WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 014
Sepasang Iblis Betina
TIGA BELAS
SETELAH berhasil menyelamatkan diri dari kematian di tangan Sepasang Iblis Betina dan mengobati lukanya, dalam hati Dewa Maling Baju Hitam timbullah dendam kesumat untuk menuntut balas. Di samping itu dia bertekat bulat untuk mendapatkan Tombak Trisula kembali. Namun disadarinya bahwa kedua hal itu tak mungkin terlaksana kalau hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri. Untuk itu Dewa Maling Baju Hitam segera menemui beberapa orang kawan satu alirannya. Maka sewaktu hari menjelang malam, bersama orang-orang itu dia berunding di satu pondok, mengatur rencana batas dendam dan merampas Tombak Trisula. Mereka berjumlah empat orang, termasuk Dewa Maling sendiri. Di samping kanan Dewa Maling duduk seorang laki-laki bertubuh kecil pendek atau lebih tepat kalau di katakan katai. Si katai ini berkepala botak licin berkilat berlawanan dengan kepalanya yang licin plontos itu, mukanya penuh ditumbuhi berewok atau cambang bawuk yang meranggas liar karena tak pernah dicukur. Siapakah adanya pemuda ini?
Dia adalah Warok Kate, seorang pemimpin rampok jahat yang bersarang di hutan Jatiluwak. Ilmunya tinggi karena dulu dia adalah seorang murid pertapa sakti yang kemudian menyeleweng jadi orang jahat. (Mengenai Warok Kare ini bacalah jilid ke 1 cersil : Pedang Sakti Keris Ular Mas; karangan Bastian)
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri Dewa Maling Baju Hitam ialah seorang laki-laki yang cuma punya satu mata. Matanya yang sebelah kanan hanya merupakan rongga hitam yang mengerikan. Seperti Warok Kare, diapun memelihara berewok yang teramat lebat. Tampangnya bukan saja seram tapi juga bengis kejam. Dia bernama Baraka Seta, yang mendapat julukan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo karena bersama beberapa anak buahnya dia sejak lama menjadi buaya sungai yang ditakuti. Siapa atau perahu mana saja yang melewati Kali Progo, pastilah, akan dirampok dan para penumpangnya dibunuh dengan semena-mena sekalipun mereka menyerahkan barang-barang secara sukarela.
Orang ketiga duduk di depan Maling Baju Hitam. Tubuhnya kurus tinggi, wajahnya senantiasa pucat macam orang mau, mati besok sedang sepasang matanya selalu saja berair. Dia mengenakan jubah ,’ ungu gelap. Namun tak satu orangpun yang tahu. Dia dikenal dengan nama gelaran yaitu Setan Ungu Muka Pucat. Manusia ini bukan bangsa maling atau perampok ataupun buaya air. Namun dia merupakan seorang tokoh golongan hitam yang banyak hubungan rapat dengan orang-orang jahat.
"Nah, kalian sudah tahu jelas siapa musuh yang bakal kita hadapi. Kedua Iblis Betina itu memang sakti dan berkepandaian tinggi. Tapi dengan tipu daya serta jumlah kita yang berempat ini masakan keduanya bisa berkutik?!"
"Memang, aku sendiri punya dendam kesumat terhadap mereka sejak tiga bulan lewat," kata Buaya Mata Satu Kali Progo.
"Nah, apalagi kalau begitu! Dendam kesumat apakah?" tanya Dewa Maling pula.
"Suatu hari anak buahku merampok habis-habisan sebuah perahu dagang di muara Kali Progo. Tahu-tahu muncullah kedua iblis haram jadah itu mempreteli hasil rampokan mereka. Anak buahku melawan. Lima orang dibunuh mentah-mentah, seorang masih sanggup melarikan diri dengan jalan menyelam di sungai secara diam-diam lalu melaporkan kejadian itu kepadaku. Sewaktu aku mendatangi muara sungai, bangsat-bangsat betina itu sudah kabur bersama barangbarang rampokan!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar Warok Kate bertanya. "Kapan kita akan mendatangi tempat mereka?"
"Malam ini juga, Warok. Lebih cepat lebih baik!" jawab Dewa Maling Baju Hitam.
"Sret"!
Warok Kate mencabut golok besar dipinggangnya. Sambil meraba-raba bagian yang amat tajam dari senjata itu dan sambil menyeringai dia berkata,
"Tenanglah, golok! Malam ini kau bakal minum darah segar! Lalu dengan tertawa mengekeh disarungkannya senjata tersebut ke tempatnya kembali.
"Mari kita berangkat", kata Dewa Maling Baju Hitam seraya berdiri.
Sebelum tiga orang lainnya sempat ikut berdiri dari ambang pintu terdengar suara menegur.
"Seorang tamu datang, masakan tuan rumah hendak pergi begitu saja? Sungguh tak ada peradatan!"
Dewa Maling Baju Hitam terkejut. Dia saling pandang seketika dengan ketiga kambratnya lalu memandang ke pintu dan membentak.
"Siapa di luar?!"
"Seorang tamu".
"Siapa nama dan datang dari mana?" tanya Dewa Maling lagi. Sambil bertanya begitu diberikannya isyarat pada Warok Kate untuk keluar lewat pintu belakang dan menyelidik.
"Aku datang dari Kotaraja." terdengar sahutan si tamu malam yang masih berada di luar pondok. "Aku diutus oleh Mapatih Jayengrono untuk bicara empat mata dengan kau, Dewa Maling."
Dewa Maling memberi isyarat sekali lagi dan kini Buaya Mata Satu. Dari Kali Progo serta
Setan Ungu Muka Pucat keluar pula meninggalkan tempat itu hingga Dewa Maling tinggal
seorang diri.
"Sebelum kuizinkan kau masuk, sebutkan dulu kau punya nama!" kata Dewa Maling.
"Amat pentingkah namaku bagimu, Dewa Maling?!"
"Penting atau tidak aku harus tahu! Lekas katakan!"
"Namaku Wiro Sableng!"
Bagai dipakukan kedua kakinya ke lantai pondok demikianlah terkejutnya Dewa Maling Baju Hitam. Dia memandang berkeliling dan diam-diam merasa menyesal mengapa telah menvuruh ketiga kambratnya meninggalkan pondak hingga dia tinggal sendirian di situ dalam kekhawatiran yaitu setelah mendengar orang di luar pondok menyebutkan namanya.
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" kata Dewa Maling pula. "Aku tidak menyangka kalau kau ada hubungan dengan Mapatih Jayengrono. Ada perlu apakah kau mencariku?"
"Aku sudah bilang ingin bicara empat mata dengan kau."
"Kau tak usah kawatir pembicaraan kita akan didengar orang. Tiga kawanku sudah kusuruh pergi. Masuklah!" kata Dewa Maling dan diam-diam dikeluarkannya seruling hijau yang berisi racun jahat lalu menunggu Wiro Sableng di depan pintu. Begitu si tamu masuk akan segera disemburnya dengan racun tersebut.
Di luar pondok, Warok Kate dan Buaya Mata Satu Dari Kali Progo serta Setan Ungu Muka Pucat merasa amat heran. Meskipun dia jelas mendengar percakapan antara Dewa Maling dengan tamu yang mengaku bernama Wiro Sableng itu, tapi ketiganya sama sekali tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sementara itu di dalam pondok Dewa Maling sudah siap-siap dengan suling hijaunya yang beracun. Dia tersentak seperti disengat kala sewaktu tahu-tahu dibelakangnya terdengar suara orang menegur.
"Ah! Aku tak tahu kalau kau menunggu di pintu depan. Harap maafkan karena aku masuk lewat pintu belakang!"
Dewa Maling menoleh. Seorang pemuda berambut gondrong dilihatnya berdiri menutupkan pintu sambil menyeringai kepadanya.
"Kau …. kau Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya Dewa Maling.
Pemuda itu menggaruk kepalanya lalu mengangguk.
Selama ini Dewa Maling hanya mendengar nama dan kehebatan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tak pernah melihat orangnya. Kini berhadapan dengan pemuda berambut gondrong dan bertampang seperti orang dogol itu mana dia mau percaya kalau pemuda itulah Pendekar 212 Wiro Sableng? Rasa ngeri yang sebelumnya menyungkup diri Dewa Maling dengan serta merta lenyap. Dan suaranyapun kembali garang, beringas.
"Katakan urusanmu!"
Wiro Sableng melangkah beberapa tindak lalu baru menjawab.
"Urusanku sedikit sekali, Dewa Maling. Hanya dengan tiga patah kata."
"Bilang!"
"Kembalikan Tombak Trisula!"
Sepasang bola mata Dewa Maling memandang menyorot pada pemuda di hadapannya.
"Betul kau di utus oleh Jayengrono?" Wiro mengangguk.
Dewa Maling tertawa gelak-gelak hingga seluruh pondok bergetar.
"Aneh!" kata Dewa Maling pula. "Seorang pendekar yang selama ini ditakuti dan menggetarkan dunia persilatan kiranya hanya kacung buruk seorang Patih belaka!"
Di ejek demikian rupa Pendekar 212 Wiro Sableng bukannya marah malah ikut tertawa gelak-gelak hingga Dewa Maling merasa bagaimana lantai pondok yang dipijaknya jadi bergetar keras!
"Kacung atau apapun kau bilang yang penting lekas serahkan padaku Tombak Trisula!" kata Wiro kemudian setelah menghentikan tawanya.
"Aku kawatir senjata itu tidak kau sampaikan pada sang patih, tapi kau boyong sendiri!" ujar Dewa Maling pula.
Wiro menyeringai.
"Lekas serahkan apa yang kuminta!"
"Tombak Trisula sudah kuberikan pada Ranablambang. Patih itu menipumu. Tentu dia bermaksud mengadu domba kau dengan aku!"
Wiro tertawa lalu berkata, "Trisula yang kau berikan pada Pangeran khianat itu adalah yang palsu! Mana yang asli?"
"Hem, rupanya kau tahu juga mana asli mana palsu. Dengar sobat, jika aku terangkan yang sebenarnya padamu apakah kau mau segera angkat kaki dari sini!"
"Belum tentu."
"Jangan keras kepala! Sepuluh macammu bisa kuhantam sekaligus!" ancam Dewa Maling.
"Dua puluh macammu sanggup kulabrak dalam satu jurus!" balas Wiro seenaknya.
"Trisula yang asli telah dirampas oleh Sepasang Iblis Betina." kata Dewa Maling dengan geram. "Sekarang angkat kaki dari hadapanku!"
"Jangan bicara bohong, Dewa Maling!" memperingatkan Wiro Sableng.
Saat itu pintu belakang dan pintu depan pondok terbuka. Warok Kate dan Buaya Mata Satu berdiri di belakang Pendekar 212 sedang dari pintu depan masuk Setan Ungu Muka Pucat. Seraya menutupkan pintu Setan Ungu Muka Pucat berkata:
"Manusia keras kepata macam dia ini pantasnya diberi hajaran saja, Dewa Maling!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul dan menggoyangkan kepalanya pada Setan Ungu Muka Pucat lalu berkata.
"Manusia muka sepucat kain kafan! Untung kau membuka mulut bicara! Kalau tidak pasti aku sudah menyangka kau adalah mayat hidup!" Habis berkata begitu Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
"Bedebah!" bentak Setan Ungu Muka Pucat dengan amat marah. Darahnya naik ke kepala tapi parasnya masih tetap saja pucat pasi. Dia maju ke muka. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang hendak dicengkeramnya muka Pendekar 212. Namun gerakannya itu terhenti oleh seruan Dewa Maling Baju Hitam.
"Jangan kesusu, sobatku! Kalau dia mau bergabung dengan kita, kita ampunkan jiwanya."
Dewa Maling berpaling pada Wiro dan bertanya. "Bagaimana? Kau bersedia ikut kami ke tempat Sepasang Iblis Betina guna merampas Tombak Trisula?!"
"Siapa sudi?!" sahut Wiro tegas. "Kau bangsat manusia licik. Juga kawan-kawanmu yang tiga ini. Dan aku tetap yakin bahwa senjata mustika itu ada padamu!"
"Kalau begitu mampuslah bersama keyakinanmu itu!" bentak satu suara di belakang Pendekar 212. Satu benda kemudian terdengar bersiur ke arah pemuda ini. Tanpa menoleh, dari suara sambaran angin Wiro Sableng dapat mengetahui bahwa yang menyerangnya dari belakang adalah Warok Kate. Dengan cepat pemuda itu bergerak ke kanan. Bila dirasakannya senjata lawan lewat, secepat kilat dia berbalik dan menendangkan kaki kanannya. Maka terdengarlah keluh kesakitan Warok Kate. Golok besar yang dipakainya untuk menyerang terlepas mental sedang lengannya sakit bukan main akibat tendangan lawan!
"Kalau mau menyerang, dari depan, sobat! Bukan secara licik seperti itu!"
Kini terbukalah mata semua orang yang ada di situ. Warok Kate seorang kepala rampok berilmu tinggi dan luas pengalaman. Bagaimana dia bisa dihajar hanya dalam satu gebrakan saja?! Rupanya nama Wiro Sableng yang digelari Pendekar 212 tidak kosong belaka!
"Kawan-kawan! Mari kita kermus bangsat kurang ajar ini!" teriak Dewa Maling Baju Hitam.
Dengan senjatanya yang berbentuk suling hijau dia mengirimkan satu tusukan ke dada Pendekar 212.
Kalau tadi dia merencanakan untuk menyembur muka pemuda itu dengan racun senjata tersebut, kini hal itu tak berani dilakukannya karena khawatir akan mencelakakan kawan sendiri. Tusukan yang dilancarkan Dewa Maling adalah satu tusukan kilat yang berbahaya. Namun tidak demikian mudah untuk merobohkan murid Eyang Sinto Gendeng dengan satu kali serangan kilat itu. Sambil berkelit Wiro menerpa ke arah Setan Ungu Muka Pucat yang hendak membokongnya dari samping.
"Buk!"
Dua kepalan sama-sama beradu. Setan Ungu Muka Pucat terkejut dan menggigit bibir agar keluh kesakitan tidak keluar dari mulutnya. Tubuhnya terhuyung dan ketika diperhatikan ternyata kulit tangannya telah lecet merah! Melihat ini Setan Ungu Muka Pucat segera mengeluarkan senjatanya yakni sebuah tasbih berwarna ungu. Sementara itu Buaya Mata Satu Dari Kali Progo telah pula mencabut pedang besar sedang Warok Kate setelah mengambil senjatanya yang tadi terlepas, terus pula menyerbu. Dalam pondok yang sempit itu dengan tangan kosong Pendekar 212 dikeroyok oleh empat tokoh silat golongan hitam yang berkepandaian tinggi. Wiro tahu adalah gila kalau dia menghadapi keempat lawannya dengan terus mengandalkan tangan kosong. Dalam dua atau tiga jurus pasti tubuhnya akan kena "disate" senjata-senjata lawan. Karena dia tak bisa menggerakkan tangan untuk melepaskan pukulan pukulan sakti maka tanpa membuang waktu lagi pemuda ini segera mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan balik pinggangnya. Sinar putihpun berkiblat!
"Awas Kapak Naga Geni 212!" seru Setan Ungu Muka Pucat memberi ingat kawan-kawannya.
Peringatan itu tak ada gunanya karena sesaat kemudian terdengar suara "cras" yang dibarengi dengan pekik Baraka Seta atau Buaya Mata Satu Dari Kali Progo. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dada mandi darah. Tersandar ke dinding pondok dan akhirya roboh ke lantai tanpa. berkutik lagi.
Kekalapan Dewa Maling Baju Hitam melihat kematian kambratnya membuat dia melupakan keselamatan kawan-kawannya yang masih hidup. Dehgan serta merta ditiupnya sulingnya. Sinar hijau bertabur manik-manik merah menyembur ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sudah maklum betapa jahatnya racun dalam sinar itu, dengan serta merta menyapukan Kapak Naga Geni 212 ke kiri. Keseluruhan sinar hijau dan manik-manik merah tersapu ke kiri di mana Setan Ungu Muka Pucat berada. Tak ampun lagi begitu racun tersebut tercium olehnya, Setan Ungu Muka Pucat terbatuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya terdengar suara seperti mau muntah. Tubuhnya tergelimpang. Mukanya berubah biru sedang dari sela bibir membasahi ludah.
"Dewa Maling! Tindakanmu gegabah sekali!" teriak Warok Kate yang jadi penasaran melihat Setan Ungu Muka Pucat yang tak mungkin diselamatkan lagi jiwanya. "Terpaksa kubatalkan niat untuk ikut bersamamul Kau bertempurlah seorang diri melawan pemuda itu!".
Habis berkata demikian Warok Kate memutar tubuh dan melabrak pintu pondok, lenyap di kegelapan malam. Melihat ini lumerlah nyali Dewa Maling Baju Hitam. Segera pula dia memutar tubuh. Tapi Wiro Sableng mana mau memberi kesempatan lari pada yang satu ini. Sebelum Dewa Maling mencapai pintu, Kapak Naga Geni 212 telah membabat putus salah satu kakinya. Dewa Maling terbanting di tanah dan menjerit-jerit kesakitan.
"Kalau kau terangkan di mana Tombak Trisula yang asli, aku akan selamatkan jiwamu." kata Wiro.
"Setan alas! Aku sudah bilang senjata itu dirampas oleh Sepasang Iblis Betina ….!"
"Di mana tempat kediaman mereka?"
"Tanyalah sama setan neraka!" jawab Dewa Maling. Racun Kapak Naga Geni 212 masuk ke jantungnya dan detik itu juga manusia inipun meregang nyawa! Wiro menggeledah pakaian Dewa Maling. Tombak Trisula tak ditemuinya.
***
Next ...
Bab 14
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Sepasang Iblis Betina Bab 13"
Posting Komentar