Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 3

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 006
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
TIGA
PENDEKAR Terkutuk Pemetik Bunga hentikan gerakan tangannya yang hendak menjamah tubuh Ning Leswani. Kepalanya di putar.
Sepasang matanya membentur sosok tubuh seorang laki-laki tua berbadan bungkuk, berambut dan berjanggut putih. Orang tua yang berselempang kain putih ini berdiri dengan sebatang tongkat bambu kuning di tangan kanan.

“Siapa kau?” bentak Pendekar Pemetik Bunga.
Yang ditanya menyeringai dan ketuk-ketukkan tongkat bambu kuningnya ke tanah. Ketukan ini membuat semua orang merasa bagaimana tanah yang mereka pijak menjadi bergetar. Bambu kuning di tangan si orang tua pastilah satu senjata yang sangat hebat. Dan orang-orang yang masih ada di situ, yang membenci terhadap Pendekar Pemetik Bunga merasa punya harapan kembali atas kemunculan si orang tua berselempangan kain putih ini.
“Lekas jawab!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. “Kalau tidak kau akan mati percuma!”
Si janggut putih ketuk-ketukkan lagi tongkat bambu kuningnya ke arah tanah. Matanya yang kecil memandang tajam pada si pemuda jubah hitam.
“Ratusan hari turun gunung, puluhan minggu mengarungi lembah dan bukit, berbulan-bulan menyeberangi sungai memasuki hutan belantara akhirnya kau kutemui juga. Heh… he… he… he… he …!”
“Kau masih belum mau beri tahu siapa namamu, orang tua? Jangan menyesal!”
“Namaku tidak penting, manusia bejat. Yang penting ialah apa kau masih ingat kebiadaban yang kau lakukan di desa Srintil beberapa bulan yang silam…?”
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga kerutkan kening. Sepasang alis matanya menaik.
“Sembilan laki-laki tak berdosa kau bunuh. Dua diantaranya adalah muridku. Empat orang perempuan di desa itu kau bawa kabur, kau perkosa lalu kau bunuh! Kau lupa itu semua…?!”
“Hem….” Pendekar Pemetik Bunga manggut-manggut beberapa kali. “Tidak, aku tidak lupa,” katanya dengan terus terang.
“Bagus sekali kalau kau tidak lupa!” ujar si orang tua. Dan bambu di tangan kanannya di ketuk-ketukkannya lagi. Tanah kembali bergetar. “Orang-orang desa telah datang kepadaku mengadukan kebiadabanmu itu….”
“Berapa uang suap yang diberikan orang-orang desa padamu untuk mencariku orang tua?!” ejek Pendekar Pemetik Bunga.
Wajah si orang tua kelihatan menjadi merah. Dia tertawa dingin.
“Sekalipun mereka tidak datang ke puncak gunung Bromo, memang sudah sejak lama aku berniat turun tangan membekuk batang lehermu…!”
Pendekar Pemetik Bunga tertawa gelak-gelak, “Oh jadi kau adalah Datuk Bambu Kuning dari gunung Bromo?!”
Si orang tua kini balas tertawa panjang-panjang sambil tangan kirinya mengusap-usap janggut putihnya yang panjang menjela sampai ke dada.
“Kalau sudah tahu siapa aku, mengapa tidak lekas-lekas bertobat dan bunuh diri? Atau masih perlu aku memecahkan kepalamu dengan bambu kuning ini?!”
“Kentut!” maki Pendekar Pemetik Bunga dengan muka membesi penuh marah.
“Kalau aku kentut, kau tahinya!” kata Datuk Bambu Kuning pula dan tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
Naiklah darah Pendekar Pemetik Bunga.
“Manusia tolol yang tidak tahu gunung Semeru berdiri di muka hidung, terima kematianmu dalam tiga jurus!” teriak Pendekar Pemetik
Bunga sambil menyerbu dengan sabuk mutiara milik korbannya tadi.
Datuk Bambu Kuning terkejut melihat sabuk itu. “Eh, itu adalah
senjata Kidal Boga, murid Rah Kuntarbelong. Dari mana kau dapat, manusia bejat?!”
“Tanya pada setan di neraka nanti!” sahut Pendekar Pemetik
Bunga seraya sabetkan sabuk mutiara ke arah lawan. Angin laksana gunung gelombang menerpa Datuk Bambu Kuning.
Datuk Bambu Kuning cepat menghindar. “Rupanya kau bukan saja manusia bejat tukang bunuh dan tukang perkosa tapi juga pencuri kesiangan huh!” Datuk Bambu Kuning kiblatkan tongkat bambu kuningnya. Serangkum angin yang bukan main dahsyatnya menyambar dan menahan serangan angin sabuk. Debu dan pasir beterbangan akibat angin kedua senjata sakti itu!
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga tak kurang kejutnya ketika merasakan serangan sabuknya menjadi tak berarti sewaktu tongkat bambu kuning di tangan lawan menyambuti gempurannya itu! Dengan serta merta pemuda ini percepat gerakannya. Dalam sekejap Datuk Bambu Kuning terbungkus oleh serangan sabuk mutiara.
Namun sekali si orang tua memekik keras dan sekali dia putar tongkat bambunya dalam jurus yang aneh maka keluarlah dia dari kurungan serangan senjata lawan! Kini gempuran tongkat bambu itulah yang membungkus tubuh Pendekar Pemetik Bunga!
Si pemuda tiada habisnya menggerutu dan memaki dalam hati sewaktu mendapatkan dirinya terdesak hebat oleh gempuran lawan.
Apalagi sewaktu jurus kedua berakhir dan sewaktu Datuk Bambu Kuning tertawa mengejek dan berkata. “Jurus ketiga ini adalah jurus kematianmu, manusia bejat! Bukan jurus kematianku!” Dan permainan tongkat bambu kuningnya semakin dipercepat dan semakin dahsyat. Sinar kuning bergulung-gulung menyelimuti tubuh si pemuda!
“Setan alas keparat!” maki Pendekar Pemetik Bunga. Dengan gerakan yang sulit sekali dia membungkuk. Sabuk mutiara diputar sebat melindungi tubuh sedang tangan kiri diulurkan untuk menjangkau tepi jubah hitamnya. Dengan dua senjata di tangan yaitu tepi jubah di tangan kiri dan sabuk mutiara di tangan kanan, Pendekar Pemetik Bunga berdiri kembali menghadapi lawannya. Sabuk mutiara mengeluarkan gelombang angin yang laksana gunung besarnya sedang tepi jubah hitam menghamburkan angin pengap yang sanggup menyesakkan jalan pernafasan yang menyendat tenggorokan serta liang hidung!
Dalam jurus ketiga itu kelihatanlah bagaimana gempuran Datuk Bambu Kuning menjadi lamban. Orang tua itu berteriak keras dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun sia-sia saja. Dirasakannya dadanya menjadi sesak, lobang-lobang hidungnya laksana tersumbat.
Sukar baginya untuk bernafas! Menanggapi hal ini si orang tua segera atur jalan darah dan tutup pemafasannya. Tubuhnya lenyap sewaktu dia mempercepat gerakannya!
Namun kedahsyatan angin pengap yang menderu dari tepi jubah memang tidak kepalang tanggung. Sebentar saja serangan-serangan bambu kuning lawan sudah dibendungnya. Gerakan Datuk Bambu Kuning kembali menjadi lamban sewaktu orang tua itu tidak bisa mempertahankan lagi menutup jalan nafasnya terus-terusan sedang sementara itu pertempuran sudah berjalan lima jurus!
Pendekar Pemetik Bunga kembali keluarkan suara tertawa sewaktu dia tahu bahwa dirinya telah berada di atas angin. “Ha…ha…! Kau disuruh turun gunung oleh penduduk desa hanya untuk mencari kematian saja Datuk Bambu Kuning!”
“Pendekar terkutuk jangan terlalu besar harapan!” kertak Datuk Bambu Kuning. Diam-diam tiga perempat dari tenaga dalamnya dikerahkan ke dada.
Tiba-tiba, “Bluuss!”
Selarik asap kuning menyembur dari mulut si orang tua! Pendekar Pemetik Bunga terkejut bukan main dan cepat tutup jalan nafasnya.
Keterkejutan dan saat menutup jalan nafas tadi membuat gerakannya mengendur. Sewaktu din menghindar ke samping sambil babatkan sabuk mutiaranya memapasi semburan asap kuning, bambu di tangan kanan lawan datang menderu!
Si pemuda kebutkan tepi jubahnya. Celaka! Asap kuning itu tak sanggup dibikin buyar oleh angin pengap tepi jubah hitamnya!
Pendekar Pemetik Bunga menjerit setinggi langit. Tubuhnya lenyap dan sesaat kemudian dia berhasil ke luar dari serangan lawan yang bukan kepalang dahsyatnya tadi. Sewaktu berdiri mengatur jalan darah dan nafasnya kembali, diam-diam pemuda ini keluarkan keringat dingin juga!
“Kau kira kau bisa lari dari sini, manusia bejat?!” hardik Datuk Bambu Kuning. Mulutnya membuka dan asap kuning menyembur lagi ke muka lawan. Pendekar Pemetik Bunga kembali tutup jalan nafasnya dan melompat ke samping. Serangan kebutan tepi jubah dan sambaran sabuk mutiara dilakukannya berbarengan sekaligus ke arah lawan. Si orang tua melompat tiga tombak ke atas dan sewaktu turun kembali menyemburkan asap kuning dari mulutnya! Pendekar Pemetik Bunga menjadi kewalahan kini. Kewalahan dan merutuk! Di samping itu tak habis heran kesaktian apakah yang dikandung oleh asap kuning yang keluar dari mulut lawannya sehingga angin pengap jubah hitam dan angin sabuk mutiara tiada sanggup membuyarkannya!
Tiba-tiba pemuda itu menggereng macam harimau. Tubuhnya melesat ke muka. Angin pengap menyerang ketenggorokan Datuk Bambu Kuning sedang sabuk mutiara menerpa dari atas ke bawah!
Si orang tua ganda tertawa menghadapi serangan ini Bambu kuningnya diputar-putar, tiba-tiba dikiblatkan demikian rupa
“Sreet!”
Sabuk mutiara di tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga kena disambar den terlepas mental dari tangan pemuda itu! Si pemuda sendiri dengan jungkir balik susah payah baru berhasil ke luar dari sambaran tongkat bambu serta semburan asap kuning yang dilepaskan lawan!
Matanya membeliak, mulutnya komat kamit. Mukanya mengelam sewaktu si orang tua melangkah perlahan mendekatinya dengan tertawa sedingin salju!
“Nyawa anjingmu hanya tinggal beberapa detik saja, pemuda terkutuk!” kata Datuk Bambu Kuning. “Sejak hari ini dunia persilatan akan bersih dari noda kekotoran manusia macam kau!”
“Aku masih belum menyerah keparat!” bentak Pendekar Pemetik Bunga. Mulutnya masih komat-kamit. Matanya dengan waspada memperhatikan setiap gerak yang dibuat Datuk Bambu Kuning.
“Aku memang tak suruh kau menyerah, “ sahut Datuk Bambu Kuning dengan tertawa sedingin tadi. “Aku cuma perlu nyawa anjingmu!”
“Soal nyawa soal mudah,” tukas Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga.
Diam-diam dia salurkan seluruh tenaga dalamnya ke ujung jari telunjuknya.
Sesaat kemudian ujung jari itu menjadi hitam legam dan mengeluarkan sinar menggidikkan. “Orang tua edan, kau lihat jari ini?! “
Datuk Bambu Kuning memandang dengan kerenyit kulit kening pada jari telunjuk tangan kanan Pendekar Pemetik Bunga. Darahnya tersirap, mukanya berubah.
Pendekar Pemetik Bunga tertawa mengekeh. “Kenapa mukamu menjadi pucat, kunyuk tua?!”
Datuk Bambu Kuning tidak menyahut. Mukanya bertambah pucat dan matanya melotot memandang tajam-tajam pada jari telunjuk si pemuda.
Ketika jari telunjuk itu dan ibu jari si pemuda membuat lingkaran. Datuk Bambu Kuning berseru kaget. “Ilmu Jari Penghancur Sukma!” Dengan serta merta Datuk Bambu Kuning bagi dua aliran tenaga dalamnya. Sebagian ke ujung tongkat bambu den sebagian lagi ke dada!
“Makan jariku ini, Datuk keparat!” seru Pendekar Pemetik Bunga.
Dikejap itu juga dia menjentikkan jari telunjuknya. Satu gelombang angin hitam menderu laksana topan prahara, menyereng ke arah Datuk Bambu Kuning. Di saat yang sama Datuk Bambu Kuning sapukan tongkat di tangan kanan dan semburkan asap kuning!
Datuk Bambu Kuning berteriak kaget ketika melihat angin pukulan bambu kuning dan sambaran asap kuningnya buyar berantakan dilanda angin hitam lawan. Dan angin hitam yang menggidikkan ini terus melesat ke arahnya. Datuk Bambu Kuning cepat menyingkir tapi kasip!
Orang tua itu mencelat beberapa tombak jauhnya ketika angina hitam menyambar tubuhnya. Dan terdengarlah jeritnya melengking langit!
Datuk Bambu Kuning terguling-guling di tanah. Sekujur tubuhnya hitam hangus! Nyawanya tidak ketolongan lagi, putus kejap itu juga!
Pendekar Pemetik Bunga mengatur jalan nafas dan aliran darahnya kembali. Sewaktu dia menggerakkan kakinya baru disadariya bahwa kedua kakinya itu telah tenggelam ke dalam tanah sedalam lima senti! Bila pemuda ini melangkah mendekati Ning Leswani, kembali terdengar makian gadis itu.
Makian yang kemudian disusul dengan jeritan. Tak ada satu orangpun yang berani menghalangi dan berbuat suatu apa ketika Ning Leswani dipanggul oleh Pendekar Pemetik Bunga dan dilarikan!
Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa masih diselimuti oleh kehebohan atas apa yang telah terjadi!
Ki Lurah Rantas Madan den Rana Wulung bersama kira-kira selusin penduduk, dengan membawa berbagai senjata dan menunggangi kuda coba mencari jejak Pendekar Pemetik Bunga. Namun ke mana manusia durjana itu hendak dicari?! Menjelang tengah hari, mereka sudah berbisik-bisik sesama mereka bahwa tak mungkin mereka akan menemui Ning Leswani. Kalaupun bertemu, tentu gadis itu sudah rusak kehormatannya!
Dan seandainya pula mereka berhasil menyergap Pendekar Pemetik Bunga, belum tentu mereka sebanyak itu bisa membekuk batang lehernya!
Rantas Madan tahu suasana yang dirasakan anggota-anggota rombongannya. Dia berunding dengan Rana Wulung dan akhirnya diambil keputusan untuk pulang saja.
Terik matahari membakar kulit di siang itu. Rana Wulung dengan muka pucat menunggangi kudanya di samping Rantas Madan. Hati pemuda ini hancur sudah! Dendam kesumatnya terhadap Pendekar Pemetik Bunga tak akan pupus selama hidupnya!
Ketika rombongan melalui lereng sebuah bukit dalam perjalanan pulang itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Rana Wulung. Dia berpaling pada Rantas Madan.
“Bapak, kau lihat burung-burung gagak yang beterbangan di puncak bukit itu.”
Ki Lurah Rantas Madan terkejut lalu memandang ke puncak bukit di atasnya. Beberapa burung gagak hitam dilihatnya terbang berputar-putar naik turun di atas puncak sana. Berdebar hati laki-laki ini. Lalu dihentikannya rombongan.
“Kita ke sana!” mengambil keputusan Rantas Madan. Masing-masing kemudian memacu kuda mereka ke puncak bukit. Rana Wulung di depan sekali. Di puncak bukit pemuda ini menghentikan kudanya dan meneliti ke mana turunnya burung-burung gagak tadi. Diikuti oleh anggota-anggota rombongan yang lain Rana Wulung bergerak ke arah serumpunan semak belukar lebat. Waktu dia mencapai semak itu, empat ekor burung gagak terbang ke udara.
Rana Wulung melompat dari kudanya dan lari ke balik semak belukar lebat.
“Tuhanku!” seru pemuda itu. Lututnya goyah. Matanya membeliak.
Tiba-tiba laksana orang kalap dia melompat ke muka sambil berseru nyaring . “Nining! Nining!”
Ning Leswani terhampar di atas rerumputan. Tak selembar benangpun yang menutupi auratnya. Tubuh yang telanjang ini sudah tiada nafas lagi dan sebagian sudah berlubang-lubang dipatuk gagak-gagak hitam pemakan bangkai! Tubuh yang malang itulah yang dipeluk Rana Wulung. Namun cuma sebentar saja. Sewaktu Rantas Madan dan rombongan lainnya sampai ke situ, Rana Wulung sudah jatuh pingsan!
Rantas Madan sendiri hampir-hampir tak kuat pula menyaksikan pemandangan itu! Hampir tak sanggup melihat anak kandung yang dikasihinya menemui kematian dalam cara yang mengenaskan begitu rupa. Mulutnya komat kamit. Tenggorokannya turun naik.
“Anakku….” desis laki-laki itu. Dia berlutut. Beberapa orang menarik Rana Wulung dari atas tubuh Ning Leswani. Rantas Madan cepat membuka bajunya dan menutupi aurat anaknya dengan baju itu. Air matanya berlinang. Dendam kesumat seperti mau memecahkan dadanya saat itu!
***
Next ...
Bab 4

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


 

0 Response to "Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 3"

Posting Komentar