Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 16

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa

ENAM BELAS
KEMANA kita sekarang?" Tanya Luh Bayan Sarti ketika mereka sudah berada jauh dari gedung kediaman Tjokorda Gde Anjer.
"Ke Gedung Putih!" sahut Nyoman Dwipa seraya mempercepat langkahnya.
"Tunggu dulu Nyoman," kata Luh Bayan Sarti seraya pegang lengan pemuda itu hingga sesuatu perasaan aneh menyamak di hati Nyoman. Karena di situ ada Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan wajah merah Nyoman lantas menarik lengannya.
"Ada apa?" tanya Nyoman Dwipa pula.
"Sebaiknya kita jangan pergi kesana, Nyoman…"
"Memangnya kenapa? Justru musuh besarku berada di sana!"
"Aku mengerti. Kita tunggu saja bila dia meninggalkan gedung itu dan baru membuat perhitungan. Pergi ke sana besar bahayanya!"
Nyoman tertawa.
"Aku memang pemah mendengar tentang Gedung Putih itu," berkata Wiro Sableng. "Di situ tempar berhimpunnya tokohtokoh silat kawakan di seluruh Bali. Jika Tjokorda Gde Djantra berada di situ pasti di sana terdapat pula beberapa tokoh silat temama lainnya . . ."
"Aku tidak takut masuk ke sana!" kata Nyoman.
"Memang, hitung-hitung untuk cari pengalaman baru." sahut Wiro lalu berpaling pada Luh Bayan Sarti.
"Aku cuma mengawatirkan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan diri Nyoman sebelum dia sempat membalaskan sakit hatinya terhadap Tjokorda Gde Djantra …. "
Wiro tersenyum kecil. "Sepatutnya kau mengawatirkan keselamatannya, Sarti!" kata Pendekar ini sehingga baik Nyoman maupun gadis itu menjadi sama-sama kemerahan paras mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi akhirnya ketiga orang itupun meianjutkan perjalanan. Gedung Putih adalah sebuah gedung besar yang terletak di luar kota sebelah tenggara. Seperti yang diketahui oleh Wiro Sableng, memang gedung itu manjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh silat ternama bahkan juga menjadi tempat menguji kepandaian serta tempat memberikan latihan ilmu silat tingkat tinggi kepada orang-orang yang menjadi anggota Gedung Putih.
Salah seorang di antaranya adalah Tjokorda Gde Djantra. Meskipun pemuda ini sudah tinggi ilmu silatnya tapi dari beberapa tokoh silat lainnya dia masih memerlukan untuk menambah pelajaran silatnya hingga dibandingkan dengan waktu lima bulan yang lalu kepandaian pemuda ini sudah jauh bertambah! Sudah sejak satu minggu Tjokorda Gde Djantra berada di Gedung Putih menerima latihan-latihan dari beberapa tokoh silat dan ke sanalah Nyoman Dwipa serta kawan-kawannya menuju.
Sesungguhnya keterangan Tjokorda Gde Anjer yang mengatakan bahwa anaknya berada di Gedung Putih adalah mempunyai maksud tertentu! Sengaja hal itu dikatakannya dengan keyakinan bahwa kelak Nyoman Dwipa betul-betul akan pergi ke sana. Dan pergi ke sana berarti sama saja masuk ke dalam perangkap karena di Gedung Putih banyak sekali tokohtokoh silat klas satu yang menjadi kawan anaknya sehingga dapat dipastikan bahwa Nyoman Dwipa akan menemui kematiannya kalau berani masuk ke Gedung Putih! Di satu pendataran tinggi ketiganya berhenti.
Luh Bayan Sarti menunjuk ke bawah pedataran di mana terletak sebuah bangunan besar yang keseluruhannya berwarna putih hingga berkitau-kilau kena sorot sinar matahari.
"Itulah Gedung Putih" kata gadis itu.
Nyoman memandang dengan mata disipitkan dan tangan terkepal. "Ayo!" katanya, "makin cepat kita sampai di sana makin baik!"
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, ketiganya menuruni pendataran tinggi menuju ke Gedung Putih. Kira-kira setengah peminuman teh merekapun sampai di hadapan gedung besar itu. Dua orang laki-laki yang berdiri di ambang pintu gedung yang tertutup menyambut kedatangan mereka. Salah seorang di antaranya setelah melirik dulu pada Luh Bayan Sarti bertanya dengan nada keren.
"Siapa kalian dan maksudapa datang ke mari?!"
Nyoman Dwipa yang sudah berangasan segera membuka mulut tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang berotak cerdik cepat mendahului.
"Kami bertiga mencari sahabat lama yang bernama Tjokorda Gde Djantra."
Karena di antara mereka terdapat seorang dara berparas cantik tentu saja kedua orang penjaga pintu tidak menjadi curiga malah kini menunjukkan sikap hormat. Nyatalah bahwa Tjokorda Gde Djantra disegani di Gedung Putih itu.
"Sahabat yang kau cari memang berada di dalam. Tapi harap kau rnenunggu sampai nanti siang atau kembali saja nanti siang jika ingin bertemu dengan dia…."
"Agaknya ada pertemuan penting di dalam gedung?" tanya Wiro.
"Betul. Di dalam tengah diadakan pemilihan Ketua Gedung Putih yang baru dan Tjokorda Gde Djantra adalah Ketua Panitia Pemilihan. Pemilihan baru selesai siang nanti, jadi kalian bertiga kembali saja nanti siang kalau sekiranya tak bersedia menunggu di sini."
"Karena kami datang dari jauh, baiklah kami sedia menunggu," kata Wiro Sableng seraya menggaruk-garuk kepala dan memandang berkeliling pura-pura mencari tempat duduk. Tapi begitu kedua penjaga pintu lengah, sekali bergerak saja Wiro berhasil menotok mereka hingga kaku tegang tak bisa bersuara. Kedua orang itu kemudian dilemparkan ke balik sebuah gundukan tanah yang terdapat tak jauh dari pintu depan tersebut.
Dengan mudah pintu besar dibuka. Nyoman Dwipa masuk lebih dulu diiringi oleh Luh Bayan Sarti dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Mereka sampai di sebuah ruangan yang bagus berperabotan mewah tapi di situ sunyi senyap tak seorangpun yang kelihatan. Di ujung ruangan membentang sebuah tirai biru. Ketiganya melangkah tanpa suara ke dekat tirai ini dan Nyoman menyibakkan ujung tirai sedikit, memandang ke ruangan di balik sana. Dilihatnya sebuah tangga batu mar-mar yang menuju ke sebuah pintu kayu jati yang berukir-ukir bagus sekali. Di kiri kanan pintu itu berdiri dua orang laki-laki berpakaian putih, bersenjatakan masing-masing sebilah pedang. Di samping mereka terdapat sebuah gong besar yang terbuat dari perunggu. Sebuah pemukul tergantung di samping gong.
Wiro tengah memikirkan satu akal untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya. Dia mempunyai pikiran bahwa gong yang terletak di samping keduanya adalah gong tanda bahaya. Namun sebelum dapat akal, Nyoman sudah menyibakkan tirai dan melangkah cepat ke hadapan kedua orang itu. Terpaksa Wiro dan Luh Bayan Sarti cepat-cepat mengikuti.
"Hai siapa kalian?!" seru salah seorang dari penjaga itu seraya tangan kanannya cepat bergerak ke hulu pedang.
"Jangan bertindak ceroboh Nyoman," bisik Wiro, "biar aku yang jawab pertanyaannya!
Wiro lantas maju ke hadapan kedua penjaga itu dan memberi hormat lalu berkata, "Dua orang kawanmu di luar sana telah mengizinkan kami untuk masuk ke dalam menemui Tjokorda Gde Djantra!"
"Tak mungkin!" kata penjaga yang seorang, "semua penjaga Gedung Putih telah diberi tahu untuk tidak memberi izin masuk siapapun …" lalu dia melangkah mendekati gong perunggu.
"Teman-temanmu juga bilang begitu," kata Wiro cepat, "tapi karena kami datang membawa gadis ini mereka telah memberi izin."
"Siapa gadis ini?!"
"Kekasih Tjokorda Gde Djantra . . . Dia ada urusan penting sekali. Jika kalian tidak memberi izin menemuinya kelak kalian berdua akan kena damprat dari Tjokorda Gde Djantra . . . "
Kedua penjaga itu saling pandang seakan-akan meminta persetujuan masing-masing apakah memberi izin masuk terhadap ketiga orang itu. Dan ini sudah cukup bagi Wiro Sableng untuk melompat ke muka dan menotok urat besar di dada kedua penjaga tersebut hingga mereka berubah laksana menjadi patung-patung batu yang kaku tegang di tempatnya masingmasing! Di ruangan di balik pintu kayu jati …
Dua puluh orang tokoh-tokoh silat di Pulau Bali duduk mengelilingi sebuah meja besar. Di ujung meja berdiri seorang pemuda yang bukan lain Tjokorda Gde Djantra adanya. Di hadapannya terdapat sebuah kotak kayu yang beriobang bagian atasnya. Ke dalam kotak itulah nanti akan dimasukkan kertas-kertas pemilih bertuliskan nama calon. Ketua Gedung Putih yang dipilih. Saat itu Tjokorda Gde Djantra baru saja hendak membuka suara ketika di ujung sama dilihatnya pintu besar terbuka dan tiga sosok tubuh masuk ke dalam. Begitu pandangan matanya membentur paras Nyornan Dwipa yang segera dikenalnya, terkaejutlah dia!
Kemunculan ketiga orang itu tentu saja bukan cuma mengejutkan Nyoman Dwipa tapi semua orang yang ada di ruangan pemilihan tersebut. Bagaimana penjaga-penjaga di luar berani-beranian mengizinkan mereka masuk? Atau mungkin ketiga orang ini telah mempreteli penjaga-penjaga Gedung Putih?! Dan melihat kepada gerak-gerik ketiganya nyatalah bahwa mereka orangorang dari dunia persilatan!
"Para hadirin yang ada di sini, mohon dimaafkan kalau kedatangan kami ini mengganggu acara di sini… "
"Kunyuk-kunyuk kotor! Siapa kalian yang berani mengacau masuk ke Gedung Putih?!" membentak seorang kakek-kakek berjubah putih bernama Prakata Gandara, Dia adalah ketua Gedung Putih yang segera akan meletakkan jabatannya bila calon Ketua baru terpilih.
Wiro berpaling dan menjura pada orang tua ini seraya sunggingkan senyum seenaknya.
"Orang tua, kedatangan kami ke sini bukan untuk mengacau. Kami tidak ada urusan buruk dengan kau orang tua maupun dengan yang lain-lainnya, kecuali kawanku ini mempunyai silang sengketa dendam kesumat dengan seorang pemuda bemama Tjokorda Gde Djantra yang katanya berada di sini!"
Semua mata memandang pada Nyoman Dwipa lalu berpaling pada Tjokorda Gde Djantra yang saat itu berdiri tak bergerak di ujung meja besar seraya matanya memandang bulat-bulat pada Nyoman Dwipa dengan penuh tanda tanya Bukankah dulu dia telah bertempur melawan pemuda ini dan telah mengirim Nyoman Dwipa ke dasar jurang?! Tapi kenapa sekarang hidup lagi dan datang bersama dua orang tak dikenal lainnya?! Benar-benar dia tak mengerti dan tak bisa percaya!.
Sementara itu Luh Bayan Sarti yang memandang berkeliling telah melihat pula Ki Sawer Balangnipa diantara para hadirin sehingga begitu Wiro berhenti bicara dia segera menyambungi, "Aku sendiri juga mempunyai seorang musuh besar pula diantara para hadirin! Itu … manusia yang punya tampang macam ular!"
Merahlah paras Ki Sawer Balangnipa mendengar ucapan itu. Dia berdiri kursinya dan membentak, "Gadis! Kau mencari mati berani masuk ke sini bersama kawan-kawanmu!"
Prakata Gandara berdiri dari kursinya dan berpaling pada Nyoman Dwipa. "Katakanlah dendam kesumat apa yang kau pendam terhadap salah seorang anggota Gedung Putih!"
"Aku tidak mendendam dia sebagai seorang anggota Gedung Putih tapi sebagai manusia busuk yang bemama Tjokorda Gde Djantra!" sahut Nyoman Dwipa pula.
"Baik, katakan urusanmu hingga kami di sini bisa memutuskan langkah selanjutnya!" ujar Prakata Gandara.
"Dia telah menculik calon istriku, merusak kehormatannya hingga gadis itu akhirnya mati bunuh diri secara penasaran!" jawab Nyoman Dwipa tanpa tedeng aling-aling.
"Betul?!" tanya Prakata Gandara pada Tjokorda Gde Djantra.
"Ketua, aku menculik anak gadis orang bukan dengan niat jahat, tapi untuk mengawininya. Dan cara itu sudah menjadi adat kebiasaan di Pulau Bali ini!" sahut Tjokorda Gde Djantra.
"Lidahmu tidak bertulang pemuda busuk hingga kau bisa mencari-cari alasan! Kalau kau bemiat baik terhadap gadis itu setelah dia bunuh diri mengapa mayatnya kau tinggalkan busuk di tepi telaga? Dan kau juga punya hutang jiwa yang belum terselesaikan terhadap diriku sendiri!" semprot Nyoman Dwipa.
"Dan kau gadis cantik, apa urusanmu dengan Ki Sawer Balangnipa hingga kau berani datang ke sini dan menghinanya di depan mata hidung kami?!"
"Menghina ular tua itu bukan berarti menghina anggota-anggota Gedung Putih yang benar-benar berjiwa satria dan berhati polos! Aku datang menginginkan jiwanya karena beberapa hari yang lalu dia menculik dan hendak memperkosaku!"
Ki Sawer Balangnipa berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata dengan cepat sebelum Prakata Gandara menanyainya:
"Ketua, pertama sekali ingin kuberitahukan padamu dan pada semua yang hadir di sini bahwa gadis berbaju hitam ini bukan lain Luh Bayan Sarti, adik kandung perampok ganas yang bernama Warok Gde Djingga dari Bukit Jaratan! Puluhan manusia tak berdosa telah mati di tangan rampok perempuan ini serta kakaknya. Tak terhingga banyaknya harta kekayaan Kerajaan yang dirampoknya. Kurasa sebaiknya kita cepat-cepat membekuknya dan menyerahkannya pada Kerajaan. Bukan saja berarti kita membuati pahala tapi dirinyapun bisa dipakai sebagai alat untuk membekuk batang leher kakaknya!"
"Soal mencari pahala untuk kerajaan itu baik kita bicarakan setelah urusan-urusan dendam kesumat itu selesai Ki Sawer!"
kata Wiro Sableng mengetengahi. Ki Sawer Balangnipa mengatupkan mulutnya rapat-rapat penuh geram. Dia sudah tahu kelihayan Pendekar kita, karenanya dia saat itu hanya mengutuk dalam hati habis-habisan.
Prakata Gandara berpaling pada Wiro Sableng dan bertanya, "Kau siapa pemuda rambut gondrong? Apakah juga punya urusan dendam kesumat dengan salah seorang di sini?!"
"Ah, aku orang buruk ini cuma jadi pengantar kedua orang ini," sahut Wiro Sableng.
"Kalau kau cuma kacung pengantar kau tak layak bicara!" semprot Prakata Gandara. Disemprot begitu Wiro Sableng ganda tertawa dan keluarkan suara bersiulan! Kejut Ketua Gedung Putih dan semua orang di situ bukan main karena suara siulan Wiro Sableng yang cuma terdengar pelahan itu tapi menyakitkan liang telinga mereka! Maklumlah semua orang kalau pemuda berambut gondrong bertampang tolol itu memiliki ilmu tinggi.
Prakata Gandara membuka mulut kembali. "Karena nyatanya memang ada anggota-anggota Gedung Putih yang membuat sedikit kesalahan di luaran maka biarlah aku dan para toa Gedung Putih yang akan menjatuhkan hukuman setimpal atas diri mereka!"
Nyoman tersenyum mendengar ucapan cerdik orang tua itu. "Terima kasih Ketua Gedung Putih yang mau turun tangan terhadap orang-orangmu! Tapi kedatangan kami ke sini bukan untuk memintamu untuk berbuat begitu, melainkan untuk turun tangan sendiri."
"Baiklah jika memang demikian kehendakmu," kata Ketua Gedung Putih. Tangan kanannya diangkat ke arah sebuah tirai merah di ujung ruangan. Jarak antara tirai dan tempatnya berdiri sekira dua puluh langkah tapi hebatnya dengan kekuatan tenaga dalamnya Prakata Gandara berhasil menyibakkan tirai tersebut hingga di seberang sana kelihatanlah sebuah panggung datar yang amat luas! Laki-laki ini memandang seraya tersenyum pada Nyoman Dwipa, dan berkata, "Arena telah siap menunggu. Tapi terus terang saja sebagai orang-orang Gedung Putih, semua kami di sini tentu tak akan berlepas tangan saja …"
"Kalau begitu naga-naganya," menimpati Wiro Sableng seraya garuk-garuk kepala, "sebagai kacung yang buruk tentu aku tidak pula bisa berpangku tangan!" Habis berkata begitu Pendekar ini melangkah seenaknya menuju ke arena. Dan mengikuti tindakan pemuda itu, semua orang menjadi membeliakkan mata mereka. Betapakan tidak! Setiap langkah yang dibuat Wiro, setiap kakinya menginjak batu mar-mar diruangan tersebut, lantai batu itu melesak kehitaman dalam bentuk telapak-telapak kakinya!
Wiro Sableng sampai di atas arena batu sementara Luh Bayan Sarti dan Nyoman Dwipa sudah berada pula di sampingnya. Prakata Gandara mau tak mau menjadi tercekat juga hatinya. Pemuda gondrong bertampang tolol itu saja ilmunya tinggi bukan main, apalagi yang bernama Nyoman Dwipa pikirnya. Dia tidak tahu bahwa di antara ketiga manusia yang berdiri di arena itu justru Wiro Sablenglah yang paling berbahaya!
"Bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra silahkan naik ke sini agar kau bisa menyusui ayahmu lebih cepat!" seru Nyoman Dwipa.
Terkejutlah Tjokorda Gde Djantra mendengar ucapan itu. "Apa?! Apa yang telah kau perbuat terhadap ayahku?!" teriaknya.
"Bapak moyangmu itu bertanggung jawab atas kematian I Krambangan dan beberapa orang kawannya! Aku telah mewakili roh-roh mereka untuk merampas jiwa bapakmu, mengerti?!"
"Anjing kurap!" teriak Tjokorda Gde Djantra dan melompat ke atas arena. Selarik sinar kuning menderu ke arah Nyoman Dwipa. Itulah keris Bradjaloka yang ber-eluk tujuh belas di tangan Tjokorda Gde Djantra. Di saat yang hampir bersamaan, selarik sinar kuning membabat pula ke depan. Yang ini adalah sambaran tongkat bambu kuning milik Nyoman Dwipa.
Tjokorda Gde Djantra terkejut dan tak menduga bahwa lawannya telah mengalami kemajuan tinggi. Sinar kuning senjata memusnahkan tusukan kerisnya bahkan hampir saja ujung bambu kuning itu menghantam pergelangan tangannya! Segera Gde Djantra mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kiri untuk melepaskan pukulan raja selaksa angin. Dengan pukulan itulah dia tempo hari telah melemparkan Nyoman Dwipa ke dalam jurang!
Nyoman Dwipa yang pernah di serang oleh pukulan itu segera maklum dan bersiap sedia sewaktu dilihatnya lawan menarik tangan kiri ke belakang.
Pada saat Gde Djantra memukul ke depan, Nyoman menyarnbuti dan membalas dengan hantaman tangan kiri. Terdengar suara bersiuran dan dari telapak tangan Nyoman Dwipa melesat selarik sinar putih. Itulah pukulan "selendang dewa melanglang bumi" yang dipe!ajarinya dari gurunya Menak Putuwengi. Bukan saja pukulan sakti ini memusnahkan pukulan "raja selaksa angin" tapi sinar putih terus meluncur dan melibat ke arah batang leher Tjokorda Gde Djantra! Yang diserang kaget bukan main dan cepat membuang diri ke samping, justu saat itu tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa datang menderu ke arah kepalanya! Dalam saat yang kritis ini satu sambaran angin datang dari samping hingga tongkat Nyoman Dwipa melenting ke kiri dan selamatlah kepala Tjokorda Gde Djantra!
Berbarengan dengan itu terdengar bentakan Wiro Sableng. "Tua bangka curang! Kalau mau main kayu mari hadapi aku!"
Prakata Gandara menggeram. Parasnya merah. Memang dialah tadi yang turun tangan menyelamatkan nyawa Tjokorda Gde Djantra. Kini dimaki begitu rupa oleh Wiro marahlah dia dan dengan gerakan amat enteng melompat ke atas arena. Begitu sampai di atas arena Prakata Gandara kebutkan ujung lengan jubah putihnya. Ujung lengan jubah ini sengaja dibuat amat lebar dan merupakan senjata ampuh bagi Ketua Gedung Putih itu. Sambaran ujung lengan keras sekali dan mengarah jalan darah di dada Wiro Sableng. Sambil tertawa mengejek pendekar 212 berkelit ke sarang dan dalam gerakan yang tidak karuan tahu-tahu tangannya nyelonong ke muka! Kalau saja Prakata Gandara tidak lekas-lekas menarik tangannya pastilah ujung lengan jubahnya kena direnggut robek olen Wiro! Disamping geram orang tua itu juga kaget sekali. Serangannya tadi bukan serangan sembarangan. Angin kebutan lengan jubah saja sanggup memukul bobol tembok batu, tapi lavwannya yang bertampang tolol itu bisa mengelak bahkan balas menyerang. Tak ayal lagi Ketua Gedung Putih ini segera mencabut senjatanya yang teramat aneh yaitu sebuah lonceng perak!
Begitu lonceng tersebut berada di tangannya maka menggemalah suara berkelenengan yang memekakkan dan menyakitkan telinga. Lonceng itu sendiri yang lingkaran luarnya tajam luar biasa, berkeltbat kian kemari menggempur Wiro Sableng dari delapan jurus! Menghadapi suara lonceng yang klanang-kleneng itu Wiro merasa bagaimana satu kekuatan yang tak kelihatan menekannya membuat gerakannya tidak leluasa. Permainan silatnya menjadi kacau sedang te!inganya tambah sakit! Di situ;ah kehebatan senjata Prataka Gandara! Menanggapi kenyataan ini Wiro segera tutup jalan pendengarannya. Tapi anehnya suara klanang-kleneng lonceng perak tersebut semakin keras!
"Sialan!" maki Wiro. Dari tenggorokannya menggeledek suara bentakan membuat semua orang yang ada di situ merasakan dada, masing-masing berdebar. Begitu bentakan berakhir tubuh Wiro lenyap dan kini terdengarlah suara siulan yang amat tajam membawakan lagu hiruk pikuk tak menentu! Perang suara antara deru siulan dan gema lonceng berkecamuk hebat! Namun lambat laun kentara bagaimana suara klanang-kleneng lonceng perak di tangan Prakata Gandara menjadi sirna di telan suara siulan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di bagian yang lain pertempuran antara Nyoman Dwipa dan Tjokorda Gde Djantra berkecamuk dengan hebatnya. Murid Sorablunohling dan Menak Putuwengi saling keluarkan kepandaian untuk dapat merobohkan lawan masing-masing. Saat itu pertempuran telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Sebenarnya nyali Tjokorda Gde Djantra telah menciut sewaktu melihat bagaimana pukulan "raja selaksa angin" tidak sanggup merobohkan lawannya padahal di samping permainan silatnya yang tinggi, pukulan itu adalah kekuatannya yang sangat diandalkan! Nyalinya tambah meleleh sewaktu jurus tiga puluh ke atas dia mulai mendapat tekanan-tekanan serangan yang hebat dari lawannya. Karena menang pengalamanlah dia masih bisa bertahan sampai jurus yang kelima puluh!
Pada jurus kelima puluh dua, Nyoman Dwipa mulai mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat "raja tongkat empat penjuru angin" yang paling hebat hingga Tjokorda Gde Djantra semakin kepepet dan musti bertahan mati-matian!
Pertempuran antara Wiro dan Prataka Gandara juga semakin hebat. Sebagai Ketua Gedung Putih, Prataka Gandara merasa telah luntur namanya karena sebegitu jauh jangankan sanggup untuk merobohkan lawannya, bahkan dirinya sendiri mulai sibuk menghadapi serangan lawannya yang sampai saat itu masih bertangan kosong!
Tiba-tiba terdenyar seruan Ki Sawer Balangnipa.
"Saudara-saudara sekalian! Ketua kita bertempur mati-matian. Masakan kita berpangku tangan saja?! Mari berebut pahala melenyapkan pengacau-pengacau ini!"
Mendengar seruan itu, semua orang yang ada di situ segera cabut senjata dan laksana air bah menyerbu ke atas arena! Sebenarnya jika bukan dalam keadaan terdesak tentu saja Prataka Gandara tidak sudi main keroyok begitu rupa. Tapi karena maklum dalam sepuluh jurus di muka belum tentu dia bisa bertahan maka serbuan orang-orang itu malah menggembirakannya!
"Bangsat rendah, berani main keroyok! Makan pedangku!" teriak Luh Bayan Sarti. Pedangnya menderu ke arah Ki Sawer Balangnipa.
"Bergundal perempuan! Sekali kau tertangkap Kerajaan akan menggantungmu di tanah lapang luas!" bentak Ki Sawer Balangnipa. Di tangan kirinya kini tergenggam sebuah ular kering yang rupanya baru saja dibuatnya. Betapapun hebatnya dan besarnya keberanian gadis itu namun tentu saja Ki Sawer Balangnipa bukan lawannya. Apalagi beberapa orang anggota Gedung Putih yang berkepandaian tinggi ikut pula membantu manusia bermuka Ular itu!
Wiro Sableng tidak mengira kalau lawan betul-betul mau main keroyok! Ketika didengarnya komando Ki Sawer Balangnipa dan dilihatnya semua orang yang ada di situ menyerbu ke atas arena, menggelegaklah amarah Pendekar 212 Wiro Sableng! Tangan kanannya bergerak kepinggang. Sesaat kemudian terdengarlah suara menggaung macam ribuan tawon mengamuk. Dua orang pengeroyok berteriak kaget dan melompat mundur. Yang satu tangannya terbabat buntung, seorang lagi memegangi dadarya yang mandi darah! Hawa panas dari luka mereka akibat disambar Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro menerobos ke jantung dan sedetik kemudian keduanya roboh di lantai arena tanpa nyawa lagi!
Kejut Prataka Gandara dan semua anggota Gedung Putih bukan kepalang. Kedua orang yang menemui kematian itu adalah anggota yang tinggi ilmu kepandaiannya! Namun dalam satu kali gebrakan saja senjata lawan telah membuat mereka meregang nyawa!
"Kurung yang rapat!" teriak Prataka Gandara seraya menghantam dengan lonceng peraknya.
"Trang!"
Ketua Gedung Putih itu menjerit. Loncengnya terbelah dua sedang tangannya berlumuran darah! Gemparlah semua orang! Celaka pikir mereka. Kalau Ketua mereka bisa mendapat cidera begitu rupa adalah gila untuk meneruskan pertempuran. Tapi untuk mengundurkan diri tentu saja mereka tidak berani.
Prataka Gandara keluar dari kalangan pertempuran dan berdiri di sudut arena sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Dia telah menelan dua butir pil namun hawa panas, yang mengalir dari luka di tangan kanannya tak kuasa dibendungnya. Akhirnya sebelum hawa maut itu mencapai bahunya, Prataka Gandara pergunakan tangan kirinya untuk membetot seluruh lengan kanannya.
"Krak"!
Tanggallah lengan kanan Ketua Gedung Putih itu.
Di atas arena Wiro Sableng mengamuk hebat. Dia tahu bahwa dia harus bergerak cepat untuk dapat melindungi kedua kawannya terutama Luh Bayan Sarti dari keroyokan orang-orang itu. Dalam tempo singkat tokoh-tokoh Gedung Putih roboh satu demi satu menemui kematiannya dalam keadaan yang mengerikan. Melihat korban pihaknya yang semakin lama semakin banyak jatuh sedang dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, Prataka Gandara memberi isyarat. Mereka yang melihat isyarat ini segera mengikutinya lari meninggalkan ruangan itu!
"Siapa yang mau lari silahkan!" seru Wiro. "Kecuali dua bangsat yang bernama Tjokorda Gde Djantra dan Ki Sawer Balangnipa!". Habis berseru begitu pendekar ini melompat ke ambang pintu dan menghadang hingga tak seorangpun yang berani mendekati pintu itu, termasuk Prataka Gandara! Di atas arena Tjokorda Gde Diantra sudah terdesak hebat oleh tongkat bambu kuning lawannya. Ki Sawer Balangnipa sudah melompat dan kalangan tempuran dan berdiri di belakang Ketua Gedung tih yang luka parah dengan muka pucat pasi.
Tiba-tiba terdengar jeritan Tjokorda Gde Djantra atas arena. Semua mata ditujukan ke atas sana. Kelihatan bagaimana Tjokorda Gde Djantra memegangi kepalanya dengan tubuh terhuyung-huyung. Darah mengucur dari keningnya yang pecah dihantam ujung tongkat Nyoman Dwipa. Dia menjerit lagi lalu macam orang kemasukan setan lari sana lari sini hingga akhirnya kedua kakinya menekuk dan tubuhnya roboh ke lantai, masih berkutik-kutik beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi tanda nyawanya lepas sudah!
Suasana di ruangan itu sesunyi dipekuburan kini. Semua orang, termasuk juga Wiro, Luh Bayan Sarti dan Nyoman sendiri diam-diam merasa ngeri melihat detik-detik kematian Tjokorda Gde Djantra tadi!
Tiba-tiba Ki Sawer Balangnipa berlari dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro Sableng seraya menangis tersedusedu.
"Pendekar gagah! Aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku!" pinta laki-laki bertampang ular itu.
"Soal ampun jangan minta padaku tapi pada gadis itu!" sahut Wiro seraya tertawa lalu dia berpaling pada Prataka Gandara dan delapan orang tokoh Gedung Putih lainnya yang masih hidup. "Kalian semua yang tak ada urusan kuharap berlalu dari sinil".
Meski marah dan penasarannya bukan main, namun Ketua Gedung Putih saat itu benar-benar mati kutu. Tanpa banyak bicara dia ajak orang-orangnya meninggalkan ruangan itu.
Sesudah semua orang pergi Ki Sawer Balangnipa masih juga berlutut dan menangis di hadapan Wiro.
"Manusia banci! Bangun! Aku muak melihat tampangmu!" bentak Wiro Sableng.
Ki Sawer Balangnipa bangun perlahan-lahan tapi masih menangis dan berkali-kali mohon ampun pada Wiro dan Luh Bayan Sarti, juga pada Nyoman.
Luh Bayan Sarti tiba-tiba maju dan berkata, "Manusia macammu tak layak hidup lebih lama. Tak ada gunanya kau meratap minta ampun!"
Ki Sawer Balangnipa menggerung lalu menjatuhkan diri di depan kaki Luh Bayan Sarti, hingga lemah juga hati gadis ini pada akhirnya.
"Kuampuni jiwamu!" katanya. "Tapi sebelum kau pergi aku musti yakin dulu bahwa kau benarbenar tidak akan berbuat kejahatan lagi!" Tangan kanan Luh Bayan Sarti bergerak kepinggang dan cras! Putuslah tangan kiri Ki Sawer Balangnipa hingga manusia itu kini tak punya sebelah tanganpun lagi! Ki Sawer Balangnipa menjerit kesakitan dan terhampar di lantai.
"Sekarang kau pergilah sebelum aku merubah putusanku!" bentak Luh Bayan Sarti.
Ki Sawer Balangnipa berdiri -dengan susah payah lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah huyung serta mulut tiada henti mengelurkan rintihan kesakitan!
***
Di puncak pedataran tinggi itu Wiro Sableng menghentikan larinya, berpaling pada Nyoman Dwipa dan Luh Bayan Sarti.
"Sahabat-sahabatku, aku tak terus ke Denpasar. Kita berpisah di sini saja."
Tentu saja ini tidak di sangka-sangka oleh kedua orang itu. "Kau mau terus ke manakah, Wiro?" tanya Nyoman Dwipa.
"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita bisa berjumpa lagi . . . "
"Tapi sebaiknya kita sama-sama ke Denpasar dulu," saran Luh Bayan Sarti.
Wiro tertawa dan berkata pada Nyoman. "Kurasa kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang itu, Nyoman."
"Eh, apa maksudmu?" tanya Nyoman Dwipa. Tapi parasnya berubah merah sedang Luh Bayan Sarti memandang ke jurusan lain.
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Kataku kau sudah menemukan ganti kekasihmu yang hilang dulu, Nyoman. Apakah kau masih belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti?! Nah, selamat tinggal sahabat-sahabatku . . . "
Nyoman Dwipa hendak mengatakan sesuatu tapi Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada dua puluh tombak di lereng pedataran.
Nyoman menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sahabat baik seperti dia sukar dicari. Bahkan mengucapkan terima kasihpun aku sampai lupa!"
Luh Bayan Sarti menarik nafas dalam dan berkata perlahan, "Kalau tak ada dia, entah apa jadi diriku sekarang ini . . . "
Dari puncak pedataran itu keduanya memperhatikan tubuh Wiro Sableng yang lari cepat ke arah utara, makin lama makin kecil hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Nyoman memutar kepalanya pada saat mana Luh Bayan Sarti berpaling pula kepadanya. Sepasang mata mereka saling bertemu. Dan seulas senyum sama-sama muncul di bibir mereka. Nyoman Dwipa menyadari kini betulnya ucapan Wiro Sableng. Yaitu bahwa dia telah menemukan ganti kekasihnya yang hilang itu.

TAMAT
Episode Selanjutnya:
Kutukan Empu Bharata

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




Related Posts :

0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 16"

Posting Komentar