Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 3

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
TIGA
Ketiga manusia itu bukan lain Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Ketiganya memandang dengan mata ganas menyorot yang membayangkan maut.

“Ini dia bangsatnya!” Si Telinga Arit Sakti buka suara.
“Apa yang dikerjakannya di sini! Bermain-main asap?!” Sepuluh Jari Kematian menimpali.
Wiro masih diam dan menyapu tampang ketiga orang itu dengan pandangan seenaknya.
“Pendekar 212!” lengking Si Telinga Arit Sakti. “Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu!”
Wiro Sableng senyum lalu keluarkan suara tertawa bergelak.
“Telinga Arit Sakti,” kata Pendekar 212 pula. “Bacotmu besar amat! Mentang-mentang berada sama-sama gurumu!”
“Kalau tahu aku gurunya mengapa tidak lekas berlutut dan bunuh diri?!” sentak Sepasang Arit Hitam.
Wiro tertawa lagi gelak-gelak. “Orang gila pun disuruh bunuh diri tidak bakal mau!”
“Dan kau lebih dari gila!” damprat Sepasang Arit Hitam.
Sepuluh Jari Kematian lambaikan tangannya dan berkata. “Kau tak usah bicara panjang lebar kawan-kawan. Mari kita berebut cepat memisahkan kepala dan badannya!”
“Ah… ah… ah!” Wiro rangkapkan tangan di muka dada. “Kalau tak salah penglihatanku bukankah kau yang berjuluk Sepuluh Jari Kematian, gurunya Si Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga yang mampus tempo hari di tanganku?!”
“Pemandanganmu memang tajam, pemuda gendeng! Muridku mati di tanganmu. Hari ini aku datang meminta jiwamu!”
Wiro geleng-gelengkan kepala.
Katanya. “Akhir ini banyak sekali manusia-manusia yang begitu inginkan jiwaku, sebutsebut segala urusan jiwa…. seakan-akan jiwanya sendiri adalah jiwa yang bersih polos!”
“Jangan pidato!” bentak Sepasang Arit Hitam.
“Siapa bilang aku pidato!” sahut Wiro ketus. “Aku cuma bicara biasa!” Kemudian Pendekar 212 berpaling pada Sepuluh Jari Kematian. “Dengar Sepuluh Jari Kematian,” katanya. “Muridmu
seorang manusia bernafsu besar doyan perempuan kelas satu! Bagaimana kalau hari ini kuberikan seorang perempuan cantik padamu, apakah kau bersedia melupakan urusan kita?!”
Merahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Darah di kepala mendidih mendengar ejekan itu.
Dia maju satu langkah. “Kau memang tak layak hidup lebih lama!” bentaknya. Kelima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka. Lima sinar hitam yang menggidikkan melesat mengeluarkan suara menggaung. Inilah Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dahsyat. Satu jentikkan saja ganasnya bukan main, apalagi sekaligus lima jentikan. Dan dilancarkan oleh tokoh penciptanya sendiri yang
berilmu tinggi.
Dengan cepat Pendekar 212 melompat ke udara. Empat larikan sinar hitam berhasil dihindarkannya, tapi sinar yang kelima tak sanggup dielakkan. Sinar ini menyapu kaki kiri Pendekar 212.
Wuss!
Kaki kiri itu dengan serta merta menjadi hitam. Wiro Sableng terguling di tanah, merintih kesakitan. Meski tubuhnya kebal segala macam racun namun dia masih khawatir. Begitu jatuh dengan cepat Wiro totok jalan darah dan urat-urat di siku kaki kirinya. Dengan terpincang-pincang Pendekar 212 bangkit berdiri. Di saat itu Si Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam memburu dengan senjata di tangan sedang Sepuluh Jari Kematian melompat sebat menjambak rambut gondrong Wiro Sableng siap untuk memuntir kepala pendekar itu.
Dengan berteriak nyaring Wiro gerakkan tangan kanan untuk cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Si Telinga Arit Sakti yang tahu gelagat segera tendang tangan kanan Wiro Sableng.
Kraak!
Patahlah lengan Pendekar 212. Tubuhnya terhempas ke tanah. Tiga buah arit masing-masing dua di tangan sepasang Arit Hitam dan satu di tangan si Telinga Arit Sakti menderu siap untuk membuat tubuh Wiro Sableng menjadi terkutung empat sedang jambakan Sepuluh Jari Kematian akan menanggalkan kepalanya dari badan.
Wiro Sableng hendak lepaskan Pukulan Sinar Matahari. Tapi sudah terlambat, sudah tak ada kesempatan lagi.
“Tamatlah riwayatku!” keluh pendekar ini. Dipejamkannya kedua matanya menanti saat kematian itu.
Hanya beberapa detik lagi tubuh sang pendekar akan terkutung empat dibabat tiga buah arit sakti, hanya beberapa detik lagi kepalanya akan tanggal dipuntir, maka terdengarlah teriak lantang menggeledek.
“Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian.
Empat sosok tubuh berkelebat.
Perlahan-lahan Wiro Sableng buka kedua matanya yang tadi dipejamkan! Dan hampir tak dapat dipercaya pemandangan matanya sendiri saat itu. Betapa tidak. Empat pendatang baru ini adalah gadis-gadis cantik berpakaian biru. Leher mereka digantungi tengkorak manusia yang besarnya sekepalan tangan. Meski tampang mereka cantik-cantik tapi membayangkan kebengisan.
Dugaan Wiro Sableng pastilah mereka ini orang-orangnya Dewi Siluman dari Bukit Tunggul.
***
Sehabis melemparkan bola yang meletuskan asap hitam dan tebal itu si nenek keriput cepat berguling dan lari meninggalkan jalan kecil. Dimasukinya rimba belantara kemudian menyeruak di antara semak belukar lebat. Dari luar semak belukar ini tiada beda dengan semak-semak yang lebat di sekitar tempat itu. Tapi siapa nyana kalau begitu semak belukar diseruak maka muncullah sebuah lobang besar setinggi manusia. Si nenek menyelusup memasuki lobang itu dan terus berlari. Meski penerangan dalam lobang itu tidak begitu terang namun karena sudah terlalu sering melewatinya si nenek sudah sangat hafal liku-likunya maka dia lari dengan sebat tanpa kurangi kecepatannya.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di ujung lobang yang merupakan terowongan bawah tanah itu. Dia muncul di satu lamping bukit. Dari sini lari cepat ke bawah, masuk lagi ke sebuah terowongan rahasia dan akhirnya sampai di satu terowongan batu pualam. Sebelum memasuki sebuah ruangan besar si nenek gerakkan kedua tangannya ke muka. Sehelai selaput topeng yang amat tipis ditanggalkannya dari parasnya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Dan nyatanya dia adalah seorang gadis jelita berkulit hitam manis, berhidung mancung dan berbibir tipis mungil.
Gadis ini kemudian tanggalkan jubah putihnya. Di balik jubah putih si gadis kulit hitam manis ini ternyata mengenakan pakaian ringkas biru. Gadis ini kemudian berlari ke tengah ruangan besar. Salah satu tumitnya menekan ubin yang bergambar bunga mawar merah.
Maka pada saat itu menggemalah suara bertanya dalam ruangan itu. Entah dari mana datangnya.
“Siapa yang mau masuk?!”
“Aku, Nariti hendak menghadap Dewi!” menjawab si gadis hitam manis.
“Silahkan masuk.”
Sebuah pintu besar yang tadinya hanya merupakan sebuah dinding ruangan belaka terbuka.
Nariti cepat memasuki pintu itu. Ruangan di mana dia berada adalah sebuah ruangan yang jauh lebih besar dari yang pertama tadi. Seluruh lantai ditutupi permadani. Di samping kanan terdapat sebuah taman. Di tengah taman dihiasi dengan kolam berair biru. Beberapa gadis cantik asyik mandi-mandi dalam kolam itu, bersimbur-simburan air dan bergurau sesama mereka. Beberapa lainnya duduk di tepi kolam memperhatikan. Semuanya mengenakan pakaian ringkas biru.
“Hai, itu si Nariti dari mana baru kelihatan!” seru seorang gadis baju biru.
“Nariti dari mana kau!” berseru yang lain.
Nariti hanya melambaikan tangan lalu cepat-cepat menaiki sebuah tangga yang juga beralaskan permadani. Di bagian atas terdapat tiga buah pintu yang dijaga oleh tiga orang gadis berpakaian biru.
“Kemani, aku mau bertemu dengan Dewi,” berkata Nariti pada salah seorang gadis-gadis itu.
“Ada keperluan apakah?!”
“Tak usah tanya. Katakan di mana Dewi saat ini, cepat! Ini penting sekali!”
Melihat keseriusan pada wajah Nariti maka Kemani segera menjawab. “Dewi berada di anjungan ketiga.”
Mendengar itu maka Nariti segera memasuki pintu di samping kanannya. Pintu ini membawanya ke sebuah lorong yang kemudian menghubunginya dengan sebuah pintu biru yang tertutup. Di belakang pintu itu didengarnya suara petikan-petikan kecapi yang merdu.
Nariti mengetuk daun pintu tiga kali berturut-turut lalu dua kali lagi. Suara kecapi di ruang dalam berhenti.
“Siapa?!” terdengar suara perempuan bertanya dari dalam. Suaranya halus tapi penuh wibawa dan ketegasan.
“Dewi, aku Nariti membawa laporan penting untukmu!”
“Masuklah!”
Nariti mendorong daun pintu lalu masuk dengan cepat. Kamar yang dimasukinya selain bagus juga sangat luas. Lantai tertutup permadani biru yang tebal dan lembut. Tubuh serasa di awang-awang kalau menginjak kelembutan permadani itu. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur besar berseprai sutera putih. Di atas tempat tidur ini berbaringlah bermalas-malasan seorang perempuan muda. Umurnya paling banyak dua puluh tiga tahun. Dia berpakaian sutra biru yang bagus dan menjela ke permadani. Parasnya cantik sekali. Tapi dibalik kecantikan yang mengagumkan itu nyata kelihatan bayangan kekejaman. Matanya yang berkilat menyoroti Nariti dengan teliti. Kemudian dia berpaling pada gadis tujuh belas tahun yang duduk di permadani, yang tadi memainkan kecapi menghiburnya. Gadis ini juga berparas jelita dan berkulit kuning langsat Perempuan di atas pembaringan yang bukan lain dari Dewi Siluman adanya anggukkan kepala. Maka gadis pemain kecapi yang mengerti isyarat ini segera mengambil kecapinya dari pangkuan dan meninggalkan tempat itu lewat sebuah pintu di samping kanan.
“Katakan berita apa yang kau bawa, Nariti,” ujar Dewi Siluman.
Nariti menjura dulu tiga kali baru menjawab.
“Ada beberapa pendatang baru di Pulau kita ini dewi. Semuanya dari Pulau Jawa….”
“Hemmm….” Dewi Siluman menggumam dan petik serenceng buah anggur lalu memasukkan buah itu satu demi satu ke dalam mulutnya.
“Teruskan keteranganmu!”
“Yang pertama ialah Sepuluh Jari Kematian….”
“Itu aku sudah tahu. Sepuluh Jari Kematian sobat lama yang sengaja kuundang kemari.
Siapa yang lain-lainnya?!”
“Yang lain-lainnya ialah dua orang nenek-nenek yaitu Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti….”
“Heh… perlu apa murid dan guru itu berada di Pulau ini?” Dewi Siluman memandang lewat jendela dari mana dia dapat melihat sebagian dari taman dan kolam yang tadi dilewati Nariti. Lalu tanyanya sambil mengunyah buah anggur dalam mulutnya. “Apa masih ada pendatang yang lain?”
“Ada Dewi. Seorang pemuda sakti….”
Sepasang alis mata yang hitam dan bagus dari Dewi Siluman naik ke atas.
“Gerak-geriknya yang mencurigakan membuat aku menguntitnya selama dua hari. Ternyata dia tengah mencari keterangan di mana letak tempat kita ini….”
“Begitu? Menurutmu apakah dia membawa maksud baik atau jahat?!” tanya Dewi Siluman.
“Pasti maksud jahat Dewi….”
“Kalau begitu dia mencari jalan ke akhirat!” kata Dewi Siluman pula sambil lemparkan tangkai anggur ke luar jendela. “Tapi terangkan dulu segala sesuatunya tentang dia….”
“Hampir di setiap tempat dia menanyakan pada penduduk di mana letak Bukit Tunggul, di mana letak sarang kita….”
“Kurang ajar. Istanaku disebut sarang!” maki Dewi Siluman. “Teruskan Nariti!”
“Tapi penduduk tak satu pun mau beri keterangan. Meski demikian karena jelas pemuda ini sangat berbahaya bagi kita maka dengan menyamar kunantikan dia di jalan kecil di tepi hutan.
Sengaja aku duduk di tengah jalan menghalanginya untuk mencari sengketa. Kemudian terjadi pertempuran antara kami. Tapi nyatanya dia sakti sekali dan bukan tandinganku. Aku hampir saja dimakan totokannya kalau tidak lekas melemparkan bola asap hitam!”
Dewi Siluman merenung sejenak. Nariti adalah pembantunya yang memiliki ilmu tinggi.
Kalau Nariti tiada sanggup melawan pemuda itu pastilah si pemuda memiliki ilmu yang hebat.
“Siapa nama pemuda itu?” bertanya Dewi Siluman.
“Tak berhasil kuketahui Dewi.”
“Nariti, bawa tiga orang kawanmu. Cari pemuda itu dan tamatkan riwayatnya sebelum dia bikin susah pihak kita!”
“Perintahmu aku jalankan Dewi,” sahut Nariti. Dia menjura tiga kali lalu melangkah ke pintu.
“Tunggu dulu Nariti!” berseru Dewi Siluman. Nariti hentikan langkah dan balikkan badan.
“Ya Dewi…?”
“Apakah pemuda sakti itu berparas gagah?” tanya Dewi Siluman.
Nariti memandang ke jendela lalu tundukkan kepala. Kalau dia memberikan jawaban bahwa pemuda itu memang berparas gagah dia khawatir sang Dewi akan punya persangkaan yang bukan bukan padanya. Karenanya Nariti tak berikan jawaban.
Dewi Siluman tertawa merdu laksana taburan mutiara yang jatuh berderai di atas lantai pualam. Dari kebisuan anak buahnya itu dia segera maklum bahwa si pemuda yang mendatangi Pulau Madura adalah seorang berparas cakap.
“Kalau begitu tangkap saja dia hidup-hidup, Nariti.” kata Dewi Siluman pula. “Jika parasnya betul-betul gagah dia akan menjadi budakku. Tapi kalau tampangnya buruk dia akan mati percuma!”
Nariti mengangguk. Dia menjura lagi tiga kali lalu tinggalkan kamar itu. Dewi Siluman memandang ke luar jendela memperhatikan anak buahnya bersimbur-simburan air di tengah kolam.
Di sudut bibirnya mengelumit sekuntum senyum aneh. Gadis jelita ini kemudian bertepuk tiga kali.
Inani gadis yang tadi memainkan kecapi menghibur Dewi Siluman masuk kembali ke dalam kamar itu.
“Mainkan satu lagu yang bagus untukku, Inani.”
“Lagu bagus tentang apa, Dewi?” tanya Inani.
“Apakah tentang lautan yang indah diwaktu matahari terbenam atau tentang bunga-bunga yang tengah mekar, atau tentang kebahagiaan hidup di swarga loka? Atau pula tentang pemandangan gunung yang tinggi hijau, atau tentang binatang-binatang yang bagus lucu…?”
Dewi Siluman gelengkan kepala.
“Bukan… bukan tentang laut atau bunga-bunga atau binatang-binatang, Inani. Bukan tentang semua yang kau sebutkan itu. Tapi tentang cinta….” kata Dewi Siluman pula.
Terkejutlah Inani mendengar jawaban Dewinya itu. Selama ini sang Dewi sangat membenci segala sesuatu yang berbau cinta kasih. Dewi Siluman selalu marah dan mendamprat bila dia memainkan lagu-lagu cinta, sekalipun dia memetik kecapi itu seorang diri dalam kamarnya! Dan kini adalah aneh kalau sang Dewi minta dimainkan sebuah lagu cinta. Apakah telah berubah jalan pikiran dan lubuk hati sang Dewi. Ada sesuatu yang telah terjadi dengan Dewinya itu?
Untuk lebih memastikan maka bertanyalah Inani. “Lagu cinta yang bagaimana Dewi?
Apakah cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya? Atau cinta kasih Tuhan kepada hamba-hambaNya…?!”
“Jangan sebut-sebut Tuhan!” sentak Dewi Siluman. “Yang ada di dunia ialah kekuatan!
Siapa yang kuat dia akan berkuasa dan bisa berbuat sekehendak hatinya! Jadi Tuhan di dunia ini!”
Meski di dalam hatinya Inani membantah ucapan sang Dewi, tapi karena takut dia tak berani nyatakan pendapatnya itu.
“Kalau begitu mungkin Dewi ingin dengarkan lagu cinta antara seorang pemuda dengan seorang gadis?” tanya Inani pula.
“Ya, lagu itulah yang kuinginkan.” jawab Dewi Siluman.
Maka dengan jari-jari tangannya yang bagus runcing itu Inani mulai memetik kecapinya menyanyikan sebuah lagu cinta.
***
Next ...
Bab 4

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 3"

Posting Komentar