Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 12

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 006
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
DUA BELAS
Si pemuda memandang berkeliling ruangan dengan kerenyitkan kulit kening.
“Apa-apaan ini?!” tanyanya membentak.
“Jika kau tidak mengaku bahwa kau adalah Pendekar Pemetik Bunga sendiri, jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sini!” hardik Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Eeeeee… kenapa memaksa aku yang bukan-bukan?!”
“Jangan banyak bacot! Mengaku atau mampus?!” Yang membentak kali ini adalah Biarawati Lima.
Si pemuda geleng-geleng kepala. “Tidak sangka biarawati-biarawati yang berhati suci jujur bisa bicara membentak dan galak, serta agak kotor!”
Biarawati Lima melompat ke muka. Pedangnya diacungkan tepat-tepat ke arah hidung si pemuda. Dia berpaling pada Supit Jagat. “Ketua, tunggu apa lagi?!”
“Pemuda, kau sungguh tidak mau mengaku diri?!” bertanya Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kalau aku tidak mengaku, aku mau dibikin mampus! Kalau aku mengaku bahwa aku Pendekar Pemetik Bunga, seribu kali lebih mampus! Kuharap kalian semua suka berpikir pakai otak dan jangan galak-galakan! Tak ada perlunya! Kalau aku Pendekar Pemetik Bunga sudah sejak tadi terjadi kemesuman di ruangan ini!”
Ketua Biara Pensuci Jagat menimbang ucapan si pemuda. Memang betul juga, kalau pemuda ini adalah Pendekar Pemetik Bunga tentu sudah sejak tadi terjadi hal-hal yang mengerikan!
“Sekarang, apakah kalian mau memberi jalan padaku untuk keluar dari sini?!” terdengar si pemuda bertanya.
“Sebelum kau terangkan siapa kau punya nama, berasal dari mana dan juga terangkan gelarmu, baru kami akan izinkan kau berlalu dari sini!” kata Supit Jagat pula.
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba meledaklah tertawanya! Lantai, dinding, langit-langit dan tiang ruangan bergetar oleh kumandang tertawanya yang panjang ini. Setiap hati manusia yang ada di situ, termasuk Ketua Biara Pensuci Jagat sendiri ikut tergetar oleh kehebatan suara tertawa si pemuda!
“Kenapa kau tertawa?!” bentak Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Siapa yang tidak bakal geli dan ketawa!” menyahut si pemuda.
“Mula-mula kalian tanya siapa aku? Siapa namaku. Siapa gelarku dan sekarang tanya aku berasal dari mana atau tinggal di mana?! Persis pertanyaan-pertanyaan begitu macam muda mudi yang sedang pacar-pacaran!”
Merahlah paras Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Tak dapat dihindarkan lagi bahwa lantai ruangan ini akan basah oleh darahmu, pemuda bermulut kurang ajar!” teriak sang Ketua. Dia gerakan tangan memberi isyarat. Dan selangkah demi selangkah, seratus biarawati dari angkatan tua dan muda, dengan pedang ditangan masing-masing, maju mendekati si pemuda!
Gilanya pemuda itu masih juga berdiri tertawa-tawa di tengah ruangan, memandang berkeliling dan garuk-garuk rambutnya yang gondrong!
Tiba-tiba seratus pekikkan laksana guntur yang hendak meruntuhkan gedung biara itu berkumandang! Seratus pedang berkiblat!
“Buset!” Si pemuda membentak tak kalah nyaring. Diiringi dengan suitan yang memekakkan telinga dia melompat tinggi-tinggi ke atas, kepalanya hampir menyundul langit-langit. Dalam tubuh mengapung begitu rupa pemuda ini berseru, “Ketua, harap kau sudi hentikan serangan ini dulu!”
“Serang terus!” sebaliknya Ketua Biara Pensuci Jagat berteriak.
“Aku tak mau kesalahan tangan dan cari permusuhan dengan kalian! Kita adalah sama-sama satu golongan!”
“Jangan ngaco!” tukas Biarawati Lima.
“Ketua Biara, aku betul-betul tidak mau bikin cilaka orang-orangmu!” berseru lagi si pemuda.
Tapi sang Ketua Biara tak mau ambil perduli malah membentak lebih keras agar orang-orangnya menggempur pemuda itu. Puluhan biarawati melesat ke atas, puluhan pedang berkelebat!
Pemuda itu menggerendeng dalam hatinya. Kedua telapak tangannya dikembangkan dengan cepat kemudian dipukulkan ke bawah!
Maka angin dahsyat laksana topan menderu ke bawah memapasi serangan-serangan lawan. Betapapun puluhan biarawati-biarawati itu bersikeras menyerbu ke atas dan kerahkan tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh mereka namun tiada berhasil. Mereka laksana tertahan oleh satu dinding baja yang tak kelihatan. setiap mereka melesat ke atas, tubuh mereka kembali mental ke bawah berpelantingan, banyak yang mendeprok jatuh duduk!
Heranlah sang Ketua Biara Pensuci Jagat menyaksikan hal ini. Ilmu apakah gerangan yang dimiliki pemuda itu, demikian dia membathin.
Melihat betapa orang-orangnya mengalami kesia-siaan, tiada hasil melakukan serangan mereka maka Supit Jagat sendiri segera turun dari mimbar dan berseru, “Pemuda, turunlah! Hadapi aku!”
“Ah… Ketua Biara, sungguh satu kehormatan yang kau sendiri juga mau turun tangan pada budak hina ini,” dan sementara itu sepasang mata si pemuda melirik ke pintu di ujung kanan yang kini tiada terjaga lagi karena keseluruhan biara di ruangan itu ambil bagian menyerangnya.
“Tapi,” melanjutkan si pemuda sementara kedua telapak tangannya masih terus juga dipukulkan berkali-kali ke bawah memapasi serangan-serangan lawan, “harap maaf, saat ini aku tidak punya kesempatan untuk main-main dengan kau! Lagi pula aku anggap kita semua ini adalah orang satu golongan! Sampai jumpa Ketua Biara!”
Pemuda itu melompat ke samping lalu menukik ke arah pintu. Penasaran sekali Ketua Biara Pensuci Jagat lepaskan satu pukulan jarak jauh yang dahsyat!
“Braak!”
Sebagian tiang pintu yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan hancur lebur.
Tapi si pemuda sudah lenyap!
“Kejar!” teriak Supit Jagat. “Kita musti tangkap manusia itu hidup atau mati!”
Maka ruangan besar itupun kosong melomponglah kini. Semua biarawati termasuk Supit Jagat rnenghambur ke luar. Seluruh halaman diperiksa. Pintu gerbang dibuka dan belasan biarawati mengejar keluar dan belasan lainnya melompat ke atas atap, namun si pemuda lenyap tiada bekas!
Supit Jagat memerintahkan orang-orangnya untuk kembali masuk ke dalam Biara. Dan waktu mereka memasuki ruangan pertemuan tadi, semuanyapun terkejutlah!
Di lantai ruangan, dikursi-kursi dan di beberapa bagian dinding ruangan sebelah bawah bertebaran puluhan deretan angka 212.
“Dua satu. Dua!” desis Supit Jagat. Ketua Biara Pensuci Jagat ini memandang biarawati-biarawati angkatan tua. Ya, hanya mereka yang seumur dengan dialah yang mengerti apa arti angka 212 itu sedang biarawati-biarawati angkatan muda hanya melongo tak mengerti!
Ketua Biara Pensuci Jagat memberi isyarat pada kira-kira sepuluh orang biarawati angkatan tua agar mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
Ketua Biara ini duduk di kursi goyang yang dulu menjadi kursi kesayangan Ketua mereka yang telah meninggal dunia. “Sekarang kita sudah tahu siapa adanya pemuda itu,” berkata Supit Jagat. “Dia bukan lain dari Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid Eyang Sinto Gendeng dipuncak gunung Gede yang menurut guru kita tempo hari merupakan kawan baiknya!”
“Kalau begitu,” menyela Biarawati Lima yang bertubuh gemuk pendek dan yang tadi paling gemas terhadap pemuda itu, “keterangan yang diberikannya bukan omong kosong belaka!”
“Betul!” Supit Jagat anggukkan kepala.
“Kalau dia memang golongan kita sendiri, sama-sama golongan putih,” kata Biarawati Sembilan. “Kenapa tidak siang-siang dia terangkan diri…?!”
“Pemuda itu memang aneh,” menyahut Ketua Biara Pensuci Jagat.
“Kadang-kadang orang menganggapnya pemuda gila, edan kurang ingatan! Kalau kalian kenal pada gurunya, gurunya Eyang Sinto Gendeng itu lebih gila lagi! Gila dan edan, bicara seenaknya! Bahkan dalam bertempur menyabung nyawapun dia tertawa-tawa atau bersiul-siul seperti yang kalian lihat tadi! Sinto Gendeng ataupun muridnya yang tadi memang bukan orang-orang yang suka agul-agulkan nama atau obral gelar di mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya pemuda tadi tidak mau kasih keterangan siapa dia sebenarnya!”
Sunyi beberapa lamanya.
“Ketua, bagusnya kita segera bersiap-siap menjaga segala kemungkinan atas datangnya Pendekar Pemetik Bunga itu!”
“Ya. Biarawati Satu, kau atur semuanya. Perketat penjagaan! Tambah alat-alat rahasia di sekitar tembok dan pintu gerbang!”
“Perintah akan kami jalankan, Ketua,” sahut Biarawati Satu, lalu bersama kawan-kawannya yang lain segera meninggalkan tempat itu setelah terlebih dahulu menjura memberi hormat.
Sementara itu dua orang biarawati muda yang kelelahan mencari-cari Wiro Sableng di luar tembok halaman dan yang bekerja di bagian dapur biara segera langsung menuju ke bagian dapur itu. Sesudah minum melepaskan dahaga mereka bermaksud akan meneruskan pekerjaan mereka sehari-hari di dapur. Namun betapa terkejutnya kedua biarawati sewaktu masuk ke dalam dapur, mereka mendapatkan seorang pemuda yang bukan lain Wiro Sableng Pendekar Maut Naga Geni 212 tengah duduk di sebuah kursi dengan angkat kaki dan melahap nasi! Asyik makan dan menggeragoti paha ayam goreng sisa malam tadi!
Segera keduanya hendak berteriak. “Ssst…” .
Wiro Sableng letakkan jari telunjuknya di atas kedua bibirnya sedang mulutnya saat itu menggembung penuh nasi. Tapi mana dua biarawati tak mau berdiam diri. Keduanya sama hendak berteriak lagi dan menghambur dari dapur. Wiro tak dapat berbuat lain. Dia hantamkan dua jari tangan kanannya ke muka! Dengan serta merta tubuh kedua biarawati itu berhenti mematung, mulut mereka yang tadi hendak berteriak terbuka lebar-lebar tapi tak satu suarapun yang keluar!
Itulah ilmu totokan jarak jauh yang lihay sekali telah dilepaskan oleh murid Eyang Sinto Gendeng! Dan selanjutnya seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dirumahnya sendiri Wiro Sableng meneruskan melahap makanannya! Selesai makan dan meneguk air, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini segera tinggalkan dapur itu.
Sewaktu empat orang biarawati yang juga bekerja di dapur memasuki dapur, keempatnya terkejut mendapatkan dua kawan mereka berdiri tak bergerak sedang mulut menganga. Nyatalah mereka telah ditotok. Segera totokan itu dilepaskan.
“Siapa yang menotok kalian?!”
“Pemuda itu!”
“Maksudmu Wiro Sableng?! Pendekar 212?!”
“Ya!” sahut yang seorang.
Yang seorang lagi memberi keterangan, “Kami haus dan mau minum lalu melanjutkan tugas sehari-hari. Tahu-tahu pemuda itu sudah nongkrong di kursi sana, melahap nasi dan makan daging ayam!”
“Pantas dicari-cari di luar gedung tidak ada! tak tahunya nongkrong di dapur! Pemuda lapar!”
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ketua Biara Pensuci Jagat mula-mula dalam terkejutnya Supit Jagat setengah tak percaya.
Namun kemudian tiba-tiba meledaklah suara tertawanya. Biarawati-biarawati yang datang melapor itupun akhirnya ikut-ikutan pula tertawa!
***
Next ...
Bab 13

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


 

0 Response to "Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 12"

Posting Komentar