Jabang Bayi Dalam Guci Bab 9

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 185
Jabang Bayi Dalam Guci


SEMBILAN
WiRO melangkah cepat menghampiri mahluk api yang masih hidup dan saat itu terkapar di halaman Istana dalam ujud seorang pemuda belasan tahun yang keadaannya sangat mengenaskan.
Sekujur tubuh mengelupas hangus. Mulut mengerang tiada henti dan sesekali tangan serta kaki melejanglejang.
Agaknya umurnya tak bakal lama.
Wiro letakkan tangan kiri di atas dada si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam disertai aliran hawa sakti. Suara erangan lenyap.
"Pemuda malang, katakan siapa dirimu!"
Sepasang mata orang yang ditanya bergerak sedikit, menatap sayu ke arah Wiro, mulut tidak memberi jawaban. Wiro lipat gandakan aliran tenaga dalam dan hawa sakti. Mata itu tampak membuka membesar.
"Ada orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam tubuhmu! Lalu menguasai dan mengendalikan dirimu.
Kau diperintah untuk membuat keonaran di Istana Kerajaan Mataram. Kau pasti diperintah membunuh Yang Mulia Raja Mataram! Betul?!"
Mulut tak menjawab tapi sepasang mata si pemuda mengedip perlahan.
"Katakan siapa orang yang melakukan semua itu?!" Wiro kembali bertanya.
Mulut si pemuda membuka, bukan untuk mengeluarkan suara tapi batuk-batuk beberapa kali lalu semburkan darah hitam! Mata membelalak beberapa saat Tubuh menggeliat dan tangan kiri kanan melejanglejang.
Wiro menunggu sampai pemuda itu tenang.
Kalau tadi dia alirkan hawa sakti hangat maka kini diganti dengan aliran hawa sejuk. Muka yang melepuh dari si pemuda tampak agak bercahaya "Lekas katakan siapa orang yang telah mencelakai dirimu!" Wiro bertanya sekali lagi.
Si pemuda menatap kosong ke langit kelam di atasnya. Kepala digeleng perlahan. Mulut tak kunjung mengeluarkan suara. Wiro lantas keluarkan bintang perunggu bersudut lima berwarna merah pekat yang diberikan oleh mahluk samar hijau di dalam Istana yang diduganya adalah Penguasa Atap Langit.
"Jangan bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja sudah diselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam batok kepala mahluk api ke llma”
Wiro ingat betul ucapan mahluk hijau di dalam Istana. Tidak tunggu lebih lama dia segera ulurkan tangan kanan yang memegang bintang perunggu merah. Sepasang mata si pemuda kelihatan membeliak besar ketika sekilas sempat melihat benda tersebut.
Mulut tiba-tiba keluarkan suara meracau, tak jelas apa yang dikatakan. Wiro letakkan bintang perunggu merah tepat di atas ubun-ubun si pemuda. Dengan mengerahkan sedikit tenaga dalam bintang perunggu merah ditekan hingga desss! Bintang merah melesak masuk ke dalam batok kepala si pemuda. Asap merah mengepul. Dari mulutnya keluar suara meraung aneh.
Bukan menyerupai suara anjing atau srigala tapi merupakan suara ngeongan kucing.
Wiro, Raja Mataram dan semua orang yang ada di tempat itu tercekat kaget ketika tiba-tiba seekor anak kucing merah melesat keluar dari batok kepala yang barusan ditembus bintang merah. Anak kucing ini mengeong keras tiga kali, melompat ke udara setinggi tiga tombak.
Hebatnya dari empat jurusan lain tiba-tiba melesat pula empat anak kucing merah. Kelima anak kucing saling bergabung di udara, membentuk lingkaran dan melayang berputar sampai lima kali lalu wuttt! Kelima binatang itu melesat ke atas, lenyap di langit gelap.
"Lima dari delapan Sukma Merah! Pasti!" Ucap Ratu Randang.
Keanehan tidak cuma sampai di sana. Begitu lima anak kucing merah lenyap di langit sosok pemuda yang terkapar di tanah tiba-tiba menjerit keras lalu bergerak duduk. Dada turun naik seolah ada yang hendak meledak di dalam tubuhnya. Kulit yang gosong hitam mengelupas berubah ke bentuk asli tanpa cidera sedikitpun. Wajahnya kini terlihat jelas. Ternyata dia seorang pemuda lugu berusia sekitar delapan belas tahun.
Wiro cepat ulurkan tangan kanan memegang bahu si pemuda sambil alirkan tenaga dalam dan hawa sakti sejuk.
"Tenang, tenang. Sekarang kau pasti bisa bicara.
Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Siapa orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam dirimu! Siapa yang mengendali dan memerintahkanmu menyerang Istana dan berniat membunuh Raja Mataram."
"Hek!" Si pemuda keluarkan suara tercekik.
Wiro cepat menotok urat besar di leher si pemuda.
Sementara Raja Mataram, Ratu Randang, Kunti Ambiri.
Sakuntaladewi dan Kumara Gandamayana serta beberapa Abdi Dalem sudah berada di situ, mengelilingi Wiro dan si pemuda.
"Bicara! Ayo cepat bicara!" Wiro kerahkan lebih banyak tenaga dalam.
Mulut si pemuda akhirnya terbuka sedikit. Dari mulut itu meluncur suara bergetar dan agak terputusputus.
"Jen….Jenazah Sim…Jenazah Simpanan…."
"Jenazah Simpanan?! Mahluk apa itu? Siapa dia?!" Tanya Wiro.
Si pemuda menggeleng.
"Dimana kami bisa menemukan mahluk bernama Jenazah Simpanan itu!"
"An…antara tuj…tujuh lapis langit dan tujuh lap…lapis bumi…"
"Antara tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi Edan!" Maki Ratu Randang.
"Kalau dia tidak mau menerangkan dengan jelas biar aku bunuh saja!" Mengancam Kunti Ambiri lalu menjambak rambut si pemuda. "Ayo lekas bicara! Atau aku betot sampai copot kepalamu!"
Tiba-tiba terasa ada sambaran angin. Dari tenggorokan si pemuda saat itu juga keluar suara mengorok. Disusul cairan membusah. Lalu sepasang mata mendelik dan nafas menyengai. Lidah mulai terjulur. Dua tangan bergerak ke leher, membuat gerakan seolah-olah menyingkirkan sesuatu yang mencekiknya!
"Ada mahluk tak terlihat mencekik pemuda ini!" Bisik Ratu Randang.
Wiro cepat berdiri sambil memberi isyarat pada si nenek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sementara Kumara Gandamayana cepat membawa Raja Mataram menjauhi tempat itu.
"Hekk….kreekkk!"
Sebelum semua orang bisa bertindak menyelamatkan tiba-tiba batang leher si pemuda berderak patah dan kepalanya terkulai ke kiri.Mata mencelet, lidah terjulur.
"Kreekkk! Kreekkk!"
Sekujur tubuh si pemuda kelihatan remuk mengerikan. Dalam keadaan hancur tubuh ini kemudian roboh ke tanah!
"Kurang ajar!" Wiro yang tadinya hendak mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat mahluk apa yang mencelakai si pemuda tidak mau membuang waktu lagi. Serta meria dia merapal aji pukulan Harimau Dewa. Kunti Ambiri dan Ratu Randang tidak tinggal diam. Keduanya juga menghantam ke arah sasaran tak terlihat yang dipukul Wiro.
"Braakkk!"
Tiga pukulan sakti seolah menghantam tembok tebal. Terdengar suara bergemuruh lalu buukkk! Dua belas langkah dari hadapan orang-orang Itu tersungkur menggeletak satu sosok tubuh mengenakan jubah hitam.
Ketika semua mendatangi, termasuk Raja Mataram, ternyata orang itu adalah seorang kakek berambut, berkumis dan berjanggut ungu. Di keningnya ada satu benjolan sebesar telur burung dara juga berwarna ungu.
Meski jelas-jelas tadi tiga pukulan sakti menghantam tubuhnya yang semula tidak kelihatan, namun si kakek sedikitpun tidak mengalami cidera. Hanya sepasang matanya saja yang kelihatan tertutup.
"Resi Jingga Anthasana…." Berucap Ratu Randang.
"Ratu, kau kenal orang ini?" Tanya Raja Mataram.
"Dia Resi sesat bermukim di lereng timur Gunung Sumbing. Sejak beberapa waktu silam saya ketahui dia telah diusir oleh para Resi Sesepuh dari pemukiman…."
"Kalau dia Resi sesat berarti pasti dia telah berkomplot dengan mahluk jahat lain yang telah menguasai dirinya. Aku curiga ini lagi-lagi perbuatan dua Sinuhun keparat itu, dibantu oleh Dirga Purana si bocah sialan!" Wiro berkata setengah memaki.
"Memang tidak ada tanda-tanda cahaya merah atau kuning atau hitam pada Resi ini. Juga sewaktu dia membunuh pemuda itu. Sama sekali tidak tampak terlibatnya ilmu kesaktian dua Sinuhun dan Dirga Purana. Namun lima anak kucing merah tadi cukup meyakinkan bahwa kelompok dua Sinuhun masih gentayangan di Bhumi Mataram." Berkata Kumara Gandamayana.
Tiba-tiba sepasang mata Resi Jingga Anthasana terbuka nyalang.
Astagal Ternyata kedua mata orang tua ini hanya merupakan rongga kosong dalam berwarna ungu. Dari dalam dua rongga mata mengepul keluar dua larik asap ungu.
Disaat yang sama terdengar suara mendesis halus disertai menebarnya bau amis. Kunti Ambiri yang sudah berpengalaman mendengar suara serta mencium bau amis serta merta berteriak.
"Lekas menyingkir!"
Meski tidak tahu apa yang akan terjadi namun semua orang termasuk Raja yang terus didampingi oleh Kumara Gandamayana segera menjauhi tempat itu.
Mereka berusaha mencapai pohon beringin besar di tengah halaman untuk dipakai berlindung.
Tiba-tiba sosok Resi Jingga Anthasana menggeliat, tangan menempel ke sisi tubuh, dua kaki merapat Di lain kejap sosok sang Resi telah berubah menjadi seekor ular besar berwarna ungu yang memiliki sepasang mata hanya berupa bolongan rongga! Di atas kepala ada sebuah tanduk lancip. Perlahan-lahan binatang ini membuat gerakan berdiri. Bagian tubuh sebelah bawah membentuk ilma lingkaran. Tubuh sebelah atas berdiri lurus. Sisi kiri kanan kepala mengembang seperti ular sendok. Semua orang yang menyaksikan jadi bergidik.
"Wusss!"
Laksana kilat ular ungu melesat ke arah Raja Mataram!
Kumara Gandamayana melompat ke depan menyongsong serangan. Selain melindungi Raja Rakai Kayuwangi Oyah Lokapala, orang tua ini pentang dua tangan ke atas. Dua tangan berubah menjadi merah seperti bara menyala. Sambil melangkah maju menghadang datangnya serangan ular ungu kakek ini membuat gerakan aneh. Dua tangan menjulur panjang, siap untuk menangkap dan melumat kepala ular ungu.
Inilah jurus serangan yang disebut Sepasang Tangan Membuka Pintu Neraka. Ilmu ini jarang dikeluarkan Kumara Gandamayana karena sangat ganas.
Benda apa saja yang kena diringkus dua tangan pasti akan hancur dan leleh mengerikan!
Dari samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang didapat dari Tua Gila. Seperti serangan Kumara Gandamayana yang di arah adalah kepala ular ungu.
Ratu Randang tidak tinggal diam. Nenek ini gulingkan diri di tanah, lalu dari bawah dia menghantam ke atas ke arah tubuh ular sebelah bawah dengan pukulan bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat Selarik sinar biru membeset ke udara.
Sakuntaladewi membalkan tubuh ke udara lalu dari atas dia membuat gerakan menghunjam dengan kaki tunggalnya. Saat itu juga selarik sinar biru kehijauan menderu menyambar ke arah tubuh ular ungu sebelah atas. Melihat datangnya empat serangan dari orang-orang berkepandaian tinggi sudah dapat dipastikan ular besar yang melesat ke arah Raja Mataram akan menemui kematian dengan tubun hancur berkeping-keping tak karuan rupa kalau tidak mau dikatakan menjadi bubuk.
Satu-satunya orang yang tidak ikut menyerang adalah Kunti Ambiri Gadis ini menggantikan kedudukan Kumara Gandamayana, melindungi Raja yang kini berada di belakangnya.
"Desss!"
"Blaarr!"
"Craasss!"
"Bukkk!"
Empat serangan menghantam sosok ular ungu dengan telak mulai dari kepala sampai kepertengahan tubuh atas bawah. Binatang itu mendesis keras. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke ekor pancarkan cahaya ungu Inilah cahaya pelindung yang hebat luar biasa! Empat serangan sakti hanya membuat tubuhnya bergoncang melejang-lejang beberapa kali Kumara Gandamayana tidak mampu menangkap dan menghancurkan kepala ular dengan dua tangannya yang merah membara. Tiga serangan Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi juga tidak sanggup menciderai ular ungu. Dalam keadaan tubuh masih utuh ular ungu kembali melesat ke arah Raja Kali ini dengan kepala tegak dan mulut menyembur uap ungu mengandung racun!
Melihat hal ini Wiro segera menghadang dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun saat itu Kunti Ambiri sudah menerjang ke depan.
"Ini bagianku! Semua lekas menjauh! Tutup jalan nafas!"
Sambil melompat mundur Ratu Randang keluarkan ilmu Tangan Langit Kaki Bumi. Selapis hawa aneh serta merta menyungkup udara, memagari semua orang yang ada di tempat itu.
***

Jabang Bayi Dalam Guci Bab 10

Pustaka Ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245

Related Posts :

0 Response to "Jabang Bayi Dalam Guci Bab 9"

Posting Komentar