Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 4

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 006
Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
EMPAT
MUNCULNYA Pendekar Pemetik Bunga menyebar maut, darah dan noda benar-benar menggemparkan dunia persilatan. Kekejaman dan kebejatan terkutuk yang dilakukannya selama malang melintang beberapa bulan belakangan ini benar-benar merupakan satu tantangan bagi dunia persilatan, terutama mereka dari golongan putih. Hal ini tak dapat dibiarkan lama, dan berlarut-larut. Beberapa tokoh silat utama dari golongan putih kabarnya telah turun tangan membuat perhitungan dengan Pendekar Pemetik Bunga. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat dunia persilatan tambah geger!

Bagaimanakah tidak! Semua tokoh-tokoh silat yang berani bikin perhitungan itu disikat mentah-mentah oleh Pendekar Pemetik Bunga.
“Ilmu Jari Penghancur Sukma” yang dimiliki pemuda terkutuk itu menjadi biang momok mengerikan bagi dunia persilatan, apalagi bagi orang-orang yang tidak mengerti silat sama sekali! Tiap kota dan desa, tiap kampung dan pelosok diselimuti rasa ketakutan dan cemas. Takut dan cemas kalau Pendekar Pemetik Bunga akan muncul mendadak di daerah mereka, menyebar maut dan menebar noda di kalangan penduduk yang tak berdosa!
Kejahatan, kebejatan dan seribu satu macam perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Pendekar Pemetik Bunga itu telah sampai pula ke puncak gunung Merbabu.
Saat itu tengah hari tepat. Matahari berada dititik tertingginya.
Keterikan sinar matahari tiada terasa di atas puncak gunung yang ditutupi halimun sejuk itu. Asap belerang dari kawah gunung bergulung-gulung ke atas, bercampur jadi satu dengan halimun dan menutupi pemandangan.
Di satu bagian dari puncak gunung Merbabu, di dalam sebuah ruangan batu, diterangi oleh sebuah pelita kecil kelihatan duduk seorang laki-laki tubuhnya kurus sekali, hampir tinggal kulit pembalut tulang.
Tubuh yang kurus ini ditutupi dengan sehelai selempang kain putih. Melihat kepada air mukanya yang penuh dengan keriputan itu nyatalah bahwa manusia ini umurnya sudah lanjut sekali. Tapi anehnya, rambut dan janggutnya yang panjang sampai ke pinggang itu masih berwarna hitam legam dan berkilat-kilat ditimpa sinar pelita.
Orang tua ini adalah Begawan Citrakarsa. Saat itu dia tengah bersemedi mengheningkan cipta rasa dan menutup semua inderanya. Ketika matahari menggelincir ke titik tenggelamnya, ketika sinar kuning emas berpadu dengan sinar kemerahan menyaputi langit di ufuk barat barulah Begawan itu menyelesaikan semedinya. Dibukanya kedua matanya, dibukanya segenap inderanya. Kemudian perlahan-lahan Begawan ini berdiri dari duduknya dan melangkah ke pintu.
Dari pintu batu tempat dia berdiri itu dapat dilihatnya keseluruhan puncak Gunung Merbabu. Sebagian dari puncak Gunung Merbabu itu telah diselimuti lagi oleh kabut belerang dan halimun. Di kaki gunung menghampar sawah ladang. Jauh di sebelah selatan mengalir sebatang anak sungai. Begawan Citrakarsa menghela nafas dalam. Betapa indahnya bumi buatan Tuhan. Tapi betapa sayangnya, bumi yang indah dan suci itu telah dikotori oleh segala macam kemaksiatan, segala macam kemesuman, kejahatan, kebejatan!
Begawan Citrakarsa masuk kembali ke dalam ruangan batu. Dari dinding ruangan batu diambilnya sebilah keris lalu disisipkannya ke balik selempangan kain putih di pinggangnya. Dengan sedikit lambaian tangan Begawan Citrakarsa memadamkan pelita dalam ruangan batu itu. Dia melangkah ke pintu kembali. Di luar puntu terdapat sebuah batu besar.
Dengan mempergunakan tangan kirinya Begawan ini menggeser batu itu hingga menutupi pintu ruangan batu. Batu besar itu beratnya ratusan kati, tapi sang Begawan hanya menggesernya dengan mempergunakan tangan kiri! Sampai dimana kehebatan tenaga dalam Begawan bertubuh kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu sungguh tak dapat dijajaki!
Bila angin dari timur bertiup sejuk. Bila bola penerang jagat hanya seperenam bagiannya saja lagi yang kelihatan di ufuk barat sana dan bila puncak gunung Merbabu hampir keseluruhannya terselimut halimun maka Begawan itupun menggerakkan kakinya. Sepasang kaki yang kurus kering itu dengan lincah dan dengan kecepatan yang luar biasa berlari di tepi kawah dengan seenaknya. Sekali-sekali melompati jurang batu yang lebarnya sampai tiga – empat tombak. Bersamaan dengan lenyapnya sang surya ke tempat peraduannya maka bayangan Begawan Citrakarsa pun tak kelihatan lagi di puncak gunung Merbabu itu.
* * *
Tikungan jalan itu terletak di tempat yang ketinggian. Sinar matahari panasnya seperti mau memanggang kulit. Burung-burung kecil yang berlindung di balik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari sehari itu.
Pemuda berambut gondrong di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan di kaki bukit. Sudah satu jam hampir dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul. Ada satu keluarbiasaan, cabang pohon yang diduduki pemuda itu kecil sekali. Jangankan manusia, seekor kucingpun bila duduk di situ pastilah cabang itu akan menjulai ke bawah. Tapi anehnya, diberati oleh tubuh pemuda berambut gondrong itu, jangankan menjulai, bergerak sedikitpun cabang pohon itu tidak! Kalau si pemuda bukannya seorang sakti mandraguna yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, pastilah hal itu tak bisa kejadian.
Sepeminuman tah berlalu. Si pemuda memandang lagi ke kaki bukit, ke arah liku-liku jalan.
“Sialan, apa kunyuk-kunyuk itu tidak jadi melewati jalan ini?! Sialan be…”
Tiba-tiba pemuda itu hentikan makiannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat seringai tajam. Jauh di bawah bukit, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu menggebu ke udara. Pemuda itu kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu.
Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan.
Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing.
Pada saat itulah pemuda rambut gondrong yang duduk di cabang pohon mengeluarkan suara memerintah yang menggeledek!
“Berhenti!”
Beberapa ekor kuda yang di muka sekali meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Dan melihat gelagat yang tidak baik, setiap anggota rombongan bersikap waspada.
“Semua laki-laki yang ada di sini, termasuk pengemudi kereta kuharap segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Berlalu dengan cepat!”
Begitu si pemuda memerintah. Dan dia masih juga duduk di cabang pohon seenaknya.
Penunggang kuda yang paling muka yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mendongak ke atas dan bertanya dengan membentak.
“Orang asing! Kau siapa?!”
“Buset! Kau punya nyali membentak aku hah? Apa kau punya jiwa rangkap!”
Si penunggang kuda mendengus. “Caramu memerintah nyatalah bahwa kau mempunyai niat jahat!”
“Betul sekali sobat! Karenanya lekaslah tinggalkan tempat ini kalau kalian semua tidak mau cilaka!”
Penunggang kuda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan melihat sikap dan tempat di mana pemuda rambut gondrong itu duduk sesungguhnya sudah sejak tadi mengetahui bahwa manusia asing itu seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun dengan mengandalkan jumlah yang banyak, mengandalkan kawan-kawannya yang rata-rata memiliki ilmu silat, nyalinya tidaklah menjadi kendor menghadapi si pemuda rambut gondrong!
“Kalau kau seorang perampok, cari saja orang lain untuk dirampok! Salah-salah riwayatmu bisa tamat sampai di sini, sobat”
Pemuda di atas cabang pohon tertawa gelak-gelak. Suara tertawanya menggetarkan tikungan jalan itu, juga menggetarkan hati dua belas penunggang kuda! Bahkan suara tertawa itu telah membuat satu tangan halus menyibakkan tirai kereta den memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus.
“Manusia-manusia tolol! Orang sudah kasih ampun den kasih selamat kalian punya jiwa tapi malah berlagak jago!” bentak orang di atas cabang pohon! “Silahkan cabut senjata kalian agar kalian semua tidak mampus percuma!”
Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Tubuhnya berkelebat cepat dan terdengadah jeritan yang menggidikkan! Tiga penunggang kuda terpelanting dari punggung kuda masing-masing. Kepala ketiganya hancur remuk dimakan tendangan kaki kanan pemuda tadi!
Yang sembilan orang lainnya, tambah satu dengan pengemudi kereta dengan serentak segera mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu lebih lama yang sembilan orang segera menyerbu sedang pengemudi kereta dengan golok melintang di muka dada tetap berada di atas kereta.
Sebentar saja hujan golok menyelubungi si pemuda. Pemuda itu berdiri di tengah-tengah siuran golok dengan bertolak pinggang dan sambil tertawa-tawa. Sekali-sekali dia membuat sedikit gerakan. Meskipun sedikit gerakan itu sekaligus berhasil mengelakkan sembilan serangan golok yang menderu-deru.
Tiba-tiba pemuda itu membentak nyaring. Tubuhnya merunduk di antara bacokan dan tebasan golok. Pekik lolong terdengar susul menyusul.
Empat pengeroyoknya berpelantingan dan bergeletakan tanpa nyawa di tengah jalan. Yang lima orang lainnya kejut serta kaget mereka bukan olah-olah.
‘Tegal Ireng!” teriak pemimpin rombongan. “Larikan kereta dari sini cepat! Aku dan yang lain-lainnya menahan bangsat ini!”
Kusir kereta tak ayal lagi segera sentakkan tali kekang. Dua ekor kuda melonjak dan melompat ke muka. Sementara itu lima golok menyerbu pemuda rambut gondrong dengan ganasnya. Tapi yang diserbu ganda tertawa. Dia membuat lompatan setinggi tiga tombak. Dua orang pengeroyoknya jungkir balik di makan tendangan. Bersamaan dengan Itu tangan kanannya dihantamkan ke arah dua ekor kuda penarik kereta yang segera hendak lari meninggalkan tempat itu. Gelombang angin yang sangat dahsyat Menghantam hancur delapan kaki binatang itu sehingga kuda dan kereta angsrok kejalanan. Ringkik kuda terdengar tiada hentinya sedang dari dalam kereta melengking jeritan perempuan!
Pemimpin rombongan, dengan sangat penasaran cabut lagi sebatang golok dari pinggangnya. Dengan sepasang golok, bersama dua orang kawannya dia menyerbu kembali!
“Kunyuk-kunyuk tolol! Nyali kalian memang patut kupuji! Tapi kalian adalah manusia-manusia tidak berguna! Karenanya pergilah ke neraka!”
Pemuda rambut gondrong kebutkan tepi jubah hitamnya. Serangkum angin pengap menyerang ke arah tenggorokan ketiga lawannya. Manusia-manusia itu mengenduskan suara seperti tercekik sewaktu tubuh mereka mental dilanda angin dahsyat. Dari mulut masing-masing menyembur darah segar. Nyawa ketiganya lepas bersamaan dengan rubuhnya tubuh mereka ke tanah!
Pemuda berambut gondrong yang mengenakan jubah hitam berbunga-bunga kuning tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dirasakannya sambaran angin di belakangnya. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.
Sebatang golok laksana anak panah melesat ke arah batok kepalanya!
***
Next ...
Bab 5

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


 

Related Posts :

0 Response to "Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga Bab 4"

Posting Komentar