WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 007
Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin
EMPAT BELAS
DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta pakaian mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta membeli perbekalan.” Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak, yang manakah di antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut?” Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.
“Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?” ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk.
“Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam.
“Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi.
“Apakah kalian hendak menuju ke sana?”
“Betul” sahut Prana.
Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti.
“Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?”
“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab Prana. Si nelayan tertawa.
“Kepingin tahu dan menemui kematian di sana…? Nak, dengar… hanya manusia-manusaa yang mau lekaslekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut….”
“Namanya memang menyeramkan,” kata Wiro sambil usapusap dagu.
“Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”
“Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak…. di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati…..”
“Kenapa tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar.
“Lebih berabe lagi!” jawab si nelayan.
“Kalau kami berani pergi dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”
“Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?” tanya Prana.
“Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa tamparannya.“
Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di tepi pantai itu.
“Perahu-perahu bapak?” tanya Wiro. Si nelayan mengangguk.
“Bisa kami sewa sebuah?”
“Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?!.”
“Ya.” Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun yang akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian!”
“Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya.“
“Tidak bisa nak… tidak bisa…” Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau angker tersebut.
“Penduduk di sini sialan semua!” gerutu Wiro Sableng.
“Pada mati ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! Geblek!”
“Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro,” ujar Prana.
“Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata Wiro mengalih pembicaraan. Prana mengangguk.
“Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar…”
Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana “terbang” memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin lama semakin jauh dari pantai ! Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di depan mereka?! Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang!
“Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkalikali.
“Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana.
“Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!” Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang datang menganggu mereka!
“Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?” bertanya laki-laki muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa bisa membuka mutut. Wiro memandang keheranan, juga Sekar.
“Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!” seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar.
“Kalian seperti orang yang ketakutan!” ujar Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. Dia bertanya lagi .
“Di mana letak Pulau Seribu Maut ?!”
“Saudara-saudara… apa kalian… kalian…” Warana tak berani meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
“Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan?!” bentak Wiro.
“Tolong! Tolong …. !” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula.
“Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!” seru Pranajaya. . Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan Warana.
“Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriak-teriak minta tolong ?!”
“Tolong jin laut! Tolong… !”
Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana,
“Keduanya menyangka kita jin laut…!” Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk pipi nelayan ini.
“Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!” Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya.
“Manusia tak berguna pergilah!” sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, “Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan dengan kecepat laksana angin!” Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam.
“Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di mana letak Pulau itu…” kata Wiro.
“Kita musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang. Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang ke arah utara tanpa berkesip.
“Apa yang kau perhatikan?” tanya Wiro. Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.
“Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?” mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.
“Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya Wiro,” kata Prana. Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung.
“Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!” seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya yang tajam dapat mengenal burung-burung itu. Prana pelototkan mata.
“Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di sekitar teluk yang sempit.
“Hai benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka.
“Ikan raksasa!” seru Sekar pula. Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap dari permukaan air.
“Aku merasa tidak enak,” desis Prana.
“Kita musti waspada,” kata Wiro. Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan “plup” sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!
“Celaka!” seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur !
“Gila, apa-apa ini!” teriak Pendekar 212.
Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang itu ! Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, “Berbuatlah pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi tanda!” Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya. Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak.
“Surengwilis! Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari keterangan tentang pulau kita?!”
“Betul pemimpin!” terdengar jawaban seseorang. Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran.
Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan! Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.
“Hem…,” si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandeng berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang kenal pada mereka?!” Tak ada suara jawaban.
“Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!” ujar si tinggi besar.
“Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku!” Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua-kawannya, “Sekarang, sobat-sobat!” Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
***
DI PAGI HARI yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di manamana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta pakaian mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata, “Di situ ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan di mana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta membeli perbekalan.” Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala di teluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya, “Bapak, yang manakah di antara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut?” Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.
“Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?” ujar nelayan tua ini. Prana mengangguk.
“Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata Wiro. Si nelayan hela nafas dalam.
“Umurku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baru kudengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi.
“Apakah kalian hendak menuju ke sana?”
“Betul” sahut Prana.
Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti.
“Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu berniat meriuju ke snna?”
“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab Prana. Si nelayan tertawa.
“Kepingin tahu dan menemui kematian di sana…? Nak, dengar… hanya manusia-manusaa yang mau lekaslekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut….”
“Namanya memang menyeramkan,” kata Wiro sambil usapusap dagu.
“Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”
“Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak…. di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak buahnya. Perempuanperempuan kami diambil dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati…..”
“Kenapa tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar.
“Lebih berabe lagi!” jawab si nelayan.
“Kalau kami berani pergi dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua macamku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam…”
“Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?” tanya Prana.
“Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa tamparannya.“
Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di tepi pantai itu.
“Perahu-perahu bapak?” tanya Wiro. Si nelayan mengangguk.
“Bisa kami sewa sebuah?”
“Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?!.”
“Ya.” Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya.
“Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimanapun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahupun yang akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian!”
“Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya.“
“Tidak bisa nak… tidak bisa…” Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu. Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayan tua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakan perahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau angker tersebut.
“Penduduk di sini sialan semua!” gerutu Wiro Sableng.
“Pada mati ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! Geblek!”
“Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro,” ujar Prana.
“Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata Wiro mengalih pembicaraan. Prana mengangguk.
“Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar…”
Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana “terbang” memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin lama semakin jauh dari pantai ! Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan di depan mereka?! Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka percaya! Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang!
“Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkalikali.
“Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana.
“Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!” Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang datang menganggu mereka!
“Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?” bertanya laki-laki muda yang bertangan buntung. Baik Warana maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa bisa membuka mutut. Wiro memandang keheranan, juga Sekar.
“Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!” seru Wiro Sableng. Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar.
“Kalian seperti orang yang ketakutan!” ujar Wiro. Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. Dia bertanya lagi .
“Di mana letak Pulau Seribu Maut ?!”
“Saudara-saudara… apa kalian… kalian…” Warana tak berani meneruskan ucapannya. Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak. Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!
“Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriakteriak tak karuan?!” bentak Wiro.
“Tolong! Tolong …. !” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula.
“Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!” seru Pranajaya. . Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan Warana.
“Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriak-teriak minta tolong ?!”
“Tolong jin laut! Tolong… !”
Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana,
“Keduanya menyangka kita jin laut…!” Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk pipi nelayan ini.
“Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!” Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya.
“Manusia tak berguna pergilah!” sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan rakit itu. Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, “Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusiamanusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan dengan kecepat laksana angin!” Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam.
“Agaknya tak ada satu manusiapun yang bisa kasih keterangan di mana letak Pulau itu…” kata Wiro.
“Kita musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang. Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang ke arah utara tanpa berkesip.
“Apa yang kau perhatikan?” tanya Wiro. Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan utara itu. Wira putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh di tengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.
“Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?” mengusulkan Sekar. Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit itupun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.
“Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya Wiro,” kata Prana. Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Di atas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung.
“Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!” seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya yang tajam dapat mengenal burung-burung itu. Prana pelototkan mata.
“Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana. Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada di sekitar teluk yang sempit.
“Hai benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam yang sangat besar.meluncur pesat ke arah mereka.
“Ikan raksasa!” seru Sekar pula. Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap dari permukaan air.
“Aku merasa tidak enak,” desis Prana.
“Kita musti waspada,” kata Wiro. Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan “plup” sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!
“Celaka!” seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro mernukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara bergetar tapi aapa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur !
“Gila, apa-apa ini!” teriak Pendekar 212.
Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang itu ! Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam dan tutup semua inderanya. Satu menit kemudian dia berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki, “Berbuatlah pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum kuberi tanda!” Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa menggelindung dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya. Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak.
“Surengwilis! Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari keterangan tentang pulau kita?!”
“Betul pemimpin!” terdengar jawaban seseorang. Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran.
Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan! Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.
“Hem…,” si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandeng berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang kenal pada mereka?!” Tak ada suara jawaban.
“Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!” ujar si tinggi besar.
“Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku!” Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua-kawannya, “Sekarang, sobat-sobat!” Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera melompat dari tanah di mana mereka menggeletak !
***
Next ...
Bab 15
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
Bab 15
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Bab 14"
Posting Komentar