Sepasang Iblis Betina Bab 14

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 014
Sepasang Iblis Betina

EMPAT BELAS
MENURUT keterangan yang didapat oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, tempat kediaman Sepasang Iblis Setina terletak di daerah berbukit-bukit di seberang hutan Bintaran. Lima hari mengadakan penyelidikan dia samasekali tak berhasil menemukan sarang kedua gadis jahat tersebut. Selama ini Wiro telah mendengar perbuatan-perbuatan kejam yang pernah dilakukan oleh Sepasang Iblis Betina. Ada hal yang mengherankannya, kenapa justru laki-laki muda dan yang bertampang gagah yang selalu menjadi korban kedua gadis tersebut?
Hari keenam berlalu. Wiro Sableng memutuskan bila sampai hari ketujuh dia masih belum berhasil menemukan kedua orang yang dicarinya itu, dia akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari keterangan lain yang lebih jelas mengenai mereka.
Demikianlah pada pagi hari ketujuh itu Wiro Sableng baru saja selesai mandi di dalam Telaga Puteri Intan Dewi yang terletak di hutan Bintaran sewaktu sepasang kaki putih mulus dilihatnya melangkah lembut di antara semak-semak jauh di hadapannya. Pemuda itu cepat naik ke darat dan mengenakan pakaiannya, lalu menunggu dengan tenang.
Namun ketenangan hati pendekar muda ini hanya sejenak. Dadanya berdebar sewaktu pemilik kaki yang bagus tadi muncul di balik sepatang pohon besar. Ternyata dia adalah seorang dara berparas cantik sekali. Wiro mengingat-ingat beberapa orang gadis cantik yang pemah ditemuinya. Namun harus diakuinya bahwa yang satu ini adalah yang paling cantik yang pernah dilihatnya. Gadis ini mengenakan pakaian berbentuk jubah pendek berwama biru tua berbungabunga kuning. Di tangan kirinya ada sebuah kendi besar. Dara ini kelihatan terkejut dan menghentikan langkahnya sewaktu sepasang matanya yang bersinar beradu pandang dengan Pendekar 212.
"Di pagi yang segar, bertemu dengan seorang dara jelita. sungguh indah sekali rasanya hidup ini …." kata Pendekar 212 laksana seorang penyair. Dia tersenyum.
"Nona, siapakah kau?" tanya Wiro Sableng seraya melangkah mendekati si gadis. Sang gadis undur beberapa tindak. Wiro tertawa.
"Kau datang ke sini tentu untuk mengambil air. Ambillah. Dan kau tak usah perduli aku kalau memang tak sudi bicara atau takut padaku. Aku tak akan mengganggumu." Pemuda ini membalikkan badan dan merapikan pakaiannya. Di dengarnya gadis itu melangkah ke tepi telaga. Lalu didengamya suara kendi dimasukkan ke dalam air telaga. Sewaktu Wiro Sableng berpaling, dilihatnya gadis itu memandang tepat-tepat padanya. Si gadis membuang muka sewaktu pandangan mereka saling bentur.
"Kalau dilihat membuang muka. Orang melengah memperhatikan …" kata Wiro dalam hati.
Kemudian tanpa acuhkan gadis itu dia melangkah pergi. Adalah satu hal yang membuat dia terkejut sewaktu di dengamya gadis itu berseru. "Saudara, tunggu …. !"
Wiro Sableng berpaling. "Ada apakah?"
"Kau jangan jalan ke arah sana…."
"Eh… Terima kasih atas nasihatmu. Kalau aku boleh tanya memangnya kenapa ….?" tanya Wiro.
"Daerah sebelah sana berbahaya." jawab si gadis seraya bangkit dari tepi telaga karena kendi yang di isinya telah penuh dengan air.
"Hem, begitu? Banyak binatang liarnya?" tanya Wiro lagi.
"Bukan." jawab si gadis. "Di situ daerah kediaman dua gadis jahat."
Wiro Sableng melangkah ke hadapan si gadis. "Darimana kau tahu?"
"Aku tahu apa yang terjadi di sini dari guruku. Beliau yang menceritakan".
"Siapa nama gurumu?" tanya Wiro lagi.
"Maaf, tak bisa kuberi tahu."
"Kau tahu betul tempat kediamannya Sepasang Iblis Betina itu?"
Si gadis menggeleng. "Tapi percayalah…" katanya. "mereka sering muncul di jurusan yangtadi hendak kau tempuh."
"Kau dan gurumu tinggal di sekitar sini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini mengambil air." Wiro Sableng hendak menanyakan sesuatu tapi tak jadi. Di belakangnya, kira-kira lima tombak jauhnya, di dengamya suara gemerisik rantingranting. Dia berpaling dengan cepat lalu melompat ke jurusan ranting dan semak belukar. Jelas dilihatnya bayangan kuning berkelebat. Namun aneh ketika dia sampai di situ bayangan tersebut lenyap laksana ditelan bumi. Wiro ingat pada keterangan yang diterimanya yaitu bahwa Sepasang Iblis Betina senantiasa mengenakan jubah kuning. Bukan mustahil bayangan kuning tadi adalah bayangan salah seorang dari mereka. Dengan perlahan-lahan dia kembali menemui si gadis. Di lihatnya gadis ini berdiri menggigil dengan muka pucat.
"Tak usah kawatir. Tak ada apa-apa…." kata Wiro menenangkan.
"Waktu aku bicara tadi, sekelebatan kulihat sesosok tubuh berbaju kuning. Aku takut sekali, saudara. Pasti dia! Pasti gadis jahat itu …."
"Kau ditipu pemandanganmu sendiri, nona." kata Wiro meski hatinya sendiri tidak enak.
"Aku sudah memeriksa tempat sekitar situ. Tak ada siapa-siapa."
"Aku harus kembali cepat-cepat. Tapi … tapi, aku takut pulang sendirian."
"Mari kuantar." kata Wiro Sableng pula.
Tanpa banyak cerita lagi kedua orang itu mening galkan tempat tersebut. Tak selang berapa lamanya, dihadapan serumpun semak belukar lebat gadis itu berhenti. Dengan tangan kanannya disibakkannya semak-semak tersebut lalu berpaling pada Wiro dan berkata, "Masuklah!"
"Tempat tinggalmu di sini ….?"
Jawaban si gadis tak terdengar. Wiro menyetuak di antara semak-semak lalu masuk ke dalam. Dia melangkah mengikuti gadis itu menyusuri sebuah lorong batu yang bersih dan bagus hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh sebuah pelita aneh. Pelita itu merupakan sebuah kayu hijau yang ditancapkan di dinding ruangan. Bau harum aneh menyentuh penciuman Wiro Sableng. Dia memandang berkeliling. Ruangan itu indah sekali. Si gadis menyuruhnya duduk.
Berada sendirian di dalam ruangan itu Wiro merasakan ada kelainan dengan aliran darahnya: Untuk beberapa lamanya diperhatikannya pelita aneh di dinding yang dilihatnya semakin redup cahayanya sedang bau harum semakin mempengaruhi dirinya. Darahnya menyentak-nyentak dan nafasnya memburu panas. Semua ini menimbulkan tanda bahaya dalam hati Wiro: Segera dikerahkannya tenaga dalam dan ditutupnya penciumannya.
Selang beberapa ketika si gadis muncul kembali. Dia mengenakan pakaian yang sama dengan sebelumnya namun kali ini kelihatan lebih tipis hingga sinar lampu yang redup sekalipun sanggup merambas memperlihatkan sekujur tubuhnya. Sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng menyipit.
"Gurumu mana…?" tanya Wiro.
"Aku lupa mengatakan sesuatu tentang guruku," kata gadis itu seraya duduk di hadapan Pendekar 212.
"Ada apa dengan dirinya?"
"Dia kejam sekali. Sejak aku dewasa tak pernah boleh berhubungan dengan laki-laki. Kau tentu tahu bagaimana perasaan seorang dara yang sudah menginjak alam dewasa seperti aku ini…."
"Aku mengerti…" sahut Wiro, "tapi mengapa gurumu bertindak demikian?"
"Aku sendiri tidak tahu . . . . ", jawab gadis itu sambil menundukkan kepala.
"Gurumu melarang kau berhubungan dengan laki-laki. Lantas kenapa kau berani membawa aku ke mari?"
"Beliau sedang bertapa. Lusa baru kembali."
"Hem . . . . ", gumam Wiro. Seorang gadis cantik, berpakaian tipis menggiurkan dan menyatakan perasaannya tentang kerinduan terhadap seorang laki-laki kepada seorang laki-laki. Aliran darah Wiro Sableng semakin menggelora panas. Denyut nadinya tambah cepat. Dan di antara ke semua itu perasaan adanya bahaya semakin besar. Dia ingat bagaimana dulu dia tenggelam dalam pelukan tubuh telanjang seorang dara yang kemudian dara itu ternyata hendak merenggut jiwanya. Apakah gadis yang satu inipun hendak berbuat begitu pula.
"Eh, kau masih belum menerangkan namamu." Kata Wiro memecah kesunyian di antara mereka.
"Sebutkan namamu dulu," sahut si gadis merajuk.
"Aku Wiro."
Si gadis mengangkat kepalanya. "Wiro apa?" tanyanya.
"Wiro Sableng."
Meski bibir si gadis merekahkan senyum namun sepasang mata Wiro Sableng tak bisa ditipu. Pada bola-bola mata gadis di hadapannya itu ada pantulan sinar aneh saat itu dan genta tanda bahaya semakin keras mengumandang di telinganya, menyuruhnya berhati-hati.
"Namamu sendiri siapa, nona . . . . ?", tanya Wiro setelah dia mempertenang diri sementara itu jalan pemafasan hidungnya masih terus ditutup.
"Nilamaharani . . . . ", kata gadis itu menyebutkan namanya.
"Nama bagus," puji Wiro. Lalu dilihatnya gadis itu berdiri dan sinar pelita hijau kembali merambasi tubuhnya yang bagus.
"Aku sudah menyiapkan minuman di dalam. Mari masuk ke ruang sana, Wiro," kata Nilamaharani. Nafasnya menghembus panas di wajah Pendekar 212.
Wiro berdiri dan mengikuti gadis itu. "Jika ini adalah satu tipuan nona …." kata murid Eyang Sinto Gendeng ini dalam hati, "kau bakal mampus percuma."
Ruangan yang mereka masuki juga diterangi oleh pelita aneh bersinar redup. Satu-satunya perabotan yang ada di situ hanyalah sebuah tempat tidur. Bagian kepala tempat tidur yang bagus berseperai kuning itu berbentuk meja panjang di mana terletak dua buah cangkir. Wiro merasa tidak enak begitu melihat wama seperai di hadapannya, namun seolah-olah tak ada apa-apa dengan tenang dia duduk di tepi terlipat tidur sewaktu Nilamaharani mempersilahkannya. Meski saat itu perasaan adanya bahaya semakin keras namun sebegitu jauh Wiro Sableng belum mengetahui siapa sebenarnya dara jelita yang bernama Nilamaharani itu.
"Silahkan minum, Wiro!" kata Nilamaharani sambil menyerahkan salah satu cangkir ke tangan Pendekar 212. Kaki kirinya di pangkukan di atas kaki kanan hingga betis dan pahanya yang putih tersingkap menantang.
Wiro Sableng mendekatkan bibir cangkir ke bibimya. Matanya melihat cairan teh wangi yang ada dalam cangkir itu berwama aneh, agak berminyak-minyak di sebelah atasnya. Dia yakin minuman itu telah dicampur dengan racun jahat namun selama Kapak Naga Geni 212 masih tersisip di pinggangnya, selama senjata ampuh penangkal segala macam racun itu masih ada padanya, dia tidak takut racun jahat apapun di atas dunia ini.
Tanpa ragu-ragu diteguknya teh itu sampai habis. Perutnya terasa hangat. Kemudian dari gagang Kapak Naga Geni 212 dirasakannya hawa dingin menyelusup ke dalam perutnya. Untuk beberapa ketika dia merasa seperti digelitik kemudian segala sesuatunya seperti biasa kembali. Hawa dari Kapak Naga Geni 212 telah punahkan racun jahat dalam perutnya!
"Tehmu enak sekali dan terima kasih." kata Wiro waktu mengembalikan cangkir kepada Nilamaharani. Untuk beberapa lamanya kedua orang itu berdiam diri.
"Wiro…"
"Hem…?"
"Dapatkah kau membayangkan bagaimana jadinya jika satu aliran arus sungai terus menerus dibendung…?"
"Pertanyaanmu agak aneh," sahut Wiro. "Tapi memang aku bisa membayangkan".
"Dapat pula kau bayangkan bagaimana akibatnya?".
"Air akan naik dan lambat laun walau bagaimanapun kuatnya bendungan pasti akan meledak pecah."
Nilamaharani menganggukkan kepalanya.
"Itulah yang terjadi selama ini dengan diriku, Wiro. Guruku melarang aku berhubungan dengan laki-laki. Melarang … melarang dan akhirnya sewaktu aku berhadapan dengan seorang laki-laki, dengan seorang pemuda macammu ini, aku tidak tahan Wiro. Mungkin ini adalah ucapan yang tidak pantas tapi aku benar-benar tidak tahan…"
Wiro Sableng menggeser duduknya sewaktu Nilamaharani menangis tersedu-sedu.
"Kau seorang yang suka berterus-terang," kata Pendekar 212 pula seraya memegang bahu gadis itu. Betapa lembutnya daging tubuhnya. "Aku senang pada orang yang bersifat seperti itu."
"Kau senang pada diriku, Wiro?"
"Ya."
"Oh…"
Nilamaharani menjatuhkan kepalanya kepada Pendekar 212 dan dirangkulnya pemuda itu erat-erat. Wiro mengelus punggung gadis ini. Perlahan-lahan dibukanya jalan pernafasannya. Terciumlah betapa harumnya rambut Nilamaharani. Diciumnya kepala gadis itu. Tiba-tiba dengan kebinalan seorang gadis yang telah berubah laksana seekor singa kelaparan, Nilamaharani merangkul tubuh Wiro dan menggulingkannya di pembaringan.
"Kau harus melakukannya untukku, Wiro. Kau harus melakukannya untukku…" Sepasang kaki Nilamaharani melejang-lejang, menggapai di sela-sela kaki Wiro Sableng. Nafasnya membara.
Untuk sekejap Wiro Sableng lupa diri. Nafsunya menggelora. Kedua tangannya menggerayang di atas tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba laksana disengat ratusan kalajengking secara sekaligus. Wiro Sableng tersentek dari atas pembaringan. Matanya memandang membelalak pada tubuh Nilamaharani yang terbaring di atas tempat tidur yang saat itu hampir tiada tertutup lagi!
"Manusia dajal hina dina! Jadi .., jadi kau adalah seorang laki-laki …?! Gila! Terkutuk!" teriak Wiro Sableng.
Nilamaharani memekik marah. Dia melompat hendak menangkap tubuh pemuda itu dengan kedua tangannya yang terpentang lebar. Tapi Wiro membantingkannya ke dinding. Untuk kedua kalinya Nilamaharani memekik dan yang sekali ini dari kedua tangannya menyambar dua larik sinar kuning.
"Pukulan es iblis!" seru Wiro. "Jadi kau salah seorang dari Sepasang Iblis Betina, hah?"
Nilamaharani memekik lagi macam kuda meringkik. Wiro mengangkat tangan kanannya dan secepat kilat memukul ke muka. Sinar putih bertabur dan ruangan itu menggelegar sewaktu pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhantaman dengan pukulan "es iblis" yang dilancarkan Nilamaharani.
"Pendekar 212, takdir sudah menentukan bahwa riwayatmu berakhir di tempat ini!"
"Manusia banci keparat. Dosamu tujuh kali lebih besar dari pelacur! Mampuslah!" teriak Wiro seraya melepaskan pukulan sinar matahari sekali lagi.
"Wutt"!
Satu sinar yang menyilaukan memapas pukulan sinar matahari. Satu benda bermata tiga hampir saja menyambar leher pemuda itu kalau dia tidak lekas-lekas melompat ke belakang. Ketika dia memandang ke depan di samping Nilamaharani yang saat itu sudah mengenakan pakaian, berdiri seorang gadis berjubah kuning yang parasnya secantik Nilamaharani. Dan di tangannya tergenggam sebuah tombak bermata tiga. Tombak Trisula! Senjata mustika inilah yang telah memapas musnah pukulan sinar matahari Wiro tadi!
"Bergundal baju kuning!" bentak Wiro. "Kau tentunya juga seorang laki-laki seperti dajal satu ini…"
"Tutup mulut kotormu, bangsat!" teriak si jubah kuning yang memang adalah Nilamahadewi. Dia menerjang ke muka seraya melancarkan satu tusukan dengan Tombak Trisula. Di lain pihak Nilamaharani menyusul dengan satu serangan pukulan sakti yang hebat. Satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Pendekar 212.
Terdengar suara menggaung. Sinar putih berkiblat dan "trang"! Tombak Trisula di tangan Nilamahadewi terlepas mental.
"Kakak! Pemuda ini bukan tandingan kita! Lekas lari lewat jalan rahasia!" seru Nilamahadewi pada kakaknya. Kedua "gadis" itu lari ke sudut ruangan dan sama-sama menekan dua buah tombol rahasia. Dua buah pintu terbuka dan keduanya segera menghambur masuk ke pintu itu. Namun Pendekar 212 lebih cepat lagi. Tubuhnya laksana terbang. Dari mulutnya keluar suara suitan nyaring dan Kapak Naga Geni 212 membabat ke muka. Kedua kakak adik itu menjerit dan tergelimpang di mulut pintu rahasia. Pinggang masing-masing hampir putus dilanda Kapak Naga Geni 212. Untuk seketika mereka masih kelihatan bergerak-gerak sesudah itu kaku tegang untuk selama-lamanya.
Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk mengambil Tombak Trisula yang tercampak di lantai sementara Kapak Naga Geni sudah disisipkannya ke balik pakaian putihnya. Dia melangkah mendekati mayat Nilamahadewi. Dengan ujung Tombak Trisula disingkapkannya jubah kuning sebelah bawah "gadis" itu.
"Edan!" maki Pendekar 212. "Dia juga laki-laki! Sialan!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi Wiro Sableng keluar meninggalkan tempat itu. Sepasang Iblis Betina telah menemui ajalnya. Dan Tombak Trisula harus segera diserahkannya pada Mapatih Jayengrono di Istana Pajang.

TAMAT
Episode Selanjutnya:
Mawar Merah Menuntut Balas

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 14"

Posting Komentar