WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 006
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
SEMBILAN
Dua puluh tahun yang silam….
Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling cantik disini!”
Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.
“He… he… kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian peluk dan ciumanpun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
“Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus “Ekor Naga Menebas Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dari serangannya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kau lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani, memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah kehadapan si nenek.
Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur.
Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. “Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu…?!” tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak nenek….”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai!”
Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu…?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang… memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Orang tua sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
“Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
“Biarawati Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini!”
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.
***
Dua puluh tahun yang silam….
Tak berapa jauh dari kaki Welangmanuk terdapat sebuah pedataran tinggi yang subur. Kebun sayur mayur terbentang menghijau di mana-mana.
Bila seseorang berdiri di atas pedataran tinggi ini dan memandang ke bawah maka tampaklah pemandangan yang sangat indah dari lembah Manukwilis. Di atas pedataran tinggi itu terletaklah sebuah bangunan dari tembok yang selain besar juga sangat bagus bentuknya. Keseluruhan bangunan ini dicat putih dan dipagari dengan tembok setinggi lima tombak. Untuk masuk ke halaman dalam bangunan cuma ada sebuah pintu. Pintu ini juga terbuat dari batu yang hanya bisa dibuka secara rahasia. Kalau bukan orang yang berilmu sangat tinggi jangan harap bisa masuk ke dalam halaman bangunan karena di atas tombak yang tingginya lima tombak itu masih ditancapi lagi dengan besi-besi runcing berduri-duri panjang setinggi tiga tombak!
Bangunan atau gedung apakah sesungguhnya yang terdapat di belakang tembok itu dan siapakah pemiliknya? Konon kabarnya gedung itu adalah sebuah biara. Biara itu kini diketuai oleh seorang Biarawati bernama Wilarani. Biarawati ini sudah lanjut usianya, hampir mencapai enam puluh tahun. Dulunya semasa muda dia merupakan seorang gadis cantik yang tersiar harum ke mana-mana kecantikannya itu. Kebahagiaan hidup muda remajanya hancur luluh sewaktu kekasih yang dicintainya lari meninggalkannya dan kawin dengan seorang anak bangsawan kaya raya sedangkan Wilarani sendiri adalah anak petani miskin.
Keputusasaan karena patah hati itu membawa akibat yang mendalam bagi Wilarani. Orang tuanya berusaha mencarikan jodoh lain untuknya, namun kegetiran percintaan yang telah dialami oleh Wilarani, yang membawa dirinya masuk kedalam lembah makan hati dan kesengsaraan bathin tak dapat lagi ditawar-tawar dengan obat apapun, sekalipun dengan pemuda-pemuda gagah lainnya, sekalipun puluhan pemuda-pemuda sekitar tempat kediamannya dan dari jauh-jauh datang melamar serta tergila-gila kepadanya!
Bagi Wilarani dunia ini sudah bukan apa-apa lagi. Di matanya cinta murni itu, cinta suci sejati hanya ada dalam mulut, tidak dalam kenyataan! Dalam keputusasaan karena patah hati, dalam kehancuran bathin dan kegelapan pemandangan, apalagi sewaktu kedua orang tuanya meninggal dunia, maka Wilarani yang saat itu sudah berumur hampir tiga puluh dan pemuda-pemuda yang dulu menggilainya tapi tak kesampaian memetik bunga harum sekuntum itu telah mulai menyiarkan ejekan-ejekan bahwa dia kini sudah menjadi “perawan tua”, akhirnya Wilarani mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman tempat kelahirannya.
Dia pergi tanpa tujuan. Hampir satu tahun dia malang melintang tiada karuan. Keadaannya sudah demikian menyedihkan, pakaian compang-camping dan tubuh kurus sakit-sakitan. Hanya satu bukti kehidupan masa mudanya yang sampai saat itu masih dimilikinya, yaitu parasnya yang cantik. Paras itu masih belum pupus kejelitaannya meski pada tepi-tepi matanya telah timbul garis-garis ketuaan dan pada pipi yang agak cekung mulai membayang kerenyut-kerenyut.
Dan kecantikan yang masih belum pupus inilah yang membuatnya suatu ketika dihadang oleh segerombolan rampok-rampok buas di tengah rimba belantara. Dia diseret kesarang rampok. Pimpinan rampok memerintahkan pembantu-pembantunya yaitu beberapa orang perempuan untuk memandikan dan membersihkan tubuh Wllarani, memberinya pakaian yang bagus dan harum-haruman. Wilarani tahu apa arti itu semua, namun daya apa yang akan dibuatnya untuk mempertahankan diri serta kehormatannya?! Dia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang sangat bagus dan tak lama kemudian pemimpin rampok bertampang buruk buas bercambang bawuk menjijikkan masuk ke dalam kamar itu!
Si kepala rampok bersinar-sinar sepasang bola matanya.
Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah dan berkata disertai seringai buruk dan hidung kembang kempis.
“Ternyata kau seorang perempuan jelita! Ahh… kecantikanmu tidak kalah dengan gundik-gundikku yang paling cantik disini!”
Kepala rampok itu melangkah mendekati Wilarani yang berdiri dengan lutut gemetar serta muka pucat pasi di sudut kamar.
“He… he… kenapa menyudut ketakutan? Aku bukan macan yang mau menelanmu bulat-bulat! Tap! laki-laki kuat yang akan merangkulmu penuh nikmat! Ha… ha… ha…!”
Kemudian peluk dan ciumanpun datang bertubi-tubi atas diri Wilarani. Perempuan itu menjeri-jerit tiada hentinya dan mendorong si kepala rampok hingga terjerongkang ke tepi tempat tidur!
Kepala rampok itu duduk di tepi tempat tidur dan tertawa cengar-cengir. Wilarani lari ke pintu tapi pintu itu dikunci!
“Perempuan,” kata si kepala rampok. “Parasmu cantik, tubuhmu halus mulus. Aku tak mau gunakan kekerasan padamu. Karenanya turut saja apa mauku! Ayo buka pakaianmu biar aku bisa lekas-lekas lihat keindahan tubuhmu!”
“Laki-laki durjana! Lepaskan aku! Keluarkan aku dad sini!”
Si kepala rampok tertawa gelak-gelak.
Dia bangkit dari tempat tidur.
“Kalau tak mau buka baju sendiri berarti terpaksa aku yang telanjangi kau!” katanya.
Diterkamnya Wilarani. Jari-jari tangannya yang besar-besar bergerak kian kemari merobeki seluruh pakaian yang melekat ditubuh Wilarani! Perempuan itu menjerit! Menjerit dan menjerit!
Mendadak di luar terdengar pula suara jeritan. Terdengar lagi susul menyusul tiada henti dan dibarengi dengan suara beradunya senjata!
Belum habis kejut si kepala rampok tahu-tahu pintu kamar di dalam mana dia berada bersama Wilarani untuk melampiaskan nafsu terkutuknya ditendang bobol dari luar dan sesaat kemudian sesosok tubuh menerobos masuk ke dalam!
Yang masuk ternyata seorang nenek-nenek tua berkepala botak berjubah putih. Di tangannya sebelah kanan tergenggam seikat sapu lidi!
“Iblis tua dari manakah yang berani membuat kekacauan di sini?!” bentak si kepala rampok dengan beringas!
Si nenek tertawa melengking-lengking.
“Iblis tua dari neraka, kunyuk berewok!” balasnya membentak. “Aku diutus oleh setan-setan neraka untuk minta kau punya jiwa!”
Dan habis berkata begini si nenek sapukan sapu lidi di tangan kanannya! Kepala rampok terkejut sekali! Dia tak menyangka kalau sapu lidi itu adalah satu senjata ampuh yang dapat melepaskan angin pukulan laksana badai hebatnya!
Sambil membentak garang laki-laki itu segera cabut goloknya yang mempunyai panjang satu setengah meter dan lebar hampir satu jengkal!
Si nenek ganda tertawa melihat senjata lawannya. Dan sewaktu kepala rampok itu menerjang dengan satu tebasan lihai mematikan, si nenek kepala botak melengking-lengking lagi, berkelebat cepat dan tebasan golok kepala rampok hanya melanda angin kosong!
Kejut si kepala rampok bukan olah-olah. Jurus yang dilancarkannya tadi adalah jurus “Ekor Naga Menebas Gunung!” Selama ini tak satupun manusia yang selamat dari serangannya yang dahsyat itu. Tapi si nenek kepala botak mengelakkannya dengan mudah dan sambil tertawa melengking-lengking!
Belum lagi habis kejut kepala rampok ini tahu-tahu ujung sapu lidi si nenek menusuk laksana kilat ke mukanya. Kepala rampok berseru kaget dan mundur cepat ke belakang. Tapi punggungnya tertahan tembok kamar! Dan sementara itu ujung sapu lawan memburu terus ke mukanya!
Terdengar jeritan laki-laki itu!
Seluruh mukanya hancur berlubang-lubang laksana dipantek ratusan paku. Matanya telah buta dan darah membanjir membasahi mukanya yang mengerikan itu! Dia melolong laksana srigala haus darah.
Kedua telapak tangan menekap muka. Tubuhnya kemudian jatuh terjerembab ke lantai, menggelepar-gelepar beberapa kali lalu menggeletak tiada nyawa lagi!
“Perempuan kau lekas ikut!” berseru si nenek kepala botak pada Wilarani.
Wilarani yang masih dikungkung rasa terkejut dan ngeri tidak segera bergerak mengikuti kata-kata si nenek! Sementara itu di luar terdengar suara puluhan kaki datang berlari mendekati kamar itu!
“Ayo lekas!” teriak si nenek. “Nenek, kau siapakah? A… aaaku….”
“Perempuan geblek! Sekarang bukan saatnya bertanya!” Si nenek kepala botak segera sambar tubuh Wilarani, memondangnya dibahu kiri lalu lari ke pintu dengan cepat.
Tapi begitu dia sampai di ambang pintu, kira-kira dua puluh orang anak buah rampok sudah menghadang dengan berbagai senjata di tangan!
“Ini dia kunyuk tua berkepala botak yang telah membunuh sebelas orang kawan-kawan kita!” teriak rampok yang terdepan!
Beberapa orang dibarisan terdepan itu yang telah memandang ke dalam kamar sama berteriak kaget! “Anjing tua ini juga telah bunuh pemimpin kita!”
“Serbu!”
“Kalau mau mampus cepatlah maju!” teriak si nenek. Dibarengi dengan suara tertawanya yang melengking-lengking maka sapu lidi di tangan kanannya disapukan ke muka! Lima rampok dibarisan terdepan terpekik! Tubuhnya rebah dengan muka berlumuran darah! Kawan-kawannya yang lain menjadi tambah kalap dan laksana air bah menyerbu menerobos ambang pintu, dengan serentak kiblatkan senjata masing-masing ke arah si nenek yang sampai saat itu masih memondong tubuh Wilarani di atas pundak kirinya. Wilarani sendiri saat itu sudah tidak sadarkan diri alias pingsan!
“Rampok-rampok bejat! Kalian memang tak perlu dikasih hidup!” seru si nenek! Didahului dengan tendangan kaki kanan yang mengeluarkan angin dahsyat si nenek putar sapunya sekeliling tubuh!
Maka susul menyusullah suara pekik kematian belasan rampok! Yang masih hidup tidak punya nyali lagi meneruskan mengeroyok si nenek yang mereka anggap bukannya manusia tapi benar-benar iblis! Mereka yang masih hidup ini segera ambil langkah seribu. Tapi si nenek mana mau kasih ampun! Meski rampok-rampok itu sudah lari beberapa jauhnya, dengan kebutan sapu lidinya yang sakti itu semua perampok yang larikan diri jungkir balik berpelantingan den menemui kematiannya!
Sewaktu Wilarani siuman didapatinya dirinya berada dalam sebuah kamar yang bagus dan si nenek kepala botak berjubah putih dilihatnya duduk di sebuah kursi goyang, duduk asyik menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil tertawa-tawa dan makan sepotong roti.
Wilarani bangkit dari pembaringan di mana dia ditidurkan. Sewaktu dia meneliti dirinya ternyata dia telah mengenakan baju jubah putih yang bagus berenda-renda setiap tepinya.
Si nenek terus juga bergoyang-goyang di kursi itu terus juga memakan rotinya.
“Nenek…”
“Akh… kau sudah siuman Wilarani? Bagus-bagus!”
Wilarani terkejut sewaktu si nenek menyebut namanya. Darimana perempuan tua ini tahu dirinya. Sedangkan dia sendiri baru kali ini bertemu muka.
“Kau tidak perlu heran bila aku mengenal namamu,” bicara lagi si nenek. Lalu dicampakkannya tepi roti yang keras lewat jendela kamar.
Wilarani memandang sekilas lewat jendela itu. Di luar dilihatnya tembok putih yang sangat tinggi menghalangi pemandangan. Pada bagian atas tembok terdapat besi-besi berduri setinggi beberapa tombak. Kemudian perempuan ini alihkan kembali pandangannya pada si nenek yang duduk di kursi goyang, lalu berdiri dan melangkah kehadapan si nenek.
Dihadapan nenek kepala botak ini Wilarani menjura hormat dan berkata.
“Nenek, meski aku tidak kenal kau tapi kau telah selamatkan aku dari perbuatan terkutuk dan kebejatan! Aku yang buruk ini haturkan terima kasih sedalam-dalamnya…”
Si nenek tertawa gelak-gelak. Dari atas meja disampingnya diambil lagi sepotong roti yang terletak di dalam piring. Wilarani menyadari betapa perutnya sangat lapar sewaktu dilihatnya roti yang di atas meja itu. Tapi si nenek tidak menawarkan kepadanya.
“Kau duduk saja kembali ke pembaringan itu,” memerintah si nenek.
Wilarani menurut dan duduk di tepi tempat tidur.
Karena si nenek tidak berkata-kata dan asyik terus menggerogoti rotinya maka bertanyalah Wilarani. “Nenek, apakah aku yang rendah ini boleh tahu siapa kau adanya dan di mana aku berada saat ini?!”
Si nenek habiskan dulu rotinya baru menjawab.
“Siapa aku?! He, itulah yang aku sendiri tidak tahu!” Lalu nenek itu tertawa terlengking-lengking.
Wilarani tak habis heran. Nenek kepala botak ini agaknya seorang sakti yang aneh misterius.
Dalam pada itu si nenek membuka lagi mulutnya, berkata. “Orang-orang juga sering bertanya seperti kau. Siapa aku?! siapa aku?! Dan aku selalu bilang pada mereka aku sendiri tidak tahu! Kadang-kadang ada yang keliwatan mendesak, tanya terus, tanya terus! Lalu aku jawab aku adalah seorang nenek-nenek buruk berkepala botak!” Kembali si nenek tertawa melengking-lengking!
Mau tak mau Wilarani ikut pula tertawal “Ha…,” si nenek hela nafas. “Kau bisa juga tertawa ya? Kata orang kalau banyak tertawa bisa awet muda! tapi aku yang sudah tua semakin banyak tertawa semakin keriputan! Semakin jelek!”
Wilarani tertawa cekikikan. Tapi tertawanya itu ditahan-tahan karena khawatir si nenek akan marah! Terhadap orang bersifat aneh musti berlaku hati-hati, demikian membathin Wilarani.
“Wilarani!” berkata si nenek sesudah roti kedua dihabiskannya. “Di mana kau berada saat ini pun, kau tak perlu tahu! Yang penting yang musti kau ketahui ialah bahwa kau harus diam di sini bersamaku selama dua puluh tahun!”
Kagetlah Wilarani.
“Nenek, apa maksudmu…?!” tanya Wilarani.
Lama si nenek berdiam diri, memandang lurus-lurus ke tembok kamar dihadapannya seakan-akan pandangannya itu hendak menembus ketebalan tembok itu.
“Selama dua puluh tahun itu kau sama sekali tidak boleh meninggalkan tembok ini, tidak boleh keluar dari tembok yang membatasi gedung ini! Jika kau melanggar pantangan itu, hukuman yang berat akan jatuh atas dirimu dan kau akan disekap selama empat puluh tahun dipenjara di bawah tanah yang gelap gulita!”
Berubahlah paras Wilarani mendengar ucapan si nenek. Dia membathin jika si nenek membawanya ke sini dengan maksud jahat mengapa dia telah ditolong dari tangen perampok-peramok itu? Tapi kini sesudah ditolong kenapa pula dia musti tinggal selama dua puluh tahun dalam gedung itu tak boleh keluar dan jika melanggar pantangan akan disekap dipenjara bawah tanah selama empat puluh tahun?! Sungguh aneh! Aneh tapi diam-diam juga menggidikkan Wilarani! Kalau dia mengikuti kehendak si nenek, berarti dua puluh tahun kemudian dia sudah menjadi nenek-nenek pula dan dalam keadaan masih perawan, perawan tua! Sebaliknya bila dia membantah, dia akan disekap empat puluh tahun dalam penjara bawah tanah, ini berarti pada saat dia dibebaskan nanti usianya sudah mencapai tujuh puluh tahun!
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dalam benakmu!” berkata tiba-tiba si nenek. “Dan kau juga musti tahu banyak hal tentang dunia luar, tentang dunia persilatan! Apa yang kau ketahui tentang dunia luar, tentang dunia persilatan?!”
“Banyak nenek….”
“Coba sebutkan!”
Wilarani bungkam. Dia memang banyak mengetahui seluk beluk dunia luar semenjak pengembaraannya meninggalkan kampung halaman dan tahu pula bahwa dunia luaran itu penuh dengan tokoh-tokoh persilatan kalangan hitam serta putih meskipun dia bukanlah seorang yang telah mencemplungkan diri dalam dunia persilatan.
Si nenek menyeringai.
“Kau bilang tahu banyak! Tapi kau tidak dapat menuturkannya!” kata si nenek kepala botak yang sampai saat ini masih belum diketahui namanya oleh Wilarani.
“Kau tahu Wilarani, dunia yang sekarang ini tidak sama dengan sewaktu mula-mula Gusti Allah menjadikannya! Dulu dunia ini begitu suci! Tapi kini keindahan itu telah lenyap tak digubris manusia-manusia bertangan kotor berhati jahat! Kekotoran terjadi dimana-mana, kejahatan terjadi di mana-mana, kemesuman, ketidakadilan, penindasan, pembunuhan. Dunia kacau! Apalagi dalam kalangan persilatan. Dunia persilatan telah terpecah dua menjadi dua golongan. Golongan putih atau golongan yang mengutamakan kebaikan serta membantu sesama manusia, golongan yang bercita-cita luhur demi menenteramkan bumi Tuhan ini! Sebaliknya golongan hitam mempunyai tindakan dan cita-cita yang berlawanan dengan golongan putih! Mereka membuat kejahatan, kemaksiatan, kemesuman, penindasan sampai kepada pembunuhan. Semakin hari semakin banyak juga jumlah golongan hitam ini balk yang menjadi perampok, maupun yang menjadi bergundal-bergundal kaum bangsawan atau kerajaan, atau yang bertindak malang melintang seenaknya sendiri saja melakukan kejahatan tanpa pertanggungan jawab!
Demikian banyaknya penganut golongan hitam hingga golongan putih menjadi terdesak dan kewalahan bahkan boleh dikatakan kini menjadi banyak yang tidak berdaya menghadapi bergajul-bergajul golongan hitam itu. Dan hampir keseluruhan tokoh-tokoh silat golongan hitam atau putih itu adalah laki-laki! Kaum laki-laki telah mencoba untuk menentramkan dunia ini tapi tidak berhasil. Golongan hitam telah membuat keonaran di mana-mana. Membuat ribuan manusia rakyat jelata hidup dalam kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi hari besok dan besoknya lagi! Kaum laki-laki telah tidak berhasil menciptakan apapun di dunia ini demi keselamatan hidup bersama. Ketidakadilan, kekacauan, segala macam kejahatan, pokoknya seribu satu macam kegagalan telah dibuat kaum laki-laki!
Melihat kepada kenyataan itu semua maka aku yang sudah pikun ini yang sudah tak selembar rambutpun tumbuh di batok kepalaku ini, merasa bahwa kini sudahlah saatnya bagi kaum perempuan untuk bangun, untuk bangkit menggantikan kedudukan kaum laki-laki yang telah menemui kegagalan itu! Kaum perempuan harus bangun sebagai penegak keadilan, pembasmi kejahatan dan musti bisa menciptakan satu dunia yang aman tenteram dan damai!”
Lama si nenek terdiam, lama pula Wilarani termangu merenungkan ucapan-ucapan si nenek.
“Tapi nenek,” berkata Wilarani, “apakah cita-cita luhur itu mungkin berhasil..?”
Si nenek tertawa gelak-gelak dan menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya.
“Kenapa tidak mungkin katamu?! Apa selama ini cuma kaum laki-laki yang bisa menjagoi dunia persilatan? Apa cuma orang laki-laki yang bisa main silat dan memiliki ilmu kesaktian?! Apa cuma orang laki-laki yang becus mainkan pedang atau keris atau golok?! Kentut semua kalau orang berpikir begitu! Justru orang laki-laki kalau tidak dibrojotkan sama perempuan pasti tidak ada di dunia ini. Bukan begitu…?!” Si nenek tertawa melengking-lengking.
Wilarani tak dapat pula menahan rasa gelinya lalu tertawa cekikikan.
“Memang… memang untuk melaksanakan dan mewujudkan cita-cita itu tidak mudah, memakan waktu lama dan penuh pengorbanan! Kita haruslah menghubungi tokoh-tokoh silat wanita golongan putih yang masih hidup saat ini. Mereka pasti mau diajak bersama. Seperti si Sinto Weni yang diam di puncak Gunung Gede. Dulu dia menjagoi dunia persilatan selama puluhan tahun, ilmunya tinggi, dihormati kawan dan ditakuti lawan! Kabarnya kini dia sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan dan membersihkan diri di puncak gunung itu. Namun jika aku menyambanginya dan tuturkan cita-citaku, pasti dia mau bergabung.
Sifatnya sangat aneh, macam orang gila! Karena itu di dunia persilatan dia dikasih gelar si Sinto Gendeng! Nah, kalau kita punya tokoh-tokoh wanita macam Sinto Gendeng itu, masakan aku tak sanggup mewujudkan cita-citaku?!”
Si nenek kepala botak memalingkan kepalanya pada Wilarani.
“Bagaimana? Kau pilih dua puluh tahun tinggal di sini dan ikut bersamaku atau di sekap empat puluh tahun di bawah tanah?!”
Wilarani merenung lama sekali.
Hidupnya di dunia luar sana sejak ditinggal kekasihnya memang sudah tak punya arti apa-apa. Di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Orang tua sudah meninggal, sanak saudara tidak punya. Dunia penuh dengan kekalutan dan kejahatan yang selalu memburu manusia-manusia tak berdosa! Lagi pula sejak kekasihnya lari kawin itu keputusasaan yang mendalam membuat Wilarani kehilangan kepercayaan pada laki-laki!
Baginya laki-laki tiada lain seorang penipu yang bercinta dengan mulut dan kemudian melarikan diri bila menemui perempuan lain yang lebih cantik! Yang keturunan orang baik-baik, bangsawan kaya raya!
Diingatnya pula pertolongan serta jasa besar yang telah diberikan si nenek kepadanya! Setelah merenung lagi beberapa lama maka akhirnya Wilarani membuka mulut bersuara.
“Baiklah nenek tua, aku akan tinggal bersamamu di sini selama dua puluh tahun!”
“Bagus!” Si nenek kepala botak tertawa dengan gembiranya. Dia bergoyang-goyang beberapa lamanya di atas kursi goyangnya kemudian berkata. “Besok pagi kau akan kumandikan dengan air kembang dua puluh rupa! Dan mulai besok kau ku angkat menjadi muridku! Ku akan didik kau selama dua puluh tahun! Bila otakmu cerdas dan rajin, punya kemauan, kau kelak kuangkat jadi murid kepala, mengepalai lima puluh janda-janda dan gadis-gadis yang sudah kukumpulkan di sini.”
Wilarani berdiri dari pembaringan dan menjura dihadapan si nenek kepala botak.
“Nenek, aku haturkan terima kasih karena menaruh kepercayaan padaku dan telah sudi mengambil aku jadi muridmu.”
Nenek itu manggut-manggut di kursi goyangnya.
Dia bertepuk tiga kali.
Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda berparas ayu, berjubah dan bertutup (berkerudung) kain putih masuk ke dalam kamar itu, menjura di hadapan si orang tua.
“Biarawati Sembilan belas siap menunggu perintah,” kata perempuan ini.
“Umumkan pada seisi Biara Pensuci Jagat bahwa besok akan ada upacara pemandian biarawati baru yang akan kuangkat menjadi muridku secara resmi!”
“Baik Eyang,” menjura perempuan berjubah dan berkerudung kepala kain putih kemudian berlalu.
Si nenek yang dipanggil Eyang oleh Biarawati Sembilanbelas tadi menepuk tangannya dua kali. Pintu terbuka lagi. Seorang perempuan muda yang berparas cantik dan juga mengenakan jubah serta kerudung kepala kain putih memasuki ruangan.
Seperti Biarawati Sembilanbelas dia menjura dan berkata,
“Biarawati Tigapuluhdua siap menunggu perintah.”
Dan si nenek berkata, “Perintahkan biarawati-biarawati di bagian dapur menyediakan makanan untuk kawanmu yang baru ini!”
Biarawati Tigapuluhdua mengerling pada Wilarani sebentar kemudian mengangguk. Setelah menjura dia segera pula meninggalkan kamar itu.
***
Next ...
Bab 10
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 10
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 9"
Posting Komentar