WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
Dewi Siluman Bukit Tunggul
DUA BELAS
Pendekar 212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak.
Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kirakira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata.
Dengan kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.
Pada langkah yang ketiga ratus duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih bersih dan berkilat.
Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran tenaga dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu, Wiro belum dapat memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan lambaikan tangan kanannya lewat bahu.
“Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk tampang hari ini!”
Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.
Yang membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!
Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.
Kedua tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru.
Wiro terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa saja membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat.
Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki.
“Delapan gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing selama beberapa hari ini.”
Si rambut panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa hubungan kedelapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan yang paling patuh?!
“Dengar Kiai….” jawab delapan gadis bersamaan.
“Kiai!” desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan sebutan “Kiai” Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur, mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai?
“Sekarang kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi. Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi untuk selama-lamanya!”
Delapan gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala. Setiap mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri mematung di ambang pintu itu.
Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.
Langkah orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke hadapan Wiro.
“Pemuda tolol!” desis sang kiai. “Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri!”
Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng.
“Benar-benar luar biasa gerakannya,” kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali pendekar ini menggerutu habis-habisan.
Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi.
“Diamlah perut sialan!” rutuk Wiro. “Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat isi!”
Mendadak, baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?
“Saudara, aku akan tolong lepaskan totokanmu,” kata Inani pula setelah mereka berperang pandang beberapa ketika lamanya.
“Bagus!” ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu mengumandang suara tertawa macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih sudah berada di hadapan mereka.
“Bagus betul perbuatanmu Inani!”
Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua.
“Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak boleh kembali kemari? Jawab!”
“Mohon maaf Kiai. Aku….”
“Kau juga tolol!” sentak sang kiai. “Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau tolong pemuda ini?! Jawab!”
“Maaf Kiai….”
“Apa dia kekasihmu?!”
Merah paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan.
“Apa dia gendakmu?!”
Tambah merah paras gadis berbaju biru itu.
“Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu.”
“Aku… aku merasa berhutang budi padanya, Kiai.” sahut Inani.
“Hutang budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu?”
Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya.
“Gadis tolol! Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini!”
Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.
***
Pendekar 212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan bau belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin menanjak sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak.
Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kirakira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata.
Dengan kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang goa, membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.
Pada langkah yang ketiga ratus duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer, kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih bersih dan berkilat.
Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran tenaga dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan dengan sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi Siluman. Di antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu, Wiro belum dapat memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.
Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan lambaikan tangan kanannya lewat bahu.
“Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk tampang hari ini!”
Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip. Mendadak sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro memaklumi bahwa dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.
Yang membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya. Di samping itu Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut putih panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!
Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.
Kedua tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur delapan dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru.
Wiro terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa saja membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya dalam delapan pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat.
Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu menyusul suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki.
“Delapan gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang lurus dan baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing selama beberapa hari ini.”
Si rambut panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing satu demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut sewaktu melihat tubuh Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka tiada berani bertanya dan sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak mengerti. Apa hubungan kedelapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti gadis-gadis pingitan yang paling patuh?!
“Dengar Kiai….” jawab delapan gadis bersamaan.
“Kiai!” desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan sebutan “Kiai” Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur, mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai?
“Sekarang kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi. Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi untuk selama-lamanya!”
Delapan gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala. Setiap mereka melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri mematung di ambang pintu itu.
Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis. Menurut Wiro umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.
Langkah orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke hadapan Wiro.
“Pemuda tolol!” desis sang kiai. “Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari tiga malam! Rasakan sendiri!”
Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng.
“Benar-benar luar biasa gerakannya,” kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali pendekar ini menggerutu habis-habisan.
Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.
Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan siksaan bagi Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara bergereokkan tanda minta diisi.
“Diamlah perut sialan!” rutuk Wiro. “Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat isi!”
Mendadak, baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul di dalam goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?
“Saudara, aku akan tolong lepaskan totokanmu,” kata Inani pula setelah mereka berperang pandang beberapa ketika lamanya.
“Bagus!” ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.
Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu mengumandang suara tertawa macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih sudah berada di hadapan mereka.
“Bagus betul perbuatanmu Inani!”
Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua.
“Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak boleh kembali kemari? Jawab!”
“Mohon maaf Kiai. Aku….”
“Kau juga tolol!” sentak sang kiai. “Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau tolong pemuda ini?! Jawab!”
“Maaf Kiai….”
“Apa dia kekasihmu?!”
Merah paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan.
“Apa dia gendakmu?!”
Tambah merah paras gadis berbaju biru itu.
“Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu.”
“Aku… aku merasa berhutang budi padanya, Kiai.” sahut Inani.
“Hutang budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu?”
Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya.
“Gadis tolol! Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini!”
Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.
***
Next ...
Bab 13
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 13
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 12"
Posting Komentar