Mawar Merah Menuntut Balas Bab 2

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

DUA
DI HADAPAN si nenek yang mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang kakek-kakek berpakaian putih. Kumis dan janggutnya panjang menjulai, melambai-lambai ditiup angin. Mengenali orang yang berdiri di depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku! Lekas menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan kanannya ke tanah. Meski tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan, namun hebatnya tanah yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si nenek yang ternyata bernama Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung lalu menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak! Sekaligus si nenek hendak menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si kakek.
"Enak betul bicaramu! Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik.
Sesudah dapat ada yang mau memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu juruspun aku bersedia mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu secara baik-baik padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa gelak-gelak.
"Kau mengancam aku, Munding? Ya?! Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut pautmu?!" tukas si nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak itu. Dia sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan ketus.
Munding Wirya usut-usut janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak tololmu sekeras batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi muridmu! Turunan baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-hatilah kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik. Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah seorang dari kita. Kalau dia mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia yakin si anak pasti tidak akan memilihnya.
"Dalam urusan ini tak ada segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!" Munding Wirya mengusut lagi janggutnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau apa?!" tantang Camperenik.
"Kau akan menyesal!" desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah kedua kaki Camperenik. Si nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak. Selagi melayang di udara kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di tangan Munding Wirya cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti menyerang dengan satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun lagi-lagi dia harus membatalkan serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu memapaki tangannya!
Maklum bahwa sulit baginya untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah siasat. Dia mulai melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima langkah. Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh lawan!
Pertempuran antara si kakek dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya samasama hebat, lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia masih terus mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak sontak merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar. Dalam penasarannya dia berpikir ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang demikian asing dan hebat? Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan serangan Munding Wirya, Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik pinggang. Senjatanya ini yaitu seekor ular yang telah dikeringkan menjadi tongkat dan bisa menyemburkan racun jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah keras kaku itu bisa dibuat demikian rupa laksana hidup dan menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan Camperenik, karenanya dia sudah tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan pernafasannya. Betul saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata ularnya, Camperenik tibatiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun kuning dari mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat ularnya. Dengan geram dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku tongkat yang amat seru. Lima puluh jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat simpanan. Serangan di balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-masing mengintai kelengahan lawan.
"Camperenik!" Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke tujuh puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak, sampai nyawaku terbang kenerakapun aku tetap bilang tidak!" jawab si nenek seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si kakek miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah peraduan yang keenam puluh dua kalinya!
Masing-masing pihak melompat mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di muka Munding Wirya keluar dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya dimelintangkan di depan dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah.
"Jilatlah ludah itu! Baru aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya. Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat kemudian kepalan itu mengeluarkan sinar biru pekat.
Paras Camperenik kontan berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan. Dan dia tahu pula bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana, Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan mati konyol dilabrak pukulan buana biru ini?!"
Mulut Camperenik komat-kamit. Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak bakal sanggup menerima pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis berkata begitu Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di depan tubuhnya! Munding Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak mungkin baginya untuk meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik bakal menemui kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati bersama-sama si nenek!
"Keparat betul si Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding Wirya geram.
"Ayo Munding! Kau tokh mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik berteriak dengan sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah geram.
‘"Kalau kau tak mampu melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan tuanmu!" ejek Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih melesat dari samping. Munding Wirya tersentak kaget. Camperenik mengeluarkan seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang diacungkannya terbetot lepas dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh berpakaian putih sementara itu dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!" jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari samping satu sinar biru menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding Wirya temyata telah melepaskan pukulan “buana biru” begitu si nenek bersikap lengah. Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang. Nyawanya selamat tapi angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat nenek-nenek ini roboh dan terguling pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih lama, segera dia angkat kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan tadi dari tangan Camperenik!
Di tepi lembah Munding Wirya masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan timur. Dengan mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi bagaimanapun diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak sampai tiga puluh langkah. Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan anak yang berada di tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan buana biru saking gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling ke belakang seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat sudah berapa lama dia mengejar orang itu sementara matahari sudah condong ke barat dan hari hampir senja. Dan sampai saat itu dia masih belum mampu mengejar orang yang melarikan anak perempuan itu. Si penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari pemandangan kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali ke belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang tua. Siapakah gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?!
Tepat pada saat matahari tenggelam diufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding Wirya lenyap dari pemandangan!
Kakek-kakek itu menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak kelihatan, lenyap laksana di telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar edan … !" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat sekitar situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum jodohku anak itu. Tapi betulbetul aneh dan hebat. Siapakah orang yang telah melarikannya itu?"
Dengan hati kecewa Munding Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat tersebut. Namun satu langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah cabang pohon besar di bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian putih tengah memangku anak perempuan yang hendak diambilnya jadi murid! Dengan serta merta Munding Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di lain kejap dia sudah berada di atas cabang pohon besar di mana orang yang melarikan anak perempuan itu duduk. Terkejutlah Munding Wirya ketika dia melihat bahwa orang yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut putih jarang. Pada kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya yang hitam kelihatan lebih hitam karena selempang kain putih yang dikenakannya, ditambah lagi oleh kegelapan senja yang datang.
"Pantas … pantas. Engkau rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!". Habis berkata begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam.
Perempuan tua di depannya tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu telah tertidur nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal yang menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya. "Kalau aku boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan puncak gunung Gede? Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari dunia yang penuh kotor ini."
"Betul … itu betul sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak gunung Gede tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan kesepian! Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya perempuan tua itu melarikan si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya sebagai murid pula, tetapi si kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia kawatir perempuan tua itu akan tersinggung. Siapakah sebenarnya perempuan tua itu? Dia bukan lain Eyang Sinto Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang pernah merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil mengusap kepala si anak perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik, berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan hitam. Karenanya kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya. Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata, "Jika kau ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede." Sinto Gendeng tertawa,
"Aku memang mau kembali ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta bakat bagus. Tapi sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya satu murid. Aku tak bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan menggemblengnya menjadi gadis pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit hati atas apa yang telah menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?" Sinto Gendeng mengangguk perlahan.
"Kekotoran-kekotoran macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal menuntut balas!" Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali lagi lalu menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-tahu telah berkelebat lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik nafas panjang. "Tak dapat kuukur betapa tingginya ilmu kepandaian manusia itu!" Setelah memandang berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun melompat turun dari cabang pohon dan lenyap dalam kegelapan malam.
***

Next ...
Bab 3

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 2"

Posting Komentar