakit hati kematian orang-orang yang saya kasihi itu. Namun saya menyadari, seorang diri tak mungkin untuk melakukan pembalasan. Apalagi mengingat saya tidak memiliki kepandaian apapun. Karena itulah saya datang kemari untuk meminta bantuan Eyang. Sudilah kiranya Eyang mengambil saya jadi murid. Perkenankan saya menerima sejurus dua jurus ilmu silat dari Eyang….”
Lama Wukir Pamenang termenung. Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan orang-orang macam Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun menerima pemuda bernama Handaka itu untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi orang tua ini. Dia telah mempunyai dua orang murid yaitu Sanjaya dan Wulandari. Di samping itu usianya telah terlalu tua untuk memberikan pelajaran-pelalaran dasar pada seorang murid baru. Kemudian ada satu hal yang membuat dia merasa keberatan untuk mengambil Handaka jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada wajah pemuda ini.
Sepasang mata Wulur Pamenang yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati yang arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam diri pemuda itu.
Namun untuk tidak mengecewakan Handaka, Wulur Pamenang tidak mau menyatakan penolakannya secara terang-terangan. SebaliknYa dia berkata:
“Handaka, ketahuilah dari sekian banyak sifat-sifat buruk di dalam dunia ini satu di antaranya adalah dendam dan balas dendam. Dendam yang selalu dilampiaskan tak akan habis-habisnya sampai turun temurun. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya telah membunuh orang tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-sahabatmu sedesa. Layak kalau rasa sakit hati dan dendam berurat berakar dalam tubuhmu. Satu-satunya tekad yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah pembalasan berhasil kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya berhasil kau bunuh. Namun tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki seorang putera yang kelak kemudian hari akan menuntut balas pula atas kematian ayahnya. Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi lain tidak karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu untuk balas dendam melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah jadinya jika hal itu berlangsung demikian rupa terus menerus? Dapat kau bayangkan sendiri Handaka.
Orang-orang yang tidak ada sangkut paut dan dosa apa-apa harus menemui kematian dengan cara mengenaskan. Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi oleh manusia-manusia yang katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang. Malah lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan diri. Bersabar menghadapi musibah atau cobaan besar ini. Tidak terpengaruh untuk menempuh jalan sesaat yang akan merugikan dirimu sendiri, bahkan banyak orang!”
Setelah berdiam diri beberapa lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan jawaban:
“Semua yang Eyang katakan itu memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja manusia-manusia macam Warok Grimbil itu hidup terus malang melintang berbuat kejahatan, membunuh, merampok, memperkosa?”
Wulur Pamenang tersenyum dan menjawab:
“Betul Handaka. Betul sekali kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebagai jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa di dunia ini bukan hanya manusia-manusia saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih dari itu kekuasaan Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil dan anak-anak buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan dari-Nya!”
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
“Seorang manusia yang cuma berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa mengadakan usaha sama sekali, sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti serta gunanya hidup semacam itu?”
“Kepala sama berambut Handaka, rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang berbeda satu dengan lainnya…” kata Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda itu tadi telah membuat wajahnya yang tua jadi berubah kemerahan,
“Betul Eyang, tetapi setiap manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan ke arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit hati seseorang yang mengalami musibah matapetaka seperti saya ini. Karena Eyang tidak terlibat. Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana lusinan mayat manusia tak berdosa berhamburan dalam keadaan mengerikan. Mayat perempuan-perempuan tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan bayi yang masih merahi”
Wulur Pamenang memandangi tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
“Baiklah Handaka. Aku mengerti perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun bila kau menghendaki aku mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah datang ke tempat yang salah….”
“Salah bagaimana Eyang?” tanya Handaka tak mengerti.
“Orang tua pikun yang hampir masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian apakah yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?”
“Ah, Eyang terlampau merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan boleh dikatakan sudah mengenal nama besar Eyang.”
“Akan lebih baik jika kau mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku. Hingga kelak kau benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu tinggi”
“Eyang,” sahut Handaka. “Saya telah datang kemari karena tekad saya sudah bulat hanya akan berguru kepada Eyang, tidak kepada orang lain. Akan Eyang kecewakankah manusia bernasib buruk ini?”
“Aku telah mempunyai dua orang murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula….”
“Tak mungkin? Mengapa tidak mungkin Eyang?” tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada sahutan, Handaka berkata:
“Baiklah Eyang, memaksa orang yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya katakan, saya tidak berniat mencari guru lain. Jika saya turun dari puncak gunung Slamet ini, dengan ilmu yang bernama ketabahan hati dan kesabaran serta senjata sepasang tangan ini saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah saya bakal dapat membunuhnya atau kepala saya yang bakal menggelinding lebih dulu, entahlah…”
Handaka menjura di hadapan Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
“Sebelum saya pergi Eyang, pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa. Katanya Seorang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sama artinya dengan seorang paling tolol di dunia ini. Dan kelak orang itu akan mati dalam ketololannya. Apakah ucapan orang tua itu benar atau tidak harap Eyang sudi merenungkannya…”
Sekali lagi pemuda itu menjura lalu membalikkan tubuh. Pada saat Handaka mencapai ambang pintu dan siap untuk melangkah keluar pondok tiba-tiba didengarnya Eyang Wulur Pamenang memanggil :
“Handaka, kembalilah! Aku akan mengambilmu jadi murid!”
***
TUJUH
Enam bulan telah berlalu sejak kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu diambil menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di puncak gunung Slamet. Orang tua itu memang merasa heran melihat Handaka dapat mengikuti setiap pelajaran silat yang diberikan dengan cepat hingga hanya dalam waktu enam bulan dia benar-benar telah menguasai ilmu silat yang diturunkan kepadanya.
Pemuda ini luar biasa, demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak kecewa mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai dua orang saudara seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan Handaka rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua, sering bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit rasa sepi yang ada di hati Wulandari karena ditinggal Sanjaya menjadi berkurang bahkan akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui bahwa Handaka bukan saja lebih gagah parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara, suka bercerita dan sering melucu.
Pada mulanya hubungan mereka tidak lebih dari apa yang telah dilukiskan di atas. Namun lambat laun Wulandari menyadari bahwa dari pihak Handaka hubungan itu telah dipandang secara lain. Sampai pada suatu hari ketika mereka sedang berdua-dua di tepi telaga Handaka mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari bukan seorang gadis yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai seseorang dia akan mencintai selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang gadis yang kesepian kadangkala tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain. Apalagi dari seorang pemuda setampan Handaka yang pandai bicara lihay merayu. Hubungan mereka sehari-hari yang selalu berdekatan itu lambat laun membuat Wulandari menjadi mulai tertarik pada Handaka,
Gadis ini mulai membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di Kotaraja. Dan cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding membandingkan tanda umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau dulu hampir setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya setiap malam hampir tak pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu, maka kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal menutup mata, sekali seminggu Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling tinggi dan sunyi untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan seperti inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada Handaka dan Wulandari. Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian meningkat saling beremesan tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi hingga keadaan keduanya tidak beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun juga lambat laun Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan hubungan antara kedua muridnya itu. Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau hubungan mereka sudah demikian rapatnya, melewati batas-batas hubungan adik dengan kakak, hubungan saudara seperguruan, Wulur Pamenang memutuskan untuk menjauhkan kedua orang itu secara halus. Handaka akan disuruhnya mendirikan sebuah pondok di lereng barat gunung Slamet.
Namun sebelum hal itu dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa satu hal luar biasa telah terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa marah dan kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil Handaka jadi murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa Wulandari ke ruang dalam pondok.
“Mungkin kau sudah bisa menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?”
Sang murid memandang wajah gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
“Mana mungkin saya menduganya Eyang,” kata Wulandari pula.
“Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka.” Bicara sampai di situ Wulur Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah muridnya. Lalu dia melanjutkan:
“Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada tubuh jasmanimu.”
“Pe… perubahan apa maksud Eyang….” Wulandari gugup. “Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa….”
“Kau gugup Wulan….”
“Karena… karena saya terkejut mendengar ucapan Eyang tadi.”
Wulur Pamenang tersenyum rawan.
“Kau pandai bicara sekarang Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu? Apakah Handaka yang telah mengajarkannya padamu?”
Sampai di situ mulut Wulan terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang matanya tidak dapat lagi menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai ke telinga.
“Kau sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?”
Kepala Wulandari semakin tertunduk.
“Jawab, kau lupa?”
“Tidak Eyang, saya tidak lupa….”
“Bagus. Kalau kau betul-betul tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan pemuda lain? Mengapa kau menjalin cinta dengan Handaka?”
“Eyang, saya… saya tidak….” Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah.
“Diam!” bentak Wulur Pamenang. “Aku paling benci melihat orang menangis. Terutama yang menangis karena kesalahannya sendiri!”
Wulandari menyusut air matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapat-dapatnya.
“Sejak akhir-akhir ini kau tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau jarang makan. Lebih banyak makan asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan seperti itu hanya ada pada diri perempuan yang sedang hamil! Apa kau juga hamil Wulan? Jawab pertanyaanku?“
“Eyang… saya… saya.”
“Katakan saja. Kau hamil atau tidak?!” hardik sang guru.
“Tidak Eyang… saya tidak hamil.. Hanya… hanya kurang enak badan sejak beberapa hari ini….”
“Murid penipu!” bentak Wulur Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. “Tidak kusangka akan sekotor itu hatimu. Tidak kusangka kau berani bicara dusta terhadap gurumu! Pondok yang kudirikan ini kau nodai dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak kusukai sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!”
“Eyang…!” Wulandari jatuhkan diri. “Ampuni muridmu ini!”
“Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku! Karena dosamu bukan padaku. Tapi pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam pondok kelak lahir seorang anak haram!”
Wulandari yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan lari ke luar pondok.
Wulur Pamenang katupkan rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih ilmu silatnya seorang diri.
“Pemuda keparat hidung belang! Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak kuizinkan mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan padamu!”
Handaka tampak terkejut mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan berpaling dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak pinggang. Mukanya merah laksana bara dan matanya berapi-api.
“Eyang, dengan siapakah Eyang bicara?” bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
“Bangsat! Dengan siapa lagi kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!”
Sepasang mata Handaka yang sipit menjadi tambah sipit.
“Ada apakah hingga Eyang sampai marah begini rupa…?”
Wulur Pamenang mendengus.
“Kau masih bisa berpura-pura bertanya!”
“Saya tidak mengerti. Agaknya telah terjadi sesuatu…?”
“Memang telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang keladinya! lngat sewaktu kau dulu mengemis minta aku mengambilmu jadi murid! Setelah aku berbelas kasihan mau menerimamu di sini, semua itu kini kau balas dengan noda besar! Kau main gila dengan Wulandari. Padahal kau tahu gadis itu sudah ditunangkan dengan Sanjaya! Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau rusak kehormatannya. Kini gadis itu hamil! Kau benar-benar manusia bejat!”
“Eyang, sebaiknya kita panggil Wulandari ke sini agar kita….”
“Tak usah banyak bicara! Gadis itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki dari sini. Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan kedua tanganmu!”
“Eyang, kau mau bikin apa…?” tanya Handaka.
“Ulurkan kedua tanganmu manusia murtad. Jangan banyak tanya!” hardik Wulur Pamenang.
Karena Handaka tidak mau mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang tua. Dari hidungnya ke luar suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia melompat. Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya menyambar ke arah kedua tangan Handaka. Wulur Pamenang yang telah banyak pengalaman dan memiliki ilmu tinggi yakin sekali bahwa sekali bergerak dia bakal dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa terkejutnya ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika saja Handaka mengandalkan kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan tersebut, si orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya sendiri si pemuda mengelakkan serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat aneh yang sama sekali tak pernah diajarkannya pada Handaka!
Heran bercampur marah Wulur Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali inipun Handaka berhasil berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
“Murid mesum! Jadi ternyata kau memiliki ilmu silat lain?! Bagus! Akan kuberi hajaran padamu dalam dua jurus!”
Habis berkata begitu Wulur Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah angin pukulan tangan kosong yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian terdengar seruan tertahan ke luar dari mulut Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi merupakan salah satu dari beberapa buah serangan terhebat yang dimilikinya, bernama “Dua Naga Sakti Berebut Mangsa.” Tak pernah seorang musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus. Karena kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan pukulan maut itu. Namun kini serangannya itu tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia merasakan kedua tangannya bergetar sewaktu dipapasi serangan balasan yang dilancarkan Handaka! Bertambah terkejutlah orang tua ini. Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu silat tinggi sebelum dia mengambilnya jadi murid?
Lalu apa maksud pemuda ini sesungguhnya datang kepadanya? Siapakah dia sebenarnya? Melihat Wulur Pamenang tertegun di hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara tertawa.
“Wulur Pamenang!” kata pemuda ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang, seolah¬olah dia bicara dengan orang yang seusia dengan dirinya. “Kenapa kau tertegun? Bukankah kau sendiri yang memerintahkan agar aku tidak boleh mempergunakan ilmu silat yang kupelajari darimu? Mengapa heran kalau aku terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu silat jenis picisan yang kau ajarkan padaku?!”
Muka Wulur Pamenang merah sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan sepasang matanya seperti mau melompat dari rongganya.
“Dajal bermuka manusia!” desis Wulur Pamenang. “Aku sudah berpantang dan bertobat untuk tidak membunuh! Namun hari ini biarlah aku menanggung dosa asal aku dapat mengirimmu ke dasar neraka!”
Wulur Pamenang tutup ucapannya dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar suara menderu. Bumi laksana dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir beterbangan. Semak belukar rambas berhamburan. Daun-daun berguguran dan beberapa pohon rambas tumbang.
Dikejap itu dua larik sinar hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan kedua sinar itu pasti musnah!
Wulur Pamenang turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak tampak lagi dihadapannya. Tak dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui kematian dengan keadaan tubuh mengerikan.
Tapi laksana mendengar petir di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur Pamenang ketika didengarnya suara tertawa bergalak. Orang tua ini memutar tubuhnya dengan cepat. Handaka berdiri di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan memegang sebuah kipas hitam yang dikibas-kibaskan di depan mukanya sambil tersenyum mengejek?
Kontan air muka Wulur Pamenang berubah total ketika melihat kipas hitam di tangan Handaka itu.
“Kipas Pemusnah Raga…!” seru orang tua itu setengah tercekik. “Pemuda dajal dari mana kau dapat kipas sakti itu?!”
Handaka tertawa gelak-gelak.
“Mukamu pucat melihat kipas ini? Ha… ha…. Dari mana aku mendapatkan itu bukan urusanmu?!”
“Sret!”
Handaka menggoyangkan tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
“Wulur Pamenang, karena kau benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi kau sekarang di lain hari tentu kau hanya akan membikin repotku saja! Nah, selamat jalan ke alam baka!”
Habis berkata begitu Handaka mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si orang tua yang telah maklum akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat kilat mengeluarkan senjata andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar hitam pekat yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras kearahnya, orang tua ini cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat. Sinar hijau berkelibat menangkis datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan suara menggelegar!
Tasbih di tangan Wulur Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri terpelanting jauh dan menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam hangus seperti terpanggang.
Handaka memandang sebentar pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai seperempat jengkal,
“Hebat juga tenaga dalam monyet tua itu…” katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-kipasan senjatanya ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada henti keluar suara tertawa mengakak.
***
Next ...
Bab 8
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Hidung Belang Berkipas Sakti Bab 1 --> 7"
Posting Komentar