Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 15

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 007
Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
LIMA BELAS
KEJUT semua orang yang ada di situ bukan kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa mengkeh.
“Ha . . . ha! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!” Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati.
“Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,” berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih. Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang.
“Ada keperluan apa kau mencari tempat ini?!”
“Apakah ini Pulau Seribu Maut?!,” balas menanya Pranajaya. Si tinggi kekar tertawa lagi.
“Kalian memang sudah berada di Pulau yang kalian cari! Pulau di mana kalian akan melepas nyawa masing-masing?” Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenangtenang saja. Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar.
“Aku mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!”
“Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak perutmu! Terima mampus!” Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher Prana. Pemuda ini cepat-pepat menyingkir ke samping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya !
“Tahan!” seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Pranajaya.
“Manusia tangan buntung!,” katanya, “aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!”
“Kedatanganku atas tugas guruku!”
“Hem…. aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa gurumu!” ujar si tinggi besar Bagaspati.
“Aku diperintahkan untuk mengambi! Cambuk Api Angin yang telah kau curi dari guruku!” Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan.
“Apakah kau muridnya Empu Blorok?!” tanyanya membentak. Prana anggukkan kepala.
“Mana cambuk itu?! Lekas serahkan padaku!” Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.
“Nyalimu sungguh besar tangan buntung!,” kata Bagaspati seraya melangkah kehadapan Prana.
“Sreet !”
Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak, “Lekas sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia persilatan tanpa tahu namanya!” Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya. Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu.
“Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengap kekerasan tak ada jalan lain daripada menabas batang lehermu!”
“Bedebah sontoloyo!” teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat !
Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara keras dan memercikkan bunga api ! Terdengar seruan Prana. Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri Bagaspati!
“Ha… ha…. ha…. Gurumu keliwat sembrono manusia tangan buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!” Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
“Sebut namamu cepat!” perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahanlahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.
“Bagaspati,” terdengar satu suara dari samping, “Sebelum kau bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara…..!” Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran.
“Rambut gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!” Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum.
“Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti ini?”
“Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan kurang ajar berarti mati!” kata Bagaspati dengan membentak marah dan muka merah.
“Ah …. kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,” menukasi Pendekar 212 sambil cengar cengir seenaknya.
“Kawanku sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas pedang kawanku!”
“Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!” satu manusia bertubuh tegap maju dengan kapak besar ditangan kanan. Namanya Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati. Bagaspati anggukan kepala.
“Lekas bereskart dia, Sureng!”
“Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!” bentak Surengwilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan Wiro Sableng. Wiro Sableng garuk kepala.
“Aku tak ada senjata. Bisa pinjam pedang hitammu, Bagaspati?!” Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik ke kepala.
“Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!” teriaknya. Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan. Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng! Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadian itu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang ke luar dari mulut itu bukan suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!
“Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!” perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan Bagaspati membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya. Namun saat itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu membalik lagi dan menderu ke perutnya ! Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada Prana dan Sekar! Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212 maka lima manusia bertubuh katai maju ke muka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki sampai ke kepala Wiro Sableng. Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan kini menjirat sampai ke bahu! Dikejap yang sama jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah. Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi kejut Wiro Sableng tidak terkirakan sewaktu. menghadapi kenyataan bahwa dia tak sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari tangannya Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka! Malah libatan jala semakin ketat. Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon. Lima manusia katai anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212.
Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah bentakan yang luar biasa kerasnya.
“Ciaat !”
Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. Ketika tubuh mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih bernafas! Wiro telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus ! Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus! Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212 menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan memperketat pengurungan.
“Kalian mau main keroyok?!” kertas Wiro.
“Boleh!” kedua telapak tangan dipentang ke muka.
“Tapi sebelum kalian mulai, aku masih satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, niscaya aku ampuni jiwa kalian!” Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan berbadan penuh bulu meludah ke tanah!
“Jangan mengigau pemuda keparat!” semprotnya.
“Tubuhmu akan tercincang lumat!” Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya.
“Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian yang keras-keras kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!” Si dada berbulu memandang berkeliling.
“Kawan-kawan! Mari berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!” Habis berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang ! Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liangliang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun keenam puluh bajak itu terus juga menyerang! Puluhan senjata berserabutan!
“Manusia-manusia tolol! Pergilah!” teriak Wiro Sableng. Kedua tangannya diputar di atas kepala, demikian cepatnya laksana titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 menderu-deru angin dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur! Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu Wiro tiba-tiba membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu berpelantingan laksana daun kering disapu angin! Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 212 tadi adalah pukulan angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka dan babatkan senjata masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin puyuhnya!
“Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!” tanya Wiro mengejek.
“Ayo majulahl Bukankah kalian mau mencincang aku?!” Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati berhasil memapas putus Rantai Petaka Besi yang menjadi senjata Sekar. Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi! Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu! Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping menderu selarik sinar putuh yang dahsyat! Demikian dahsyatnya sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan melompat ke belakang beberapa tombak !
“Wuss !”
Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia metompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng !
“Keparat! Kenapa kalian melongo semua?! Lekas bereskan setan alas yang satu ini!” Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika. Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal mereka terima dari pimpinan merta, dua puluh orang diantaranya segera maju dan serentak menyerang.
“Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!” teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar di mana-mana !
“Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan maju!” teriak Wiro. Tak satu anggota bajakpun yang bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah! Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.
“Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang- kau pimpin selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat bagimu untuk kuberi ampun!” Bagaspati tertawa mengejek.
“Kepongahanmu setinggi gunung!” jawabnya.
“Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati tak akan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu serahkan jiwa padaku!” Wiro Sableng bersiul dan tertawa gelak-gelak.
“Kau bisa juga bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! Silahkan mulai!”
“Cabut senjatamu setan alas!” bentak Bagaspati.
“Ini senjataku Bagaspati!” Wiro acungkan kedua tangannya.
“Kalau begitu aku akan mampus penasaran!” Bagaspati lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap di batang pohon kelapa! Prana cepat mengambilnya.
“Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!”
“Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia maling ini, Prana,” kata Wiro pula dengan suara keras lantang.
Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka sama sekali !
“Ayo seranglah!” teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya berdiri tak bergerak.
“Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!” desis Bagaspati. Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang dahsyat! Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai !
“Ciaat!
“ Wiro lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan ini berhasil membuat tendangan lawan batal namun pukulan itu sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang Bagaspati! Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka serangan dengan jurus membuka jendela memanah rembulan. Lengan kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri meluncur ke atas dalam gerakan vang cepat laksana kilat sukar dilihat mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati! Betapakan tidak. Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan Wiro Sableng !
“Ha…. ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan pertempuran ini?!” Muka Bagaspati mengelam merah.
“Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. Tapi bukan untuk diberikan padamu huh! Tapi untuk bikin kau mati konyol!” Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, berwarna merah. Bagaspati mengekeh.
“Ini ambillah!” Cambuk Api Angin di tangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan semburan lidah api yang luar biasa panasnya!
“Prana! Sekar Lekas menyingkir!” teriak Wiro seraya buang diri ke samping beberapa tombak! Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa di belakang Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus ditelan api! Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam milik Bagaspati. Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang hitam di tangannya! Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api Cambuk sakti !
“Keparat!,” maki Wiro dalam hati.
“Hebat sekali Cambuk Api Angin itu!” Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti petir susul menyusul! Pendekar 212 menjadi sibuk! Melompat kian kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah! Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin yang ganas! Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah Wiro akan sanggup bertahan sampai lima jurus di muka Pakaian Wiro dilihatnya sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acakacakan, mukanya berselemotan tanah! Dan cambuk sakti itu masih juga menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat! Dua jurus di muka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan dipaksa bertahan mati-matian! Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan menggidikkan tak menentu iramanya! Dalam kejap itu pula sinar putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan! Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas! Namun kini gerakan-gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih sinar Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng ! Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet.
“Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!” seru Wiro. Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup dilihatnya karena cepatnya ! Dan tahu-tahu…
“Craas!”
Lalu terdengar lolongan Bagaspati. Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 sampai sebatas bahu ! Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk macam orang celeng! Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluh-pembuluh darahnya. Ketika pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti! Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri !
“Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak Bagaspati karena tidak sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya! Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi! Bagaspati mati dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke langit! Sungguh menggidikkan memandang tampangnya! Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212. Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.
“Senjata hebat,” katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya.
“Terima kasih Wiro” kata Prana dengan penuh gembira tapi juga haru. Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah kehadapan anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak lebih dari tiga puluh lima orang kini.
“Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan kematian itu!” seru Wiro dengan suara lantang.
“Kuharap ini menjadi pelajaran yang baik! Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami bertiga akan ampunkan nyawa kalian!”
Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul berlutut. Wiro garuk-garuk kepala.
“Buset! Orang suruh berjanji kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembahsembah! Bangun semua!” teriak Wiro. Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk kembali hidup sebagai orang baik-baik.
“Tampang-tampang kalian aku kenal semua! Ingat! Kalau kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!” Wiro berpaling pada kedua kawannya.
“Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini kawan-kawan.” Prana dan Sekar mengangguk. Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas anggota bajak berseru,
“Tunggu !”
“Ada apa?!” tanya Wiro.
“Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda itu?!”
“Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata dan jadikan modal buat hidup baik-baik!” sahut Wiro. Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, “Kami tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu pada kalian bertiga!” Pendekar 212 berpaling pada. kedua kawannya lalu tersenyum.
“Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami musti pergi!”
Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka ke pantai Jawa tapi mereka menolak.
“Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya,” jawab Wiro. Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!
PANTAI Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lama kemudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa.
“Kita telah sampai sobat-sobatku!” seru Wiro. Dia yang pertama sekali melompat ke daratan. ”Dan ini adalah saat perpisahan kita.” Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro sebaliknya tertawa.
“Tugasmu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui….”
“Tapi Wiro…..” Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro.
“Di lain hari kelak kita pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin kukatakan pada kalian.” Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan senyum-senyum.
“Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak sungai dulu itu?” Prana dan Wiro saling panda mengingat-ingat dan begitu ingat masing-masing mereka sama memandang pada Wiro.
“Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat itu….” Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta. Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai waktu mereka membicarakan soal cinta itu.

“Sobat-sobatku, kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh guru kalian musti diberi tahu….” Paras kedua orang itu semakin memerah. Wiro tertawa bergelak.
“Nah sobat-sobatku, setamat tinggal. Kudoakan agar kalian bahagia.”
“Wiro tunggu dulu!” seru Prana dan Sekar hampir bersamaan. Namun tubuh Pendekar 212 sudah berkelebat. Prana merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada dagunya! Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada lagi!
“Aku tak akan melupakan dia.“ desis Prana.
“Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia Wiro.” Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.

TAMAT
Episode Selanjutnya:
Dewi Siluman Bukit Tunggul

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


 

Related Posts :

0 Response to "Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 15"

Posting Komentar