WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 021
Neraka Puncak Lawu
DELAPAN
WIRO yang saat itu tak kuasa bergerak karena demam panas dan lemah menyerang dan membuatnya seperti lumpuh, hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian. Tetapi maut yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Didengarnya suara orang berdiri dan berlutut disampingnya. Lalu tangan halus sejuk meraba keningnya. Kemudian suara perempuan berkata,
"Heh,tadi kau sudah siuman, kenapa sekarang diam kembali?"
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka sepasang matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak seberapa terang pendekar ini lihat seorang gadis berpakaian biru bersimpuh disebelahnya. Semula disangkanya Sularwasih ketika dilihat wajahnya ternyata bukan. Gadis ini berwajah bujur telur, berkulit kuning. Rambutnya yang hitam digelung diatas kepala ditancapi tusuk konde dari gading bergambar burung. Gerak-geriknya sama sekali tidak kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab betul.
"Saudari!" tegur Wiro Sableng agak tersendat, "kau ini siapakah? Aku berada di mana saat ini….?"
"Ah…. rupanya kau betul-betul telah siuman. Cuma kau masih terserang demam. Namaku Wilarani. Saat ini kau berada di sebuah Candi tua yang tak terpakai lagi dan menjadi tempat kediaman aku beserta ayahku."
"Ayahmu?" Wiro kerenyitkan kening. Apa mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang Akhirat? Mustahil. "Siapa nama ayahmu?" tanya Wiro kemudian.
"Panda Wisuna."
"Kau…. kau…." Wiro tak dapat teruskan kata-katanya. Tenggorokannya kesat dan kering. "Air…" desisnya.
Wilarani ambil sebuah gelas. Isinya diminumkan pada Wiro.
"Racun apa ini?!" tukas Wiro Sableng begitu dirasakannya air yang diteguknya pahit seperti empedu.
Wilarani tertawa geli.
"Ini bukan. racun pendekar. Tapi obat! Agar kau lekas sembuh."
"Kau… kau seorang tabib?" tanya Wiro.
Sang dara baju biru gelengkan kepala. "Tapi aku memang banyak mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Baiklah, biar kuminum obat itu " kata Wiro pula. "Sekalipun racun aku tak menyesal mati di hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk cairan dalam gelas sampai habis.
"Tahu berapa lama kau pingsan, pendekar?"
"Tak usah sebut aku pendekar. Namaku Wiro. Berapa lama aku pingsan?"
"Dua hari dua malam!"
Wiro kaget karena tidak menyangka sampai sedemikian lama dia jatuh pingsan.,
"Bagaimana aku sampai kemari? Apa hubunganmu dengan Pendekar Pedang Akhirat?"
"Pendekar tua itu yang membawamu kesini. Tadinya untuk minta pertolongan ayah agar kau diobati. Tapi ayah sedang ke Weleri. Aku berusaha sebisaku…"
"Terimakasih. Kau baik sekali. Aku berhutang besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani tertawa.
"Dimana Pendekar Pedang Akhirat sekarang?"
"Dia pergi dua hari yang lalu tanpa memberi tahu kemana. Cuma dia pesankan agar aku merawatmu baik-baik. Menurut orang tua itu kau pingsan akibat kehabisan darah dankarena mempergunakan seluruh tenaga dalam untuk melepaskan pukulan sakti. Menurut apa yang aku tahu jarang orang bisa selamat dari kematian jika mengalami hal sepertimu ini."
Wiro Sableng menghela nafas panjang.
"Kapan aku akan sembuh danbisa meninggalkan tempat ini?"
"Tak dapat kupastikan. Mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Luka dibahumu parah sekali dan harus kering betul baru bisa dikatakan sehat. Disamping itu sebaiknya kau tunggu sampai ayah datang agar dapat memeriksa tubuhmu bagian dalam."
"Mungkin aku tak dapat menunggu sekian lama," ujar Wiro pula.
"Kenapa?" tanya Wilarani.
"Ada urusan besar yang harus kulakukan "
"Urusan apa, kalau aku boleh tanya."
"Pendekar Pedang Akhirat tidak mengatakan kenapa aku sampai mendapat celaka begini rupa…"
"Tidak," sahut Wilarani. "Justru aku ingin mendengarkan kisahnya dari kau sendiri…."
Pada dasarnya Wiro Sableng tidak suka membeberkan persoalan. dirinya pada orang lain, apalagi gadis itu baru dikenalnya. Namun setelah berpikir-pikir dan ingat kalau bukan Wilarani yang menolong mungkin dia sudah mati saat itu atau paling tidak tengah meregang ajal, maka akhirnya Wiro tuturkan juga nasib celaka yang menimpa dirinya.
Selesai Wiro menuturkan riwayatnya, kedua orang itu kemudian saling berdiam diri beberapa lamanya.
"Jika kau sudah sembuh, apa yang bakal kau lakukan?" bertanya Wilarani kemudian.
"Banyak dan berat sekali!" sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. "Pertama aku harus membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini berarti aku harus bias menemukan siapa sebenarnya pemerkosa nona Warsih. Kemudian aku harus membawa orang itu hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jika senjata warisan guruku sudah dikembalikan danaku dapat turun dari puncak Lawu dengan aman barulah berarti selesai urusan. Yang sulit ialah orang-orang gunung Lawu pasti akan menyerbuku begitu aku muncul disana. Gila betul! Kenapa aku jadi ketiban nasib sial begini!"
"Kurasa itu adalah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pendekar petualang macammu. Ketidak tabahan justru itulah yang membuat seseorang celaka sebelum bahayanya sendiri datang menimpa."
Pendekar 212 Wiro Sableng merasa kena disentil oloh kata gadis itu. Diam-diam dia jadi malu pada diri sendiri. Si gadis rupanya tahu bagaimana perasaan Wiro seat itu, maka die buru-buru menghibur. "Memang begitulah keadaannya dunia. Yang kita harapkan tidak terjadi, yang amit-amit minta dijauhkan justru nyelonong menyusahkan!"
"Berapa jauh Magelang dari sini!?" Wiro bertanya.
"Kira-kira dua hari perjalanan dengan kuda." jawab Wilarani.
"Kenapa?" si gadis kemudian bertanya.
"Besok aku akan berangkat ke sana guna memulai penyelidikan."
"Besok? Sekarang saja kau masih diserang demam. Lukamu masih basah. Apa mau mencari mati hendak pergi besok?"
"Kalau dipikir-pikir sebenarnya aku ini sudah mati. Yaitu kalau tidak ditolong oleh Pendekar Pedang Akhirat dankau sendiri." Wilarani tersenyum kecil.
"Hidup penuh, hal hal yang tak terduga bahkan kadang-kadang aneh…" kata gadis itu pula lalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng dia berkata, "Aku sendiri sebenarnya adalah anak murid partai Lawu Megah."
Wiro Sableng kaget bukan olah-olah. Kata-kata gadis itu laksana petir menyambar sampai ketelinganya. Kalau saja dia tidak sakit parah saat itu niscaya dia sudah melompat saking terkejutnya.
"Kalau begitu,kalau begitu bukan mustahil kau memang hendak membunuhku disini. Secara perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan sepasang mata melotot pandangi Wilarani.
Wilarani tertawa panjang.
"Kalau aku punya niat membunuhmu, tentu sudah sejak tadi-tadi kulakukan!"
"Lantas kenapa tidak kau lakukan?" tanya Wiro. "Tidakkah kau mengandung dendam padaku setelah mendengar aku membunuh empat orang paderi utama gunung Lawu, lalu murid-murid partai yang menjadi saudara seperguruanmu…. ?"
"Aku cuma menyesalkan dan menyayangkan kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya harus terjadi demikian. Dan pemuda-pemuda gunung Lawu dalam hal ini juga memiliki kesalahan."
"Aku betul-betul tak mengerti kalau begini", ujar Wiro. "Tadi kau bilang anak tabib Panda Wisuna. Sekarang kau katakan murid partai gunung Lawu. Bagaimana ini?!" Kembali Wilarani tertawa.
"Saudari, jika kau betul murid partai Lawu Megah iebih baik bunuh saja aku saat ini juga. Jangan aku dipermainkan. Maut didepan mata tapi diulVr-ulur agar aku tersiksa!"
"Aku sudah bilang, kalau ingin membunuhmu dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah membalikkan telapak tangan saja. Tapi apa perlunya ?"
"Heh!" Wiro kerenyitkan kening. "Terangkan alasanmu."
***
SEMBILAN
ATAS desakan Wiro Sableng yang mau tak mau merasa was-was juga setelah mengetahui kalau Wilarani adalah anak murid partai Lawu Megah, maka akhirnya gadis itu memberikan keterangan.
Wilarani menjadi murid partai Lawu Megah sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari Resi Kumbara turun gunung. Waktu itu tengah berjangkit penyakit menular yang amat jahat. Siapa yang sampai kejangkitan pasti akan menemukan kematian dalam waktu dua hari. Resi Kumbara merupakan salah seorang yang kena terserang. Pada saat-sat kritis Panda Wisuna (ayah Wilarani) menjumpai ketua partai itu, menggeletak tak sadarkan diri di tepi sebuah anak sungai. Segera dibawanya ketempat kediamannya di bekas candi tua itu dan diobati sampai sembuh.
Sebagai balas budi Resi Kumbara kemudlan mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke puncak gunung Lawu. Karena sang paderi sendiri yang memberikan pelajaran silat pada anak itu maka 10 tahun kemudian jadilah Wilarani seorang gadis berkepandaian amat tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid gunung Lawu Megah klas satu, kepandaiannya jauh lebih tinggi. Sularwasih dan Tandu Wiryo sendiripun jauh tertinggal. Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu silat nona ini kepandaiannya hampir mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya saja yang masih agak rendah. Tetapi bila dia rajin melatih diri niscaya tidak sembarang orang mampu menghadapinya.
Beberapa tahun lewat akibat pengunduran diri Resi Kumbara sebagai ketua partai maka terjadi banyak perobahan dalam tubuh partai. Hal ini diketahui oleh ayah Wilarani. Maka dia naik ke puncak gunung Lawu, bicara dengan puterinya itu, meminta agar dia meninggalkan partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Dilain pihak Wilarani sendiri sejak Resi Kumbara yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri itu mengundurkan diri, merasa dipencilkan oleh orang-orang disekitarnya. Kalau dulu selagi Resi Kumbara menjabat ketua partai semua orang menghormati dan menyayanginya. Tetapi sejak paderi itu melepaskan jabatannya, banyak paderi-paderi dan saudara-saudara seperguruannya yang jelas-jelas memperlihatkan sikap mengejek serta membencinya. Sering dia dihadapkan pada muka-muka asam, mendengar kata-kata menyindir danmenghina hingga lambat laun gadis itu merasa tak betah lagi diam di puncak gunung Lawu.
Dengan datangnya sang ayah memintanya pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini adalah satu hal yang paling baik bagi Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi Kumbara untuk minta diri. Sebenarnya berat bagi paderi tua itu untuk melepas murid kesayangannya itu. Namun diam-diam dia sudah mengetahui apa yang dialami Wilarani sejak dia mengundurkan diri sebagai Ketua. Yang membuat Resi Kumbara kagum danterharu ialah bahwa sampai saat Wilarani meninggalkan gunung Lawu gadis ini tak pernah satu kalipun mengadukan keadaan dirinya itu. Semua dihadapinya sendiri dengan tabah dari masih tetap tersenyum serta menghormati orang-orang di sekitarnya, padahal didalam hatinya sakit bukan kepalang.
"Nyatanya keadaan di Partai Lawu Megah makin hari makin buruk. Untung sekali aku sudah tidak disitu lagi."
"Tapi betapapun kau adalah anak murid Lawu Megah. Dan paderi-paderi yang kau hormati serta saudara-saudara seperguruanmu itu banyak yang kubunuh," ujar Wiro.
Witarani geleng-gelengkan kepala. "Sejak aku meninggalkan gunung Lawu aku tidak lagi merasa murid partai Lawu Megah, tapi murid Resi Kuinbara pribadi."
"Apakah tidak berniat untuk pergi lagi kesana?" tanya Wiro Sableng pula.
"Jika kudengar guru kenapa-kenapa, pasti aku akan naik ke puncak Lawu dan memberi peringatan pada orang-orang yang kurang ajar itu."
"Sejak kau keluar dari partai apa saja yang kau lakukan?"
"Yaah… aku tinggal bersama ayah disini. Mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan…."
"Untung kau sempat mempelajari. Kalau tidak aku pasti tak akan tertolong." kata Wiro pula.
Wilarani tersenyum. "Sebetulnya dalam sakit begini kau tak boleh banyak bicara.
Minumlah obat ini!" Gadis ini kemudian ambilkan secangkir obat lalu diminumkan pada Wiro. Beberapa saat setelah minum itu Wiro merasakan mat8nya jadi berat sekali. Akhirnya pendekar itu jatuh pulas. Seminggu kemudian Wiro Sableng merasakan tubuhnya sudah segar. Cuma luka dibahu kirinya masih belum kering dan sesekali terasa mendenyut sakit. Suatu hari ketika Wiro tengah berkemas-kemas karena dia memang sudah memutuskan untuk pergi, datanglah Wilarani dan menegurnya.
"Kau hendak pergi ke mana?"
"Magelang."
‘Tapi kau masih belum sembuh. Kau harus menunggu paling cepat satu minggu lagi. Balutan pada bahumu harus dibuka untuk diperiksa."
"Lukaku memang belum kering, Wilarani. Tapi tubuhku segar sekali. Semua berkat bantuanmu. Aku ingin tinggal lebih lama di tempat yang tenang dengan pemandangan indah di sekitarnya ini. Tetapi urusan besarku memerlukan penyeleseian dengan segera.
"Jika kau mau menunggu sampai lukamu baik, aku bersedia membantu kau menyelesaikan urusan itu."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Ah, budi besarmu menolong aku dalam sakit belum dapat kubalas, jangen kau tanamkan budi baru padaku."
"Terserahlah padamu. Cuma!"
Wilarani tidak teruskan katanya.
"Cuma ape?", Wiro bertanya.
‘ Wilarani tak segera menjawab seolah-olah meragu.
"Cuma apa, Wilarani?" desak Wiro.
"Aku ingin agar kau mengetahui satu hal…."
"Apa?"
"Dua murid gunung Lawu yang bernama Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah orang baik-baik…."
"Maksudmu?"
"Aku tak bisa menerangkan. Kau selidikilah sendiri." jawab Wilarani pula. "Kalau kau hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat jalan!" Lalu gadis itu putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lima hari kemudian menjelang malam Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Magelang. Kota yang membawa riwayat sial bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti keadaan kota baru dia menuju penginapan Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang masih mengenalinya.
"Ingin menginap disini lagi raden?" Wiro mengangguk.
Ketika pelayan itu mengantarkannya ke kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih ingat pertama kali aku menginap disini sekitar empat minggu yang lalu?"
"Ya.. saya masih ingat"
"Waktu itu ada sepasang muda mudi yang juga menginap disini,Ingat?"
Pelayan itu berpikir sejenak. Lalu, "Ingat, saya ingat betul! Gadisnya cantik sekali bukan? Ketika pergi saya dan Gundali diberinya masing-masing dua tail perak. Mudamudi yang baik sekali…. ! Entah kapan mereka akan datang kemari lagi. Jarang sekali tamu sebaik mereka."
"Mereka menyewa berapa kamar?" bertanya Wiro.
"Agaknya mereka bukan suami istri. Dua orang pengelana. Mereka masing-masing menyewa satu kamar yang saling berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya begitu?"
"Tidak apa-apa. Tadi kau menyebut nama Gundali. Siapa orang itu!?"
"Gundali orang yang bekerja sebagai ronda dan penjaga keamanan di penginapan ini……."
"Dia tinggal di Magelang ini?"
"Tentu saja!"
"Aku ingin bertemu dengan dia," kata Wiro pula.
"Tuan tak usah susah-susah. Sebentar lagi dia akan datang di sini. Tugasnya memang khusus malam hari!"
Wiro tepuk bahu pegawai hotel itu dan ucapkan terima kasih. Dia langsung berbarina di tempat tidur karena sekujur tubuhnya terasa letih. Tanpa disadari dia jatuh pulas. Ketika bangun, yang pertama sekali diingatnya adalah orang bernama Gundali itu. Namun sewaktu ditanyakan pada pelayan dia mendapat keterangan bahwa Gundali belum datang.
"Tidak seperti biasanya. Seharusnya dia sudah berada di sini saat ini." kata pegawai hotel itu.
Wiro garuk-garuk kepala. Setelah berpikir-pikir sejenak pendekar ini memutuskan lebih baik mandi danmakan dulu, baru kemudian menunggu Gundali. Jika orang ini masih belum datang juga dia akan minta bantuan pelayan itu Untuk mengantarkan ke rumah Gundali. Dia harus menemui orang ini untuk minta beberapa keterangan. Selesai membersihkan diri Wiro Sableng pergi makan di sebuah kedai tak berapa jauh dari penginapan.
Tengah dia menyantap makanannya, masuklah tiga orang tetamu yang langsung disambut oleh pemilik kedai. Setelah menyebutkan makanan yang mereka pesan, salah seorang dari tetamu itu bertanya. "Apakah kau sudah dengar peristiwa pembunuhan atas diri Gundali penjaga penginapan Candi."
"Gundali dibunuh orang …. ?!" kata pemilik kedai yang bertubuh gemuk setengah berteriak. Karena kerasnya ucapannya ini Wiro yang berada jauh di sudut sampai mendengar dan menjadi tersentak kaget. Dia hentikan makannya dan memandang pada orang-orang itu sambil pasang telinga.
"Waktu itu dia tengah bersiap-siap hendak berangkat ke penginapan tempat dia bekerja. Baru saja keluar pintu rumah tiba-tiba satu bayangan melompat dari atas atap, sebilah pedang berkelebat dan putuslah kepala Gundali!"
Pemilik kedai menggigil ngeri. "Kapan terjadinya?" tanyanya.
"Barusan saja. Rumahnya ramai didatangi orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah ada di sana mengusut perkara pembunuhan ini!"
Sampai disitu Wiro berdiri dari kursinya, letakkan uang di atas meja dan tinggalkan kedai. Karena peristiwa terbunuhnya Gundali cukup menggemparkan dan saat itu banyak orang yang berdatangan ke sana, maka tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari rumah Penjaga penginapan yang malang itu.
***
SEPULUH
KETIKA WIRO SAMPAI dirumah Gundali, orang masih banyak berjubalan disana. Beberapa petugas sibuk melakukan pengusutan. Wiro menyeruak diantara orang banyak. Diruangan depan dari rumah yang kecil itu seorang wanita separuh baya duduk memangku seorang anak perempuan sambil menangis tersedu-sedu. Perempuan ini pastilah isteri Gundali yang malang, pikir Wiro. Segera dia mendekati perempuan ini. Karena dia seorang asing dan berpakaian aneh, ditambah rambut gondrongnya, tentu saja dia menjadi perhatian orang. Sebelumnya dia sampai ke dekat, istri Gundali, seorang petugas menahannya.
"Orang asing, kau siapa?" petugas itu bertanya.
"Gundali adalah sahabat lamaku", sahut Wiro. "Aku datang kesini untuk menyampaikan rasa duka citaku pada isterinya."
Setelah meneliti Wiro sejenak akhirnya petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri Gundali.
"Mbakyu, kau tentu tidak mengenal aku. Tapi aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa duka citaku yang sedalam-dalamnya."
Janda itu angkat kepalanya, memandang dengan agak heran pada pemuda berambut gorldrong di hadapannya lalu tutup wajahnya dan kembali menangis tersedu-sedu.
"Dalam keadaan begini masih saja ada orang gila yang datang mengganggu. . . "
Wiro Sableng pencongkan mulut, garuk-garuk kepala. Meskipun jengkel penasaran dia berkata. "Mbakyu, aku bukan orang gila. Aku sahabat suamimu. Aku ingin menolongmu mencari siapa pembunuh suamimu itu dan menghukumnya. Asal saja saat ini kau bersedia membantu berikan keterangan. . ." Wiro lantas keruk saku pakaiannya dan masukan dua keping uang emas kedalam genggaman perempuan malang itu seraya berbisik. "Jika kau tak keberatan sebaiknya kita bicara di dalam saja. . . ."
Meskipun dalam keadaan duka cita karena kematian suami, namun dua keping uang emas itu membawa pengaruh juga bagi sang janda. Dipandanginya uang itu, lalu pada Wiro, kemudian pada jenazah suaminya yang terbaring diatas ranjang bertutupan seperai. Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung anaknya dan masuk ke ruangan dalam, "Ceritakanlah bagaimana kejadiannya sampai suamimu dibunuh orang," kata Wiro begitu janda Gundali duduk di sebuah kursi diruangan dalam.
Janda malang itu keringkan dulu air matanya baru menjawab. "Seperti biasa setiap suamiku hendak pergi ketempat pekerjaannya, aku selalu mengantarkan sampai pintu depan. Waktu itu ruangan depan agak gelap karena aku belum sempat menyalakan lampu. Suamiku mencium anak tunggalnya ini dulu, kemudian membuka pintu depan.
Begitu dia melangkahkan kaki dari ambang pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan melompat turun dari atas. Aku dan suamiku terkejut sekali. Kemudian kudengar suamiku berseru. "Ah raden! Kau kiranya. Aku …" Ucapan suamiku itu hanya sampai di situ karena tiba-tiba orang yang disebutnya raden itu menghunus pedang dan menebas lehernya hingga putus. Aku sendiri kemudian jatuh pingsan …"
Sampai disini kembali janda Gundali menangis.
Setelah tangisnya reda Wiro Sableng bertanya. "Apakah kau kenal orang yang membunuh suamimu itu?"
"Saat itu didepan gelap. Aku tak dapat melihat wajah si pembunuh. Cuma dari perawakannya kuduga dia masih muda."
"Suaranya juga tak dapat kau kenali?" Istri Gundali menggeleng.
Wiro diam sejenak sambil tangannya tidak berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apakah suamimu punya musuh di kota Magelang ini atau di tempat lain…?"
"Setahuku tidak. Meskipun miskin tapi suamiku adalah orang baik-baik. . . ."
Wiro Sableng menghela nafas panjang. Dia berpikir apa lagi yang hendak ditanyakannya. Kemudian dia ingat.
"Mungkin suamimu pernah menceritakan sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan di penginapan Candi? Coba kau ingat-ingat mbakyu."
"Sesuatu apa?" balik bertanya janda Gundali tak mengerti.
"Misalnya. . . mungkin suamimu pernah menceritakan tentang tamu-tamu di penginapan…?"
Perempuan itu termenung sejenak, kemudian dia anggukkan kepala. "Memang kadang-kadang dia pernah bicara soal tetamu-tetamu. Tapi apa sangkut pautnya itu dengan kematian suamiku?"
Wiro Sableng tak perdulikan pertanyaan perempuan itu. Malah berkata. "Pernah suamimu menerangkan tentang seorang tetamu lelaki muda, yang datang menginap bersama seorang gadis cantik. Dan tamu lelaki itu kemudian memberikan dua tail perak pada suamimu…. ?"
Sepasang mata istri Gundali membesar dan memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng.
"Memang ada," katanya, "dan pemuda itu memberi tambahan tiga tail lagi sewaktu meninggalkan penginapan."
"Hemm… jarang orang yang sebaik itu."
"Kau lebih baik dari dia. Kau barusan memberikan dua keping uang emas padaku."
"Itu karena aku sahabat suamimu," jawab Wiro pula berdusta padahal sebetulnya dia ingin mengorek keterangan di samping memang berniat membantu perempuan yang kematian suami itu. "Apa saja yang diceritakan suamimu mengenai muda-mudi itu selain hadiah lima tail perak tersebut."
"Aku tak bisa menceritakannya. Aku malu …" kata janda Gundali pula.
Wiro kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala. "Memangnya kenapa. . . ? Dengar, aku ingin membantumu menangkap dan menghukum pembunuh suamimu. Kurasa aku bakal dapat mengetahui siapa orang nya. Tapi tanpa keterangan yang memberikan bukti-bukti darimu sulit bagiku . . . ."
"Suamiku pernah menceritakan tentang seorang pemuda asing, berambut gondrong. Dia meragukan kesehatan pikiran orang itu. Agaknya kaulah orangnya, bukan?"
Wiro Sableng jadi menggerendeng dalam hati.
"Mbakyu, siapa aku, apakah orang gila atau setengah gila kuharap tak usah diperdulikan. Yang penting pembunuh suamimu itu harus dihukum. Kalau dia masih berkeliaran di luar bukan mustahil keselamatanmu dan puteri tunggalmu ini akan terancam pula."
Kelihatan bayangan rasa takut pada wajah janda Gundali.
"Baiklah," kata perempuan ini pada akhirnya. "Waktu itu sudah larut malam. Suamiku mematikan lampu-lampu tertentu dalam penginapan. Sewaktu dia sampai di ujung gang pada bagian mana muda-mudi itu menginap, dilihatnya si pemuda berdiri di depan pintu kamar si pemudi, mengetuk perlahan-lahan. Kemudian pintu kamar terbuka, tamu lelaki masuk ke dalam dan pintu dikunci kembali. Karena mengetahui kalau sepasang muda-mudi itu adalah murid-murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian tinggi, dia tak berani berbuat apa-apa, apalagi menegur meskipun nyatanyata masuk ke dalam kamar seorang gadis pada malam hari adalah perbuatan yang tidak senonoh. Kemudian karena ingin tahu apa yang sebenarnya diperbuat oleh murid-murid Lawu Megah itu suamiku keluar dan dari luar melakukan pengintaian lewat celah-celah papan dinding. . . ."
Sampai disini janda Gundali terdiam.
"Bagaimana terusnya? Apa yang dilihat suamimu?" tanya Wiro tak sabaran.
"Dua orang itu betul-betul melakukan perbuatan yang tidak senonoh! Mereka tengah berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke ranjang. Kemudian mereka kelihatan menanggalkan pakaian di tubuh masing-masing. Dan melakukan perbuatan mesum itu…!"
Wiro keluarkan suara bersiul dan mulutnya.
"Karena merasa jengah suamiku tidak meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu jam kemudian sewaktu dia kembali mengintai, didengarnya dua orang itu bicara berbisik-bisik. Si gadis mengatakan perasaan kawatirnya karena saat itu katanya dia telah hamil jalan tiga bulan. . . ."
Wiro melengak kaget. "Kalau begitu mereka melakukan hubungan sudah sejak lama!"
Janda Gundali mengangguk. "Agaknya begitu. Rupanya mereka sudah mencoba mencari obat untuk menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia belaka. Kalau Tuhan punya kuasa minum obat apapun kandungan itu tak bakal gugur! Suamiku mendengar si pemuda berkata bahwa satu-satunya orang yang bisa menggugurkan kandungan itu adalah Resi Kumbara, bekas ketua Partai Lawu Megah. Tetapi tentu saja mereka tidak bisa melakukannya. Maka suamiku mendengar keduanya berunding. Yang pemuda rupanya dapat akal keji. Dia menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis yang juga menginap di penginapan itu. Lalu tentang kancing baju milik orang itu yang tanggal dan ditemuinya dekat kaki kursi. Dari pembicaraan jelas bahwa mereka tengah mengatur rencana busuk, hendak mengambing hitamkan pemuda asing yang agaknya adalah kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti mengetahui kalau ada orang di dekat kamar karena dia kemudian membuka jendela. Untung saja suamiku cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan pura-pura buang air kecil di balik pohon. Namun agaknya pemuda itu menaruh curiga. Itulah sebabnya dia menambahkan tiga perak lagi ketika hendak pergi. Maksudnya agar suamiku tidak membuka rahasia malam itu."
"Cukup. . . . cukup dan terima kasih atas keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang siapa yang membunuh suamimu malam ini? Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu Wiryo. Dan si gadis mesum itu bernama Sularwasihl"
Si janda terpekik kecil dan memandang melotot pada Wiro.
Pendekar 212 pegang bahu janda Gundali dan berkata. "Bila tiba nanti waktunya, aku akan bawa kau kepuncak Lawu!" Habis berkata begitu Wiro tinggalkan perempuan yang kemudian kembali menangis bersedu-sedu sambil peluki puterinya yang kini telah jadi anak yatim.
***
SEBELAS
JEJAK pendekar Pedang Akhirat lolos dari puncak gunung Lawu bersama Wiro Sableng timbullah kecurigaan penuh diantara para paderi dan semua anak murid partai yakni jika tidak dengan bantuan Resi Kumbara, kedua orang itu pasti tidak bakal dapat melarikan diri. Pintu rahasia dari terowongan yang menembus gunung ada dalam tempat pengasingan bekas ketua partai itu. Nyata sudah bahwa Resi Kumbara telah membantu Wiro dan si kakek muka tengkorak.
Hal ini membuat pihak-pihak yang memang tidak menyukai Resi Kumbara menjadi marah, termasuk Resi Tumbal Soka sendiri. Suasana di gunung Lawu hari-hari kelihatan tenang-tenang saja. Namun ketenangan ini tidak beda laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu pasti meledak. Dan ledakan itu nyatanya terjadi juga yakni empat minggu kemudian.
Atas perintah Resi Tumbal Soka semua paderi yang memegang pucuk pimpinan dikumpulkan di gedung perundingan. Diluar gedung menjaga murid-murid partai kelas satu.
"Saudara-saudara separtai yang aku cintai," Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita semua sama tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dalam tubuh partai kita sejak lolosnya dua orang manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu lagi dibentangkan panjang lebar bagaimana mereka bisa lolos atau siapa yang memberi jalan pada mereka. Saat ini aku mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan soal tanggung jawab yang harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi Kumbara meskipun adalah bekas ketua yang kita hormati bahkan kakak kandungku sendir, namun jika berbuat kesalahan bahkan penghianatan musti kita tuntut dan mintakan pertanggungan jawabnya. Untuk itu mari kita beramai-ramai mendatangi tempat persamadiannya!"
Sebelum paderi-paderi itu berdiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka mendahului dan tegak menghadang di pintu. Paderi ini adalah Resi Permana yakni, paderi yang memimpin mereka yang ingin melihat Partai Lawu Megah kembali pada masa jaya seperti dibawah pimpinan Resi Kumbara dulu bahkan berharap agar Resi Kumbara sudi memegang jabatan ketua kembali.
"Saudara-saudaraku separtai," kata Resi Permana sambil rangkapkan tangannya didepan dada. "Sebelum bertindak pikirkan baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang sedang bersamadi saja sudah merupakan perbuatan tidak sopan. Apalagi hendak menuntutnya. Dan secara beramai-ramai seperti ini, seperti gerombolan yang datang menggarong saja!"
Mendengar ucapan saudara seperguruannya itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka. Dia maju ke hadapan Resi Permana dan dengan nada keras marah menegur:
"Resi Permana! Kau sudah keblinger atau bagaimana sampai berkata dernikian? Sudah terbukti kakak salah, kau masih hendak membela. Rupanya kau bersekongkol jadi pengkhianat?!"
"Berkhianat suatu hal yang keji, aku tahu hal itu," sahut Resi Permana pula. "Dan berlaku kurang ajar pada leluhur tidak jauh kejinya dari berkhianat. Jangan kau berani menuduh Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya memang nyata. Tetapi aku rasa kakak tidak akan terlalu bodoh meloloskan orangorang itu begitu saja. Aku yakin ada perjanjian tertentu yang mengikat diantara mereka!"
"Berjanji dengan musuh-musuh partai justru adalah kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan pula!" tukas Resi Tumbal Soka. "Jika kau tidak ingin bersatu dengan kami, menyingkirlah dari pintu itu!"
Resi Permana dalam hati marah setengah mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika saja paderi itu tidak dihormatinya sebagai ketua niscaya dia tidak segan-segan untuk berdebat mulut lebih jauh. Bahkan tidak gentar melakukan kekerasan. Diam-diam dia menyesali kenapa Resi Kumbara dulu menyerahkan jabatan ketua pada paderi ini.
Resi Permana menghindar dari pintu. Tiga orang paderi lainnya, yang sama sefaham dengan Resi Permana tegak disamping paderi ini, tak mau ikut bersama ketua Partai Lawu Megah dan paderi lainnya. Resi Tumbal Soka memandang pada mereka berempat dengan pandangan menyorot. Lalu dengan nada sinis dia berkata.
"Bagus! Jadi inilah contohnya empat paderi yang jadi puntung-puntung pengkhianat. Kelak para pucuk pimpinan akan mengadakan rapat untuk merundingkan tindakan apa yang bakal dilakukan atas diri kalian!"
"Ketua, aku mohon sekali lagi agar kau suka memikirkan tindakan ini sebelum melakukannya", kata Resi Permana merendah dan sabar.
Pelipis Resi Tumbal Soka kelihatan bergerakgerak saking marahnya. Dia menyemprot.
"Sebaiknya kau pikirkan paderi-paderi dan murid murid partai yang mati dibunuh oleh kedua keparat itu di kaki gunung begitu keluar dari terowongan rahasia!"
"Itu salah mereka sendiri. Kenapa menghadang dan mengeroyok dengan sengaja!" sahut Resi Permana.
Jika tidak dapat menindih kemarahannya mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah menampar Resi Permana saat itu. "Kalau toh mereka yang terbunuh itu bisa datang dan bicara, pasti mereka akan menyumpah dan mengutukmu habis-habisan!" Resi Tumbal Soka bantingkan kakinya ke lantai hingga ubin ruangan amblas lalu putar tubuh tinggalkan paderi Permana yang cuma tegak terdiam dan menarik nafas panjang berulang kali.
***
SEPERTI biasanya Resi Kumbara yang sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh adiknya bersama delapan paderi utama tengah tenggelam dalam kekhusukan samadi. Namun begitu Resi Tumbal Soka dan paderi-paderi lainnya sampai di hadapannya, bekas ketua partai ini tiba-tiba saja buka matanya yang terpejam dan hentikan samadinya. Dia memandang pada adiknya dan semua paderi yang ada di situ dengan tersenyum. Dia tidak melihat paderi Permana dan tiga paderi lainnya, tetapi tak mau bertanya.
"Adikku," Resi Kumbara justru yang lebih dulu buka pembicaraan. "Kau dan saudara-saudara lainnya tak usah menerangkan lagi panjang lebar maksud kedatangan kalian. Aku sudah dengar semua pembicaraanmu di ruangan perundingan. . . ."
Resi Tumbal Soka dan delapan paderi lainnya tidak terkejut karena mereka mengetahui kalau paderi tua itu memiliki semacam ilmu pendengaran jarak jauh yang luar biasa.
Setelah memandang pada saudara-saudara seperguruannya. Resi Tumbal Soka lantas menjawab, "Syukurlah kalau kakang sudah mengetahui hingga kami tidak perlu mengganggumu lama-lama."
Resi Kumbara manggut-manggut sambil usap-usap janggutnya yang putih. "Aku mengakui bahwa memang akulah yang membantu Pendekar Pedang Akhirat dan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu melarikan diri lewat terowongan. Tetapi dengan syarat tertentu yaitu si Pedang Akhirat itu harus mengantarkan sendiri kepala Wiro Sableng padaku jika nanti terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Di samping itu karena keteledorannya si kakek harus pula bunuh diri di hadapanku."
"Kakang percaya pada janji manusia-manusia busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal Soka. "Aku betul-betul tak mengerti."
"Soal busuk mereka belum ketahuan adik. Ada orang yang di luaran kelihatannya kotor jahat, tetapi hatinya putih bersih. Sebaliknya ada orang yang berpakaian bagus, baik budi bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak pegang disiplin dan aturan, tetapi di dalamnya keji keropok."
Resi Tumbal Soka terdiam mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata. "Tapi bagaimanapun kakak tetap salah."
"Betul, aku tahu hal itu…" jawab bekas ketua partai Lawu Megah itu." Sebagai jaminan atas perjanjian itu, Wiro Sableng telah menyerahkan senjata mustika warisan gurunya. …" Dari balik jubah putihnya Resi Kumbara kemudian keluarkan Kapak Maut Naga 212.
Baik Tumbal Soka maupun delapan paderi lainnya sama membeliak kaget dan kagum melihat senjata aneh yang memancarkan sinar terang berkilauan itu.
"Ini betul-betul bukan senjata sembarangan dan agaknya tak ada duanya di jagat ini," membathin Resi Tumbal Soka. Dan dalam hatinya timbullah niat buruk untuk memiliki kapak sakti ini. Setelah memutar otak licinnya sesaat maka berkatalah dia.
"Kakak, senjata itu terpaksa kami sita sebagai barang bukti. Bukti bahwa kau telah disuap oleh dua orang jahat itu agar mereka bisa lolos."
Resi Kumbara tertawa jumawa mendengar kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum apa yang berada dalam hati sang adik.
"Aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Jika kau menganggap ini barang sogokan dan hendak menyitanya, aku tak keberatan. Cuma aku pesankan, jika nanti terbukti pemuda itu tidak bersalah, kau harus kembalikan kapak itu padanya."
Habis berkata begitu Resi Kumbara serahkan Kapal Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang segera diambil oleh Resi Tumbal Soka dan disimpannya di balik jubah.
"Sekarang apa lagi maumu, adik?" bertanya Resi Kumbara.
"Sesuai dengan peraturan, kakak terpaksa kami masukkan dalam penjara," kata Resi Tumbal Soka pula.
Resi Kumbara menarik nafas panjang.
"Nasibku memang sial," kata kakek ini, "Jika memang begitu menurut aturan aku tidak akan membantah. Di penjara manakah aku hendak kalian jebloskan?"
Patut diketahui bahwa di gunung Lawu terdapat tiga macam penjara. Yang pertama penjara berdinding batu biasa. Kemudian penjara dibawah sebuah mata air yang amat dingin hingga siapa yang masuk di sana akan merasakan seolah-olah dipendam dalam salju. Penjara ini disebut Penjara Salju. Yang ketiga adalah Penjara Api. Disini hawanya panas sekali karena pada sebelah luarnya di kelilingi oleh kobaran api.
Setelah berpikir sejenak Resi Tumbal Soka berkata, kata, "Untuk sementara kakak kami tempatkan di Penjara Biasa saja."
"Terima kasih," jawab Resi Kumbara sambil tersenyum dan berdiri. Baru saja dia hendak digiring keluar ruangan samadi tiba-tiba berkelebatan empat sosok tubuh berjubah putih. Di lain kejap Resi Permana dan tiga orang paderi yang setia padanya sudah berdiri menghadang di pintu.
"Siapa yang berani menjebloskan kakak ke penjara akan berurusan dulu denganku!" kata Resi Permana lantang.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Resi Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil bertolak pinggang.
"Aku ketua partai. Hitam kataku harus hitam. Putih musti putih! Kau punya hak apakah bicara seperti itu?!"
"Peduli setan dengan segala hak! Seorang ketua yang baik tidak akan melakukan perbuatan seperti ini terhadap orang yang menjadi kakak kandungnya. Apalagi yang telah mengangkatnya sebagai ketua. Resi Tumbal Soka, aku harap kau bawa saudara-saudara yang lain ini keluar dari sini. Kalau tidak niscaya terjadi pertumpahan darah disini."
"Hemm. . . . Kau berani berkata begitu terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar nyalimu! Minggirlah sebelum aku betul-betul marah!"
"Kau yang harus menyingkir dari tempat ini!" teriak Resi Permana pula.
"Kurang ajar! Saudara-saudara, tangkap pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka pada delapan paderi.
Segera delapan paderi yang diperintahkan bergerak mengurung Resi Permana. Tiga paderi yang datang bersama paderi Permana melihat ini segera pula bersiap-siap.
"Bagus! Kalian berempat akan kujebloskan ke dalam Penjara Api!", teriak Resi Tumbal Soka marah. Sehabis berteriak begitu ketua Partai Lawu Megah ini mendahului turun tangan, lepaskan satu pukulan tangan kosong kearah Resi Permana yang saat itu sudah alirkan pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap untuk menangkis dan balas menggempur. Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal Soka menghantam tiba-tiba paderi ini rasakan bahunya dipegang orang dari belakang demikian keras hingga dia bukan saja tak mampu menggerakkan tangan untuk memukul tetapi juga seolah-olah dipantek kaku. Berpaling ke belakang Resi Tumbal Soka lihat kakaknya tersenyum padanya.
"Sabar adik, bukan dengan saudara sendiri ilmu kepandaian dipakai untuk menyerang!" Kemudian pada Resi Permana dia berkata, "Paderi Permana, kedudukanmu tidak memungkinkan kau dan saudara-saudara membelaku. Caranya juga salah. Kau harus hormat dan patuh pada Resi Tumbal Soka …. "
Resi Permana gigit bibirnya sampai berdarah saking kesal hatinya.
"Menghindarlah dari pintu itu, paderi Permana. Biar mereka menggiring aku ke penjara. Soalnya aku memang salah!"
Untuk beberapa lamanya Resi Permana cuma berdiri tegak sambil geleng-gelengkan kepala. Kemudian dia berkata. "Kalau begitu biar aku dan tiga paderi ini ikut bersamamu dijebloskan dalam penjara!" katanya.
"Terima kasih kalau kau memang bersedia menemaniku." ujar Resi Kumbara pula.
"Berkawan adalah lebih baik dari pada sendirian. Apalagi dalam penjara!"
Maka kelima paderi gunung Lawu itu kemudian digiring dan ramai-ramai dijebloskan dalam Penjara Biasa.
***
DUA BELAS
HANYA BEBERAPA JAM saja sesudah Resi Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi lainnya itu dimasukkan ke dalam Penjara Biasa maka di jalan kecil pada lereng gunung Lawu kelihatan sebuah kereta bertenda ditarik oleh dua ekor kuda yang tegaptegap, mel-ncur mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais dari kereta ini adalah seorang pemuda berambut gondrong. Dia memegang les kuda sambil bersiul-siul nyaring entah membawakan lagu apa. Pemuda ini bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede atau Pendekar 212 Wiro Sableng. Disamping Wiro duduk seorang perempuan separuh baya berwajah pucat ketakutan karena jalannya kereta begitu kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali. Di sebelah belakang duduk pula seorang perempuan bertubuh gemuk berambut putih. Seperti istri Gundali perempuan inipun ketakutan setengah mati naik kereta yang dipacu sekencang itu, apalagi jalan kecil mendaki dan kiri kanan diapit jurang. Dia duduk berpegang erat-erat, kedua matanya dipejamkan. Dia adalah tukang sayur di Magelang.
Ketika melewati sebuah tikungan tajam dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping batu dikiri jalan yang tingginya hampir lima belas tombak, melayang dua sosok tubuh. Janda Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang sayur yang membuka matanya karena mendengar jeritan itu. Dua orang yang melompat dari atas lamping batu tinggi itu, jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak cepat, tanpa menimbulkan suara sama sekali!
Wiro berbaling ke belakang. Dia keluarkan suara siulan keras ketika mengenali siapa adanya dua orang yang barusan melompat ke dalam kereta. Mereka bukan lain ialah Pendekar Pedang Akhirat dan Wilarani yang tempo hari mengobati dan merawat Wiro Sableng.
"Senang bertemu denganmu kembali, Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda penarik kereta agar lebih cepat.
"Amboi! Apakah kau juga senang bertemu denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis cantik ini! Mentang-mentang aku sudah tua bangka!" berkata si kakek.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kalian berdua hendak membonceng kemanakah?!" tanya Wiro.
"Jalan buruk dan sukar, panas pula. Bukankah lebih baik membonceng bersama kalian? Kita mempunyai tujuan yang sama. Puncak gunung keparat ini!" jawab si kakek.
"Untuk menyerahkan kepalaku pada Resi Kumbara?", tanya Wiro bergurau.
"Mungkin juga kepalaku sekalian!" sahut Pendekar Pedang Akhirat. Lalu keduanya sama-sama tertawa.
Setelah melewati pertengahan lereng Gunung Lawu kedatangan mereka ini sudah diketahui oleh muridmurid Partai Lawu Megah yang melakukan penjagaan di tempat tinggi. Laporan segera dikirimkan pada ketua partai. Resi Tumbal Soka segera memanggil beberapa orang paderi kepercayaannya. Mereka bicara di satu ruangan tertutup selama sepuluh menit kemudian bubar.
Sementara itu Wiro dan kawan-kawannya masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan buruk mendaki itu. Disatu tempat dimana sebelah kiri membentang jurang dalam sedang disebelah kanan menjulang gunung batu tinggi, tiba-tiba terdengar suara menggemuruh seolah-olah datang dari langit. Semua orang mendongak ke atas dan serentak menjadi kaget. Tiga buah batu raksasa menggemuruh menggelinding ke bawah. Janda Gundali dan perempuan gemuk tukang sayur menjerit ketakutan sambil pejamkan mata dan tutup kepala dengan telapak tangan.
"Celaka! Matilah kita semua!" seru Pendekar Pedang Akhirat. Wiro sendri garukgaruk kepala kebingungan dan hentikan kereta.
"Wiro kau hantam batu yang sebelah kanan, aku yag sebelah kiri. Batu ketiga elakkan! Dua perempuan ini dibawa keluar kereta dan kau Wilarani, jangan bertindak ayal! Cepat!"
Mendengar kata-kata kakek muka tengkorak itu Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan lalu lepaskan pukulan "sinar matahari", menghantam batu besar di sebelah kanan. Dibagian belakang kereta si kakek telah lepaskan pula pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Terdengar suara berdentum sewaktu pukulan-pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua batu besar yang melayang turun kebawah. Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro Sableng melesat dari kereta sedang Wilarani merangkul janda Gundali serta Pedagang sayur, melompat ke tempat yang aman. Batu raksasa ketiga jatuh menggemuruh dan tepat menghantam kereta. Kereta dan dua ekor kuda itu tertindih lumat! Mengerikan untuk disaksikan!
"Keparat haram jadah! Orang-orang Partai Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!" maki Wiro seraya bersihkan muka dan pakaiannya dari debu hancuran batu.
"Sudah, jangan memaki saja sobatku! Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau dukunglah nyonya gemuk itu, aku akan menggendong janda Gundali. Kalau tidak, kita akan terlalu lama sampai di puncak Gunung Lawu."
Habis berkata hegitu si kakek sambar tubuh janda Gundali, terus membawa lari. Wiro menggerendeng garuk-garuk kepala karena dia kebagian perempuan gemuk buntak itu, sementara Wilarani tertawa geli, lambaikan tangan pada Wiro dan berkelebat mengikuti si kakek. Wiro berpaling pada perempuan tukang sayur yang saat itu tegak menggigil sambil pejamkan mata.
"Hai, gemuk! Marilah kugendong kau!" seru Wiro seraya tampar pantat perempuan itu lantas memanggulnya di bahu kanan. Si gemuk berteriak kaget, di lain kejap dia kembali pejamkan matanya karena ngeri dibawa lari demikian cepatnya!
Setelah melewati jalan yang sulit, dua jam kemudian sampailah mereka di puncak Gunung Lawu. Tak seorangpun kelihatan sedang suasana tampak sunyi saja. Justru hal ini membuat tidak enak. Ketegangan yang tersembunyi. menggantung diseantero tempat. Tepat pada saat Wiro dan kawan-kawannya sampai di tengah lapangan terbuka, maka dari mana-mana muncullah puluhan murid partai dan paderi-paderi. Sekali memandang saja Wiro dan si kakek serta Wilarani sudah mengetahui kalau mereka semua telah terkurung rapat.
Si kakek berbisik pada Wiro, "Bagaimana sekarang?"
"Kau saja dulu yang buka pembicaraan kakek. . . ." sahut Wiro.
"Tapi sebelum bicara apakah aku boleh tertawa dulu?" tanya si kakek muka tengkorak masih bisa bergurau.
"Tertawalah sepuasmu, kalau nanti sudah mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab Wiro setengah mengomel.
Wilarani senyum-senyum geli melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan janda Gundali dari panggulannya, si kakek memandang berkeliling lalu mulai tertawa. Mula-mula perlahan-lahan, kemudian makin keras, makin keras dan panjang meninggi hingga orang yang disitu merasakan bagaimana tanah yang mereka pijak bergetar akibat suara tertawa dahsyat si kakek muka tengkorak.
"Orang-orang Gunung Lawu! Penyambutan kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua kalian?" tiba-tiba si kakek berseru.
Dari bangunan bertingkat di sebelah kiri lapangan, terdengar jawaban. "Aku disini pendekar tua!" Memandang ke jurusan itu kelihatan Resi Tumbal Soka berdiri di beranda tingkat atas. Disebelah kirinya tegak Tandu Wiryo dan Sularwasih. Disamping kanan berdirl dua orang paderi. Semua memandang dengan mata berapi-api. "Bagus kalian datang sendiri mengantar nyawa hingga kami tak perlu susah-susah mencari…!"
Si kakek berpaling pada Wiro, kedipkan matanya lalu kedua orang ini tertawa cekakakan.
"Kami datang mengantar nyawa katamu? Sungguh lucu sekali kedengarannya.
Bagaimana kalau aku katakan bahwa kami datang untuk minta beberapa nyawa orang Partai Lawu Megah hari ini heh!!"
Resi Tumbal Soka mendengus marah. Di sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita tak perlu berdebat panjang dengan bangsat-bangsat ini. Izinkan saya dan para paderi menghajarnya saat ini juga!" Suara Tandu Wiryo bergetar bukan saja karena marah tetapi juga karena takut luar biasa yakni setelah dia mengenali Isteri Gundali!
"Kau sabarlah muridku. Serahkan semuanya padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula.
Di bawah terdengar Wiro Sableng buka suara.
"Ketua Partai Lawu Megah, aku dan orang-orang ini datang untuk meneruskan kembali urusan yang terbengkalai tempo hari!"
"Bagus! Kali ini kau tak akan mampus digantung, tapi lumat dicincang!" yang menjawab adalah Sularwasih.
Wiro Sableng keluarkan siulan. "Amboi Warsih, kau ini tambah cantik saja. Tambah
gemuk malah. Apakah kau sehat-sehat saja selama ini, tidak muntah-muntah … ?!"
Mendengar kata-kata itu berubahlah paras Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang di sebelahnya Tandu Wiryo kelihatan pucat pasi. Jelas pemuda asing itu sudah tahu rahasia mereka berdua. Sementara itu yang lain-lain, termasuk Pendekar Pedang Akhirat tampak agak heran mendengar ucapan Wiro tadi sedang Wilarani mulai menduga-duga. Tiba-tiba!
Sret! Sret!
Tandu Wiryo dan Sularwasih cabut pedang mereka, berteriak keras dan sambitkan senjata itu kebawah. Laksana anak panah pedang Tandu Wiryo melesat kearah Wiro Sableng sedang pedang Sularwasih menyambar kearah janda Gundali!
***
TIGA BELAS
PENDEKAR Pedang Akhirat merasa kaget dan heran kenapa Sularwasih menyerang janda Gundali dengan lemparan pedangnya yang ganas. Disamping itu kakek ini juga jadi marah sekali.
"Sungguh orang-orang partai Lawu Megah tak tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek ini. "Ini kukembalikan pedangmu Warsih." Sekali dorongkan tangan kirinya ke depan maka pedang Sularwasih kelihatan tertahan di udara, kemudian melesat membalik menyerang pemiliknya sendiri. Demikian derasnya luncuran pedang hingga Sularwasih tak berani menyambut, buru-buru mengelak. Pedang itu menancap pada langitilangit bangunan tingkat dua.
"Aku pun juga tidak butuh pedangmu manusia Tandu Wiryo. Ambillah kembali!"
terdengar Wiro berseru. Ketika pedang menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit ke samping. Dari samping dia pukul gagang pedang hingga senjata itu mental tegak lurus ke atas. Begitu turun kembali Wiro pukul belakang gagangnya. Kini pedang itu laksana kilat menyambar ke arah Tandu Wiryo. Seperti juga dengan pedang Wasih, senjata ini melesat danmenancap pada langit-langit ruangan tingkat dua.
"Kalian semua dengar," tiba-tiba si kakek berteriak keras, membuat semua orang terdiam tegang. "Sebelum aku dan sobat muda ini meneruskan pembicaraan aku harap agar Resi Kumbara hadir di sini untuk mendengarkannya."
Resi Tumbal Soka tertawa mengejek.
"Orang tua itu tak ada urusan dengan kalian. Aku ketua Partai Lawu Megah yang menentukan hitam atau putih disini."
"Baik! Tetapi jika nanti kau mengambil keputusan secara tidak adil, ingat Tumbal Soka! Aku sudah tua dan sudah jemu hidup di dunia ini. Mati bukan apa-apa bagiku. Tapi kematianku kelak harus disertai dengan sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa orang-orang Gunung Lawu termasuk kau!"
Resi Tumbal Soka mendengus. "Tua bangka sombong takabur. Lekas kemukakan persoalanmu sebelum kau danbangsat gondrong itu kami cincang lumat."
Si kakek berpaling pada Wiro Sableng, anggukkan kepala seraya berkata. "Selesaikan urusanmu, sobat muda."
Wiro garuk-garuk kepala beberapa kali lalu buka mulut.
"Ketua Resi Tumbal Soka! Dulu kalian telah menuduhku secara membabi buta sebagai orang yang telah merusak kehormatan nona Warsih. Hari ini aku datang untuk membeberkan persoalan yang sebenarnya lengkap dengan saksi-saksi."
"Saksi-saksi palsu!" teriak Tandu Wiryo.
"Sssst!" Wiro palangkan jari telunjuknya diatas bibir. "Jika kau tidak diminta bicara, belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-kata dan sikap Wiro yang lucu tapi mengejek itu membuat Tandu Wiryo laksana terpanggang sementara Sularwasih sendiri menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan kata-katanya.
"Sejak semula aku merasa ada yang tidak beres di balik semua kejadian keji itu. Aku sengaja dijadikan kambing hitam. Dan orang yang mengatur semua rencana keji itu adalah murid Partai Lawu Megah sendiri. Itu mereka…. yang bernama Sularwasih danTandu Wiryo."
"Bangsat! Kau berani menuduh kurang ajar," teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat turun dari tingkat atas, tapi seorang paderi cepat mencegahnya.
"Tandu Wiryo! kenapa kau kelihatan begitu sewot. Apa hendak menyembunyikan rasa takutmu…?" kembali Wiro menempelak dengan ejekannya.
Mulut Tandu Wiryo kelihatan komat kamit entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir Wiro kemudian lanjutkan kata-katanya. "Dua murid Partai Lawu Megah itu nyatanya sudah sejak lama melakukan hubungan gelap, entah di luaran entah di puncak Gunung Lawu ini. Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk itu telah membuat Sularwasih hamil alias bunting alias mengandung alias berbadan dua. Kalian dengar semua?! Sularwarsih bunting akibat hubungannya dengan Tandu Wiryo.
Hal ini membuat mereka takut dan berusaha menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip. Mereka mencari akal untuk menyelamatkan diri dan sewaktu aku bertemu dengan mereka di penginapan Candi. Magelang, ternyata akulah yang mereka jadikan bulan-bulanan kambing hitam. Sekarang Sularwarsih sudah hamil memasuki empat bulan. Jika kalian tidak percaya silahkan geledah perutnya."
Kata-kata Wiro yang tandas itu membuat semua orang kaget laksana disambar petir.
"Tidak! Tidak! Dia berdusta!" tiba-tiba Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup mukanya dengan telapak tangan, lalu tanpa diduga siapapun dia melompat dari tingkat dua itu ke genting bangunan di sebelahnya dan lenyap.
Pendekar Pedang Akhirat berseru. "Resi Tumbal Soka apa kau tidak memerintah orang-orangmu untuk mengejar dan menangkap gadis bunting itu?"
Wajah Resi Tumbal Soka membesi merah padam.
"Hal itu bisa dilakukan nanti. Toh dia mau lari kemala! Yang penting pemuda gondrong ini harus mempertanggung jawabkan tuduhan kejinya itu."
Wiro tertawa mengejek. "Ketua! Tuduhan bukan cuma tuduhan membabi buta dan palsu seperti yang pernah dilakukan orang-orang Partai Lawu Megah terhadapku. Aku datang lengkap membawa dua saksi hidup." Wiro berpaling pada janda Gundali dan berkata, "Perempuan ini sekarang menjadi janda karena suaminya telah dibunuh oleh Tandu Wiryo."
Kembali semua orang jadi gempar.
"Suaminya bekerja di Penginapan Candi di Magelang dan secara kebetulan telah mengintip perbuatan mesum Tandu Wiryo dengan Sularwasih, bahkan mendengar juga pembicaraan mereka hendak mencelakakan akau Mbakyu, kau tuturkan sendirilah semua apa yang kau ketahui!"
Dengan tersendat-sendat janda Gundali ceritakan apa yang pernah diterangkan suaminya padanya. Lagi-lagi gunung Lawu menjadi gempar. Disaat itu tiba-tiba Tandu Wiryo putar tubuh hendak melarikan diri tapi dari bawah Pendekar Pedang Akhirat yang sejak tadi mengawasi pemuda ini cepat jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak jauh yang lihay hingga detik itu juga Tandu Wiryo tak mampu berkutik lagi!
"Bagus…. bagus! Semua mulai terang kini! Yang busuk mulai kelihatan belangnya!
Ayo sobatku sekarang aku ingin tahu tentang perempuan gemuk ini. Siapa dia!" seru si kakek pula.
"Perempuan ini adalah pedagang sayur mayur yang menjadi langganan penginapan Candi di Magelang. Hari itu ketika aku masuk penginapan secara tak sengaja aku bertabrakan dengan dia yang sedang membawa keranjang. Tabrakan ini membuat salah satu kancing bajuku tanggal dan jatuh. Aku tak dapat menemukannya. Kancing baju inilah yang kemudian diambil oleh Tandu Wiryo sebagai bukti bahwa aku seolah-olah memang pernah masuk ke kamari Sularwasih! Sialan betul! Ibu gemuk, kau berikanlah kesaksianmu!"
Perempuan gemuk tukang sayur itu lantas memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana kain kafan wajah Tandu Wiryo.
"Resi Tumbal Soka! Sekarang aku minta agar kau menggantung murid terkutuk itu!
Di hadapanku! Di hadapan sobatku dan semua murid-murid partai! Jika kau dulu berani memutuskan hukuman gantung bagi sobatku maka hari ini kau harus berani menjatuhkannya pada Tandu Wiryo! Ayo!"
Mulut ketua partai Lawu Megah tampak terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab kata-kata kakek muka tengkorak itu. Namun akhirnya dia berkata juga. "Soal hukuman itu adalah urusan kami. Kau orang luar tidak layak mendikte!"
"Ah, sungguh enak sekali kalau begitu Resi Tumbal Soka. Murid sudah terbukti salah masih tak mau mengambil tindakan! Aku curiga jangan-jangan kaupun ikut terlibat dalam_persoalan ini!" seru si kakek.
"Bangsat tua! Kurobek mulutmu!"
"Silahkan, aku mau lihat!" tantang si kakek yang memang sudah jengkel dan muak meiihat kctua Partai Lawu Megah itu.
"Aku mengajukan usul!" Wiro berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau Tandu Wiryo langsung mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya satu lawan satu denganku?"
"Aku sudah bilang kami yang membuat aturan di sini, bukan kalian yang mendikte!" teriak Resi Tumbal Soka.
"Wah, berabe kalau begini kakek." kata Wiro pada si kakek muka tengkorak.
"Sekarang kalian kupersilahkan angkat kaki dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada keperluan apakah datang kemari bersama-sama mereka, Wilarani? Apa ikut bersekutu?!" kata Resi Tumbal Soka pula.
"Saya datang untuk menyambangi guru Resi Kumbara!" jawab Wilarani.
"Sayang sekali kakek itu tak mungkin menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah pula dari sini!"
Wiro maju kemuka. "Aku dan kawan-kawan akan pergi dari sini. Tetapi lebih dahulu harus bertemu dengan Resi Kumbara. Tempo hari aku telah menyerahkan sebuah senjata mustika sebagai jaminan. Sekarang aku harus memintanya kembali".
"Lupakan senjatamu itu. Kalau semua sudah selesai pasti akan dikembalikan!"
"Kentut! Pokoknya aku harus mendapatkan senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan nanti!"
"Memang senjata itu sudah saatnya harus dikembalikan," kata si kakek pula.
"Kalian tak bisa bertemu dengan dia…."
"Kenapa?"
"Dia tengah menjalani hukuman dalam penjara bersama paderi Permana dan tiga paderi lainnya!"
Wilarani kaget sekali Wiro dan Pendekar Pedang Akhirat jadi melongo.
"Kalau begitu kami akan menemuinya di penjara!" kata Wiro kemudian.
"Kalian jangan keliwat memaksa dan bicara seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan aman…."
"Resi Tumbal Soka keparat! Kaulah rupanya yang jadi biang racun dari semua yang terjadi disini? Turunlah dan mari bertempur sampai mampusl" teriak Wiro Sableng.
Seumur hidupnya Resi Tumbal Soka tak pernah dimaki begitu rupa, apalagi di hadapan sekian puluh pasang mata. Amarahnya mendidih. Dia berteriak memberi perintah, "Bunuh pemuda itu!"
***
EMPAT BELAS
ENAM orang paderi dan delapan murid kelas satu bergerak maju mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng ini betul-betul sudah sampai dibatas kesabarannya. Dia membentak. "Kalian ini tertalu bodoh, mau saja disuruh mampus! Atau memang sudah bosan hidup hingga ingin buru-buru mati?"
Enam paderi keluarkan bentakan buas dan menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi.
Disaat yang menegangkan itu Wiro Sableng berseru memanggil kakek muka tengkorak. "Kakek, lihatlah bagaimana aku mainkan jurus ke tiga dari ilmu pedangmu "Setan meratap malaikat menangis!"
Si kakek yang tadi hendak melakukan sesuatu terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan jurus ilmu pedang itu dalam gerakan tangan kosong yang luar biasa yang dirasakan lebih hebat dari pada yang dimainkan sendiri olehnya sementara tangannya bergetar oleh kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba lepaskan pukulan "sinar matahari" sedang tangan kanan menghantamkan pukulan "dewa topan menggusur gunung."
Terjadilah hal yang hebat. Puncak Gunung Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan enam paderi dan delapan anak murid partai terdengar susul menyusul. Di seberang sana sembilan murid partai lainnya ikut tersapu oleh dua pukulan maut itu. Wiro yang sudah kalap terus mengamuk hingga keadaan tidak beda seperti di neraka!
Ketika semua itu terjadi, diatas bangunan tingkat dua si kakek melihat Resi Tumbal Soka melepaskan totokan ditubuh Tandu Wiryo dan membisikan sesuatu pada pemuda ini. Si kakek cepat berpaling pada Wilarani dan berkata, "Kau tahu letak penjara di mana Resi Kumbara dijebloskan?"
Gadis itu mengangguk.
"Pergilah ke sana dan lepaskan gurumu. Dua perempuan ini kau selamatan lebih dulu ke tempat aman!"
Habis berkata begitu si kakek lantas melesat ke bangunan tingkat dua tepat pada saat Tandu Wiryo hendak bergerak pergi! Sekali tangan si kakek mendorong, Tandu Wiryo jatuh ke lantai, sekujur tubuhnya seperti lumpuh tak bisa lagi berkutik!
Melihat hal ini Resi Tumbal Soka jadi marah.
"Tua bangka sundal! Kau sudah saatnya dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu Megah itu. Dalam kemarahan paderi ini sudah tak bisa lagi mengontrol kata-katanya yang keluar.
Si kakek cuma tertawa mendengar makian itu. Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal Soka kebutkan lengan jubahnya, kirimkan pukulan yang mengandung angin hebat sekali. Jangankan manusia, batu sekalipun pasti ambruk terkena kebutan lengan jubah ini! Sesaat lagi angin pukulan akan melabrak, kakek muka tengkorak ini dorongkan telapak tangan kanannya ke depan menyambut serangan lawan. Terjadilah hal yang hebat. Bangunan tingkat dua itu bergetar keras, langit-langit serta teralinya ambruk sewaktu terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga dalam yang dasyat!
Resi Tumbal Soka berseru tegang, Parasnya pucat. Tubuhnya pasti terjungkal jika tidak tertahan dinding bangunan. Memang dalam hal tenaga dalam ketua Partai Lawu Megah ini mana bisa menang dari Pendekar Pedang Akhirat yang sudah dianggap jago nomor satu dalam tenaga dalam dan pedang di dunia persilatan. Padahal sekitar satu tahun yang silam dia pernah memberikan sebagian dari tenaga dalamnya pada Wiro Sableng yakni waktu pemuda itu selamatkan si kakek dari liang maut. Sambil usap-usap telapak tangannya yang bergetar dan terasa panas akibat bentrokan tenaga dalam itu, si kakek tertawa mengekeh.
"Hari ini kau betul-betul mendapat pelajaran, paderi brengsek!"
Dengan geraham bergemeletakan Resi Tumbal Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik jubahnya. Kaget si kakek muka tengkorak bukan kepalang.
"Heh! Bagaimana senjata itu ada di tanganmu hah?!" serunya.
"Tak usah banyak tanya!" hardik Resi Tumbal Soka. Sekali dia ayunkan Kapak Naga Geni 212 maka berkiblatlah sinar menyilaukan disertai suara mengaung seperti ratusan tawon mengamuk!
Pendekar Pedang Akhirat yang sudah maklum kehebatan senjata ini cepat melompat mundur dan cabut pedang mustikanya. Pada dasarnya Resi Tumbal Soka mengetahui kehebatan ilmu pedang lawan yaitu tak satu ilmu pedang lainpun pada masa itu sanggup menandinginya. Namun karena sudah terlanjur kalap di samping merasa dapat mengandalkan senjata yang kini ada di tangannya maka dia keluarkan jurus-jurus silat Partai Lawu Megah yang paling hebat dan menyerbu lawannya tidak kepalang tanggung.
Pendekar Pedang Akhirat sendiri terpaksa pula keluarkan jurus-jurus silat simpanannya. Baginya ilmu silat lawan bukan apa-apa. Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi Tumbal Soka itulah yang tak bisa dibuat main. Harus diakui bahwa pedang mustikanya sendiri kehebatannya masih berada dibawah kapak itu. Setelah berhati-hati selama delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat menguasai lawannya. Jurus demi jurus, serangan pedangnya yang laksana berubah jadi puluhan banyaknya itu mengurung Resi Tumbal Soka dari segala penjuru.
Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-tiba si kakek berteriak. "Lepaskan senjata itu, paderi brengsek! Lepaskan dan berikan padaku!"
Tapi mana Resi Tumbal Soka sudi menurut perintah lawannya itu. Malah sambil merangsak maju dia memaki. "Tua bangka sundal! Sebentar lagi kau bakal mampus jadi setan penasaran!"
"Paderi tolol! Diberi peringatan tidak mau dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata itu berikut tanganmu!"
Pedang mustika di tangan kakek lihay itu berkiblat dalam gerakan aneh dan tahutahu cras! Putuslah lengan kanan Resi Tumbal Soka dan mental ke udara berikut Kapak Naga Geni 212. Resi Tumbal Soka menjerit-jerit macam orang gila karena kesakitan. Dia kemudian totok urat-urat besar di bahunya hingga darah berhenti memancur dari luka pada lengan.
Pada saat itu dari arah timur lapangan terdengar seruan keras mengumandang.
"Hentikan pertempuran!"
Begitu berwibawa suara teriakan itu hingga semua orang yang sedang bertempur berhenti memandang ke timur kelihatanlah Resi Kumbara bersama Resi Permana dan tiga paderi serta Wilarani.
"Tobat! Puncak Gunung Lawu telah banjir darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu terjadi!" Bekas ketua Partai Lawu Megah ini memandang ke bangunan bertingkat dan kembali berseru. "Resi Tumbal Soka, kau kemarilah!"
Saat itu Resi Tumbal Soka bukan saja tengah mengalami luka parah tetapi juga sakit hati dendam kesumat yang bukan kepalang. Dan kini mendengar kakaknya memanggil timbullah rasa takutnya.
"Maaf kakang! Aku tak bisa datang menghadapmu! Jikalau umur sama panjang tentu kita bakal bertemu lagi!" Lalu Resi Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang Akhirat yang tegak di depannya sambil menimang-nimang Kapak Naga Geni 212.
"Suatu ketika kelak aku akan mencarimu, tua bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan berapa hebatnya pembalasanku!" Habis berkata begitu paderi ini putar tubuh.
"Hai, kunyuk tua! Kau hendak lari kemana?!" seru si kakek dan bergerak hendak mengejar. Tapi membatalkan gerakannya itu tatkala dibawah sana terdengar Resi Kumbara berseru. "Biarkan saja dia, sobat! Memang dia tak layak berada lebih lama disini."
Si kakek angkat bahu kemudian pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo yang melingkar di lantai, lumpuh tak bergerak akibat totokannya. Si kakek pergunakan kakinya untuk membuka totokan di tubuh si pemuda terkutuk dan sekaligus menendangnya hingga Tandu Wiryo mencelat mental dan jatuh tepat dihadapan Wiro Sableng!
Wiro jambak rambut pemuda ini lalu tampar keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya robek. Tandu Wiryo meraung kesakitan.
"Buset! Suaramu kok jadi buruk sekarang! Mana mulut besarmu yang suka bicara seenaknya itu!"
"Wiro!" terdengar seruan Resi Kumbara, "Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan hukuman pada manusia sesat dan keji itu! Wiryo, kemari lekas!"
Dengan terhuyung-huyung dan sambil pegangi pipinya yang mengucurkan darah. Tandu Wiryo melangkah kehadapan Resi Kumbara.
"Semua ini terjadi gara-garamu! Gara-gara nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang sesat, licik dan keji! Seharusnya kupenggal kepalamu detik ini juga! Tetapi ada hukuman lain yang lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama hidupmu!"
Resi Kumbara ulurkan tangannya ke selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik pemuda ini setinggi langit.
"Pergi dari sin.! Aku tidak sudi lagi melihat mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu merupakan daerah terlarang bagimu!"
Terkangkang-kangkang Tandu Wiryo tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan bercucuran dari selangkangannya. Semua orang tidak menyangka demikian kejam dan mengerikannya hukuman yang dijatuhkan oleh Resi Kumbara. Seluruh anggota rahasia pemuda itu diremas hancur dan cacat selama-lamanya!.
Resi Kumbara menghela nafas panjang dan memandang pada Wiro Sableng serta Pendekar Pedang Akhirat yang melangkah mendatanginya.
"Apakah kalian berdua sudah puas sekarang…?" menegur bekas ketua Partai Lawu Megah itu.
Si kakek batuk-batuk beberapa kali.
"Bukan maksud kami sampai terjadi yang begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan memaksa. Aku yang tua dan sahabat mudaku ini mohon maaf sebesar-besarnya. Karena cerita sebenarnya tentang perkosaan itu telah diketahui oleh semua orang disini maka aku dan sahabatku mohon diri!"
Si kakek dan Wiro menjura. Melirik ke samping Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana? Akan pergi sama-sama kami?"
"Sayang aku tak bisa ikut bersamamu, Wiro. Banyak tugas yang harus kulakukan di sini bersama guru!"
Wiro mengangguk. "Kau murid yang baik. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu tempo hari!" Wiro lambaikan tangannya dan segera berkelebat pergi tapi si kakek memegang bahunya dan angsurkan tangan kirinya yang memegang Kapak Naga Geni 212.
"Kau tak ingin membawa ini?"
"Astaga, aku sampai lupa. Terima kasih kakek. Mari kita pergi."
"Ya, kita segera pergi. Tapi bagaimana dengan dua perempuan itu?" ujar si kakek seraya menunjuk pada janda Gundali dan perempuan pedagang sayur.
Wiro garuk-garuk kepalanya. Lalu dia mendekati janda Gundah dan langsung dukung perempuan ini seraya berkata sambil tersenyum pada si kakek. "Sekarang giliranmu untuk menggendong si gemuk itu!" Wiro tertawa gelak-gelak dan berkelebat pergi sedang si kakek memaki panjang pendek. Mau tak mau dia harus mendukung nyonya gemuk pedagang sayur itu!
Resi Kumbara cuma bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah terjadinya peristiwa besar di puncak gunung Lawu itu dan perginya sang ketua Resi Tumbal Soka, maka Resi Kumbara mengangkat Resi Permana menjadi ketua yang baru sedang dia sendiri kembali mengundurkan diri ke ruangan samadi.
***
TAMAT
Episode Selanjutnya:
Siluman Teluk Gonggo
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Neraka Puncak Lawu Bab 8 --> 14"
Posting Komentar