WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
Dewi Siluman Bukit Tunggul
DUA
Wiro Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya.
“Orang muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup….”
Wiro heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. “Siang-siang begini sudah ditutup?” tanyanya.
“Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu….”
“Ada apakah sebenarnya?”
Pemilik warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. “Kau lihat penduduk yang berbondong-bondong itu?”
Wiro Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan binatang-binatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi.
“Memangnya kenapa mereka itu…?” bertanya lagi Wiro.
“Mereka mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati.”
“Siapa yang melakukannya?” tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa ketakutan. “Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama,” katanya pada Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. “Dengar orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya Dewi Siluman….”
Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang Wiro.
“Justru karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup orang muda…?!”
Wiro Sableng tertawa.
“Mana ada orang yang bosan hidup,” sahutnya “Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu….”
Si orang tua gelengkan kepala. “Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini!”
Pemilik warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada Wiro. Lalu katanya. “Nah, sekarang berlalulah.”
Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya saat itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat.
“Nenek harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku.”
Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan.
“Nenek, harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat.”
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan….”
“Setan alas!” Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap dadanya. “Kapan aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!”
Wiro perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia tertawa gelak-gelak sampai mukanya merah.
“Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa huh?!” Si nenek membentak lagi dengan suaranya yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
“Siapa yang suruh!” sentak perempuan berjubah putih itu lagi.
“Memang tak ada yang suruh, Nek… eh… aku musti panggil apa terhadap kau…?” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?!”
“Apakah seseorang itu baru tertawa kalau disuruh?” bertanya Pendekar 212.
“Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau menertawai aku ya?! Ayo jawab!”
“Aku tidak menertawaimu Nek… eh… aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi.”
“Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan rantingku ini!”
Habis berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya!
“Wutt!”
Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
“Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang nenek!” seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau sebilah pedang.
“Nenek!” seru Wiro Sableng. “Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang aku sejahat ini?!”
“Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!” teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan, sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit.
“Breet!”
Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
“Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini mengandung racun yang jahat sekali!”
Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
“Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat kematianmu di depan mata!”
Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit pembalasan hormat dariku!” teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
“Nyalimu keliwat besar!” teriaknya. “Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!”
Wiro bersiul nyaring.
“Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!”
Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpantang.
“Cengkeraman Garuda Sakti” seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan, melepaskan “Pukulan Kunyuk Melempar Buah” yang disertai hampir setengah bagian tenaga dalamnya.
Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman Wiro lepaskan “Pukulan Angin Puyuh”.
Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang Wiro Sableng.
“Hebat!” seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
“Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!” seru Wiro.
“Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!” Dan si nenek babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
“Buset!”
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
“Setan alas kau lari ke mana hati?!” teriak nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara tertawa.
“Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!”
Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya sambil tertawa-tawa mengejek.
“Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!” teriak seraya lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon, Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.
Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan berteriak. “Pemuda keparat! Terima ini!”
Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro.
“Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!”
“Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!” hardik si nenek.
Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah “Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera” yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga manusia lain.
***
Wiro Sableng memperhatikan kesibukan-kesibukan dalam warung itu dengan sikap acuh tak acuh. Teh manisnya baru satu kali diteguknya.
“Orang muda lekaslah habiskan minumanmu. Warung ini akan segera ditutup….”
Wiro heran mendengar ucapan orang tua pemilik warung. “Siang-siang begini sudah ditutup?” tanyanya.
“Kau tak tahu apa-apa orang muda. Habiskan saja teh itu, bayar cepat dan berlalu….”
“Ada apakah sebenarnya?”
Pemilik warung tampak agak gusar. Dia menunjuk ke luar warung. “Kau lihat penduduk yang berbondong-bondong itu?”
Wiro Sableng palingkan kepala ke luar warung. Di tengah jalan dilihatnya serombongan penduduk berjalan cepat menuju ke selatan membawa berbagai macam barang rumah tangga dan binatang-binatang peliharaan seperti kambing-kambing dan beberapa ekor sapi.
“Memangnya kenapa mereka itu…?” bertanya lagi Wiro.
“Mereka mengungsi! Aku pun hendak menyertai rombongan mereka. Daerah sini sudah tidak aman! Malam kemarin seorang gadis telah diculik. Dua orang ditemui mati.”
“Siapa yang melakukannya?” tanya Wiro.
Pemilik warung itu hendak menjawab tapi tak jadi. Di wajahnya nyata sekali kelihatan rasa ketakutan. “Habiskan saja minumanmu. Aku tak bisa menunggu lebih lama,” katanya pada Wiro.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya beberapa kali lalu meneguk teh manisnya sampai habis. Dari saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah mata uang perak. Ditimang-timangnya sebentar uang itu lalu diletakkannya di atas meja di hadapan pemilik warung. Sewaktu pemilik warung mengambil uang itu, Wiro memegang tangannya dan berkata. “Dengar orang tua. Kau tak usah kembalikan uangku asal saja kau bisa kasih keterangan di mana letaknya Bukit Tunggul tempat bersarangnya Dewi Siluman….”
Si orang tua tersentak kaget. Parasnya yang keriputan serta merta menjadi pucat pasi.
Matanya membelalak memandang Wiro.
“Justru karena dialah penduduk kampung ini terpaksa pindah mengungsi. Kini kau malah mencari penyakit bertanyakan tempat kediamannya. Apa kau sudah bosan hidup orang muda…?!”
Wiro Sableng tertawa.
“Mana ada orang yang bosan hidup,” sahutnya “Toh tidak ada salahnya kalau kau kasih sedikit keterangan di mana letak Bukit Tunggul itu….”
Si orang tua gelengkan kepala. “Aku masih ingin hidup! Sekali aku membuka mulut kasih keterangan seluruh keluargaku akan mampus! Mungkin juga semua penduduk kampung ini!”
Pemilik warung itu segera mengambil uang di atas meja dan memberikan kembalinya pada Wiro. Lalu katanya. “Nah, sekarang berlalulah.”
Wiro geleng-gelengkan kepala. Dia keluar dari warung itu. Agaknya seluruh Pulau Madura sudah digerayangi oleh rasa takut terhadap Dewi Siluman dan orang-orangnya. Tak ada satu kampung pun yang ditemuinya berada dalam keadaan tenang tenteram. Di setiap kampung mesti saja ada korban-korban yang jatuh akibat kejahatan yang dilakukan oleh orang-orangnya Dewi Siluman. Dan bukan itu saja, di setiap kampung orang-orangnya Dewi Siluman selalu menculik gadis-gadis. Entah dibawa ke mana dan entah apa, yang menimpa diri gadis-gadis itu tak bisa diduga oleh Wiro.
Dia mendongak ke langit. Sang surya tengah bersinar seterik-teriknya. Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Wiro tinggalkan kampung itu. Di satu jalan kecil yang lurus pendekar ini memperlambat larinya. Di ujung sana dilihatnya seseorang duduk menjelepok di tengah jalan. Ketika dia sampai di hadapan orang itu ternyata manusia ini adalah seorang nenek tua bermuka cekung keriput. Dia duduk seenaknya di tengah jalan yang kecil itu. Di tangan kanannya ada sebatang ranting kering. Dia mengenakan jubah putih yang kotor. Dia begitu asyik menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting kering di tangannya itu.
Wiro tak dapat menduga siapa adanya nenek-nenek ini. Baginya adalah satu hal yang aneh seorang nenek-nenek berada di tengah jalan dan duduk menggurat-gurat tanah seperti dilihatnya saat itu. Karena jalan itu kecil, tak mungkin Wiro Sableng untuk lewat begitu saja tanpa membentur tubuh sang nenek. Dia bisa melompat di atas kepala si nenek tapi tentu saja ini satu kekurangajaran.
Maka Pendekar 212 pun menegurlah dengan hormat.
“Nenek harap maafkan aku mengganggumu. Sudilah memberikan sedikit jalan bagiku.”
Si nenek anehnya terus saja asyik menggurat-gurat tanah dengan ranting kering di tangan kanannya. Seakan-akan tiada didengarnya teguran Wiro tadi.
Mungkin nenek-nenek ini tuli, pikir Wiro. Tapi adalah mustahil kalau dia tidak melihat Wiro yang berdiri sedekat itu di sampingnya.
Wiro menegur lagi dengan suara lebih dikeraskan.
“Nenek, harap suka memberi sedikit jalan untukku lewat.”
Si nenek tiba-tiba angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang Wiro dari rambut sampai kaki, penuh meneliti dan penuh gusar. Kemudian kembali dia tundukkan kepala dan menggurat-gurat tanah dengan ujung ranting.
Wiro memaki dalam hati. Kalau si nenek ini tidak sinting pastilah dia seorang aneh atau seorang yang sengaja cari sengketa, pikir Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Nenek, aku mau lewat. Kuharap kau tak keberatan memberi jalan….”
“Setan alas!” Si nenek tiba-tiba mendamprat keras dan lantang. Wiro terkejut dan usap dadanya. “Kapan aku kawin sama kakekmu kau panggil aku nenek!”
Wiro perhatikan tampang si nenek yang menjadi sangat galak. Dan Pendekar dari Gunung Gede ini tak kuasa menahan rasa gelinya sewaktu mendengar ucapan perempuan tua itu. Dia tertawa gelak-gelak sampai mukanya merah.
“Setan alas! Siapa yang suruh kau ketawa huh?!” Si nenek membentak lagi dengan suaranya yang keras.
Wiro hentikan tawanya.
“Siapa yang suruh!” sentak perempuan berjubah putih itu lagi.
“Memang tak ada yang suruh, Nek… eh… aku musti panggil apa terhadap kau…?” Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kentut betul! Kalau tak ada yang suruh kenapa musti ketawa?!”
“Apakah seseorang itu baru tertawa kalau disuruh?” bertanya Pendekar 212.
“Sudah! Jangan banyak tanya! Kentutmu sebakul! Jawab kenapa kau ketawa?! Kau menertawai aku ya?! Ayo jawab!”
“Aku tidak menertawaimu Nek… eh… aku tertawa karena ucapanmu yang lucu tadi.”
“Betul-betul setan alas! Kau anggap aku ini badut yang mau melucu di hadapanmu? Makan rantingku ini!”
Habis berkata begitu si nenek hantamkan ranting kering di tangannya!
“Wutt!”
Pendekar 212 tersentak kaget dan buru-buru menghindar ke belakang. Sambaran ranting yang di tangan si nenek mengeluarkan angin dingin dan keras. Nyatanya bahwa si nenek bukan perempuan sembarangan, tapi seorang yang memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan ini berarti bahwa dia adalah seorang tokoh silat berkepandaian hebat.
Karena serangannya tidak mengenai sasaran, si nenek menjadi gusar sekali. Dia melompat dan ranting kering di tangannya menderu pulang balik tiada hentinya, membungkus tubuh Wiro Sableng dalam serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Pendekar 212 bersiul nyaring.
“Ah, nyatanya kau bukan nenek sembarang nenek!” seru Wiro sambil gerakkan tubuhnya dengan cepat untuk menghindar dari serangan ganas si nenek.
Mendengar ucapan itu si nenek jadi tambah buas. Serangannya tambah ganas. Meski senjatanya cuma sebuah ranting kering namun karena ranting itu mengandung aliran tenaga dalam maka bahayanya tiada beda dengan bahaya sebuah senjata tajam seperti golok atau sebilah pedang.
“Nenek!” seru Wiro Sableng. “Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang aku sejahat ini?!”
“Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!” teriak si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan, sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar dikelit.
“Breet!”
Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
“Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini mengandung racun yang jahat sekali!”
Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
“Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat kematianmu di depan mata!”
Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
“Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit pembalasan hormat dariku!” teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
“Nyalimu keliwat besar!” teriaknya. “Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!”
Wiro bersiul nyaring.
“Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!”
Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpantang.
“Cengkeraman Garuda Sakti” seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepatcepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan, melepaskan “Pukulan Kunyuk Melempar Buah” yang disertai hampir setengah bagian tenaga dalamnya.
Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman Wiro lepaskan “Pukulan Angin Puyuh”.
Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang Wiro Sableng.
“Hebat!” seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
“Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!” seru Wiro.
“Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!” Dan si nenek babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
“Buset!”
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
“Setan alas kau lari ke mana hati?!” teriak nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara tertawa.
“Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!”
Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya sambil tertawa-tawa mengejek.
“Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!” teriak seraya lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon, Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.
Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan berteriak. “Pemuda keparat! Terima ini!”
Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan serangan berantai ke arah Wiro.
“Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!”
“Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!” hardik si nenek.
Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah “Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera” yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga manusia lain.
***
Next ...
Bab 3
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 3
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 2"
Posting Komentar