WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 009
Rahasia Lukisan Telanjang
SEPULUH
KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
“Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon.
“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan.
“Ikut ke mana?” tanya Wiro heran.
“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!”
“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!
“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di belakang si pelayan.
“Bapak,” bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat,
“Kalau kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan.
“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng.
“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang leherku!” jawab si pelayan. Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam di kejauhan!
“Ikut aku!” kata pelayan itu.
“Tunggu!” jawab Wiro.
“Terangkan dulu apa arti semua ini!”
“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat padamu!”
“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng lagi,
“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro.
“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu adalah orang yang memerintah aku!” Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam kamar, terkesiaplah Pendekar212! Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbungabunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar.
“Saudari apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng terkejut
“Apaan pula ini?” tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata,
“Aku telah saksikan apa yang kau lakukan ternadap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku…”
“Hem…,” Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Pertolongan apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan kepala.
“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi…”
“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi.”
“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si jelita. Lalu sambungnya,
“Perkawinanku dengan anak lakilaki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.”
“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula.
“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akananak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka.” Wiro merenung sejenak.
“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata,
“Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu…” Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis.
“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro.
“Menolong agar perkawinanku bisa batal!”
“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur hayat.” Wiro berpikir, lalu,
“Kau ingin kularikan sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek.
“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu…”
“Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya.
“Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi?”
“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi.
“Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian.
“Aku sudah dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi apakah aku boleh tahu namamu…?” Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang.
“Permani! Buka pintu cepat.” Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali!
“Permani!” Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedorangedoran. Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki dengan hati berdebar.
“Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani tertawa.
“Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu.
“Siapa dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!” Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat tidur!
“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.
“Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!”
“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu…” kata Permani dengan tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.
“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan kamar.
***
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.
***
KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang mendekatinya dari arah belakang. Menyangka bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
“Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon.
“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan.
“Ikut ke mana?” tanya Wiro heran.
“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!”
“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!
“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda cemas. Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di belakang si pelayan.
“Bapak,” bisik Wiro waktu mereka berlalu dengan cepat,
“Kalau kau menipuku, aku akan gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan penginapan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal tangan si pelayan.
“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke sini?!” desis Wiro Sableng.
“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot batang leherku!” jawab si pelayan. Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap ditelan hembusan angin malam di kejauhan!
“Ikut aku!” kata pelayan itu.
“Tunggu!” jawab Wiro.
“Terangkan dulu apa arti semua ini!”
“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun tak ada yang bermaksud jahat padamu!”
“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah itu?!” tanya Wiro Sableng lagi,
“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola matanya berputar liar waspada kian kemari sambil melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah sebuah gudang tempat menyimpan segala macam perabotan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti dan berpaling pada Wiro.
“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu adalah orang yang memerintah aku!” Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam kamar, terkesiaplah Pendekar212! Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbungabunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujurnya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah kembali ke tengah kamar.
“Saudari apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyusupkan suara?” si gadis bertanya perlahan. Wiro Sableng terkejut
“Apaan pula ini?” tanyanya dalam hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis berkata,
“Aku telah saksikan apa yang kau lakukan ternadap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku…”
“Hem…,” Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Pertolongan apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan Garuda Sakti.” Si gadis anggukkan kepala.
“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi…”
“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melangsungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi.”
“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si jelita. Lalu sambungnya,
“Perkawinanku dengan anak lakilaki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk menghindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.”
“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Perguruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula.
“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akananak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri mendapat tekanan dari mereka.” Wiro merenung sejenak.
“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian anggukkan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia berkata,
“Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di sebuah goa batu…” Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian mengambang di kelopak mata si gadis.
“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” tanya Wiro.
“Menolong agar perkawinanku bisa batal!”
“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Pertolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur hayat.” Wiro berpikir, lalu,
“Kau ingin kularikan sekarang?!” tanya Wiro mengambil keputusan pendek.
“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi menjelang hari-hari perkawinan itu…”
“Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya keningnya.
“Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di puncak Merapi?”
“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. Wiro berpikir-pikir lagi.
“Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian.
“Aku sudah dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawinanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara pernikahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi apakah aku boleh tahu namamu…?” Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar suara lantang.
“Permani! Buka pintu cepat.” Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu menutupkan daun jendela kembali!
“Permani!” Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedorangedoran. Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki dengan hati berdebar.
“Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” tanya Manik Tunggul. Permani tertawa.
“Kecurigaan ayah terhadap anak sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu.
“Siapa dan untuk apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar ini?!” Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat tidur!
“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.
“Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!”
“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain daripada patuh atas segala kemauanmu…” kata Permani dengan tundukkan kepala. Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.
“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan kamar.
***
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Perguruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghiraukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memukaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik…” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.
***
Next ...
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Rahasia Lukisan Telanjang Bab 10"
Posting Komentar