WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
Dewi Siluman Bukit Tunggul
TIGA BELAS
Wiro Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan dan berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ.
Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
“Apa kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan?”
Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta lenyaplah totokan yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Seorang tua tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua, namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi hormat.
“Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang tua.”
Si orang tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk jumawa maka menjawablah dia.
“Namaku kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!”
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh kembali.
“Aku berasal dari Bangkalan.” Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. “Sembilan puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasang-pasangannya masing-masing.
Karena aku dan kau adalah manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini….”
Kiai Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
“Kalian duduklah, jangan berdiri saja,” ujar Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan meneruskan bicaranya.
“Delapan penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang bersumber di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman. Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas sumber kejahatan yang ada di puIauku ini….” Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan membayangkan penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
“Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya.”
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
“Banyak orang yang menduga sepertimu itu,” katanya. “Tapi di jagat yang luas ini ilmu manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan orangnya!”
“Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah?” kata Wiro Sableng pula. “Terus terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas.”
Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena tertipu….” Setelah menghela nafas dalam sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan. “Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?!”
“Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai!” ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa. “Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan rasakan sendiri!”
“Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya,” kata-kata Wiro Sableng pula.
“Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan,” sahut Kiai Bangkalan.
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku telah tertipu. Ah… biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!”
Kiai Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. “Sesungguhnya guru dari Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk….”
“Apakah kelemahannya, Kiai?” tanya Wiro.
“Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!”
Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya maka Kiai Bangkalan sudah berkata. “Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat sumpah!”
Wiro dan Inani termangu sejurus.
Wiro kemudian berkata. “Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat terhadapnya batal, tak berlaku lagi!”
Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. “Sumpah seorang manusia terhadap manusia sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!”
“Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi,” kata Wiro.
“Kaulah yang akan membasminya!” jawab Kiai Bangkalan.
“Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk….” Kiai Bangkalan tersenyum.
“Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima hukumannya!”
Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. “Dengan inilah kau bakal bisa menumpas kejahatan Dewi Siluman.”
Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait tulisan yang berbunyi.
Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.
“Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu….”
Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. “Tak mungkin orang muda. Aku terikat dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu…. Kuharap kau tak bertanya lebih jauh.”
Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. “Meski tempo hari aku marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?” “Ingat Kiai.”
Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. “Aku telah meramu lagi sejenis obat baru,” katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. “Kau harus ikut bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawan-kawanku tersesat karena tidak sadar!”
“Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah mereka banyak!” kata Inani.
“Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!”
Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai Bangkalan memandang pada Wiro. “Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku.”
Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
“Sebelum kalian pergi,” kata Kiai Bangkalan pula. “Ada satu hal yang harus kalian ingat, terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua, manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman.”
“Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan manusia tak berdosa telah dibunuhnya!” kata Wiro pula.
“Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!” Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. “Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang pergilah!”
“Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai,” kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!”
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
“Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!” kata Wiro. “Coba kau berkelebat!”
Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
“Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!” seru Inani gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala “Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan menurunkan ilmunya kepadamu,” kata Wiro pula. “Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu Inani…?”
Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. “Kau sendiri siapa?”
“Panggil aku Wiro,” jawab Pendekar 212.
“Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?” tanya Inani.
“Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!”
Kedua orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari dasar air terjun.
***
Wiro Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah bertahun-tahun tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri berpandang-pandangan sehingga dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski mereka tidak bisa membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu sama lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata mereka sudah lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan dan berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah satu-satunya hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ.
Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama sambil pandangi paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
“Apa kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan?”
Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta lenyaplah totokan yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Seorang tua tertawa mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua, namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi hormat.
“Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang tua.”
Si orang tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk jumawa maka menjawablah dia.
“Namaku kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!”
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh kembali.
“Aku berasal dari Bangkalan.” Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. “Sembilan puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan, segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasang-pasangannya masing-masing.
Karena aku dan kau adalah manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk membasmi kejahatan dari muka bumi ini….”
Kiai Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya sedang nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
“Kalian duduklah, jangan berdiri saja,” ujar Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan meneruskan bicaranya.
“Delapan penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang bersumber di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh mereka. Belasan tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja pihak yang tidak mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi Siluman. Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas sumber kejahatan yang ada di puIauku ini….” Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan membayangkan penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
“Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya.”
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
“Banyak orang yang menduga sepertimu itu,” katanya. “Tapi di jagat yang luas ini ilmu manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini karena di saat mau mampus begini tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan orangnya!”
“Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah?” kata Wiro Sableng pula. “Terus terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas.”
Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya aku yang sudah tua ini telah kena tertipu….” Setelah menghela nafas dalam sekali lagi baru Kiai Bangkalan meneruskan. “Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman yang sakti luar biasa?!”
“Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai!” ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa. “Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan rasakan sendiri!”
“Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya,” kata-kata Wiro Sableng pula.
“Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan,” sahut Kiai Bangkalan.
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku telah tertipu. Ah… biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!”
Kiai Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. “Sesungguhnya guru dari Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk….”
“Apakah kelemahannya, Kiai?” tanya Wiro.
“Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!”
Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya maka Kiai Bangkalan sudah berkata. “Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat sumpah!”
Wiro dan Inani termangu sejurus.
Wiro kemudian berkata. “Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat terhadapnya batal, tak berlaku lagi!”
Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. “Sumpah seorang manusia terhadap manusia sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!”
“Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi,” kata Wiro.
“Kaulah yang akan membasminya!” jawab Kiai Bangkalan.
“Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk….” Kiai Bangkalan tersenyum.
“Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan yang tua renta ini rela menerima hukumannya!”
Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. “Dengan inilah kau bakal bisa menumpas kejahatan Dewi Siluman.”
Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait tulisan yang berbunyi.
Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.
“Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu….”
Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. “Tak mungkin orang muda. Aku terikat dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu…. Kuharap kau tak bertanya lebih jauh.”
Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. “Meski tempo hari aku marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?” “Ingat Kiai.”
Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. “Aku telah meramu lagi sejenis obat baru,” katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. “Kau harus ikut bersama Wiro ke Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawan-kawanku tersesat karena tidak sadar!”
“Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah mereka banyak!” kata Inani.
“Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!”
Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai Bangkalan memandang pada Wiro. “Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku.”
Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
“Sebelum kalian pergi,” kata Kiai Bangkalan pula. “Ada satu hal yang harus kalian ingat, terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua, manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi Siluman.”
“Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan manusia tak berdosa telah dibunuhnya!” kata Wiro pula.
“Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!” Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. “Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang pergilah!”
“Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai,” kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah.
“Ada apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!”
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
“Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!” kata Wiro. “Coba kau berkelebat!”
Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
“Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!” seru Inani gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala “Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan menurunkan ilmunya kepadamu,” kata Wiro pula. “Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu Inani…?”
Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. “Kau sendiri siapa?”
“Panggil aku Wiro,” jawab Pendekar 212.
“Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?” tanya Inani.
“Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!”
Kedua orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari dasar air terjun.
***
Next ...
Bab 14
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 14
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 13"
Posting Komentar