Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 15

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa


LIMA BELAS
MENJELANG Dinihari hujan rintik-rintik turun membasahi Denpasar. Dinginnya udara bukan alang kepalang membuat setiap orang yang seharusnya sudah bangun saat itu, menyelimuti tubuhnya kembali dan meneruskan tidur. Beberapa saat kemudian fajarpun menyingsing. Bersamaan dengan munculnya sang surya di sebelah timur hujan rintik-rintikpun berhenti. Udara kini kelihatan cerah terang benderang. Suasana dingin diganti dengan kehangatan sinar sang surya yang segar. Di jalanjalan dalam kota Denpasar mulai kelihatan kesibukan orang-orang dan kendaraan-kendaraan yang lalu lintas.
Di bagian barat kota dua orang pemuda dan seorang gadis kelihatan melangkah cepat menuju ke pusat Denpasar yang ramai. Gadis berpakaian hitam bukan lain adalah Luh Bayan Sarti. Pemuda yang berpakaian putih ialah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kecantikan paras Luh Bayan Sarti, kecakapan wajah Nyoman Dwipa serta kegondrongan rambut yang menjela bahu dari Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi perhatian setiap orang yang memapasi mereka. Kebanyakan orang segera memaklumi bahwa ketiga orang muda itu adalah orang-orang dari dunia persilatan. Menyaksikan orang-orang persilatan di dalam kota Denpasar bukan soal baru lagi karena memang banyak dari mereka yang memasuki kota untuk mengurus keperluan. Bahkan di Denpasar sendiri terdapat beberapa perguruan silat sedang di luar kota terletak sebuah gedung besar tempat berkumpul tokohtokoh silat yang terkenal di kota itu dan dari lain-lain kota di Pulau Bali.
Nyoman Dwipa telah mendapatkan keterangan dimana letak rumah kediaman musuh besarnya yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Kesanalah ketiga orang menuju dipagi hari itu. Pintu halaman yang merupakan sebuah pintu gerbang besar dari gedung kediaman Tjokorda Gde Djantra masih dikunci.
"Kita dobrak saja!" kata Nyoman Dwipa seraya siap hendak menendang pintu gerbang besar itu dengan kaki kanannya.
"Jangan!" kata Wiro cepat. "Itu akan menarik perhatian orang. Jangan lupa bahwa di Denpasar ini terdapat juga tokohtokoh silat klas satu …"
"Siapa takutkan mereka?!" sahut Nyoman beringas karena dia sudah tak sabaran untuk segera melampiaskan dendam kesumatnya.
"Bukan itu soalnya, Nyoman. Jika tokoh-tokoh itu ikut campur sebelum kau berhasil membalaskan sakit hatimu, berarti cukup besar juga halangan bagimu. Sebaiknya selagi tak ada orang sekitar sini kita melompat saja. Tembok itu tak seberapa tinggi."
Nyoman menyetujui pendapat Wiro. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh masing-masing ketiga orang itupun melompati tembok dan sampai di halaman dalam tanpa kaki-kaki mereka menimbulkan suara sedikitpun sewaktu menyentuh tanah.
Gedung besar tempat kediaman Tjokorda Gde Djantra berada dalam keadaan sunyi senyap. Mungkin penghuninya masih tidur. Namun saat itu pintu samping tiba-tiba terbuka dan seorang laki-laki separuh baya berpakaian bagus muncul membawa dua ekor ayam jago yang dikempit di ketiak kiri kanan. Orang ini menghentikan langkah dan memandang heran campur kaget pada Nyoman Dwipa dan dua orang lainnya. Dia mengerling sekilas pada pintu gerbang dan jelas dilihatnya pintu itu masih dipalang dari dalam. Tak dapat tidak ketiga manusia tak di kenal itu pasti memasuki halaman gedung dengan jalan melompat.
"Orang-orang muda, kalian siapa?!" orang ini bertanya.
"Katakan dulu dengan siapa kami berhadapan!" jawab Nyoman Dwipa.
"Aku Tjokorda Gde Anjer, pemilik gedung ini."
Rahang Nyoman Dwipa terkatup rapat-rapat lalu mulutnya terbuka. "Jadi kau bangsawan yang bernama Tjokorda Gde Anjer itu …?" ucapan ini disertai dengan suara mendengus.
"Harap kalian menerangkan siapa kalian adanya dan punya maksud apa memasuki rumah orang pagi-pagi begini secara tidak terhormat?!"
Nyoman Dwipa menyeringai. "Rupanya kau masih memandang tinggi nilai-nilai kehormatan, Gde Anjer!" ParasTjokorda Gde Anjer berubah.
"Apa maksudmu, orang muda?" dia bertanya.
"Masih ingat pembunuhan yang kau lakukan atas diri I Krambangan dan beberapa orang kawan-kawannya sekitar lima bulan yang lewat?!"
Tjokorda Gde Anjer terkejut. Betul-betul terkejut dia kini karena pertanyaan itu sama sekali tak diduganya. Sesudah peristiwa itu terjadi sebenarnya bangsawan ini merasa menyesal sekali. Dan hari ini muncul seorang pemuda dengan dua orang kawannya mengungkap kembali persoalan yang sebenarnya sudah dilupakannya, sekurang-kurangnya diusahakannya untuk melupakan!
"Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu orang muda?" tanya bangsawan tersebut. Matanya mengawasi ketiga orang itu terutama Nyoman Dwipa. "Apakah kau anaknya I Krambangan yang datang untuk menuntut balas?!"
"Jadi kau siapa?!"
"Pembalasan juga bisa dilakukan oleh apa yang dinamakan kebenaran! Kau dengar Tjokorda Gde Anjer?! Hari ini kebenaran datang untuk minta tanggung jawab atas nyawa-nyawa manusia yang pernah kau bunuh lima bulan yang lalu itu!"
"Kalau kau tak ada sangkut pautnya, dengan peristiwa itu mengapa kini kau muncul untuk minta pertanggungan jawab segala?!" ujar Tjokorda Gde Anjer.
"Setiap kebenaran selalu mempunyai sangkut paut dengan kejahatan!" jawab Nyoman Dwipa seraya melontarkan senyum mengejek.
Tjokorda Gde Anjer tertawa. Tapi tertawa pahit. Setelah menarik nafas panjang diapun berkata: "Sebenarnya aku menyesal terjadinya hal itu. Tapi keadaan memaksaku untuk berbuat begitu …"
"Penyesalan selalu datang terlambat, Tjokorda Gde Anjer. Kalau tidak terlambat namanya bukan penyesalan!" kata Nyoman Dwipa pula.
Ucapan-ucapan yang dilontarkan Nyoman Dwipa sejak tadi tak ubahnya seperti pukulan-pukulan berat yang menghunjam bathin bangsawan itu.
"Sekarang apa maumu orang muda?!"
"Apakah kau sebagai seorang laki-laki masih mempunyai hati jantan untuk bertempur sampai beberapa puluh jurus guna mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari?!" Tjokorda Gde Anjer tertawa getir.
Sebagai jawaban bangsawan itu melepaskan dua ekor ayam jantan yang sejak tadi dikempitnya. "Sebelum kita bertempur katakan dulu siapa kau adanya!"
"Namaku Nyoman Dwipa. I Krambangan adalah calon mertuaku . . . "
"Cuma baru calon?" ejek Tjokorda Gde Anjer yang membuat wajah Nyoman Dwipa menjadi merah.
"Kedatanganku ke sini juga untuk mencari anakmu yang bernama Tjokorda Gde Djantra. Karena dialah kekasihku menemui kematian setelah sebelumnya dirusak kehormatannya! Di mana anakmu itu sekarang?!"
Tjokorda Gde Anjer memutar otaknya dengan cepat lalu menjawab. "Anakku berada di Gedung Putih. Jika kau punya nyali silahkan datang kesitu. Tapi itupun jika seandainya kau masih punya nyawa setelah bertempur denganku!"
Nyoman Dwipa tertawa menggeram lalu mencabut tongkat bambu kuningnya. Tjokorda Gde Anjer sendiri segera pula mencabut senjatanya yaitu sebilah keris kuning ber-eluk duabelas.
"Apakah kau akan maju bertiga?!" tanya bangsawan itu.
"Aku tidak sepengecut yang kau kirakan, Gde Anjer. Dulu kudengar kau menghadapi I Krambangan bersama seorang kaki tanganmu. Kalau dia ada di sini cepat panggil biar dapat kubereskan sekaligus!"
"Jangan terlalu congkak orang muda! Aku sendiripun mungkin cuma sepuluh jurus bisa kau hadapi! Mulailah!"
"Kau yang hendak mampus silahkan mulai lebih dulu!" kata Nyoman Dwipa penuh penasaran karena ucapan ayah musuh besamya itu.
Senyum mengejek lenyap dari bibir Tjokorda Gde Anjer pada saat laki-laki ini menerjang kemuka. Keris di tangan kanan berkelebat dan menderu ke arah dada Nyoman Dwipa lalu membabat ketenggorokan dengan teramat cepatnya hingga hanya sinar senjata itu saja yang kelihatan! Sungguh hebat serangan yang dikeluarkan Tjokorda Gde Anjer ini. Itu adalah jurus serangan yang bernama "menusuk bukit membabat puncak gunung". Dengan mengeluarkan jurus itu dia berharap akan membuat si pemuda kepepet demikian rupa hingga dia bisa menyusul dengan serangan kedua yang mematikan!
Nyoman Dwipa meskipun muda belia dan belum punya pengalaman apa-apa dalam dunia persilatan tapi dia adalah murid gemblengan Menak Putuwengi.
Serangan dahsyat Tjokorda Gde Anjer tidak membuatnya jadi gugup apalagi kepepet! Dengan membuat langkah mengelak ke samping dia berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong.
Dan di saat itu pula dengan kecepatan yang luar biasa pemuda ini balas menyerang. Tongkat bambu kuningnya bersiuran dafr tahu-tahu ujungnya menusuk ke perut lawan.
Tjokorda Gde Anjer terkejut bukan main hingga dia terpaksa membatalkan serangan susulannya yang sudah direncanakan tadi dan meloncat mundur ke belakang seraya menyapukan kerisnya ke muka dengan sebat sengaja memapas jalannya senjata lawan dengan maksud memotongnya jadi dua!
Nyoman Dwipa tidak ragu-ragu untuk meneruskan tusukannya ke perut lawan hingga sesaat kemudian bambu dan keris itupun saling bentrokanlah!
Tangan kanan Tjokorda Gde Anjer tergetar hebat. Bukan saja kerisnya tak sanggup membabat buntung bambu kuning itu tapi senjatanya sendiri hampir terlepas mental karena licinnya bambu dan kerasnya bentrokan! Diam-diam Tjokorda Gde Anjer memercikkan keringat dingin di tengkuknya. Tiada diduganya anak muda yang menjadi lawannya memiliki tenaga dalam yang ampuh dan tidak dinyananya senjata lawan yang cuma sebilah bambu kuning itu nyatanya sebuah senjata yang tak bisa dibuat main!
Menyadari semua itu Tjokorda Gde Anjer tanpa menunggu lebih lama segera mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang terhebat. Kerisnya mencuit-cuit di udara, tubuhnya lenyap merupakan bayang-bayang. Di lain pihak dengan mengertakkan geraham Nyoman Dwipa mempercepat pula gerakannya. Dalam tempo yang singkat belasan jurus telah berlalu. Sinar bamboo kuning menderu-deru. Detik demi detik sinar itu semakin rapat mengurung tubuh Tjokorda Gde Anjer.
Pada jurus keduapuluh lima Nyoman Dwipa benar-benar sudah berada di atas angin dan merasa tak ada gunanya lagi dia bertempur lebih lama dengan lawannya itu. Diiringi oleh satu hentakan yang menggeledek dan menyirapkan darah Tjokorda Gde Anjer, bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa membuat gerakan setengah lingkaran lalu laksana kilat menusuk ke perut Tjokorda Gde Anjer!
Tjokorda Gde Anjer terpekik! Tubuhnya terhuyung ke belakang. Kerisnya lepas sedang kedua tangannya memegangi perutnya yang robek besar dan memancurkan darah. Sekali lagi bangsawan ini menjerit lalu tubuhnya tergelimpang roboh di tanah, ususnya menggelegak membusai keluar!
Di saat itu pula diambang pintu muncul sesosok tubuh. Orang ini adalah istri Tjokorda Gde Anjer. Perempuan ini menjerit lalu lari menubruk tubuh suaminya yang saat itu megap-megap menuju sakarat! Pemandangan itu benar-benar menyayat hati. Namun semua itu terpaksa dan harus terjadi karena jalinan hiduplah yang menghendakinya!
***

Next ...
Bab 16

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 15"

Posting Komentar