Siluman Teluk Gonggo Bab 6 --> 11

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 022
Siluman Teluk Gonggo

ENAM
TUJUH HARI sesudah meninggalkan Bukit Hantu maka sampailah Sonya ke Teluk Gonggo. Selama perjalanan itu belasan manusia telah menjadi korban keganasan ilmu silumannya. Beberapa orang berkepandaian tinggi dan beberapa perempuan berparas cantik dibawanya ketempat kediamannya yang baru, yang kelak bakal menjadi satu markas atau sarang sumber malapetaka yang menimpa dunia persilatan. Umumnya orang-orang lelaki yang dibawanya itu adalah jago-jago silat kelas satu yang berhasil ditundukkannya dan diperbudaknya. Sedang orang-orang perempuan sebelumnya telah diperkosanya secara keji untuk kemudian dijadikannya perempuan peliharaan pemuas nafsunya.
Malapetaka besar itu segera menjadi kenyataan sebulan kemudian. Dunia persilatan delapan penjuru angin menjadi geger ketika terjadi pembunuhan besar-besaran secara mengerikan atas tiga partai silat. Seisi partai mulai dari sang ketua sampai murid partai yang paling rendah bahkan pelayan, mati dibunuh dengan cara yang sama. Yaitu muka hancur. Itulah kebiadaban ilmu “cakar siluman”.
Kemudian beberapa tokoh terkenal dunia persilatan lenyap secara aneh sedang beberapa lainnya ditemukan mati dengan muka hancur rusak hampir sulit untuk dikenali. Selama berbulan-bulan peristiwa yang menggemparkan itu berjalan terus tanpa diketahui siapa biang pelakunya. Beberapa orang sakti mempunyai dugaan bahwa segala malapetaka mengerikan itu tak dapat tidak hanya bisa dilakukan oleh satu orang yakin Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Beramai-ramai mereka mengadakan perundingan lalu menyerbu ke puncak Bukit Hantu. Namun yang mereka temui hanyalah reruntuhan bangunan tulang yang telah menghitam jadi arang. Sesosok tubuh yang merupakan tengkorak acak-acakan terjepit di bawah reruntuhan itu.
“Kalau Datuk Siluman sudah mati, berarti ada seorang manusia iblis lainnya yang menjadi biang racun kejahatan ini. Tapi Siapakah dia?” tanya seorang tokoh sambil memandang pada kawan-kawannya.
“Tidak dapat tidak dia punya sangkut paut tertentu dengan Datuk Siluman.” Jawab tokoh yang lain.
“Kalau manusia itu seorang muridnya, kurasa itu mustahil.” Ikut bicara jago silat lainnya. “Setahuku Datuk Siluman tak pernah punya murid.”
Dengan perasaan kecewa tokoh-tokoh silat itu akhirnya meninggalkan Bukit Siluman.
Minggu demi minggu berlalu, berganti bulan ke bulan. Bencana yang menimpa dunia persilatan semakin hebat. Disamping terbunuh dan diculiknya tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, disamping musnahnya beberapa partai persilatan, juga diketahui lenyapnya gadis-gadis atau perempuan-perempuan cantik dari kampung, desa dan kota.
Usaha-usaha yang dilakukan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan untuk mencari dan mengejar pelaku yang telah membuat keonaran keji itu, sebegitu jauh masih menemui jalan buntu. Rasa cemas kini menyelimuti seantero rimba persilatan. Namun tidak ada yang berputus asa.
Pada permulaan awal bulan dua belas para tokoh silat itu mengadakan pertemuan rahasia di suatu tempat di utara Sragen. Baru saja pertemuan hendak dibuka tiba-tiba di pintu yang dikunci terdengar suara ketukan.
Brajapati, seorang tokoh silat dari pantai selatan yang memimpin pertemuan itu memandang berkeliling. Semua undangan telah duduk di kursi masing-masing. Berarti tak ada yang harus ditunggu atau datang terlambat. Semua hadirin menjadi tidak enak. Dan ini jelas terbayang di wajah masing-masing. Siapa gerangan yang mengetuk pintu itu?
Perlahan-lahan Brajapati berdiri dari kursinya dan melangkah ke pintu. Meski tokoh-tokoh silat lainnya masih tetap duduk di tempatnya masing-masing tetapi rata-rata secara diam-diam mereka telah berjaga-jaga kalau sampai tiba-tiba terjadi hal yang tidak diinginkan.
Tiga langkah dari ambang pintu Brajapati berhenti.
“Siapa di luar?” tanya jagoan ini sambil tangan kanannya diangkat ke atas, siap melepaskan satu pukulan tangan kosong.
“Aku….” Terdengar sahutan dari balik pintu.
“Aku siapa?” bentak Brajapati.
“Perbolehkan aku masuk….”
“Katakan dulu siapa kau!” jawab Brajapati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan dan dialirkan ke tangan kanannya yang siap menghantam.
“Aku Hang Juana dari Tegal Alas. Bukankah kalian ingin mengetahui siapa yang selama ini menimbulkan bencana dalam dunia persilatan? Lekas buka pintu!”
Brajapati dan beberapa tokoh silat di situ sebelumnya memang sudah pernah mendengar nama Hang Juana. Itu sekitar sepuluh tahun yang silam. Dia dikenali sebagai seorang kakek yang ahli membuat berbagai macam senjata, terutama senjata pesanan perwira-perwira kerajaan.
Tanpa ragu-ragu Brajapati membuka daun pintu dengan tangan kirinya. Dibawah pandangan sekian banyak pasang mata, seorang kakek berpakaian butut rombeng masuk terbungkuk-bungkuk. Dia berdiri di ujung meja pertemuan dan memandang berkeliling.
“Orang tua, Silahkan duduk,” Brajapati menarik sebuah kursi.
Hang Juana menggeleng.
“Aku tak bisa lama-lama di sini,” kata si kakek pula.
“Kenapa?” tanya Brajapati. Karena Hang Juana tak mau menjawab maka dia melanjutkan ucapannya: “Tadi kau mengeluarkan ucapan yang mengatakan seolah-olah kau tahu siapa yang menjadi biang racun penimbul malapetaka selama ini….”
Hang Juana mengangguk. “Orangnya masih ada sangkut paut dengan Datuk Siluman dari Bukit Hantu…”
“Memang sudah kami duga!” kata beberapa tokoh silat hampir bersamaan.
“Siapa manusianya dan di mana sarangnya?” tanya Brajapati.
“Manusianya bernama……….”
Tiba-tiba laksana ada angin besar melabrak masuk, semua lampu yang ada di ruangan itu padam! Bau busuk menebas menusuk hidung. Ucapan Hang Juana terputus digantikan jeritan yang mengerikan.
Brajapati melihat sesosok bayangan berkelebat di hadapannya. Secepat kilat jagoan dari pantai selatan ini hantamkan tangan kanannya ke depan. Sesiur sinar putih menderu ke arah tubuh yang berkelebat. Tapi yang diserang serta merta lenyap dari pemandangan. Dilain kejap justru terdengar pekik Brajapati setinggi langit. Lalu suasana di ruangan yang gelap gulita itu menjadi sunyi senyap seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara hitam.
“Hidupkan lampu!” Seseorang berteriak.
Beberapa orang segera menyalakan lampu di empat sudut ruangan. Begitu lampu menyala maka semua tokoh silat yang ada di situ melengak ngeri!
Dua sosok tubuh menggeletak di lantai ruangan pertemuan. Mereka adalah Hang Juana dan Brajapati. Keduanya tak bergerak dan tak bernapas lagi. Muka mereka yang berselomotan darah terlalu ngeri untuk dipandang.
Meski semua yang hadir di situ adalah tokoh silat kelas satu berilmu tinggi, namun menyaksikan kematian Hang Juana dan Brajapati begitu rupa tak urung membuat hati tercekat ngeri. Dada berdebar dan lutut bergetar. Dua korban manusia siluman itu kini menggeletak di depan mereka. Untung mereka masih hidup. Karena sebenarnya jika mau manusia iblis itu pasti mampu melakukan hal yang sama terhadap mereka semua!
Khawatir akan menyusul terjadinya hal-hal yang tak diingini, dengan membawa mayat Brajapati dan Hang Juana semua tokoh silat yang hadir segera meninggalkan tempat itu. Dengan demikian untuk kesekian kalinya gagal pulalah usaha untuk menyelidiki siapa adanya manusia penyebar malapetaka itu.
***

TUJUH
BULAN PURNAMA telah sejak lama lenyap terlindung di balik gumpalan awan hitam. Bintang-bintang pun menghilang satu demi satu. Saat itu mendekati tengah malam. Jika pertengahan malam kali ini berlalu maka berarti untuk ke sekian kalinya dunia memasuki tahun baru, memasuki usia baru. Bumi Tuhan ini bertambah tua juga.
Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Pada saat itulah sesosok tubuh kelihatan lari memasuki Tegaltritis dari jurusan timur. Tak lama kemudian sampailah orang ini di samping sebuah tembok tinggi satu bangunan yang paling bagus dan mewah di kampung tersebut. Tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan orang ini langsung masuk ke halaman depan dengan melompati tembok.
Gedung besar di hadapannya sunyi senyap tanda semua penghuni sudah tidur lelap. Hanya pada beberapa tempat terdapat lampu-lampu kecil menyala. Sekali menggenjot tubuh orang ini kemudian melompat ke genting bangunan. Dengan menerobos genting dan langit-langit dia masuk ke dalam gedung, sampai ke sebuah kamar dimana terdapat dua buah tempat tidur berkelambu putih dan biru muda.
Di atas tempat tidur berkelambu putih, tiga orang anak kelihatan tidur dengan nyenyaknya. Sesaat orang yang barusan menerobos masuk itu memperhatikan wajah ketiga anak itu. Dadanya terasa sesak menggemuruh. Cepat-cepat dia berpaling dan melangkah ke dekat tempat tidur yang berkelambu biru.
Di atas tempat tidur yang satu ini berbaring nyenyak seorang perempuan. Wajahnya membayangkan keletihan dan keputus-asaan hingga lebih tua dari usia sebenarnya. Meski demikian kecantikannya masih belum pupus. Disamping perempuan itu bergelung seorang anak lelaki berusia dua tahun. Rambutnya hitam, alis matanya tebal. Kembali orang di luar kelambu merasakan dadanya sesak. Dipejamkannya kedua matanya.
“Haruskah kulakukan ini….? Haruskah kulakukan?!” Pertanyaan itu menghujam berulang kali dalam hatinya.
Tiba-tiba ada satu bayangan wajah manusia yang maha mengerikan menjelma di ruang matanya.
“Ingat sumpah utamamu Sonya! Ingat. Itu harus kau lakukan! Harus! Kalau tidak aku akan bangkit dari alam kematian. Makhluk peliharaanku akan menyiksamu selama tujuh tahun!”
Lelaki di samping tempat tidur itu ternyata adalah Sonya. Kedua tangannya terkepal. Rahangnya mengatup kencang. Perlahan-lahan Dibukanya kembali kedua matanya. Kini pada sepasang mata itu kelihatan membersit sinar aneh. Sinar ganas jahat. Kebimbangan yang tadi menguasai hatinya serta merta lenyap. Sonya menyibakkan kelambu biru. Ditanggalkannya pakaiannya. Lalu dibetotnya pakaian perempuan di atas tempat tidur yang bukan lain adalah istrinya sendiri. Perempuan itu terkejut dan bangun dari tidurnya. Belum sempat dia menjerit, Sonya sudah menutup mulutnya dan menaiki tubuhnya. Sonya kini memperkosa istrinya sendiri sampai akhirnya perempuan itu pingsan!
Setelah melampiaskan nafsunya Sonya segera membungkus anak lelaki yang ada di atas tempat tidur anaknya sendiri lalu melompat ke atas langit-langit kamar. Sesaat kemudian ketika perempuan itu siuman dan mendapatkan anaknya tak ada lagi maka diapun menjerit: “Anakku! Anakku! Tolong…penculik!”
Hari itu murid Eyang Sinto Gendeng sampai di sebuah kota kecil bernama Nganglek. Rasa haus membuat dia melangkahkan kaki memasuki sebuah kedai minuman. Di jalan besar yang di laluinya itu terdapat dua buah kedai. Yang satu besar dan bersih, lainnya kecil serta kotor. Wiro hendak memasuki kedai yang besar ketika di kedai kecil sebelah sana dilihatnya suatu hal yang menarik. Pendekar ini segera memutar langkah menuju kedai buruk itu. Dia duduk disebuah sudut agak dalam.
Dekat pintu kedai duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam bermuka kumal tak terurus. Pada lengan masing-masing memakai gelang akar bahar besar. Satu benda yang sudah dapat dipastikan gagang senjata menonjol di balik pinggang pakaian keduanya. Mereka memperhatikan Wiro dengan pandangan mata tajam.
“Hanya seorang pemuda kampung tolol. Tak perlu di curigai,” berbisik lelaki bermuka hitam kepada kawan di sebelahnya.
Kawannya yang mempunyai cacat besar bekas luka di pipi kiri masih memandang beberapa lama pada Wiro. Akhirnya memalingkan muka dan kembali memperhatikan ke arah pintu seperti ada yang tengah di tunggu.
Wiro meneguk minumannya. Tak selang beberapa lama masuklah seorang lelaki berbadan kurus pendek. Begitu masuk dia langsung menemui dua orang berpakaian serba hitam tadi. Mereka bicara berbisik-bisik. Lelaki muka hitam mengeluarkan beberapa keeping uang perak yang kemudian diserahkannya pada si kurus pendek. Orang yang menerima uang ini segera berlalu.
Wiro membayar minumannya. Ketika dia keluar dari kedai di lihatnya si kurus tadi sudah berada di ujung jalan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan dua orang di dalam kedai, Wiro sengaja mengambil jalan yang berlawanan. Namun di balik sebuah bangunan cepat pendekar ini berputar dan Dilain saat dia sudah melangkah cepat mengejar si kurus.
Lelaki kurus pendek itu ternyata menuju ke tepi sungai. Di sebuah tikungan sungai yang ditumbuhi pohon-pohon bambu amat lebat, tertambat sebuah perahu. Orang ini hentikan langkahnya. Seorang lelaki berbadan tinggi kekar melompat enteng dari dalam perahu dan bicara dengan si kurus. Yang terakhir ini kemudian cepat-cepat tanggalkan tempat itu.
Setelah menunggu beberapa lamanya, Wiro keluar dari balik rerumpunan pohon bambu. Dia berdiri ditepi sungai dengan sikap seperti seorang hendak menyeberang. Ketika dia melirik ke arah perahu, ternyata di balik atap perahu kelihatan tiga pasang kaki. Sementara itu lelaki tinggi besar yang masih tegak di tebing sungai memperhatikan Pendekar 212 dengan mata melotot penuh selidik. Wiro justru melangkah mendekatinya.
“Saudara, aku ingin menyeberang. Apakah kau bisa membawaku ke tepi sungai sebelah sana?” berkata Wiro.
Si tinggi besar ini bernama Prakunto. Dia memandang Wiro dari rambut gondrong sampai ke kakinya yang kotor, melirik pada tiga kawannya dalam perahu lalu tertawa bergelak.
“Pangeran dari mana yang berani memerintahku seenaknya?”
“Oh…oh…oh! Aku bukan pangeran, sobat. Agaknya kau khawatir soal ongkos. Jangan takut. Aku punya uang untuk membayar. Sebutkan saja berapa ongkosnya sampai ke seberang!”
Kembali Prakunto tertawa gelak-gelak.
“Monyet gondrong! Aku tak butuh uangmu. Lekas minggat dari sini!”
“Ah, jangan begitu sobat. Kau tolonglah aku menyeberang,” pinta Wiro pula.
“Manusia edan! Kau berani memaksaku?!”
“Tidak. Aku tidak memaksa. Tapi minta tolong!”
Prakunto ulurkan tangannya meraba dada Wiro Sableng hingga pemuda ini bergelinyang kegelian.
“Ngg…kulihat dadamu cukup kekar,” kata Prakunto pula. “Begini saja. Bagaimana kalau kita adakan perjanjian baku jotos. Kalau aku menang serahkan seluruh uang yang ada padamu dan berlalu dari sini!”
“Bagaimana kalau aku yang menang?” balik bertanya Wiro.
Prakunto tertawa meledak diikuti oleh ke tiga kawannya yang ada dalam perahu.
“Kalau kau yang menang, jangankan ke seberang sana, ke nerakapun kau akan ku antar!”
“Baik! Bagaimana caranya adu jotos ini….?”
“Kita saling pukul tiga kali. Siapa yang nanti jatuh atau terhuyung ke belakang berarti kalah!”
“Ah, mudah sekali itu…,” kata Wiro sambil senyum-senyum.
“Siapa yang mulai memukul lebih dulu?!”
“Silahkan kau yang memukulku lebih dulu,” jawab Prakunto yang tidak memandang sebelah mata pada pemuda bertampang dungu di hadapannya itu.
Wiro melangkah ke hadapan Prakunto. Diulurkannya tangannya ke dada si tinggi besar ini, meraba-raba beberapa lamanya hingga Prakunto menjadi kesal.
“Aku suruh kau memukul dadaku. Bukan memijat-mijat. Tolol!” hardik Prakunto.
“Ah, dadamu keliwat lunak. Seperti agar-agar. Aku khawatir sekali pukul saja dadamu bisa murak berantakan. Nanti kau tak bisa balas memukulku. Bagusnya kau saja yang memukulku lebih dulu!”
Prakunto benar-benar jadi naik darah mendengar ucapan Wiro Sableng. Sementara ke tiga kawannya sudah keluar dari perahu dan tegak mengelilingi mereka.
“Pemuda ingusan! Mulutmu sombong sekali!” sentak Prakunto.
“Eh, jadi adu jotos ini tidak diteruskan? Nyatanya kau Cuma seorang pengecut. Badan saja yang tinggi kekar tapi nyali selembek tahi ayam!”
Diejek begitu Prakunto jadi naik pitam. Tiga kawannya juga tampak marah.
“Kau Bersiaplah. Sekali pukul nyawamu akan kubuat melayang!” kata Prakunto.
Wiro mundur beberapa langkah dan berdiri sambil tolak pinggang. “Silahkan pukul. Jangan salah. Pilih tempat yang empuk!”
Tinju kanan Prakunto mengepal besar dan kokoh. Dari jarak dua langkah tinjunya itu di ayunkan sekuat-kuatnya ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Buk!
Terdengar suara bergedebuk keras sewaktu tinju yang besar itu mendarat di dada Wiro. Baik Prakunto maupun tiga kawannya sudah sama membayangkan bagaimana jotosan itu akan membuat Wiro terlempar, roboh muntah darah dan melayang ke akherat.
Tapi jangankan terjungkal atau terhuyung, serambutpun tubuh pendekar itu tidak bergeming. Di lain pihak Prakunto merasakan tinjunya mendarat di sebuah permukaan selembut kapas. Membuat lelaki ini ternganga keheranan.
“Heh, kau rupanya punya ilmu juga….,” ujar Prakunto seraya menyeringai. “Tapi tunggu, masih ada dua pukulan lagi. Jaga pukulanku yang kedua!” Lalu untuk kedua kalinya Prakunto hantamkan tinju kanannya yang beratnya tak kurang dari lima puluh kati. Untuk kedua kalinya pula terdengar suara buk! Dan untuk kesekian kalinya si tinggi besar itu terheran-heran karena sasaran yang dihantamnya terasa demikian lembut. Dia memandang pada Wiro dengan mata meloncat sementara murid Eyang Sinto gendeng itu cuma cengar cengir tak acuh.
“Pukulan terakhir sobat!” seru Prakunto.
“Keluarkan seluruh tenagamu, luar dalam. Pukullah lebih keras. Masakan manusia setinggi dan sebesarmu ini pukulannya tidak terasa apa-apa, seperti orang menggelitik saja!”
Muka Prakunto merah padam. Dia merasa malu terutama terhadap ketiga kawannya. Tenaga dalamnya disalurkan seluruhnya ke tangan kanan hingga mempunyai daya hantam sebat dua ratus kati. Jangankan tubuh manusia, tembok tebal atau kepala kerbaupun pasti hancur luluh.
“Kau sudah siap?!” tanya Prakunto. Tinju kanannya tampak bergetar.
“Sudah sejak tadi-tadi sobat!” sahut Wiro seenaknya.
Prakunto kertakkan rahang.
“Mampuslah!” bentak Prakunto. Berbarengan dengan itu tinju kanannya berkelebat deras sampai mengeluarkan suara menderu. Mendarat tepat di dada kiri Pendekar 212, pada bagian jantungnya!
Terdengar satu jeritan setinggi langit!
Prakunto berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangan kirinya tiada henti mengusap tangan kanan yang tadi di pakai meninju. Kalau dua kali Pertama tadi memukul dada lawan dirasakannya lunak lembut, tetapi kali yang ketiga dada pemuda itu seperti berubah menjadi dinding karang yang luar biasa keras dan atosnya. Dua buah jari tangan kanannya patah, kulitnya terkelupas dan mengucurkan darah di beberapa bagian.
“Bagaimana sobat? Kau telah memukulku tiga kali. Kini giliranku!” kata Wiro.
“Baik, baik….,” kata Prakunto menahan sakit dan malu. Dia berdiri memasang kuda-kuda. Wiro mundur mengambil ancang-ancang untuk memukul. Tiba-tiba salah seorang kawan Prakunto mendekati lelaki itu dan berbisik: “Kunto, kita tak ada waktu melayani pemuda edan ini lebih lama. Sebentar lagi kereta itu akan tiba. Kau mau didamprat dan digebuk Jakasempar? Seberangkan saja dia agar tidak mengganggu kita lebih lam!”
“Tapi aku toh musti melayaninya!” sahut Prakunto.
“Persetan! Seberangkan dia!”
Prakunto berpikir sejenak.
“Hai, mengapa kalian ini? Aku sudah siap memukul!” Wiro berseru.
“Sobat, biarlah. Walau kau belum memukul tapi aku mengaku kalah. Aku akan antarkan kau ke seberang,” kata Prakunto pula.
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya. Dia melompat ke dalam perahu. Hanya sebentar saja dia pun sampai ke seberang sungai. Wiro ucapkan terima kasih dan naik ke darat sementara Prakunto mengayuh perahunya kembali ke seberang yang lain. Hanya sesaat dia mencapai tepi sungai, sepuluh orang berkuda sampai di tempat itu. Rombongan ini di pimpin oleh lelaki muka hitam yang dilihat Wiro di kedai di Nganglek.
“Bagaimana Jaka….?” tanya Prakunto pada si muka hitam yang bernama Jakasempar.
“Kalian bersiap. Cari tempat berlindung yang baik. Sebentar lagi kereta itu akan lewat. Ingat, gadis itu tak boleh mendapat cidera barang sedikitpun!”
Maka keempat belas orang itupun bersembunyi di tempat yang terpencar di tikungan sungai. Kira-kira sepeminuman the berlalu, di kejauhan terdengar suara rentak kaki-kaki kuda dan gemeletak roda kereta. Tak lama kemudian dari balik tikungan muncullah sebuah kereta putih, dikawal oleh sepuluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan seorang lelaki tua gagah bernama Wilacarta.
Begitu kereta memperlambat jalannya karena memasuki tikungan maka terdengarlah ringkik binatang penarik kereta itu. Lima pisau terbang menghambur dan menancap di kaki dua ekor kuda penarik kereta dan Membuatnya tersungkur. Kereta hampir saja terbalik ke dalam sungai. Bersamaan dengan itu Jakasempar dan anak buahnya berlompatan dari tempat persembunyian masing-masing, langsung menyerbu prajurit-prajurit pengawal dengan senjata terhunus!
Daerah luar kota Jepara akhir-akhir ini memang kurang aman. Karenanya melihat kemunculan belasan orang bermuka bengis itu, Wilacarta segera maklum kalau rombongan tengah dihadap perampok. Tapi karena saat itu dia dan anak buahnya sama sekali tidak membawa uang atau harta berharga Kecuali mengawal Sri Ayu Pandan, Putri Adipati Jepara, maka penghadangan itu terasa agak aneh dimata Wilacarta. Namun saat itu tak ada waktu untuk berpikir panjang.
Orang tua gagah ini berteriak memberi semangat pada anak buahnya. Lalu mencabut pedang dari pinggang. Dia sama sekali tidak menduga justru rombongan yang menghadang itu memang tidak hendak merampok harta atau uang, melainkan hendak menculik puteri Adipati Jepara. Setelah gadis itu di tangan mereka, Jakasempar akan meminta uang tebusan dalam jumlah besar.
Pertempuran berkecamuk hebat. Pihak Kadipaten selain kalah jumlah, lawan yang mereka hadapi rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi hingga dalam tempo singkat dua orang prajurit roboh mandi darah.
Ketika tadi kereta menyungkur tanah karena dua kuda yang menariknya roboh, dari dalam kereta terdengar pekik perempuan. Tirai jendela tersingkap dan tampaklah satu kepala berambut hitam legam berwajah rupawan. Dialah Sri Ayu Pandan, puteri Adipati Jepara. Belum habis kejut sang gadis akibat tersungkurnya kereta, tiba-tiba dari semak belukar dilihatnya berlompatan manusia-manusia bertampang bengis bersenjata golok atau pedang dan mereka ini langsung menyerang para pengawal. Takutnya puteri Adipati ini bukan kepalang. Dia berteriak tiada henti.
Wilacarta putar pedangnya dengan sebat. Dia berhasil merobohkan seorang lawan dan melukai seorang lainnya. Ketika dilihatnya Jakasempar bergerak mendekati kereta, kepala pengawal ini segera menghadang. Namun dia tak mampu menghalangi lebih jauh karena secepat kilat tiga orang anak buah Jakasempar melompat kehadapannya dan langsung menyerbu.
Kusir kereta yang merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan puteri majikannya, dengan bersenjatakan sepotong besi panjang menyerang Jakasempar dari samping. Serangan itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Jakasempar. Sebagai balasan Jakasempar menghadiahkan satu tusukan golok yang ganas. Karena memang tidak memiliki kepandaian silat apa-apa, kusir kereta itu akhirnya menemui ajal dengan dada ditembus golok.
Jakasempar menendang pintu kereta hingga tanggal berantakan. Di dalam sana Sri Ayu Pandan menyudut ketakutan. Jakasempar tersenyum menyeringai melihat tubuh mulus dan wajah cantik gadis itu. Dalam benaknya sudah muncul pikiran kotor. Puteri itu diculik dan dimintai tebusan uang dalam jumlah besar. Tapi apa salahnya sebelum dikembalikan pada orang tuannya akan dipakai sebagai pemuas nafsu lebih dulu?
“Gadis cantik. Kau tak usah takut. Mari ikut aku…” kata Jakasempar seraya mengulurkan tangan untuk menarik Ayu Pandan. Namun sebelum jari-jari tangannya sempat menyentuh tubuh gadis itu mendadak dari samping melesit sebuah benda besar. Jakasempar cepat bersurut mundur. Benda itu menghantam tangga kereta dan ternyata adalah sosok tubuh seorang anak buahnya sendiri yang telah menjadi mayat!
Terkejut bukan kepalang, Jakasempar palingkan kepala. Dan membeliaklah mata manusia muka hitam ini. Enam langkah di hadapannya berdiri pemuda rambut gondrong yang sebelumnya pernah dilihatnya di kedai Nganglek. Pakaiannya basah kuyup. Apakah dia yang telah melemparkan tubuh anak buahnya itu tadi?
Pemuda berpakaian kuyup itu adalah Wiro Sableng. Sesampainya di seberang tadi, dia pura-pura berlalu, tapi diam-diam menyelinap ke balik semak-semak dan mengintai. Dia yakin sekali orang-orang yang ditemuinya di kedai dan di tepi sungai itu tengah merencanakan sesuatu. Sesuatu yang jahat. Dan keyakinannya itu tak lama kemudian menjadi kenyataan. Yaitu dengan munculnya kereta putih yang telah ditunggu untuk di hadang. Pada saat pertempuran sedang berkecamuk, Wiro terjun kesungai, berenang menyeberang. Itulah sebabnya pakaiannya basah kuyup.
“Bangsat! Pemuda ini memang sudah kucurigai sejak dari Nganglek!” kertak Jakasempar. Dia melangkah mendekati Wiro dan membentak: “Keparat! Kau berani mencampuri urusanku! Berarti kau berani mampus!”
Wut!
Golok besar di tangan Jakasempar menderu. Membabat ke dada Wiro Sableng. Ketika Wiro berhasil mengelakkan serangan itu, serta merta serangan kedua dan ketiga datang susul menyusul laksana kilat! Kiranya kepala rampok ini memiliki ilmu golok yang lihai. Dia mengharap dalam beberapa gebrakan saja akan dapat mencincang tubuh lawannya. Namun dia tidak tahu, dengan siapa hari itu dia berhadapan.
Jakasempar membuka jurus kedua dengan serangan berantai kembali. Wiro berkelebat cepat diantara taburan sinar golok lawan. Awal jurus ketiga pendekar ini mempercepat gerakannya hingga tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang dan Jakasempar mejadi bingung karena kehilangan lawan. Sambaran goloknya terus menerus menghantam tempat kosong.
Selagi Jakasempar kebingungan Wiro hantamkan tangan kanannya ke kening penjahat ini. Jakasempar menjerit. Tubuhnya terbanting ketanah tak sadarkan diri. Keningnya yang memang sudah hitam kini tampak tambah hitam karena hangus. Dan pada kening itu kini tertera tiga deretan angka 212! Dari mata, hidung serta mulutnya mengalir darah!
Tiga orang anak buah Jakasempar yang melihat pemimpin mereka dicelakai begitu rupa dengan cepat menyerang.
“Manusia-manusia tak berguna. Bisanya cuma membuat keonaran! Majulah bila minta digebuk!” kertak Wiro Sableng. Begitu ketiga lawannya berlompatan menyerang maka terdengarlah plak, plak, plak! Tiga tamparan mendarat di kening mereka. Ketiganya menggeletak di tanah menerima nasib seperti pemimpin mereka.
“Pemuda keparat! Makan pedangku ini!” satu suara membentak. Dikejap yang sama satu tebasan pedang menyambar batang leher Pendekar 212. Wiro keluarkan suara bersiul dan melompat kebelakang. Yang menyerangnya dengan ganas itu ternyata Prakunto. Ditangannya tergenggam sebilah pedang berlumuran darah. Dengan pedang itu dia telah membunuh dua prajurit Kadipaten dan melukai parah Wilacarta. Orang tua itu kini tergeletak dekat roda kereta, dengan menahan sakit bukan kepalang dan darah masih mengucur di bekas lukanya.
“Hai! Rupanya kau masih belum puas dengan adu jotos tadi?!” mengejek Wiro.
“Baku jotos dan pedang lain, sobat!” jawab Prakunto sambil tusukan pedang yang digenggamnya di tangan kiri karena tangan kanannya cidera akibat adu jotos dengan Wiro tadi.
Wiro keluarkan satu siulan lagi. Dia berkelit ke kiri. Begitu ujung pedang lewat di sampingnya, Wiro gerakan tangan kanan memukul siku Prakunto. Lelaki ini terpekik karena sambungan sikunya terlepas. Dia kembali menjerit sewaktu tapak tangan Pendekar 212 menghantam keningnya hingga hangus. Prakunto terbujur di tanah, melintang di atas tubuh Jakasempar!
Ketika Wiro memandang berkeliling ternyata pertempuran sudah selesai. Kusir kereta dan beberapa prajurit Kadipaten tewas. Yang lain-lainnya termasuk Wilacarta menderita luka-luka. Dipihak penjahat empat orang mati, dua orang melarikan diri sedang delapan lainnya, diantaranya Jakasempar dan Prakunto menderita luka-luka dan pingsan.
Dari dalam kereta masih terdengar jeritan-jeritan Sri Ayu Pandan yang masih diselimuti ketakutan. Wiro mendatangi.
“Hentikan jeritanmu. Pertempuran sudah berhenti. Tak ada yang harus ditakutkan lagi!” berkata Wiro.
Puteri Kadipaten itu turunkan kedua tangannya yang tadi dipakai untuk menutupi muka. “Kau…kau siapa?” tanyanya masih takut dan curiga.
Wiro garuk-garuk kepala. Sebelum dia memberi jawaban, dari belakangnya seseorang berkata: “Pendekar 212, ikutlah bersamaku.”
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini terkesiap kaget dan berpaling. Dihadapannya berdiri seorang kakek-kakek yang mata kirinya picak sedang disampingnya tegak seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun, berpakaian serba putih dan berparas cakap. Jika seseorang mengenali julukannya, maka orang itu pasti bukanlah manusia sembarangan.
“Orang tua, kau siapa ….?” Tanya Wiro.
“Siapa aku nanti kuterangkan. Yang penting kau harus ikut aku Sekarang juga!”
“Heh? Ikut kau? Kemana? Jalan-jalan…..?” tanya Wiro bergurau.
“Jangan banyak tanya dan jangan bergurau. Waktuku amat singkat,” jawab orang tua mata picak.
“Ngg…kalau begitu kau pergilah sendirian. Siapa sudi turut denganmu. Aku masih ada tugas mengurusi orang-orang Kadipaten ini!”
“Biar muridku yang mengurus mereka,” kata si picak. “Kepentinganku ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa dunia persilatan saat ini!”
Ucapan itu membuat Wiro Sableng yang barusan hendak melangkah tubuh berbalik kembali.
“Apa katamu orang tua….?!”
Si orang tua tak menjawab melainkan memutar tubuh. Setelah mengatakan sesuatu pada anak lelaki di sebelahnya, dia lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tampaknya dia melangkah biasa saja. Namun hanya sesaat dia telah lenyap di tikungan jalan. Dengan garuk-garuk kepala Wiro Sableng terpaksa mengejar si mata picak aneh itu. Ternyata orang tua ini menuju Jepara.
***

DELAPAN
HARI masih pagi. Sinar sang surya masih kuning kemerahan tanda belum lama keluar dari tempat peraduannya. Sura Gandara berdiri di ambang pintu rumah makannya, memperhatikan pelayan-pelayan membereskan bagian depan rumah makan itu. Di Jepara, Sura yang berbadan gemuk macam kerbau bunting itu terkenal sebagai pemilik rumah makan paling besar, paling lezat tetapi murah harganya.
Dari dalam sabuknya di keluarkan secuil tembakau dan kertas. Maka mulailah dia menggulung sebatang rokok klinting. Baru saja dia menyalakan rokok itu, tiba-tiba berubahlah parasnya.
Di seberang jalan tampak empat orang berpakaian jubah putih yang di bagian dadanya terpampang sulaman bunga teratai besar berwarna merah darah.
“Empat Teratai Darah……….” kata Sura Gandara dalam hati. Rasa tak enak segera menyungkupi dirinya. Sekitar satu tahun yang lewat empat manusia itu pernah datang ke rumah makannya. Kedatangan mereka hanya membuat keonaran. Rumah makan waktu itu menjadi centang perenang porak poranda akibat dipakai sebagai tempat perkelahian oleh Empat Teratai Darah melawan musuhnya Empat Naga Hitam. Meskipun kali ini Kedatangan mereka belum tentu akan berbuat keonaran lagi, namun tetap saja Sura Gandara merasa cemas. Buktinya pagi-pagi sekali, selagi rumah makan masih belum buka, mereka sudah muncul. Tentu ada apa-apanya.
Sura Gandara tak bisa berpikir lebih panjang karena keempat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
Sura menjura hormat. Dengan senyum yang dipaksakan dia berkata: “Satu kehormatan lagi bahwa kalian orang-orang gagah sudi datang ke tempatku. Sebenarnya rumah makan masih belum buka dan masih kotor. Jika orang-orang gagah tidak keberatan dengan keadaan ini, Silahkan masuk.”
Kakek-kakek bermuka putih bernama Sumo Kebalen yang menjadi pemimpin Empat teratai Darah anggukkan kepala sedikit lalu masuk diikuti ketiga adik seperguruannya.
“Suasana begini tak jadi apa,” kata Sumo Kebalen seraya duduk. “Yang penting cepat hidangkan makanan dan minuman yang lezat!”
“Orang gagah Sumo Kebalen. Jangan khawatir. Apa yang kau minta akan segera di hidangkan,” jawab Sura Gandara. “Mungkin ini suatu kelancangan. Tapi jika aku yang hina buruk ini boleh bertanya, gerangan apakah yang membuat empat orang gagah muncul pagi-pagi begini di Jepara?”
“Kami tengah menunggu seseorang. Karenanya selagi kami makan kuharap kau berdiri di depan pintu. Larang setiap orang yang mau masuk. Kecuali orang yang kami tunggu itu ….”
“Celaka, pasti akan terjadi lagi keonaran di tempat ini,” keluh Sura Gandara ketika mendengar keterangan Sumo Kebalen tadi. Namun dia masih kepingin tahu. Karenanya dia bertanya kembali. “Maaf Sumo. Siapakah manusianya yang orang gagah tunggu ini?”
“Seorang lelaki bermata buta sebelah. Namanya Rangga Lelanang. Sudah. Kau jangan banyak tanya Sura! Lekas hidangkan makanan. Kami sudah lapar!”
“Baik, baik….” Jawab Sura sambil manggut-manggut. Lalu dia berteriak memanggil pelayan. Selesai memberi perintah, sesuai yang dikatakan Sumo Kebalen, pemilik rumah makan ini kemudian pergi berdiri di pintu masuk, berjaga-jaga.
Orang kedua dalam Empat Teratai Darah adalah seorang nenek-nenek berbadan tinggi kurus bernama Supit Inten. Nenek-nenek ini merupakan saudara seperguruan Sumo Kebalen. Dalam dunia persilatan bukan rahasia lagi bahwa kedua tokoh ini menjalani hidup bersama tanpa kawin alias kumpul kebo.
Orang ketiga dan keempat adalah dua gadis kembar berbadan langsing. Paras mereka sebenarnya tidak begitu cantik. Tetapi karena pandai memoles muka berhias berlebihan maka jadinya lumayan juga. Gadis pertama bernama Inang Pini sedang adiknya Inang Resmi.
Pada dasarnya Empat Teratai Darah tidak dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh silat golongan putih. Mereka seringkali diketahui bersekutu dengan jago-jago golongan hitam. Dalam malang melintang di rimba persilatan mereka tak pernah berpisah. Hari itu mereka datang ke rumah makan Sura Gandara untuk menunggu Kedatangan seorang musuh bernama Rangga Lelanang, yaitu kakek-kakek lihay yang pernah menghina almarhum guru mereka sewaktu diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh silat golongan hitam di puncak gunung Merapi dua tahun yang lalu.
Tidak seorangpun dari Empat Teratai Darah sebelumnya pernah melihat atau bertemu dengan Rangga Lelanang. Namun ciri-ciri si kakek ini sudah mereka ketahui jelas dari sang guru sebelum menutup mata delapan belas bulan yang lalu. Dengan memakai seorang perantara Empat Teratai darah mengirimkan sepucuk surat undangan kepada Rangga Lelanang guna datang ke rumah makan itu, untuk menyelesaikan soal malu besar penghinaan tempo hari.
Selagi Empat Teratai Darah sedang asyik menyantap makanan lezat di atas meja, pada saat itu pulalah Wiro Sableng dan si kakek mata picak bernama Lor Gambir Seta sampai di tempat itu.
Si kakek sebenarnya tak ingin singgah karena ingin lekas-lekas sampai ke tempat tujuan. Tapi Wiro sudah tak tahan lapar dan memaksa masuk ke rumah makan. Dengan jengkel si kakek terpaksa mengikuti. Tetapi baru saja mereka sampai di depan pintu, Sura Gandara sudah menyongsong dengan sikap menghadang.
“Harap dimaafkan, rumah makan belum buka. Datang saja nanti kalau matahari sudah mulai naik,” berkata Sura Gandara.
Wiro Sableng melirik ke dalam rumah makan. Lalu menyeringai dan berkata: “Kalau betul rumah makan ini belum buka kenapa kulihat ada empat kunyuk sedang enak-enakan makan di dalam sana?!”
Paras Sura Gandara berubah. Kalau saja ucapan Wiro tadi sempat terdengar oleh Empat Teratai Darah bisa berabe.
“Orang muda, harap kau jangan bicara seenaknya. Empat orang itu adalah tamu-tamu istimewa…”
“Hai, tamu-tamu istimewa macam bagaimana?” tanya Wiro. “Kulihat mereka biasa-biasa saja. Cuma mungkin memang sedikit aneh. Si kakek itu bermuka putih seperti singkong rebus. Si nenek sudah peot tapi agak genit. Dua gadis seperti topeng yang diberi pupur tebal….!”
Si gemuk Sura Gandara maju dan mencekal kerah kemeja Wiro. “Gondrong! Jaga mulutmu kalau tak mau Celaka….”
Lor Gambir Seta menepuk bahu Wiro dan berkata agar mereka mencari rumah makan lain saja. Tetapi pendekar kita tetap tak bergerak. Pemilik rumah makan itu menjadi marah. Ketika dia hendak menampar, tiba-tiba pandangannya lekat pada wajah Lor Gambir Seta yang bermata picak. Agaknya manusia inilah musuh besar yang tengah di tunggu-tunggu Empat Teratai Darah. Maka cepat-cepat dia melepaskan cekalannya dan membungkuk dalam-dalam.
“Mohon dimaafkan. Aku tidak melihat dalamnya laut tingginya gunung. Kalian berdua Silahkan masuk…”
Wiro tersenyum sedang Lor Gambir Seta kerenyitkan kening. Perubahan sikap Sura Gandara yang tiba-tiba ini pasti ada apa-apanya. Namun dia tak bisa berpikir panjang karena Wiro sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan sambil bersiul-siul.
Mendengar suara siulan, Empat Teratai Darah yang asyik bersantap angkat kepala. Dua sosok tubuh tampak masuk mengikuti pemilik rumah makan. Ketika melihat Lor Gambir Seta, Sumo Kebalen serta merta hentikan makannya. Begitu juga tiga saudara seperguruannya.
“Orang yang kita tunggu telah datang,” bisik pemimpin Empat Teratai Darah itu.
Sementara itu Wiro serta Lor Gambir Seta telah mengambil tempat duduk di bagian lain rumah makan. Ketika pelayan datang untuk melayani mereka tiba-tiba Sumo Kebalen berseru: “Tak ada seorang tamu lain boleh dilayani tanpa izinku!”
Pelayan terkejut dan cepat-cepat masuk ketika dilihatnya Sumo Kebalen pelototkan mata.
Wiro Sableng pencongkan mulut dan batuk-batuk. Sementara orang tua bermata picak duduk tenang-tenang saja, memandang keluar jendela.
“Kakek, kau kenal empat kunyuk itu…?” bisik Wiro.
Tanpa palingkan kepalanya dari jendela si kakek mata satu menjawab: “Mereka Empat Teratai Darah”.
Wiro manggut-manggut. Saat itu pandangannya membentur sebuah kaleng kosong di dekat meja. Maka pendekar ini mulai bertingkah batuk-batuk, mengeluarkan suara seperti orang mau muntah dan meludah beberapa kali ke dalam kaleng itu.
Sumo Kebalen tahu kalau apa yang dilakukan Wiro itu tidak lain hanya untuk menghinanya. Wajahnya yang putih tampak mengelam. Tanpa berdiri dari duduknya dia berkata: “Adik-adikku. Kurasa terlalu banyak meja dan kursi malang melintang dalam ruangan ini. Coba kalian tolong rapikan!”
Dari tempat duduk masing-masing, Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi memukulkan telapak tangan ke arah meja dan kursi yang ada disitu. Hebat sekali. Benda-benda itu berpentalan ke tepi ruangan hingga bagian tengah rumah makan itu kini terbuka lapang.
“Bagus!” seru Sumo Kebalen. Lalu dia berdiri dan melangkah ke tengah ruangan. Sambil bertolak pinggang dia memandang ke jurusan kakek mata picak yang duduk di dekat Wiro.
“Rangga Lelanang! Jangan kau pura-pura tidak tahu kami!”
Wiro berpaling pada Lor Gambir Seta. Orang jelas bicara padanya tapi si kakek ini duduk tenang-tenang saja tanpa berpaling sedikitpun.
Merasa dianggap remeh tak diperdulikan, Sumo Kebalen melompat ke hadapan Wiro dan Gambir Seta. Tangan kanannya menggebrak meja hingga hancur berkeping-keping. Gilanya Lor Gambir Seta masih saja tak bergeming dari tempat duduknya sementara Wiro mulai naik darah.
Wiro menatap wajah Sumo Kebalen sesaat lalu berkata: “Pangeran tua bermuka putih dari mana yang pagi-pagi begini mengamuk di rumah makan orang? Kau kemasukan atau mabuk tuak?!”
Sepasang mata Sumo Kebalen seperti hendak melompat keluar. Rahangnya menggembung. Wiro berdiri dari kursinya. Lor Gambir Seta masih seperti tadi. Diam tak bergerak. Supit Inten dan dua gadis kembar berdiri dari kursi masing-masing.
"Bocah bau apek. Kau menyingkirlah dari hadapanku. Sekali lagi kau berani buka mulut, kubanting tubuhmu sampai melesak di lantai rumah makan ini!"
Habis berkata begitu Sumo Kebalen lalu gerakan tangan kirinya mendorong bahu Pendekar 212 Wiro Sableng. Dorongan itu kelihatannya biasa-biasa saja. Tetapi nyatanya mengandung tenaga dalam dahsyat yang sanggup merobohkan tembok batu Sumo Kebalen sengaja hendak memberi pelajaran pada pemuda yang dianggapnya kurang ajar itu. Sekali dorong pasti si gondrong ini mencelat mental. Tetapi betapa kagetnya manusia muka putih ini!
Wiro sudah maklum kalau dari getaran hawa yang keluar dari telapak tangan Sumo Kebalen, orang itu bukan hanya sekedar mendorong biasa saja. Tapi bermaksud hendak mencelakakannya! "Orang tua," kata Wiro seraya menghadang tangan dengan tangan kirinya, "Kalau bicara tak usah pakai pegang-pegang segala. Aku bukan perempuan!"
Sesaat kemudian, telapak tangan Pendekar 212 saling beradu dengan telapak tangan Sumo Kebalen. Kagetlah kepala Empat Teratai Darah ini. Telapak tangannya terasa panas, lengannya bergetar keras.
Satu tenaga dorongan yang hebat membuat tubuhnya terhuyung tiga langkah. Paras Sumo Kebalen membesi. Kalau tadi dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya saja maka kini dia lipatkan gandakan menjadi dua kali atau setengah dari seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Tapi celakanya malah kini dia dibuat terjajar empat langkah!
"Keparat!" maki Sumo Kebalen. Dia tak mau dibuat malu dipecundangi seorang pemuda tak di kenal yang bertampang gendeng. Maka kini dia alirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tapi untuk ketiga kalinya pimpinan Empat Teratai Darah ini tampak terhuyung. Malah kini sampai enam langkah. Wiro telah kerahkan dua pertiga tenaga dalamnya.
Meski sadar kini kalau pemuda itu bukan sembarangan namun Sumo Kebalen tetap membentak untuk menutup malunya: "Bangsat! Apa kau muridnya manusia bernama Rangga Lelanang ini?!" Kalau sang murid memiliki kepandaian yang begitu tinggi tentu sang guru lebih hebat lagi.
"Aku bukan muridnya!" jawab Wiro. "Nah, kau mau tanya apa lagi?!"
Sumo Kebalen kini palingkan kepalanya pada kakek yang duduk di samping Wiro.
"Tua bangka mata picak! Jangan kau pura-pura tuli! Empat Teratai Darah datang ke sini untuk membalas sakit hati penghinaan yang kau lakukan terhadap guru kami dua tahun lalu di puncak Merapi!"
Si orang tua mata satu tetap tak bergerak atau memalingkan kepala. Mendidihlah amarah Sumo Kebalen. Seumur hidup belum pernah dia di hina orang begitu rupa, apalagi di hadapan adik-adik seperguruannya.
"Edan!" maki Sumo Kebalen. Kaki kanannya bergerak menendang. "Kau makan kakiku ini Rangga Lelanang"
Karena tendangan kepala Empat Teratai Darah itu adalah tendangan maut, tentu saja kali ini si kakek mata satu tak bisa berdiam diri lagi. Dengan gerakan enteng tapi cepat dia melompat dari kursi. Tendangan menghantam kursi yang tadi didudukinya hingga hancur berantakan. Ketika kembali hendak mengejar, Sumo dapatkan si kakek mata satu sudah berdiri menghadang gerakannya. Untuk pertama kali dia membuka mulut.
"Sumo Kebalen! Aku bukan Rangga Lelanang. Namaku Lor Gambir Seta. Aku sama sekali tak ada urusan dengan kalian ataupun guru kalian. Atau juga dengan nenek moyang kalian!" "Bangsat tua! Jangan dusta!" Sesosok tubuh melompat ke hadapan Lor Gambir Seta. Inang Pini. Menyusul Inang Resmi dan nenek-nenek bernama Supit Inten. "Kami yakin kaulah yang telah menghina guru kami di puncak Merapi dua tahun lalu!"
Lor Gambir Seta tersenyum. "Gadis, parasmu cukup cantik. Tapi tidak berkesesuaian dengan mulutmu yang kurang ajar! Aku jauh lebih tua darimu. Apa gurumu sebelum mampus tidak pernah memberi pelajaran budi pekerti padamu?!"
Inang Pini yang memang sudah dirasuk nafsu balas dendam menjawab dengan mencabut pedangnya.
"Mulutku tak seberapa kurang ajarnya, mata picak! Pedangku justru lebih kurang ajar!"
Habis berkata begitu Inang Pini gerakkan pergelangan tangan kanannya dan mata pedang berkiblat ganas ke arah batang leher Lor Gambir Seta.
Si kakek goleng-goleng kepala. "Bakatmu rupanya memang untuk jadi orang kurang ajar. Jangan salahkan aku kalau terpaksa harus memberi pelajaran!"
Lor Gambir Seta bergerak sewaktu pedang lawan hanya tinggal seperempat jengkal dari batang lehernya. Tubuhnya lenyap. Pedang lawan menebas tempat kosong. Bersamaan dengan itu terdengar keluhan Inang Pini. Gadis itu kini tampak tertegun kaku tak bisa bergerak lagi. Satu totokan lihay telah bersarang di tubuhnya.
"Bagus! Kau sudah beri pelajaran pada adikku mata picak! Kini aku yang ganti memberi pelajaran padamu!"
Yang berseru adalah Supit Inten. Dia tutup ucapannya dengan satu pukulan mengemplang ke batok kepala Lor Gambir Seta.
"Ah, kau pun nenek sama saja tololnya dengan adikmu tadi! Biar aku sekalian beri pelajaran padamu!" jawab Lor Gambir Seta. Tubuhnya berkelebat. Tangannya bergerak dan terdengar keluhan Supit Inten. Detik itu pula tubuhnya tampak kaku tegang seperti Inang Pini!
"Ada lagi yang minta diberi pelajaran?!" tanya Lor Gambir Seta.
Baru saja orang tua ini berkata Inang Resmi datang menyerbu. Dia menghantamkan kedua tangannya sekaligus. Dari telapak tangan kanan melesat sinar merah sedang dari telapak tangan kiri menghambur dua lusin senjata rahasia berbentuk paku rebana berwarna hitam. Senjata rahasia ini sebelumnya telah di rendam dalam racun ular selama satu tahun. Siapa saja yang terkena paku rebana ini pasti akan menemui kematian dalam waktu satu jam!
Menurut Sumo Kebalen, paling tidak enam dari dua lusin senjata rahasia adik seperguruannya akan dapat menghantam tubuh Lor Gambir Seta yang dianggapnya Rangga Lelanang itu. Memang dalam ilmu melemparkan senjata rahasia Inang Resmi telah di gembleng khusus selama tiga tahun dan merupakan yang terlihay di antara Empat Teratai Darah.
Lor Gambir Seta maklum kalau bahaya besar mengancamnya. Si gadis benar-benar inginkan nyawanya. Sambil melompat dan berseru nyaring, kakek itu pukulkan tangan kirinya. Dua lusin paku rebana hitam mencelat ke atas, menancap pada langit-langit rumah makan yang terbuat dari papan. Sinar merah yang tadi juga di lepaskan si gadis, mengenai tempat kosong, terus melabrak dinding rumah makan hingga hancur berhamburan. Sura Gandara, si pemilik rumah makan menyumpah panjang pendek dalam hati. Hari itu bukan keuntungan yang didapatnya, malah bencana yang merugikan!
Inang Resmi gigit bibirnya. Dua lusin paku rebana tidak berhasil. Dia akan coba tiga lusin sekaligus. Masakan tak ada yang dapat menghantam tubuh lawan? Gadis ini sudah siap melepaskan senjata rahasianya sebanyak tiga puluh enam buah ketika tiba-tiba dia terkesiap karena dilihatnya lawannya lenyap dari hadapannya.
"Bangsat tua, kau bersembunyi di mana?!" bentak Inang Resmi. Tiba-tiba gadis ini mengeluh pendek. Tubuhnya terhuyung ke depan lalu tak bergerak lagi. Punggungnya dilanda totokan lihay. Membuat dia kaku tegang dengan masih menggenggam tiga lusin paku rebana hitam.
Ketua Empat Teratai Darah mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya kakek mata picak ini begitu lihaynya. Namun menyerah tidak ada dalam kamusnya.
"Rangga Lelanang! Kalau tidak ku bunuh kau hari ini biar aku mati bunuh diri!" teriak Sumo Kebalen.
Si kakek ganda tertawa. "Tak pernah kulihat manusia setololmu!" katanya. Lalu dengan sikap tak perduli dia menarik sebuah kursi dan duduk seenaknya.
Sumo Kebalen menggereng. Lalu keluarkan suara bentakan dahsyat. Seluruh bangunan rumah makan bergetar. Pemilik rumah makan yang gemuk macam kerbau bunting itu ketakutan, apa lagi pelayan-pelayan.
Lor Gambir Seta melompat ke samping. Dinding di belakangnya hancur berantakan. Sumo Kebalen potong gerakan lawan dengan satu tendangan ke arah perut. Tetapi tendangan ini hanya tipuan belaka karena secepat kilat dia susupkan satu jotosan ke pangkal leher lawan. Namun Lor Gambir Seta agaknya memang bukan tandingan kakek muka putih ini.
Sewaktu tendangan lawan dilihatnya mengapung Lor Gambir Seta segera maklum kalau serangan itu tipuan belaka. Kemudian ketika dilihatnya jotosan datang dengan deras, si picak ini cepat tundukkan kepala dan sekaligus menghantam paha kanan lawan dengan lututnya. Sumo Kebalen terpental. Dia bergulingan di lantai lalu cepat tegak kembali. Namun belum sempat dia mengimbangi diri satu totokan hinggap di dadanya, membuat dia kini kaku tak berdaya. Empat Teratai Darah kini tertegak di tengah rumah makan dalam keadaan kaku tegang tak bisa bergerak. Cukup lucu menyaksikan keadaan mereka saat itu.
Sumo Kebalen kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk membuyarkan totokan. Tapi totokan itu bukan totokan sembarangan. Kalau bukan Lor Gambir Seta sendiri yang memusnahkannya, totokan itu baru lenyap setelah tiga jam.
"Keparat kau Rangga Lelanang! Pengecut!" maki Sumo Kebalen. "Lepaskan totokan ini. Mari kita berkelahi sampai seribu jurus!" Lor Gambir Seta tidak perdulikan ucapan orang, sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mencibir ke arah Sumo Kebalen. "Kambing muka putih," katanya. "Lagakmu hebat betul. Hendak berkelahi seribu jurus. Nyatanya kau sudah jadi pecundang di bawah sepuluh jurus!" Saking marahnya Sumo Kebalen lantas meludahi Wiro Sableng. Meski sudah mengelak namun tampiasan air ludah masih sempat memercik di muka pendekar ini. "Sialan. Benar-benar sialan!" maki Wiro. Dibetotnya ujung jubah Sumo Kebalen hingga robek. Kakek muka putih ini terbanting ke lantai dan memaki panjang pendek. Wiro seka ludah di mukanya dengan robekan pakaian si kakek. Lalu robekan pakaian itu diludahinya berulang-ulang, setelah itu dibuntalnya bulat-bulat dan disumpalkannya ke mulut Sumo Kebalen hingga kakek ini megap-megap, tercekik dan sulit bernapas. "Pendekar 212," kata Lor Gambir Seta, "Kalau kau hendak mengisi perut cepatlah! Kita tak punya waktu banyak."
Wiro berteriak memanggil pelayan yang datang dengan ketakutan. Makanan dan minuman yang di pesan segera di hidangkan. Wiro langsung menyantapnya. Lalu dia ingat pada orang tua di sebelahnya. "Hai, kau tidak makan?"
Yang ditanya menggeleng. "Kau saja yang makan. Dan cepat"
Sementara itu Supit Inten, Inang Pini dan Inang Resmi tidak hentinya berteriak memaki-maki. Tapi baik Wiro maupun Lor Gambir Seta tidak perdulikan.
"Rangga Lelanang!" teriak Supit Inten. "Aku bersumpah akan memisahkan kepala dan tubuhmu!"
"Nenek-nenek tolol! Namanya bukan Rangga Lelanang, tapi Lor Gambir Seta!" jawab Wiro.
"Rupanya si mata picak itu terlalu pengecut untuk mengakui namanya yang asli!" menukas Inang Resmi.
"Kalian bertiga perempuan-perempuan cerewet. Tak bisa diam! Mengganggu makanku saja!" damprat Wiro. Lalu dari dalam mangkok sayur diambilnya tiga buah melinjo dan dilemparkannya ke arah ke tiga perempuan itu. Langsung saja ketiganya jadi terbungkam tak bisa bicara lagi!
Sumo Kebalen yang megap-megap di lantai jadi terbeliak. Kini disaksikannya sendiri, nyatanya pemuda rambut gondrong yang dianggapnya tolol itu memiliki kepandaian menotok yang luar biasa. Pasti ilmunya tidak kalah dari si mata picak itu.
Selesai makan Wiro melangkah mendekati Sumo Kebalen dan memeriksa pakaian kakek muka putih ini. Dan kantong jubah sebelah kanan Wiro menemukan beberapa keping uang emas dan perak. Wiro mengambil sekeping uang perak menyodorkannya pada Sura Gandara.
"ini pembayar harga makanan dan minuman. Lebih dan cukup" Lalu diangsurkannya lagi sekeping uang perak. "Dan ini untuk pembayar ganti kerusakan rumah makanmu!"
Si gemuk Sura Gandara yang tahu jelas dari mana asal uang itu tentu saja tidak berani menerimanya.
"Hai, ambillah!" kata Wiro.
"Aku tak berani, itu uang Sumo Kebalen. Nanti aku dihajarnya" jawab Sura Gandara.
"Kalau dia berani berbuat begitu, beritahu aku. Aku akan ganti menghajarnya!" sahut Wiro pula. Lalu dua keping uang perak itu disusupkannya ke dalam saku pakaian pemilik rumah makan. Sura Gandara merasa seolah-olah mengantongi bara panas!
***

SEMBILAN
SANG surya telah jauh menggelincir ke barat. Sinarnya yang sebelumnya putih memerah dan memerihkan jagat kini telah berubah redup kekuning-kuningan. Pada saat itu Wiro Sableng dan orang tua bermata satu sampai di sebuah pedataran berumput liar. Di ujung pedataran menunggu sebuah hutan belantara. Sejauh itu berjalan baik Wiro maupun si orang tua tak satu pun pernah bicara.
Wiro mengikuti saja si mata satu itu memasuki rimba belantara. Setelah masuk sejauh perjalanan dua kali peminuman teh, di pertengahan rimba nampak sebuah pondok kecil. Dinding dan atap bangunan ini sudah bolong-bolong. Keadaan pondok reyot ini hanya menunggu roboh saja lagi. Dugaan Wiro bahwa si kakek akan menuju ke pondok tersebut tidak meleset. Pintu pondok mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka. Kedua orang ini masuk dan si kakek menutupkan pintu kembali.
Wiro memandang berkeliling. Tak ada jendela atau lobang angin. Lama-lama terasa pengap di dalam situ. Di mana-mana abu menebar. Di sudut-sudut pondok tampak labah-labah membuat sarangnya.
"Perlu apa kita masuk ke sini kalau cuma tegak dan membisu begini rupa?" tanya Wiro akhirnya kesal.
Orang tua itu tak menjawab. Dia berdiri tanpa bergerak dengan kepala setengah mendongak. Kelihatannya dia seperti tengah memasang telinga tajam-tajam.
"Kita menunggu seseorang di sini?" tanya Wiro lagi.
Tetap tidak ada jawaban, ini menjengkelkan murid Sinto Gendeng. Ketika dia hendak membuka mulut kembali tiba-tiba Lor Gambir Seta melangkah ke salah satu sudut pondok. Dilihatnya orang tua ini menggerakkan jari-jari tangannya, menekan salah satu bagian dari tiang pondok yang sudah lapuk dimakan bubuk.
Wiro terkejut dan hampir tak percaya ketika tiba-tiba lantai pondok yang terbuat dari papan itu membuka di sebelah tengah dan di bawahnya kelihatan sebuah tangga batu, menurun menuju sebuah gang.
Lor Gambir Seta melangkah menuruni tangga setelah terlebih dulu memberi isyarat pada Wiro agar mengikuti. Melihat sikap si mata satu ini yang terus-terusan terasa aneh, mau tak mau lama-lama pendekar kita jadi curiga. Dia tak mau mengikut turun dan tetap di tempatnya.
"Lekas masuk!" kata Lor Gambir Seta ketika dilihatnya Wiro tak bergerak.
Wiro menggeleng.
"Terus terang aku mulai curiga terhadapmu, orang tua!"
"Curiga atau tidak lekas masuk. Aku tak punya waktu lama!"
"Soal waktu itu urusanmu. Cukup aku mengikutimu sampai di sini. Selamat tinggal" Wiro putar tubuh dan siap melangkah keluar pondok. Namun ucapan si kakek membuatnya kemudian batalkan niat.
"Kau ingin melihat dunia persilatan musnah di tangan manusia jahat itu? Kau ingin pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan berlangsung terus sampai kiamat? Hingga kelak pada suatu ketika aku dan juga kau bakal menjadi korban keganasannya?"
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Lalu menjawab: "Kakek aneh, kalau kau memang punya maksud baik, kenapa kau terlalu banyak merahasiakan segala sesuatunya padaku? Kau selalu menutup mulut. Tak pernah menjawab setiap kutanya. Bukan mustahil kau memang Rangga Lelanang seperti yang dikatakan oleh Empat Teratai Darah!"
"Siapa diriku setiap orang boleh menduga seribu cara seribu macam. Maksud baikku terhadap dunia persilatan tak ada artinya. Tidak beda dengan setetes air yang dicemplungkan ke dalam lautan. Kalau kau tak mau ikut aku, perduli setan. Asal jangan kau nanti menyesal seumur hidup sampai ke liang kubur!"
Habis berkata begitu Lor Gambir Seta kembali menuruni tangga batu. Wiro bersiul, garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba dari mulut gang sebelah bawah tangga batu menggema satu suara halus tapi amat jelas.
"Pendekar 212 jangan terlalu banyak bercuriga. Kau berada di tengah-tengah orang-orang yang satu haluan…"
"Heh… siapa pula yang bicara itu?" tanya Wiro Sableng. Dilihatnya Lor Gambir Seta terus melangkah menuruni tangga. Akhirnya pendekar kita melangkah juga mengikuti kakek mata satu itu. Begitu sampai di anak tangga terakhir, bagian atas lobang tertutup dengan sendirinya. Keadaan kini jadi gelap gulita. Tapi Lor Gambir Seta melangkah cepat seperti dalam terang saja, seolah-olah dia punya mata lebih dari satu! Wiro setengah memaki tetapi juga penuh rasa ingin tahu mengikuti terus. Lorong itu ternyata amat panjang. Akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah pintu batu berwarna putih. Wiro berpikir-pikir siapa gerangan orang yang tadi mengeluarkan suara halus tapi jelas itu. Pasti orangnya ada di belakang pintu itu. Dan pastilah dia seorang manusia luar biasa karena sanggup mengirimkan suara sedemikian jauh.
Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu itu. Pintu bergeser ke samping secara aneh. Di belakang pintu kelihatan sebuah lorong panjang diterangi lampu-lampu minyak. Keduanya memasuki lorong. Pintu batu putih di belakang mereka menutup dengan sendirinya. Pada ujung lorong muncul sebuah pintu batu yang kali ini berwarna merah. Seperti tadi kembali Lor Gambir Seta mengetuk pintu batu ini tiga kali. Pintu terbuka.
Di hadapan Wiro tampak sebuah ruangan amat besar yang keseluruhan lantai, dinding dan langit-langitnya tertutup permadani berbunga-bunga. Di ujung kamar terdapat sebuah jendela. Jauh di belakang jendela tampak sebuah sungai dengan air terjun yang tinggi. Segala sesuatunya di luar jendela itu adalah rimba belantara yang tak pernah dijejaki manusia.
Yang menarik perhatian Wiro saat itu ialah dua orang yang berada di samping kanan ruangan besar. Yang satu seorang kakek berbadan gemuk macam gentong, tetapi mengenakan pakaian yang kekecilan.
Orang ini berbaring melunjur di atas sebuah kursi malas. Sebatang pipa terselip di sela bibirnya. Asap pipa itu menaburkan bau yang tidak sedap.
Di sebelah si gemuk duduklah seorang tua berjanggut putih. Di pangkuannya terletak dua buah bumbung tuak. Meskipun orang ini agak membelakang, tapi Wiro segera mengenalinya.
"Dewa Tuak!" Wiro berseru memanggil.
Orang yang dipanggil tidak berpaling, melainkan keluarkan suara tertawa bergelak, lalu berkata: "Cepatlah masuk Wiro. Agar kita bisa lebih lekas berunding mengatur rencana."
Wiro kerenyitkan kening. Sesaat dia memandang pada Lor Gambir Seta. Selagi si mata satu ini menutup pintu batu merah, Wiro melangkah ke hadapan kakek janggut putih yang dipanggilnya Dewa Tuak, lalu menjura dalam, dan juga menjura pada Si gemuk di kursi malas. Menurut dugaan Wiro si gemuk inilah tadi yang telah mengirimkan suara jarak jauh.
"Duduk…" si gemuk mempersilahkan. Suaranya halus. Wiro duduk di kursi yang terletak di samping Dewa Tuak sementara Lor Gambir Seta mengambil kursi lain.
"Guru, harap maafkan," kata Lor Gambir Seta pada si gemuk yang menghisap pipa. "Dua bulan mencari baru aku berhasil menemui pemuda ini."
"Ah, ternyata si gemuk ini guru si picak," kata Wiro dalam hati.
Si gemuk menyedot pipanya dalam-dalam, lalu meniupkan asap tampak dia membuka mulut. Wiro menyangka si gemuk ini hendak mulai bicara. Ternyata dia menguap lebar-lebar dan lama sekali.
"Jika satu jam saja kalian terlambat, pasti aku sudah tidur lagi. Dan segala sesuatunya akan percuma saja karena aku tak akan bangun dalam tempo enam kali bulan purnama!" kata si gemuk pula. Suaranya halus dan sember.
"Dapatkah kita mengatur rencana sekarang?” tanya Dewa Tuak sambil usap-usap bumbung tuaknya.
Si gemuk untuk kedua kalinya menguap lebar dan panjang hingga matanya tampak berair.
"Dewa Tuak," Wiro menyeling. "Mohon dijelaskan dengan orang gagah dari manakah saat ini aku berhadapan dan siapa nama atau gelarnya. Lalu bagaimana pula kita sampai bisa bertemu di sini."
"Semuanya telah diatur," memberitahu Lor Gambir Seta.
"Ya, ya. Diatur untuk satu rencana besar," sambung Dewa Tuak.
"Jelasnya rencana besar apa?" tanya Wiro kembali.
Si gemuk berdehem beberapa kali. "Aku akan terangkan anak muda. Aku akan terangkan." Dia menoleh pada Dewa Tuak. "Coba terangkan dulu siapa aku ini padanya…."
Dewa Tuak mengangguk lalu berkata, "Wiro, saat ini kita berada di tempat kediaman tokoh paling tua di dunia persilatan. Umurku lebih dari delapan puluh tahun. Tapi si gemuk ini berusia dua kali umurku…."
"Buset!" terlompat kata-kata itu dari mulut Wiro secara tak sengaja saking kagetnya. Menyadari ketidaksopanannya buru-buru pemuda ini minta maaf. Dan Dewa Tuak melanjutkan penjelasannya. "Dia tokoh silat paling tua. Juga paling gemuk. Beratnya hampir dua setengah kwintal. Di samping itu dia mendapat cap sebagai manusia paling malas di seluruh dunia karena sifatnya yang doyan tidur, itu sebabnya dalam dunia persilatan dia diberi nama Si Raja Penidur!"
Terbelalaklah Wiro Sableng ketika mendengar siapa adanya si gemuk itu. Selagi di gembleng di puncak gunung Gede oleh gurunya Eyang Sinto Gendeng, sang guru pernah menerangkan bahwa satu-satunya manusia yang dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya dalam dunia persilatan ialah seorang lelaki gemuk bergelar Si Raja Penidur. Usianya sudah amat lanjut. Karena sifatnya yang pemalas dan suka tidur, dia jarang muncul dalam rimba parsilatan, karenanya kurang di kenal. Menurut Eyang Sinto Gendeng kalau sekali Raja Penidur ini tidur maka tiga sampai empat bulan mungkin belum bangun-bangun sekalipun gunung meletus dibawah ranjangnya.
Kini Wiro tahu itulah sebabnya Lor Gambir Seta selalu mendesak agar cepat-cepat dalam perjalanan. Wiro benar-benar tidak menduga kalau hari itu dia bakal bertemu muka dengan tokoh nomor satu itu.
"Sekarang soal rencana," kata Si Raja Penidur. Tapi ucapannya terputus karena lagi-lagi menguap dan kucak-kucak mata. "Meskipun aku bisanya cuma tidur dan malas-malasan di sini, tapi apa yang terjadi di dunia persilatan tidak luput dari perhatianku. Beberapa tokoh silat berkunjung ke sini tiga bulan lalu dan menerangkan semua kejadian di luar sana. Kejadian-kejadian yang benar-benar menggegerkan, biadab terkutuk serta tak mungkin dibiarkan lebih lama." Si gemuk ini berhenti sesaat untuk menguap, baru meneruskan.
"Menurut hematku hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu siluman dan mampu terbuat seperti itu yakin Datuk Siluman dari Bukit Hantu. Maka kusuruh muridku Lor Gambir Seta untuk melakukan penyelidikan. Siapa sebenarnya keparat biang bencana itu dan di mana dia bercokol. Ternyata diketahui Datuk Siluman sudah mati. Tertembus di bawah runtuhan rumahnya, atau dibunuh orang atau bunuh diri. Ini memberi pengertian bahwa ada seorang lain yang jadi penimbul malapetaka itu, dengan ilmu mirip sekali seperti yang di miliki Datuk Siluman. Dan penyelidikan muridku ternyata tidak sia-sia…. Ah… aku mengantuk. Tak tahan beratnya mata ini. Aku mau tidur…."
"Guru!" berkata Lor Gambir Seta. "Jika kau tidur percumalah semua ini!"
Si Raja Penidur menguap, lalu mengulet dan geleng-gelengkan kepalanya berulang kali untuk membuang kantuk. Setelah menyedot pipanya dalam-dalam baru dia melanjutkan: "Bangsat penimbul malapetaka keji itu bernama Sonya. Dia bercokol di sebuah goa yang bangunan dalamnya tidak beda dengan tempatku ini. Goa itu terletak di Teluk Gonggo!" Si gemuk kembali menguap. "Sonya memiliki ilmu siluman yang luar biasa. Mungkin dia bukan murid Datuk Siluman karena sejauh kuketahui Datuk Siluman tidak punya murid. Tetapi tidak bisa tidak manusia biadab ini pasti memiliki hubungan dengan Datuk Siluman. Ilmu hitamnya lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari lautan. Dan celakanya dia tidak bisa mati, tidak bisa dibunuh!"
Wiro batuk-batuk lalu berkata: "Raja Penidur, aku tolol ini mohon penjelasanmu. Bagaimana ada manusia yang tidak dapat dibunuh, tidak bisa mati! Setiap makhluk hidup pasti mati. Itu hukum Yang Kuasa!"
Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta tersenyum. Rupanya kedua orang ini sudah tahu banyak tentang manusia bernama Sonya itu.
"Apa yang kau katakan itu memang benar, orang muda," jawab Raja Penidur. "Tapi Sonya bukan manusia biasa lagi, tak dapat disebutkan manusia. Dia malah sudah melebihi siluman. Dan hanya akan mati bila kita mengetahui titik kelemahannya atau pantangannya. Kabarnya dia punya dua pantangan. Aku cuma tahu satu, sialan betul!" Raja Penidur kembali menguap. Dia memandang pada Lor Gambir Seta dan berkata: "Muridku, jelaskan padanya pantangan itu."
Lor Gambir Seta mengangguk. "Ketinggian ilmu kesaktian dan kehebatan ilmu kebal manusia siluman ini akan punah bilamana tubuhnya terkena air hujan."
Wiro garuk-garuk kepala sedang Dewa Tuak kerenyitkan kening sambil usap-usap janggutnya yang putih.
"Aneh dan hampir tak masuk akal…" kata Dewa Tuak.
"Memang setiap ilmu siluman selalu diselimuti keanehan," kata Lor Gambir Seta.
Raja Penidur menyambung. "Rasanya Sonya tidak sendirian. Selain memelihara puluhan perempuan culikan, dia juga dikelilingi oleh tokoh-tokoh silat baik dari golongan putih maupun hitam. Mereka menjadi budaknya di luar sadar. Perempuan-perempuan malang itu harus diselamatkan. Juga tokoh-tokoh silat golongan putih. Terhadap mereka dari golongan hitam kalian tak usah ragu-ragu bertindak. Jika selama ini mereka sukar diatur dan sulit dibasmi, kali ini kalian punya kesempatan untuk turun tangan. Persoalannya kuserahkan pada kalian bertiga…."
"Raja Penidur," berkata Wiro. "Kau bilang persoalannya kini pada kami bertiga. Jika tokoh-tokoh silat kawakan sebelumnya tak berhasil membekuk manusia siluman itu, bagaimana mungkin aku yang masih hijau ini bisa turun tangan?"
Si gemuk tertawa mengekeh. "Jangan terlalu merendahkan diri orang muda. Siapa yang tidak tahu Sinto Gendeng? Siapa yang tidak pernah dengar muridnya yang berjuluk Pendekar 212? Aku yakin kalian bertiga bisa bekerjasama membantai manusia siluman terus lagi pula ingat akan satu ujar-ujar. Kapal besar belum tentu tenggelam oleh ombak besar. Tetapi mungkin tenggelam oleh bocor kecil. Dewa Tuak, ingat, kau bertugas membawa air hujan dalam bumbung bambumu itu!"
Dewa Tuak usap-usap bumbung bambunya. "Ah, malang nian nasibku kali ini. Agaknya aku terpaksa puasa minum tuak selama menjalankan tugas ini!"
"Lor Gambir Seta, kau punya tugas menyelamatkan tokoh-tokoh golongan putih yang disekap di Teluk Gonggo. Dan Wiro, kau berkewajiban membasmi mereka yang dari golongan hitam!"
"Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan yang puluhan itu dan kabarnya cantik-cantik? Siapa yang dapat tugas menyelamatkan?" tanya Wiro.
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. Lor Gambir Seta senyum-senyum sedang Si Raja Penidur kembali menguap.
"Mereka sudah barang tentu harus diselamatkan. Aku percaya kau bisa mengaturnya Wiro," jawab Si Raja Penidur kemudian.
"Kau sendiri tidak ambil bagian dalam tugas besar ini?”
"Aku…?" ujar Raja Penidur ketika mendengar pertanyaan Wiro itu. Dihembuskannya asap pipanya jauh-jauh. "Perlu apa aku turun tangan mencapaikan diri. Lebih enak tidur di sini!" Dia menguap kembali.
"Kalian saksikan sendiri," kata Lor Gambir Seta sambil menggoyangkan kepala ke arah gurunya yang sudah pulas. "Baru delapan minggu yang lalu dia bangun setelah tidur selama empat bulan. Dan kini sudah pulas lagi. Untung kita lekas sampai di sini. Kalau tidak berarti dunia persilatan akan terus tenggelam dalam malapetaka sampai beberapa bulan dimuka!"
Wiro hanya garuk-garuk kepala. Telah banyak dilihatnya tokoh-tokoh silat bersifat aneh. Tapi si gemuk satu ini nomor satu aneh!
***

SEPULUH
ANGIN bertiup kencang, memapasi lari tiga ekor kuda yang dipacu menuju ke utara. Dari debu yang melekat di tubuh kuda serta para penunggangnya nyata bahwa mereka telah menempuh perjalanan jauh. Sekeluarnya dari rimba belantara mereka memasuki daerah berpasir yang ditumbuhi pohon kelapa. Orang-orang ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak. Mereka menghentikan kuda masing-masing di ujung bukit pasir yang terjal.
"Kita berhenti di sini. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki," kata Lor Gambir Seta seraya melompat turun dari punggung kuda, diikuti dua orang lainnya.
"Tapi ada beberapa hal penting yang harus kuterangkan pada kalian. Sonya manusia siluman berhati iblis itu memiliki ilmu-ilmu luar biasa. Tiga di antaranya amat berbahaya. Pertama yang disebut Cakar Siluman. Karenanya dalam menghadapinya nanti jangan terlalu dekat. Ilmunya yang kedua bernama Asap Jalur Penidur. Jika seseorang sampai terlingkar oleh asap tersebut pasti akan menjadi lemah dan jatuh tidur, ilmu ketiga, ini yang paling berbahaya ialah Asap Tenung Siluman. Siapa yang sampai menciumnya pasti berubah jalan pikirannya dan merasa bahwa dia adalah budak atau hamba sahaya Sonya. Dengan demikian Sonya bisa menyuruhnya berbuat apa saja! Karenanya begitu berhadapan dengan manusia siluman itu harus dapat menyiramkan air pantangan berupa air hujan ke tubuhnya!"
Setelah memandang berkeliling sejenak Lor Gambir Seta memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan. Pada saat dia dan Wiro mulai melangkah, di sebelah belakang Dewa Tuak keluarkan dua buli-buli kecil dari balik pakaiannya. Seperti telah diketahui, karena dua bumbung bambu yang dibawanya kini di isi air hujan maka dia terpaksa membawa tuak kegemarannya di dalam buli-buli tersebut. Dibukanya tutup buli-buli lalu mendongak dan mulai meneguk minuman itu.
Tiba-tiba Dewa Tuak turunkan buli-bulinya dan menyemburkan air minuman dalam mulutnya ke depan. Delapan buah pisau terbang yang meluncur ke arah Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng runtuh ke tanah.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong!" bentak Dewa Tuak. Wiro dan Lor Gambir Seta terkejut, cepat berpaling dan baru menyadari bahwa keduanya baru saja diselamatkan oleh kakek janggut putih itu.
"Pisau itu melesat dari arah bawah tebing pasir! Pasti pembokong itu ada di sana" kata Dewa Tuak. Buli-buli tuaknya di simpan lalu dia melompat ke bawah bukit pasir, diikuti Wiro dan Lor Gambir Seta.
Selagi ketiganya melayang di udara. Tiga lusin pisau terbang menderu lagi ke arah mereka.
"Keparat!" maki Wiro. Tangan kanannya dlpukulkan ke depan. Lor Gambir Seta dan Dewa Tuak juga dorongkan telapak tangan kanan. Tiga puluh enam pisau maut itu mental, jatuh ke pasir.
"Bangsat! Lekas keluar dari balik batu" teriak Wiro. Dia melihat jelas, serangan pisau itu keluar dari balik sebuah batu besar. Ketika ditunggu tak ada yang keluar, Wiro lepaskan pukulan "Kunyuk Melempar Buah". Satu gumpal angin keras laksana batu karang menghantam batu besar itu dengan dahsyatnya hingga hancur berantakan. Di saat itu pula terdengar suara jeritan. Di balik batu besar yang telah hancur tampak tiga lelaki bermuka hitam.
Yang satu menggeletak dengan dada hancur. Dua lainnya masih untung hanya menderita luka dalam. Setelah terhuyung sesaat, keduanya lantas cabut senjata dan menyerbu ke arah Wiro dan kawan-kawan.
"Mereka pasti budak-budak Sonya" seru Lor Gambir Seta dan berkelebat menotok lawan yang menyerangnya. Sebaliknya Wiro tak memberi ampun. Orang yang coba menebaskan senjatanya ke lehernya dihantam di bagian dada dengan jotosan tangan kiri hingga muntah darah dan terkapar di pasir.
"Muka hitam!" sentak Lor Gambir Seta seraya menjambak rambut orang yang berhasil ditotoknya. "Sebelum kau jadi budak manusia siluman bernama Sonya, apakah kau dari golongan hitam atau putih?!"
"Apa perdulimu, mata picak?!" jawab si muka hitam.
Lor Gambir Seta menggereng. Dewa Tuak membisikkan sesuatu kepadanya. Lor Gambir Seta lalu berkata: "Nyawamu kuampuni. Tapi lekas beri tahu di mana sarangnya Sonya I"
Si muka hitam tertawa. "Baik, tapi lepaskan dulu totokanmu!"
Tanpa curiga Lor Gambir Seta lepaskan totokan di tubuh si muka hitam. Tetapi begitu totokannya terlepas secepat kilat si muka hitam hantamkan tinjunya ke batok kepala sendiri! Dia menggeletak mati dengan kepala rengkah.
"Kalian saksikan sendiri!" ujar kakek mata picak itu antara terkesiap dan juga penasaran. "Dia sudah menjadi kerbau yang sangat, patuh pada Sonya. Lebih suka bunuh diri dari pada berkhianat!"
Ketiganya lalu melanjutkan perjalanan menempuh pedataran pasir penuh pohon kelapa. Selang beberapa lama mereka sampai di tepi pantai berbentuk cekung setengah lingkaran. Angin laut bertiup lembut dan air laut tampak tenang. Burung elang beterbangan di udara. Pemandangan di sini indah sekali. Inilah Teluk Gonggo. Di sini pulalah manusia siluman Sonya membuat markasnya. Tapi di sebelah mana?
Ketiga orang itu bergerak dengan hati-hati. Bukan mustahil mereka bakal mendapat rintangan-rintangan maut lainnya dari budak-budaknya Sonya. Mereka mendekati daerah berbatu-batu di bagian teluk sebelah kanan. Biasanya di tempat seperti Ku terdapat lobang atau celah yang dijadikan pintu masuk. Di bagian yang menghadap ke laut, mereka tidak menemukan apa-apa. Ketiganya berputar menyelidiki bagian belakang bebukitan batu ini.
"Hai, itu ada lobang!" Wiro tiba-tiba berseru dan menunjuk pada sebuah lobang di sela-sela dua batu besar. Ketiganya segera menuju ke situ. Ternyata mulut lobang tertutup oleh satu sarang gonggo (labah-labah) yang luar biasa besarnya.
"Lobang buntu. Tak mungkin ada yang memakai sebagai jalan masuk!" kata Wiro garuk-garuk kepala.
"Celaka! Perangkap setan apa pula ini!" kata Lor Gambir Seta. Tubuhnya dan juga tubuh Wiro sudah terhisap sampai sebatas pinggul.
Melihat kedua kawannya itu menghadapi bahaya besar Dewa Tuak cepat keluarkan benang sutra putih saktinya yang selalu dibawanya.
"Bertahanlah! Lihat benangku ini!" seru Dewa Tuak. Benang itu meluncur ke bawah langsung melibat pinggang serta dada Wiro dan si kakek. Untuk dapat menarik keduanya dari hisapan pasir maut itu Dewa Tuak kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Sekali sentak, tubuh Wiro dan Lor Gambir Seta berhasil di tarik keluar.
"Kurang ajar! Licik!" maki Wiro begitu selamat.
"Dewa Tuak, dua kali kau menyelamatkan jiwa kami. Kami menghaturkan terima kasih," kata Lor Gambir Seta sementara Wiro cengar-cengir.
Dewa Tuak angkat bahu dan menjawab: "Bukan saatnya kita berbasa basi dengan segala peradatan!
Lor Gambir Seta menghela nafas panjang. Dia memandang ke lobang batu yang ada sarang gonggonya.
"Aku yakin, inilah pintu masuk ke sarangnya Sonya."
"Tapi ada serang gonggonya begitu, mana mungkin?" ujar Wiro.
"itu bukan sembarang gonggo. Aku akan buktikan," kata Lor Gambir Seta. Diikuti oleh kedua orang itu dia menghampiri mulut lobang. Membaui manusia di dekatnya, gonggo besar itu mulai menggerakkan kaki-kakinya. Pandangan matanya membuas dan dari mulutnya keluar sebentuk lidah aneh bercabang dua berwarna hijau berkilat-kilat tanda mengandung racun jahat.
Lor Gambir Seta mengambil sehelai sapu tangan. Benda ini di buntalnya lalu dilemparkan ke serang gonggo. Secepat kilat binatang ini menyambar dan menghancur luluhkannya.
Wiro membungkuk mengambil sebuah batu sebesar setengah kepalan. Batu ini dilemparkannya ke sarang gonggo. Seperti sapu tangan tadi, batu ini pun di lumat hancur oleh gonggo itu dalam waktu singkat! Mata Pendekar 212 membeliak menyaksikan hal ini.
"Hebat…! Hebat!" kata Dewa Tuak. "Aku mau tahu apakah binatang ini doyan tuakku!" Lalu diteguknya tuak dalam buli-buli. Tiga teguk berturut-turut. Tegukan pertama dan kedua ditelannya. Tegukan ketiga tetap dalam mulut dendengan mengerahkan tenaga dalam tuak itu disemburkannya ke arah gonggo di lobang batu.
Kepala binatang itu hancur. Tubuhnya remuk berkeping-keping. Kaki-kakinya menggelepar dan putus-putus. Sarangnya musnah. Sesaat kemudian terjadilah hal yang aneh. Baik gonggo maupun sarangnya berubah menjadi asap hitam untuk kemudian musnah tak berbekas.
"Gonggo siluman!" desis Wiro.
Lor Gambir Seta memberi isyarat. Ketiganya segera menyelinap ke dalam lobang dengan sangat hati-hati. Ternyata lobang itu tidak seberapa dalam. Langkah mereka terhenti oleh sebuah pintu papan.
"Awas, kurasa ini pintu siluman dengan berbagai senjata rahasia," kata Dewa Tuak memperingatkan.
Lor Gambir Seta mengangguk. Dia memberi tanda agar kedua orang itu bertiarap. Lalu tangan kanannya di pukulkan ke depan.
"Braak!"
Pintu papan hancur berantakan. Dikejap itu pula beralur lima puluh batang golok terbang di atas tubuh ketiga orang yang bertiarap itu. Begitu senjata-senjata maut itu lewat, ketiga orang tersebut cepat melompat dan menerobos masuk lewat pintu yang hancur. Mereka sampai ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan puluhan manusia. Di hadapan mereka berdiri kira-kira dua puluh orang lelaki dan setengah lusin perempuan yang kesemuanya bermuka hitam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat golongan putih dan hitam yang telah diculik dan di jadi kan budak oleh Sonya. Dengan muka hitam begitu rupa sulit bagi Wiro dan kawan-kawan untuk mengenali mereka. Ini berarti mereka tidak mengetahui yang mana tokoh golongan hitam dan mana tokoh golongan putih yang harus mereka selamatkan.
Di belakang jejeran orang-orang Itu, di satu lantai yang agak tinggi, duduklah seorang lelaki berusia setengah abad, berwajah luar biasa seramnya. Rambutnya awut-awutan, kumis dan cambang bawuk tidak terurus. Sepasang matanya menyorot ganas. Dia mengenakan pakaian buruk dekil penuh tambalan. Tubuh dan pakaiannya ini menebar bau yang sangat busuk!
Di sekeliling si bau busuk ini, duduk bersimpuh lima belas orang perempuan. Karena muka mereka tidak hitam maka dapat di saksikan bahwa mereka semua adalah gadis-gadis berwajah cantik. Dan yang membuat Pendekar 212 jadi sesak nafas sedang Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta menjadi jengah ialah bahwa kelima belas gadis itu tak satu pun mengenakan pakaian alias bertelanjang bulat!
Dari balik sebuah ruangan tiba-tiba muncul seorang gadis yang parasnya cantik di antara semua gadis di ruangan itu. Dia melangkah tanpa pakaian menghampiri lelaki berpakaian buruk dekil itu dan langsung duduk di pangkuannya.
"Gila betul!" kata Wiro dalam hati.
Gadis itu bukan lain adalah Dwiyana, murid Akik Mapel. Akik Mapel sendiri saat itu duduk di sudut ruangan bersama yang lain-lainnya. Mereka siap menyerbu tiga orang yang baru datang itu, hanya menunggu perintah majikan mereka.
Lor Gambir Seta berbisik pada Wiro dan Dewa Tuak: "Keparat yang berpakaian rombeng busuk Sonya yang harus kita lenyapkan. Kita harus bertindak cepat!"
Sebelum ketiga orang ini bergerak tiba-tiba di antara orang banyak menyeruak empat manusia bermuka hitam. Satu laki-laki dan tiga perempuan.
Meski tidak dapat mengenali wajah mereka tetapi dari jubah putih berbunga teratai merah yang mereka kenakan, Wiro Sableng serta Lor Gambir Seta segera mengetahui bahwa keempat orang ini bukan lain adalah Empat Teratai Darah yang beberapa hari lalu pernah bentrokan dengan mereka di sebuah rumah makan. Bagaimana keempat orang ini tahu-tahu sudah berada di sarangnya Sonya?
Tiga jam setelah ditotok oleh Lor Gambir Seta, totokan di tubuh Empat Teratai Darah punah dengan sendirinya. Penuh rasa dendam, keempatnya bermaksud untuk menemui seorang tokoh silat golongan hitam guna minta bantuan. Dalam perjalanan itulah mereka berpapasan dengan Sonya. Mengetahui bahwa Empat Teratai Darah merupakan kelompok berkepandaian tinggi dan cukup terkenal dalam dunia persilatan maka Sonya segera menyerang mereka dengan asap tenung siluman. Dalam keadaan tak sadar keempat orang itu kemudian dibawanya ke Teluk Gonggo.
"Rangga Lelanang! Dan kau pemuda gondrong sedeng" membentak kepala Empat Teratai Darah yakni Sumo Kebalen. "Dicari-cari tidak ketemu. Akhirnya hari ini kalian datang mengantar nyawa!"
"Hai! Kau rupanya “sahut Wiro seraya mencibir.
"Kalau aku tidak salah dulu mukamu putih macam kain kafan. Sekarang kenapa berubah jadi pantat dandang?!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak dan diam-diam tangan kanannya meraba gagang Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Di sampingnya Dewa Tuak keluarkan buli-bulinya dan "gluk-gluk-gluk”, dia meneguk minuman itu seenaknya seolah-olah sedang berada di tempat perjamuan. Lor Gambir Seta sendiri sejak tadi sudah siapkan pukulan tangan kosong di tangan kiri sedang di tangan kanannya kini tergenggam sebuah senjata aneh yakni sebuah tanduk kerbau yang amat besar dan runcing salah satu ujungnya.
"Pendekar 212” bisik Lor Gambir Seta. "Ingat, kita harus bertindak cepat. Musuh-musuh golongan hitam harus disingkirkan dulu sebelum Sonya turun tangan."
Wiro mengangguk.
Sumo Kebalen menggereng marah mendengar ucapan Wiro tadi. Dia melompat diikuti tiga adik seperguruannya. Wiro dan Lor Gambir Seta siap menyongsong.
Wiro cabut senjatanya. Sinar putih berkiblat ketika Kapak Maut Naga Geni 212 mulai beraksi. Terdengar suara mengaung laksana seribu tawon mengamuk. Dilain kejap Empat Teratai Darah sudah menggeletak di lantai. Mereka menemui ajal tanpa mengeluarkan sedikit suara pun saking cepatnya sambaran senjata Wiro. Dan mereka tidak pernah tahu senjata apa yang telah menamatkan riwayat mereka.
Lor Gambir Seta tertegun melihat gebrakan kilat yang dibuat Wiro. Orang tua mata satu ini sudah sejak lama mendengar kehebatan pendekar gondrong ini, tapi baru hari ini dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jika saja bukan di tempat itu terjadinya, pastilah dia akan berseru memuji.
Sementara itu Dewa Tuak yang sudah tahu banyak tentang Wiro tertawa gelak-gelak dan teguk tuaknya. Begitu suara tawanya lenyap tempat itu telah berubah jadi kacau balau. Gadis-gadis yang telanjang berpekikan, lelaki-lelaki bermuka hitam menggembor marah.
Sonya bertepuk tiga kali dan berteriak: "Hamba Sahayaku! Bunuh tiga bangsat pangacau itu!" Laksana air bah orang-orang bermuka hitam serta merta menyerbu. Dewa Tuak semburkan tuak dari mulutnya. Dua orang penyerang berteriak roboh dengan tubuh bergelimpangan darah. Teman-temannya yang berhasil menyelamatkan diri segera mengeroyok Dewa Tuak. Tokoh silat berusia 80 tahun ini putar kedua bumbung bambunya. Tiga orang musuh lagi terjelepak oleh serangan yang tidak mereka duga ini.
Baik Wiro maupun Dewa Tuak serta Lor Gambir Seta tidak dapat mengetahui mana para penyerang yang berasal dari golongan hitam dan mana dari golongan putih. Karenanya sebelum pertempuran berlangsung lebih jauh Lor Gambir Seta berteriak: "Manusia-manusia muka hitam berasal dari golongan putih dengar. Kami tidak mau kesalahan tangan. Lekas mundur, selamatkan diri kalian!"
Tapi otak manusia-manusia golongan putih itu telah terjebak dalam Ilmu siluman Sonya hingga tak satu dari mereka yang ambil peduli dan mendengar perintah itu.
Dewa Tuak menyemburkan tuaknya terus menerus. Tabung bambu dihantamkannya kian kemari. Selagi musuh menghindar Dewa Tuak pergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sonya.
Sonya melompat ke samping kiri. Matanya tidak lepas pada genangan air di lantai. Dari tempat yang dirasakannya aman, dia keluarkan ilmu silumannya yang bernama "Asap Jalur Penidur. Asap kecil hitam melesat bergulung-gulung, melejit ke arah Dewa Tuak, Lor Gambir Seta dan Wiro Sableng.
"Lekas menyingkir" teriak Lor Gambir Seta.
***

SEBELAS
SAMBIL berteriak Lor Gambir Seta melompat keluar menjauhi kalangan pertempuran. Dalam mundur menjauh ini dia sempat menotok dua lawan bermuka hitam yang menurut dugaannya adalah dari golongan putih.
Pendekar 212 babatkan kapak saktinya ke depan. Asap siluman yang menyerbunya terpental dan buyar hingga dia selamat dari malapetaka. Lain halnya dengan Dewa Tuak. Tokoh kawakan ini hantamkan tangan kirinya ke atas. Asap hitam buyar namun dari samping membalik kembali dan menyerbu ke arahnya!
"Celaka!" keluh Dewa Tuak ketika dirasakannya kepalanya mendadak pusing dan sepasang matanya menjadi berat laksana dicantoli batu Dia menahan nafas dan kerahkan tenaga dalam. Lututnya goyah dan tubuhnya mulai menghuyung. Namun dia masih sanggup bertahan dengan menutup seluruh inderanya.
Melihat Dewa Tuak dalam bahaya Wiro segera bertindak cepat. Didahului teriakan menggelegar murid Eyang Sinto Gendeng ini berkelebat. Tiga orang terjungkal. Dua bobol perutnya, satu lagi hampir tanggal lehernya. Selagi tubuhnya mengapung di udara, Wiro lepaskan pukulan sinar matahari yang panas dan menyilaukan. Asap siluman yang hampir menguasai Dewa Tuak musnah. Dewa Tuak sendiri terpental dan jadi kalang kabut ketika sebagian janggut putihnya terbakar oleh pukulan sinar matahari.
"Gila! Edan! Ooala” teriak Dewa Tuak dan cepat padamkan janggutnya yang terbakar.
"Kurang ajar!" kutuk Sonya geram. Sedang matanya membersitkan sinar maut. Tak dapat dipercayanya kalau hari itu semua asap-asap ilmu silumannya dapat di musnahkan lawan, satu hal yang tak pernah kejadian sebelumnya.
Sonya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara lalu kedua telapak tangannya disatukan dan saling digesek.
“Gorda! Keluarlah! Bunuh pemuda berambut gondrong itu!"
Serangkum asap hitam keluar dari celah kedua telapak tangan manusia siluman itu mengeluarkan suara mendesis. Asap itu kemudian berubah menjadi sesosok makhluk yang luar biasa seram dan besarnya. Kepalanya menyondok langit-langit ruangan yang tingginya hampir tiga meter itu. Sepasang matanya yang merah hampir sebesar buah kelapa. Mulutnya menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi raksasa. Dia melangkah mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya menggoyangkan lantai ruangan!
Tiba-tiba makhluk bernama Gorda ini ulurkan kedua tangannya yang besar dan panjang, berbulu dan berkuku runcing. Wiro meskipun agak tergetar tapi cepat babatkan Kapak Naga Geni 212. Didahului sinar putih perak, senjata mustika itu membabat salah satu tangan Gorda. Makhluk ini menggerung dan melangkah mundur. Tangan kirinya hampir putus dan anehnya mengeluarkan darah seperti darah manusia.
Menyadari bahwa senjatanya hanya mampu menciderai lawan maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera menggenjot tubuhnya dan melayang ke udara. Sekali lagi Kapak Maut Naga Geni 212 berkilat.
"Craass!"
Terdengar seperti suara ratusan srigala melolong serentak. Kepala makhluk siluman itu menggelinding. Darah bergenangan. Namun sesaat kemudian sosok tubuh siluman itu lenyap. Darahnya yang membasahi lantai pun ikut lenyap tiada bekas!
Sonya terkesiap melihat apa yang terjadi hingga dia lengah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng kini menerjang ke arahnya dan membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sonya tak punya kesempatan untuk mengelak. Senjata warisan Eyang Sinto Gendeng itu mendarat di dadanya dan "trang!" Terdengar bunyi keras. Tubuh Sonya tak bergerak sedikit pun. Kapak Naga Geni 212 laksana menghantam dinding baja yang maha atos. Inilah untuk pertama kalinya senjata mustika sakti itu tidak mempan menghadapi kehebatan ilmu kebal siluman yang di miliki Sonya. Dewa Tuak dan Lor Gambir terbeliak.
Saking kagetnya Wiro sampai lupa penjagaan dirinya. Dia. terkesiap dengan mulut ternganga. Justru saat itulah Sonya melompatinya dengan tangan kanan lancarkan serangan "Cakar Siluman yang sudah sama diketahui kehebatannya. Jangankan tubuh manusia, tembok besi pun pasti hancur dibuatnya. Kini Pendekar 212 lah yang tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri.
Satu detik lagi muka Wiro Sableng akan hancur remuk diremas cakaran siluman itu, tiba-tiba dari samping menderu air hujan yang disemburkan Dewa Tuak! Ketika air hujan itu menyirami tubuhnya, terdengar suara seperti air disiramkan di atas bara panas. Pakaiannya melepuh, kulit dan dagingnya mengelupas matang mengepulkan asap dan mengumbar bau menjijikkan!
Dewa Tuak semburkan sekali lagi air hujan dalam mulutnya. Tubuh Sonya bergetar hebat. Mukanya yang angker kelihatan seperti membesar. Pipinya menggembung dan mulutnya tertutup rapat-rapat. Tiba-tiba mulut itu membuka dan terdengarlah jeritannya yang mengerikan sepasang matanya membeliak. Dia lari bangun jatuh seputar ruangan, kadang-kadang bergulingan. Orang-orang bermuka hitam yang keseluruhannya telah ditotok oleh Lor Gambir Seta tampak berdiri gelisah. Sementara dari ruangan sebelah di mana gadis-gadis cantik tadi berkumpul, terdengar suara mereka memekik aneh.
"Lekas kau selesaikan manusia siluman itu Wiro!" kata Lor Gambir Seta.
Pendekar kita ragu sejenak. Sambil pandangi Sonya dan kapaknya.
"Tak usah ragu. Hantamlah!" kata kakek mata picak itu.
Wiro bergerak. Kapak Naga Geni 212 berkelebat. Untuk kedua kalinya senjata itu menghantam tubuh Sonya. Kalau tadi sama sekali tidak mempan, maka sekarang kelihatan bagaimana senjata itu hampir membabat putus pinggang Sonya. Anehnya dari luka besar di tubuhnya itu sama sekali tidak mengeluarkan darah.
Sonya terhuyung-huyung, lantai yang diinjaknya laksana roboh. Tubuhnya terjungkal. Dari tubuh itu kini mengepul asap, makin tebal dan makin hitam. Dari mulutnya menggelepar jeritan dahsyat. Jeritan yang tidak beda dengan lolongan srigala. Begitu lolongan itu berhenti maka putuslah nyawa manusia siluman ini.
Bersamaan dengan matinya Sonya, maka lenyap pulalah segala macam ilmu siluman yang menguasai tokoh-tokoh silat yang ada di ruangan itu, yang selama ini menjadi budak Sonya, disuruh membunuh dan menculik. Wajah-wajah yang tadinya hitam berkilat secara aneh kini perlahan-lahan berubah menjadi muka manusia wajar. Mereka tampak terheran-heran begitu lepas dari kungkungan ilmu siluman. Memandang wajah-wajah mereka, Wiro, Dewa Tuak dan Lor Gambir Seta segera mengenali mana-mana tokoh silat dari golongan putih. Murid Si Raja Penidur itu segera melepaskan totokan di tubuh mereka.
Begitu bebas dari totokan, mereka semua menjura dalam-dalam dan tiada hentinya mengucapkan terima kasih. Beberapa di antara mereka ada yang berkaca-kaca matanya.
Wiro memandang pada empat tokoh golongan hitam yang ada di tempat itu masih dalam keadaan tertotok. "Apa yang akan kita lakukan terhadap mereka?" tanya Wiro.
"Jika mereka menyesal atas segala perbuatan mereka di masa lampau dan selanjutnya mau menempuh hidup baik, aku akan beri ampunan pada mereka!" jawab Lor Gambir Seta.
Tanpa ditanya lagi empat tokoh silat itu serempak membuka mulut, mohon ampun dan berjanji untuk menempuh hidup baru yang benar. Lor Gambir Seta lalu lepaskan totokan mereka. Keempatnya menjura, mengucapkan terima kasih lalu tinggalkan tempat itu.
Dewa Tuak menghela nafas dalam lalu teguk tuaknya. Dia menyumpah dan bantingkan buli-buli itu ke lantai.
"Sialan! Tuakku habis!" keluhnya. "Mati aku…!"
Wiro tertawa gelak-gelak sedang Lor Gambir Seta cuma mengulum senyum.
"Aku tak betah lagi di sini. Aku harus pergi. Aku harus dapatkan tuak! Kalau tidak bisa mati!"
"Aku pun harus pergi sekarang," berkata Lor Gambir Seta.
"Hai tunggu!" Wiro tiba-tiba berseru.
"Ada apa lagi pendekar?" tanya Lor Gambir Seta sementara Dewa Tuak terus-terusan menggerutu.
"Bagaimana dengan gadis-gadis cantik di ruangan sebelah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak memandang sebentar pada Lor Gambir Seta. Dewa Tuak kedipkan mata lalu kedua tokoh silat itu sama-sama tertawa mengekeh. Kakek yang kebakaran janggut itu lantas berkata: "Kami sudah tua bangka, mana pantas mengurusi boneka-boneka itu. Kau uruslah mereka. Tapi ingat, jangan main gila. Jangan berbuat apa yang dilakukan manusia siluman bernama Sonya itu"
Selesai berkata begitu Dewa Tuak berkelebat pergi. Disusul oleh Lor Gambir Seta.
"Tunggu dulu!" seru Wiro. Tapi kedua tokoh itu sudah lenyap.
Wiro garuk-garuk kepala. Perlahan-Lahan dia melangkah ke ruangan sebelah. Ruangan itu di tutup oleh sebuah pintu. Wiro membuka daun pintu. Begitu pintu terbuka berpekikkanlah keenam belas gadis cantik tanpa pakaian di dalam sana. Kalau sebelumnya mereka tidak merasa malu sama sekali, setelah Sonya mati dan ilmu silumannya sirna, maka kini setelah kesadarannya pulih, gadis-gadis itu jadi kalang kabut. Mereka berusaha menutupi aurat masing-masing dengan kedua tangan. Tentu saja mereka tak dapat menyembunyikan banyak. Wiro menutup pintu dan kembali ke ruangan semula. Dia memandang pada tokoh-tokoh silat golongan putih yang masih di situ.
"Dengar, kita butuh pakaian untuk gadis-gadis itu…" kata Wiro.
Seorang lelaki bermuka putih maju. Dia bukan lain adalah Akik Mapel alias Malaikat Berambut Kelabu.
"Pendekar," katanya, "Di bawah ruangan ini ada sebuah gudang. Sonya menyimpan segala macam barang di situ, termasuk pakaian gadis-gadis itu. Aku akan segera mengambilnya."
"Cepatlah agar gadis-gadis itu tidak kedinginan," kata Wiro pula.
Akik Mapel menekan sebuah tombol rahasia. Lantai ruangan terbuka. Tampak sebuah tangga menuju ke sebuah ruangan. Orang tua ini segera masuk. Di sini dia mengambil enam belas potong pakaian perempuan. Ketika hendak keluar kepalanya membentur sesuatu. Mendongak ke atas dilihatnya burung Nuri Merah dalam sangkar tulang. Akik Mapel tahu betul binatang ini adalah peliharaan kesayangan Sonya. Tak dapat membalas dendam terhadap pemiliknya, sebagai gantinya Akik Mapel membanting sangkar tulang Itu ke lantai dan menginjak mati burung di dalamnya.
Setelah mengenakan pakaian, enam belas orang gadis itu keluar dari dalam ruangan. Rata-rata mereka mengucurkan air mata, termasuk Dwiyana, murid Akik Mapel. Gadis ini kemudian memimpin kawan-kawan senasibnya menghaturkan terima kasih pada Wiro Sableng.
Pendekar kita jadi jengah dan sambil garuk-garuk kepala berkata: "Aku tak berani menerima ucapan terima kasih kalian. Ada orang lain yang lebih pantas menerimanya. Dialah yang mengatur rencana penyelamatan ini. Orangnya berjuluk Si Raja Penidur!
Tentu saja gadis-gadis itu tidak tahu siapa adanya Raja Penidur. Sebaliknya para tokoh silat yang ada tampak melengak kaget. Mereka tidak menyangka kalau manusia paling lihay di dunia persilatan itu masih hidup.
"Kalau begitu sebaiknya kita menyambanginya di tempat kediamannya," mengusulkan Akik Mapel. Semuanya setuju. Akik Mapel memimpin jalan, diikuti para tokoh silat, lalu Wiro Sableng yang diapit oleh keenam belas dara-dara cantik itu. Dia berjalan sambil senyum-senyum.
"Eh, ada apakah?" berpaling Akik Mapel.
"Ah, kalian orang-orang tua jalan terus sajalah. Biarkan kami orang-orang muda berjalan di belakang sini seenaknya," jawab Wiro Sableng.
Akik Mapel hanya bisa angkat bahu. Yang lain-lainnya mengulum senyum. Dan mereka berjalan terus. Teluk Gonggo semakin jauh di belakang mereka.

TAMAT
Episode Selanjutnya:
Cincin Warisan Setan

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424 


Related Posts :

0 Response to "Siluman Teluk Gonggo Bab 6 --> 11"

Posting Komentar