WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas
DUA BELAS
SEWINDU telah berlalu. Banyak hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat silih berganti dalam dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi hari yang cerah, di depan sebuah gubuk reyot di hutan belantara yang jarang di datangi manusia kelihatanlah seorang kakek-kakek berambut putih tengah menempur seorang gadis jelita berbaju merah. Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan kanannya berkelebat kian ke mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke jalan darah di tubuh lawannya. Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula gerakannya. Tubuhnya laksana bayangbayang. Dia juga memegang sebuah ranting kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis serangan si kakek bahkan kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih ilmu silat. Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa serta Mawar. Di dekat pintu gubuk berdiri Ratih mendukung seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Di sampingnya tegak Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang silam. Dan sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih dengan kerelaan dan kasih sayang yang dimilikinya telah bersedia diambil istri oleh pemuda tersebut. Dua tahun berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mungil dan lucu.
Betapapun Citrakarsa mengeluarkan segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya untuk dapat mengalahkan Mawar. Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting kayu di tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung ranting kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan main. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama untuk menggembleng Mawar menjadi seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan kalau dibandingkan dengan Ranata, ilmu yang dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah! Sudah … sudah!" Citrakarsa berseru seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran. "Hatiku puas, puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di bawahmu, guru. Aku harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa tertawa. "Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Cobalah kau hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal dikalahkannya di bawah sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya ranting kayu yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia menghadapi adik iparnya. Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah baku hantam tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul pundak Ranata.
"Aku kalah!" seru Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak sengaja mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat kehebatanmu, aku tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas terhadap manusia-manusia jahat yang telah membunuh orang tua dan kakakmu," berkata Citrakarsa. "Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri dari tiga manusia biadab yang memimpin gerombolan bejat di hutan Bludak. Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung. Ketiganya bertanggung jawab atas kematian ayah bundamu. Bertanggung jawab atas semua nyawa penduduk kampung kelahiranmu. Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta semua yang ada di sini, dalam pada itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang telah menemui kematian di tangan tiga bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan agar kau dapat membalaskan segala sakit hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau akan berhasil melaksanakannya. Kau boleh pergi setiap saat bersama doa restuku!"
"Jika diizinkan, murid ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata, "Kau pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak boieh pergi seorang diri?"
"Bukan tidak boleh, Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti dunia kita di dalam hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam bahaya, penuh dengan seribu satu macam tipu daya serta seribu satu macam manusia berhati culas. Dengan pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis tentu banyak manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu di tengah jalan hingga kau akan mendapat banyak kesukaran sebelum berhasil melaksanakan pembalasan terhadap musuh besarmu. Karena itu pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk bersalin pakaian.
***
Hutan Bludak. Disarangnya Bayunata saat itu tengah diadakan pesta besar. Mereka baru saja berhasil menyikat serombongan pedagang yang tengah menuju Kotaraja. Delapan orang pedagang berikut selusin pengawal dibunuh, seluruh barang dagangan dirampok. Singkat cerita, dalam suasana pesta pora itulah Mawar dan Ranata sampai di hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar mengangguk. Keduanya mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian di salah satu pondok rampok yang terletak agak terpisah dari lain-lainnya kelihatanlah api berkobar-kobar. Tiga orang anak buah Bayunata yang ada di situ dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak. Tiga orang perempuan dalam keadaan setengah telanjang ikut berlarian menyelamatkan diri. Beberapa kawan merekan segera datang memberi pertolongan. Untuk memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada itu sebuah pondok lagi di ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-rampok yang ada di dalamnya yang tengah pesta minuman dan pesta perempuan berlarian keluar. Pondok ketiga, keempat dan kelima kemudian menyusul di kobari api. Suasana di sarang gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini, lebih sewaktu api mulai pula menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung dari tali yang menghubungkan satu pondok dengan pondok lainnya.
Dari dalam sebuah pondok Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan celana dalam. Di tangan kanannya ada sebuah buli-buli anggur sedang tangan kirinya menggelung pinggang seorang perempuan muda yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Matanya sembab karena menangis. Perempuan ini diculik oleh gerombolan Bayunata tiga hari yang lewat di sebuah desa.
"Lima pondok di makan api dalam waktu yang hampir bersamaan … " desis Bayunata. "Pasti ini disengaja. Pasti ada yang berbuat …!" Pemimpin rampok hutan Bludak ini mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat kemudian muncullah Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang inipun hanya mengenakan celana dalam karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke dalam pondok dan merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan di sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu buli-buli itu diletakkannya di lantai.
"Persetan dengan keributan di luar sana. Persetan … !" kata pemimpin rampok ini. Tangan kanannya bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya. Ciumannya bertubitubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian tenggelam dalam gelimang kekotoran.
Beberapa buah pondok lagi sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak yang turun ke tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk menyelamatkan diri. Namun tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita berpakaian merah menyambut ke datangan mereka dan "menghadiahkan" hadiahkan" tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut.
Hampir selusin anak buah Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur kepalanya, ringsek dadanya atau bobol perutnya.
Seorang anggota rampok lagi kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat. Sesampainya di bawah dia terkejut melihat apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Dan lebih terkejut lagi sewaktu mengetahui bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu adalah seorang gadis cantik berpakaian merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang datang menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan kau akan selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar mendengus.
"Kau inginkan diriku? Ini terima dulu hadiahku!" kertak si gadis. Secepat kilat tinjunya di hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini rupanya memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya sebelumnya. Dia sempat mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah berada di tangan!
"Aku akan tebas batang lehermu kalau tidak mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau tidak kau akan menyesal sampai di liang kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus dan sekali lagi pula dia menerjang. Golok di tangan lawan berkelebat. Terdengar satu keluhan. Golok itu terlepas dari tangan anak buah Bayunata, dirampas oleh Mawar dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu tabasan telah memutus batang lehernya!
"Bangsat betina kurang ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar berpaling. Lima orang anggota rampok ternyata telah mengurungnya. Seorang di antara mereka mendahului kawan-kawannya melancarkan satu serangan golok. Mawar miringkan tubuh. Begitu senjata lawan lewat di sampingnya, kaki kanannya menderu dan si penyerang mencelat sejauh dua tombak, jatuh tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol dihantam tendangan!
Empat kawan mereka melengak kaget. Tanpa banyak cerita lagi mereka segera menyerbu. Satu demi satu mereka dibikin melosoh oleh Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak dibunuh, hanya dilukai salah satu bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana! Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar Merah datang untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di sini!"
Dengan ketakutan rampok itu menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan. Di salah satu cabang jembatan dia berpapasan dengan Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Segera dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang ajar! Siapa gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia berpaling pada Sawer Tunjung dan berkata: "Lekas beri tahu Bayunata. Aku akan menghajar iblis betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan laporan segera menuju ke tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu dia manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon.
Singgil Murka beliakkan matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya "iblis betina" itu nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan cengar-cengir Singgil Murka melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di hadapan Mawar Merah dan geleng-gelengkan kepala.
"Apakah kau bangsatnya yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya menyorot meneliti laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya itu.
"Ha … ha! Aku adalah Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi pimpinan rampok-rampok hutan Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada apakah kau mencari Bayunata? Dan kenapa pula kau menabur maut begini rupa?!"
"Hem … jadi kau bergundalnya yang bernama Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang lalu kau pernah memusnahkan kampung Waru, membunuh semua orang yang ada di sana, termasuk ayah dan kakak laki-lakiku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban kalian! Hari ini aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa gelak-gelak.
"Gadis, kau yang begini cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku tidak ingat lagi peristiwa delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali Bayunata melihatmu pasti kau akan celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku akan sembunyikan kau disatu tempat yang aman, mengambil seluruh harta kekayaan yang aku miliki lalu meninggalkan hutan Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak dengan kehidupan begini macam!" Mawar Merah sunggingkan seringai tajam.
"Maksudmu memang cukup bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini, melainkan neraka!"
Habis berkata begitu Mawar Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap kemudian bertaburlah selarik sinar merah!
Singgil Murka kaget bukan main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka bertempur hanya setengah hati, tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang lawan, manusia ini tak mau main-main lagi. Dia merangsak ke depan berusaha memukul lepas pedang si gadis!
Tapi sebaliknya si gadis berkelit gesit dan melancarkan serangan-serangan yang amat aneh hingga dalam jurus kedua Singgil Murka terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga terdengar seruan lakilaki ini sewaktu golok di tangan kanannya dihantam pedang lawan hingga mental!"
"Celaka!" keluh Singgil Murka. Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa pikir panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu. Namun dia cuma sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena laksana terbang, Mawar Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang merahnya berkelebat, dan "cras"! Mengge!indinglah kepala Singgil Murka! Satu dari tiga musuh besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua lainnya?!
Mawar Merah memandang berkeliling. Setitik air mata mengambang di sudut-sudut matanya yang bening. Dia tak melihat anggota rampok yang tadi datang bersama Singgil Murka, mungkin sudah kabur. Tiba-tiba pada salah satu jalur jembqtan tali dilihatnya dua orang laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan celana dalam berlari cepat kejurusannya.
***
Next ...
Bab 13
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 12"
Posting Komentar