WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 185
Jabang Bayi Dalam Guci
SEPULUH
RAHANG Kunti Ambiri menggembung.
Bersamaan dengan itu perut mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti alam roh ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut yang tadi mengempis melenting ke depan.
"Sett! Setttr!
"Wuutttt!"
Dari dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur berhamburan puluhan ular biru bermata merah panjang satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat keluar seekor ular besar dengan panjang hampir tiga tombak berwarna hitam berkepala putih! Tidak percuma Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagai Dewi Ular!
Puluhan ular biru bermata merah dengan cepat melibat tubuh ular ungu jejadian sosok Resi Jingga Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak terlihat lagi. Sambil melibat binatang-binatang ini mematuk buas. Suara patukan menggemuruh menggidikanl Sekujur tubuh ular ungu tampak dipenuhi puluhan lobang!
Tiba-tiba dari tubuh ular yang dikeroyok memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular biru terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh hangus mengkeret lalu meledak!
Kunti Ambiri menjerit marah!
"Bunuh!" Teriak si gadis.
Ular besar hitam kepala putih yang keluar dari dalam perut melalui pusar Kunti Ambiri melesat laksana topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat berlangsung ganas. Kepala saling dibentur. Patuk dan gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah di tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada henti. Tampaknya ular ungu bercula terdesak menghadapi keganasan ular hitam kepala putih. Namun tidak disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba kepala dan sosok ular ungu berubah besar dan panjang menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu terjadilah hal yang membuat semua orang terkejut dan Kunti Ambiri berteriak kaget.
Ular ungu pentang kepala, mulut membuka lebar.
Sekali kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala dan tubuh ular hitam kepala putih milik Kunti Ambiri amblas masuk.
"Greeekkk! Kreekk…kreekk…kreekk!"
"Kurang ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah.
Tidak percaya ketika melihat bagaimana ular hitam kepala putih menggelepar-gelepar ditelan ular ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulangtulang yang hancur dari ular hitam kepala putih miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa remuk dan nafas menyesak. Semua orang terkesiap ngeri dan untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun bergidik melihat apa yang terjadi.
Wiro sadar lebih dulu. Tangan kanan dipentang dan serta merta berubah menjadi seputih perak berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk dihantamkan ke arah ular ungu yang saat itu nyaris melahap habis sosok ular hitam kepala putih. Namun sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tibatiba dengan kecepatan luar biasa ekor ular ungu mengibas melesat ke arahnya.
"Wuutt!"
Wiro melihat seolah batang pohon kelapa siap menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari namun dirinya belum tentu selamat dari gebukan ekor ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.
"Braakkk!"
Tembok halaman istana di dekat pintu gerbang yang sebelumnya sudah roboh kini tambah hancur tak karuan dihantam ekor ular ungu.
Tidak berhasil menggebuk Wiro dengan ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan diremuk dan ditelan. Hanya sesaat lagi Wiro akan kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut menghantam pula dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau.
Yang di arah adalah hidung ular ungu yang dianggapnya merupakan bagian terlemah dari setiap ular.
Walau pukulan Ratu Randang dan Sakuntaladewi hanya bisa mendorong ular ungu sampai dua tombak, namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari muntahan tubuh dan tulang belulang ular hitam kepala putih.
"Bruukkk!"
Muntahan tubuh dan tulang ular ungu jatuh di tanah, membentuk satu gundukan setinggi betis dan hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu tengah berusaha berdiri din siap melepas pukulan pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis menebar.
Sosok ular ungu bergerak ke atas, mengambang setengah tombak d udara. Hidung tampak mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri.
Bagian tubuh sebelah tengah sampai kepala mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda siap melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului dengan melesatnya dua cahaya ungu dari dalam rongga mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam gerak serangan berbentuk lingkaran.
Ratu Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi berpencar selamatkan diri. Terpaan angin yang keluar dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya terkapar di tanah. Walau tidak cidera tapi untuk beberapa lama mereka tidak mampu bergerak bangkit.
Sementara itu Wiro tetap nekad untuk menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun kepala ular ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat.
Cahaya ungu yang membersit dari sepasang mata sang ular membuat Wiro kesilauan dan tidak dapat melihat jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang menyaksikan dan sudah menduga apa yang bakal terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari kecil ikut memenuhi udara malam.
Kumara Gandamayana jejakkan kaki kanan ke tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bhumi Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot kekuatan dari dalam tanah, kakek ini langsung melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.
"Bukkk!"
Tendangan Kumara Gandamayana memang berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit kesakitan lalu jatuh di tanah, tak mampu bergerak untuk beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan kaki kanan si kakek tampak menggembung bengkak.
Ular ungu tanpa bergeming sedikitpun terus melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang lebar.
Lidah panjang bercabang menjulur merah. Cairan ludah dan racun bercampur darah berlelehan. Taring mencuat panjang dan runcing.
Hanya sekejapan mata lagi kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan istana menjadi lebih kelam. Di udara terdengar suara kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang, membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin luruh berhamburan. Satu bayang-bayang hitam menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk menyambar jalan pernafasan. Semua orang menatap ke atas dan langsung terkesiap kaget. Mereka tidak tahu apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang raksasa atau hantu jejadian.
"Kelelawar hantu…." Ucap Sakuntaladewi dengan suara bergetar.
***
Bersamaan dengan itu perut mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti alam roh ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut yang tadi mengempis melenting ke depan.
"Sett! Setttr!
"Wuutttt!"
Dari dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur berhamburan puluhan ular biru bermata merah panjang satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat keluar seekor ular besar dengan panjang hampir tiga tombak berwarna hitam berkepala putih! Tidak percuma Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagai Dewi Ular!
Puluhan ular biru bermata merah dengan cepat melibat tubuh ular ungu jejadian sosok Resi Jingga Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak terlihat lagi. Sambil melibat binatang-binatang ini mematuk buas. Suara patukan menggemuruh menggidikanl Sekujur tubuh ular ungu tampak dipenuhi puluhan lobang!
Tiba-tiba dari tubuh ular yang dikeroyok memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular biru terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh hangus mengkeret lalu meledak!
Kunti Ambiri menjerit marah!
"Bunuh!" Teriak si gadis.
Ular besar hitam kepala putih yang keluar dari dalam perut melalui pusar Kunti Ambiri melesat laksana topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat berlangsung ganas. Kepala saling dibentur. Patuk dan gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah di tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada henti. Tampaknya ular ungu bercula terdesak menghadapi keganasan ular hitam kepala putih. Namun tidak disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba kepala dan sosok ular ungu berubah besar dan panjang menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu terjadilah hal yang membuat semua orang terkejut dan Kunti Ambiri berteriak kaget.
Ular ungu pentang kepala, mulut membuka lebar.
Sekali kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala dan tubuh ular hitam kepala putih milik Kunti Ambiri amblas masuk.
"Greeekkk! Kreekk…kreekk…kreekk!"
"Kurang ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah.
Tidak percaya ketika melihat bagaimana ular hitam kepala putih menggelepar-gelepar ditelan ular ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulangtulang yang hancur dari ular hitam kepala putih miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa remuk dan nafas menyesak. Semua orang terkesiap ngeri dan untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun bergidik melihat apa yang terjadi.
Wiro sadar lebih dulu. Tangan kanan dipentang dan serta merta berubah menjadi seputih perak berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk dihantamkan ke arah ular ungu yang saat itu nyaris melahap habis sosok ular hitam kepala putih. Namun sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tibatiba dengan kecepatan luar biasa ekor ular ungu mengibas melesat ke arahnya.
"Wuutt!"
Wiro melihat seolah batang pohon kelapa siap menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari namun dirinya belum tentu selamat dari gebukan ekor ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.
"Braakkk!"
Tembok halaman istana di dekat pintu gerbang yang sebelumnya sudah roboh kini tambah hancur tak karuan dihantam ekor ular ungu.
Tidak berhasil menggebuk Wiro dengan ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan diremuk dan ditelan. Hanya sesaat lagi Wiro akan kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut menghantam pula dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau.
Yang di arah adalah hidung ular ungu yang dianggapnya merupakan bagian terlemah dari setiap ular.
Walau pukulan Ratu Randang dan Sakuntaladewi hanya bisa mendorong ular ungu sampai dua tombak, namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari muntahan tubuh dan tulang belulang ular hitam kepala putih.
"Bruukkk!"
Muntahan tubuh dan tulang ular ungu jatuh di tanah, membentuk satu gundukan setinggi betis dan hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu tengah berusaha berdiri din siap melepas pukulan pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis menebar.
Sosok ular ungu bergerak ke atas, mengambang setengah tombak d udara. Hidung tampak mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri.
Bagian tubuh sebelah tengah sampai kepala mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda siap melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului dengan melesatnya dua cahaya ungu dari dalam rongga mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam gerak serangan berbentuk lingkaran.
Ratu Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi berpencar selamatkan diri. Terpaan angin yang keluar dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya terkapar di tanah. Walau tidak cidera tapi untuk beberapa lama mereka tidak mampu bergerak bangkit.
Sementara itu Wiro tetap nekad untuk menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun kepala ular ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat.
Cahaya ungu yang membersit dari sepasang mata sang ular membuat Wiro kesilauan dan tidak dapat melihat jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang menyaksikan dan sudah menduga apa yang bakal terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari kecil ikut memenuhi udara malam.
Kumara Gandamayana jejakkan kaki kanan ke tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bhumi Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot kekuatan dari dalam tanah, kakek ini langsung melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.
"Bukkk!"
Tendangan Kumara Gandamayana memang berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit kesakitan lalu jatuh di tanah, tak mampu bergerak untuk beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan kaki kanan si kakek tampak menggembung bengkak.
Ular ungu tanpa bergeming sedikitpun terus melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang lebar.
Lidah panjang bercabang menjulur merah. Cairan ludah dan racun bercampur darah berlelehan. Taring mencuat panjang dan runcing.
Hanya sekejapan mata lagi kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan istana menjadi lebih kelam. Di udara terdengar suara kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang, membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin luruh berhamburan. Satu bayang-bayang hitam menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk menyambar jalan pernafasan. Semua orang menatap ke atas dan langsung terkesiap kaget. Mereka tidak tahu apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang raksasa atau hantu jejadian.
"Kelelawar hantu…." Ucap Sakuntaladewi dengan suara bergetar.
***
Jabang Bayi Dalam Guci Bab 11
Pustaka Ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Jabang Bayi Dalam Guci Bab 10"
Posting Komentar