Kutukan Empu Bharata Bab 2

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 013
Kutukan Empu Bharata

DUA
KETIKA dia sampai di kaki gunung hujan telah reda. Bajunya dan sekujur tubuhnya basah kuyup. Sambil menggigil kedinginan dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan perutnya menggereok minta diisi. Sejak pagi tadi memang dia belum makan apa-apa sama sekali. Dia berharap dalam waktu yang singkat akan dapat menemui sebuah desa atau kampung di mana dia bisa membeli makanan untuk pengisi perutnya.
Belum lagi lewat sepeminuman teh berlalu Untung Pararean menemui satu jalan yang sangat becek akibat hujan. Pemuda ini mengikuti jalan itu ke sebelah tenggara. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam besar meluncur cepat sekali di jalan yang becek itu, memancarkan lumpur dan air kotor ke kiri kanan jalan. Pengemudi kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung kedua ekor kuda agar kereta bergerak lebih cepat. Di belakang kereta yang bagus dan tertutup itu ada dua orang penunggang kuda berpakaian keprajuritan.
"Pemuda gila!" kusir kereta tiba-tiba berteriak memaki Untung Pararean. "Kalau tidak lekas menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu! Apakah kau ingin tulang-tulangmu hancur berantakan?!"
Untung Pararean merutuk dalam hati lalu menepi. Dan ketika kereta itu lewat disampingnya, lumpur dan air kotor bermuncratan membasahi muka dan pakaiannya.
"Sialan!" maki Untung Pararean.
Baru saja dia habis memaki begitu satu tendangan mampir di bahunya, membuat dia terpelanting dan jatuh duduk ditanah!
"Ha . . . ha! Itu bagian untuk manusia kotor yang berani memaki prajurit Kerajaan!" seru salah seorang prajurit yang mengawal kereta. Dialah yang telah menendang Untung Pararean.
"Keparat! Kelak kau bakal menerima pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya bangun dan membersihkan pakaiannya.
Dengan masih menggerutu Untung Pararean lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru saja menindak beberapa langkah tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara sorak sorai di jalan didepannya, disusul dengan suara ringkik kuda. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya kereta tadi berhenti di tengah jalan. Dari kiri kanan jalan menyerbu kira-kira sepuluh orang berpakaian seragam hitam, bersenjatakan golok-golok besar. Sebelum Untung Pararean sampai di tempat itu pertempuran antara dua pengawal yang dibantu oleh kusir kereta melawan kesepuluh orang berseragam pakaian hitam itu telah berlangsung! Tak salah lagi pastilah orang-orang itu gerombolan rampok hutan Dadakan yang memang sering malang melintang disekitar kaki Gunung Slamet.
Untung Pararean menyelinap kebalik serumpun semak belukar lebat dan menyaksikan jalannya pertempuran dari tempat ini. Kedua prajurit Kerajaan itu masing-masing bersenjatakan sebilah pedang sedang kusir kereta sebilah keris panjang. Dari gerakangerakan mereka nyatalah bahwa ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Sampai sepuluh jurus mereka sanggup membendung serangan-serangan sepuluh anggota rampok. Tapi walau bagaimanapun jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi lawan yang tiga kali lipat lebih banyak hingga jurus-jurus selanjutnya ketiga orang itupun terdesaklah.
"Prajurit-prajurit Kerajaan yang sombong," kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar lagi kalian akan segera mampus!"
Terdengar satu jeritan. Prajurit yang tadi menendang Untung Pararean roboh dengan satu luka besar di dadanya!
"Rasakan!" seringai Untung Pararean.
Tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka dan satu suara perempuan mengumandang.
"Atas nama Kerajaan hentikan pertempuan ini!"
Terkejutlah para rampok yang mengeroyok. Untung Pararean sendiri tak kurang kagetnya. Di dalarn kereta itu ternyata ada seorang dara berpakaian bagus, berkulit hitam manis dan berwajah elok sekali! Kejut para rampok cuma sebentar. Beberapa orang diantara mereka lantas saja menyerbu ke arah kereta!
Kalau tadi Untung Pararean karena sakit hati terhadap prajurit-prajurit Kerajaan itu tidak mau turun tangan memberikan bantuan, kini melihat gadis jelita yang didalam kereta terancam keselamatannya, segera melompat keluar dari persembunyiannya. Keris Mustiko Jagat tergenggam ditangan kanannya, memancarkan sinar biru yang menggidikkan.
"Rampok-rampok rendah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau mampus!" demikian bentak Untung Pararean gagah laksana seorang pendekar digjaya meski dia sama sekali tidak tahu satu jurus ilmu silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian keris Mustiko Jagat. Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa aneh telah menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua tangannya!
"Kurang ajar! Pemuda kesasar dari mana yang mau jadi jago!" teriak salah seorang anggota rampok, lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Untung Pararean.
Seperti telah diketahui Untung Pararean hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Bharata yang sama sekali tidak tahu seluk beluk ilmu silat, apalagi segala macam ilmu kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar biasa dari keris Mustiko Jagat, pada saat golok perampok menderu ke kepalanya, secara aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris sakti itu membimbing tangan Untung Pararean dan membuat satu gerakan yang cepat sekali, menangkis dan keris Mustiko Jagat!
"Trang!!"
Bunga api memercik.
Golok besar ditangan siperampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru sinar keris Mustiko Jagat menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang goloknya patah mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi dadanya yang tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian dia roboh ke tanah yang becek tanpa nyawa dan sekujur kulit tubuhnya berwarna biru gelap akibat racun yang amat hebat dari keris sakti Mustiko Jagat!
Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan mereka, rampok-rampok yang lainpun menjadi marah. Niat untuk menyerbu kereta dibatalkan dan tujuh anggota rampok itu lantas menyerbu Untung Pararean sementara yang dua lainnya masih menghadapi kusir kereta dan prajurit Kerajaan. Mulanya hati Untung Pararean kecut juga melihat datangnya serbuan itu. Tapi dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru keris Mustiko Jagat bergulunggulung dan dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa nyawa lagi!
Tiga orang yang masih hidup tentu saja tak punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama ketiganya segera ambil langkah seribu dan lenyap dari tempat itu dalam sekejap mata!
Kalau tadi baik si pengemudi kereta maupun prajurit Kerajaan menganggap Untung Pararean pemuda desa hina dina, tapi sesudah menyaksikan "kehebatan" pemuda itu dan menghadapi kenyataan bahwa Untung Pararean telah menjadi "tuan penolong"
mereka, maka baik kusir kereta maupun prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di hadapan pemuda itu.
"Pendekar gagah," berkata si prajurit, "kami mohon maafmu atas kelancangan kami sebelumnya dan terima kasih atas pertolonganmu."
Seumur hidupnya baru kali itu Untung Pararean dihormat dan disembah orang demikian rupa. Cuping hidungnya kembang kempis. Di mulutnya tersungging seringai bangga tapi juga mimik yang mengejek. Dan dalam hatinya pemuda ini berkata sinis. "Siapa sudi menolong kalian. Aku turun tangan karena keselamatan gadis di dalam kereta terancam. Demi dia, bukan demi kalian!"
"Sudah, berdirilah!" kata Untung Pararean sesaat kemudian pada kedua orang yang berlutut. Ketika dia memandang ke arah kereta, dara cantik di atas kendaraan itu kelihatan turun, melangkah kehadapannya, mengangguk memberi hormat dan tersenyum. Kikuk juga Untung Pararean menerima penghormatan dan senyum si jelita itu.
"Saudara, terima kasih atas pertolonganmu." berkata gadis itu.
"Ah . . . pertolonganku tak ada artinya." jawab Untung Pararean merendah setelah terlebih dulu balas menghormat.
"Kuharap kau sudi ikut ke Ibukota untuk menerima balas jasa dari ayahku."
"Aku menolong tidak mengharapkan balas apa-apa, saudari." jawab Untung Pararean.
Bagaimanapun si gadis memaksa tetap saja pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi seandainya Untung Pararean mengetahui bahwa si gadis adalah keponakan Sri Baginda, niscaya dia tak akan menolak. Bukankah setelah membunuh Empu Bharata pemuda ini memang bermaksud untuk mencari kedudukan di Kerajaan? Akhirnya setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya, gadis itu pun berlalu bersama kusir serta pengawalnya. Pengawal yang mati digeletakkan di punggung kuda, dibawa ke Ibukota. Dengan jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula perjalanannya. Sepanjang jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang kembali di depan matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh perampokperampok hutan Dadakan itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi perampok-perampok itu dengan keris Mustiko Jagat dan membunuh mereka satu demi satu hingga akhirnya tiga orang perampok yang masih hidup lari pontang-panting! Kemudian ingat pula dia sewaktu kusir kereta dan pengawal itu berlutut di hadapannya, menyebutnya "Pendekar gagah!"
Lalu sewaktu gadis jelita itu datang padanya, tersenyum dan mengucapkan terima kasih!
Menjelang tengah hari Untung Pararean sampai ke sebuah kampung. Sebenamya kurang pantas disebut kampung karena selain besar dan ramai juga di situ pusat perhentian lalu lintas perdagangan. Di situ terdapat pula sebuah rumah makan yang merangkap rumah penginapan. Begitu memasuki kampung, Untung Pararean segera menuju kesini. Dan di depan bangunan rumah makan itu dilihatnya kereta yang ditumpangi gadis jelita yang telah ditolongnya sebelumnya. Baru saja Untung Pararean sampai di pintu, dari dalam rumah makan seseorang datang menyongsongnya. Ternyata orang itu adalah si pengawal kereta.
"Ah, sungguh gembira dapat bertemu dengan kau di sini Pendekar," berkata pengawal itu. Kemudian tanpa diminta dia menerangkan. "Kami terpaksa berhenti dan menginap di sini. Seseorang menerangkan sungai banjir akibat hujan besar yang turun tadi pagi. Diperkirakan baru besok air akan surut!."
Bertiga dengan kusir kereta Untung Pararean kemudian duduk di salah satu bagian rumah makan. Pengawal itu memesankan makanan yang enak-enak serta tuak harum untuknya. Selagi menyantap hidangan itu pengawal menerangkan pula bahwa jenazah kawannya telah disuruh kubur di tepi kampung. Kemudian dia bertanya. "Sesungguhnya siapakah Pendekar ini dan berasal dari mana?"
"Aku cuma orang gunung yang barusan saja turun dari Gunung Slamet," jawab Untung Pararean.
"Oh, pastilah Pendekar murid seorang pertapa sakti."
Untung Pararean tak memberi jawaban. Diteguknya minumannya lalu memandang berkeliling ganti bertanya.
"Dimana gadis itu?"
"Maksud Pendekar Den Ayu Sri Kemuning?" ujar si pengawal.
Kemudian sang kusir kereta menyambungi. "Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh sangat meletihkan Den Ayu."
"Saya tidak mengerti," berkata pengawal kereta, "kenapa Pendekar tidak mau menerima ajakan Den Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke Ibukota. Itu suatu kerugian besar, Pendekar."
"Kerugian besar bagaimana?"
"Pendekar tentu belum tahu siapa gadis itu sebenamya?"
"Aku barusan saja turun gunung, mana tahu siapa dia?" ujar Untung Pararean pula.
Pengawal kereta itu tersenyum lalu didekatkannya mukanya pada si pemuda seraya berkata.
"Den Ayu Sri Kemuning adalah keponakan Sri Baginda . . . "
Terbeliaklah sepasang mata Untung Pararean. Mulutnya ternganga.
"Betul?!" tanyanya ingin meyakinkan.
"Masakan saya berani main-main sama Pendekar."
Dan memang terasa sebagai satu kerugian besar bagi Untung Pararean sesudah dia tahu siapa adanya gadis yang ditolongnya itu. Dengan ikut ke Ibukota bukankah lebih mudah mendapat jalan untuk mencapai cita-cita yang diidamidamkannya selama ini yaitu menjadi Perwira Kerajaan?!
Dengan melihat paras si pemuda, pengawal kereta ini dapat membaca isi hati Untung Pararean. Maka berkatalah dia,
"Sekarang masih belum terlambat untuk merobah putusan Pendekar. Jika kau mau, nanti aku akan menemui Den Ayu dan menerangkan bahwa kau bersedia ikut ke Ibukota."
Meskipun hasratnya meluap-luap tapi Untung Pararean tak segera memberikan jawaban. Diisinya tuak baru ke dalam gelas lalu diteguknya perlahan-lahan.
Justru pada saat itulah di pintu rumah makan terdengar suara bentakan yang lantang keras hingga bangunan itu bergetar!
"Bangsat muda yang sedang meneguk tuak, lekas berlutut untuk menerima hukuman mampus!"
***

Next ...
Bab 3

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245

Related Posts :

0 Response to "Kutukan Empu Bharata Bab 2"

Posting Komentar