WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas
TIGA BELAS
SAWER Tunjung mengetuk pintu pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan yang tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer Tunjung!"
"Tunggu sebentar!" jawab Bayunata.
Di luar pondok Sawer Tunjung tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk habis-habisan. Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu rupa Bayunata masih menghabiskan waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di atas tempat tidur Bayunata merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari mulutnya keluar suara erangan geram dan dari hidungnya menghembus nafas membara. Di gigitnya leher perempuan di bawahnya hingga perempuan itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya yang mandi keringat kemudian terbadai di pembaringan.
"Bayunata! Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin rampok itu berdiri terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli, dilemparkannya buli-buli itu ke sudut pondok lalu dikenakannya celananya. Golok besar yang tergantung dekat pintu disambarnya lalu dia keluar.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan pondok musnah dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya telah melakukan hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di jurusan barat ada satu gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak buah kita menemui kematian di tangannya. Kepada anak buah yang masih hidup dia menyuruh menyampaikan pada kita bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah yang melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang ajar!" kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya berlari-sepanjang jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung bukan isapan jempol. Dua puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah jadi mayat, mati di gantung dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di atas jembatan dalam keadaan mengerikan.
Pelipis Bayunata bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari kejurusan barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di belakangnya terdengar suara robohnya sebuah pondok yang musnah di makan api. Tak berapa jauh dari situ segerombolan perempuanperempuan dalam tubuh yang hampir tak tertutup pakaian berlarian berebutan menuruni tangga tali.
Dalam waktu yang singkat Bayunata dan Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar Merah berada. Saking geramnya pemimpin rampok ini turun ke tanah tanpa melalui tangga tali melainkan langsung melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang tanpa menimbulkan suara itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Amarah yang meluapi sekujur tubuh Bayunata serta merta jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita yang mengaku bernama Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat perempuan yang secantik ini!
"Sawer, inikah manusianya yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti sekali, Bayu! Pasti!" sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya Singgil Murka. Namun yang dilihatnya adalah seorang laki-laki berpakaian putih tak dikenal. Mungkin ini adalah kawan dara berbaju merah yang telah menggantungi anggotaanggota rampok di sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada Bayunata. Kening laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya tertera angka 212. Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212 Wiro Sableng, kata Mawar dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari kakaknya bahwa sewaktu menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus, kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar. Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata: "Kau kenal aku, dara buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa lebar-lebar.
"Bayu, biar aku yang beri pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju merah ini.
Aku sendiri akan main-main sejurus dua dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam sarung dan dipegangnya di tangan kiri.
"Sebelum nyawamu minggat ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu, Bayunata keparat!" kata Mawar Merah. Dan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikannya di belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala melesat ke arah pemimpin rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak. Benda itu jatuh dibelakangnya dan terkejutlah Bayunata, demikian juga Sawer Tunjung. Benda yang dilemparkan Mawar Merah ternyata adalah kepala Singgil Murka!
"Betina keparat haram jadah!" bentak Bayunata marah sengaja mencabut golok besarnya yang hampir 20 kati beratnya itu, "lekas serahkan diri atau kucincang detik ini juga seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah Merah menyeringai.
"Justru hari ini aku harus serahkan jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak dan seluruh penduduk kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab delapan tahun yang lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan pertama.
Melihat ini nafsu untuk memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata menjadi lenyap, berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya ditebaskan ke depan untuk menangkis senjata lawan. Namun dibikin terkejut karena sesaat senjata mereka saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis menyusup turun dan dalam gerakan yang aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata mulai keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis aneh dan tidak dimengertinya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh pemimpin rampok ini senantiasa menghantam tempat kosong. Sebaliknya dengan matimatian dia harus mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang laksana curahan hujan.
"Setan, ilmu silat apakah yang dimainkan betina jalang ini?!" gertak Bayunata dalam hati. Cepat dirobahnya permainan goloknya. Jurus-jurus terhebat yang selama ini disimpannya sebagai andalan saat itu segera dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru menebar serangan ganas luar biasa. Lima jurus lamanya Mawar Merah harus bertindak hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat liku-liku kelemahan ilmu golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan semuda ini memiliki ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?!
Tiba-tiba Bayunata berseru keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali. Serentak dengan itu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin yang luar biasa panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan pedangnya ke depan. Dengan serta merta serangan golok serta pukulan sakti yang dilepaskan Bayunata musnah.
"Kalau begini naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar Merah.
"Kau tak usah kawatir, Mawar." sahut Ranata. Di antara tiga pimpinan rampok hutan Bludak, Sawer Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah bertempur tiga jurus, Ranata berhasil merampas pedang laki-laki itu dan menotok urat besar di pangkal lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar Merah semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan gerakannyalah yang masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai jurus ke empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan terlepas mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang keras!
Bayunata melompat mundur. Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di keningnya. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar Merah.
"Gadis, ampunilah selembar jiwaku yang tak berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta kekayaan yang aku miliki kupasrahkan padamu! Ampuni jiwaku … !"
"Kau minta ampunan, Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di neraka!"
Pedang merah di tangan Mawar Merah memapas turun.
"Cras!!"
Bayunata menjerit. Tangan kanannya putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini karena dilanda sakit yang amat sangat menjadi kalap. Dia melompat ke muka mengambil patahan goloknya lalu menyerang Mawar Merah dengan membabi buta. Pedang di tangan si gadis menderu lagi. Kini bahu kiri Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua kalinya pemimpin rampok itu menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku, ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang merah itu diayunkan lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan Bayunata. Tubuhnya yang terkutung-kutung itu berkolojotan kian kemari. Darah membanjir. Terakhir sekali Mawar Merah membacokkan senjatanya ke kening Bayunata hingga kepala manusia bejat ini hampir terbelah dua!
Sawer Tunjung tak berani menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri untuk disaksikan.
"Lepaskan totokannya kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu totokannya dilepaskan begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta diampuni jiwanya. Ampunan yang didapatnya tidak berbeda dengan nasib yang dialami Bayunata. Tubuhnya menemui kematian dalam keadaan terkutung-kutung!
Tiba-tiba Mawar Merah membuang pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak … Hari ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga kalian bisa tenteram di alam baka … !"
"Sudahlah Mawar," kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus kembali."
Perlahan-lahan Mawar Merah berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya. Keduanya bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari depan berkelebatan seorang berpakaian putih. Rambut dan wajahnya tertutup kerudung hitam. Hanya sepasang matanya yang kelihatan, memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat! Kalian berdua harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang telah dibunuh! Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sret!"
Mawar Merah mencabut pedangnya.
"Jika begitu kau harus mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus pedangnya.
"Aku tahu kaulah yang membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku mempunyai pantangan untuk bertempur dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu pada kau punya kawan!”
"Persetan dengan pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis itu.
"Kali ini biar aku yang turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk selama-lamanya jika tak berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian macam mana kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya manusia bercadar hitam.
Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju duluan!" tantang si cadar hitam.
Ranata membuka serangan. Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari ilmu silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada lawan, si cadar hitam berkelebat, membuat gerakan yang sama dengan gerakan Ranata dan tahu-tahu tinju kanannya hampir saja mendarat di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah jadi kaget. Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis gerakan ilmu silat yang diajarkan kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran Ranata membuka jurus kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan memapaskan tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat kuda-kuda aneh. Ranata terkejut lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan ilmu silat yang dimilikinya. Dia tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri. Dan justru saat itu si cadar hitam membuat gerakan aneh lagi, cepat dan tak terduga.
"Bukk!"
Ranata terhuyung-huyung. Bahu kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit sama sekali. Ini membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa dia cuma melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa gelak-gelak.
Sementara itu Mawar Merah menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya. Cepat dia maju hendak menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan tangan menarik cadar yang menutupi wajahnya,
"Wiro!" seru Ranata dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak tertutup itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini Wiro?" tanya Ranata.
"Eh sobat lamaku! Kau ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam tiga jurus? Sehari suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan aku berhasil! Apa yang kulakukan barusan hanyalah sekedar membalas penghormatanmu itu, sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu berkelebat lenyap meninggalkan kedua orang tersebut. Ranata geleng-gelengkan kepala, berpaling pada Mawar Merah. Lalu keduanyapun meninggalkan tempat itu. Kelak bersama Ratih dan anak serta ayahnya, Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana dia dan ayahnya dulu berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
***
TAMAT
Episode Selanjutnya:
Hancurnya Istana Darah
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 13"
Posting Komentar