Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 14

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
EMPAT BELAS
Di ufuk timur fajar kelihatan sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang jagat akan memunculkan diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi hari yang kemudian disusul oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru kelihatan remang-remang bergerak sangat cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tengah malam tadi mereka berkemah di tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru meneruskan perjalanan ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani sehingga tak usah bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat pada saat matahari munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah berada di kaki bukit sebelah timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan yang akan membawa mereka ke Istana Dewi Siluman, tiga sosok bayangan biru muncul menghadang mereka.

“Hai Inani! Kau rupanya!” seru salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain dari anak-anak buah Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan.
“Hai!” seru Inani sambil lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju biru itu merasakan tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun bicara.
“Hebat sekali totokanmu, Inani!” kata Wiro memuji dengan tersenyum.
Inani cepat-cepat keluarkan botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing setetes ke dalam mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan tempat itu Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan pertama, Dewi Siluman masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang hangat lembut. Hari telah siang tapi malas sekali dia turun dari tempat tidur. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan mandi pagi, di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia sudah memanggil.
Dewi Siluman memperhatikan tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti itu biasanya dia telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman menghitung-hitung hari. Kekhawatiran untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya. Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakani dan Laruni sampai pagi itu tiada kabar beritanya. Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak diinginkan dengan mereka? Tapi kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni adalah anak buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.
Akhirnya Dewi Siluman juga berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di tepi tempat tidur, memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu ditanggalkannya pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga hitam. Tanpa selembar benang pun menutupi badannya sang Dewi berdiri di muka kaca. Betapa indah potongan tubuhnya, betapa halus mulus kulitnya. Tapi betapa rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang laki-laki.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang.
Dewi Siluman memperhatikan kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu.
Siapa pula yang mengganggunya, pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak buahnya yang datang membawa kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi Siluman mengenakan pakaian tidurnya kembali dan berkata. “Masuk!”
Pintu kamar terbuka.
Dan kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang anak buahnya, melainkan seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan berparas gagah.
Walau bagaimana pun kejam dan jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal tertentu dia tak dapat menyembunyikan gerak refleks keperempuannya. Dewi Siluman segera rapatkan pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski tidak seratus persen marah.
“Orang muda? Siapa kau yang berani berlaku lancang masuk ke kamarku?!”
Pemuda itu sunggingkan seulas senyum.
“Apakah aku berhadapan dengan Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul?” tanyanya.
“Betul! Lekas terangkan siapa kau! Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!”
“Kalau aku tidak salah, bukankah Dewi selama ini mencari-cariku…?”
Berdebarlah hati Dewi Siluman.
“Jadi kau adalah pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!”
“Betul sekali Dewi. Barangkali kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai diriku hendak ditawan oleh orang-orangmu?”
Dewi Siluman tertawa. Sungguh merdu suara tertawanya laksana taburan mutiara yang berderai di lantai batu pualam.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap delapan orang anak buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini!”
“Soal delapan anak buahmu itu mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa saja.
Kau mencari-cariku berarti aku sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu mengantar dan menunjukkan kamarmu ini.”
Kembali Dewi Siluman tertawa merdu.
“Orang gagah, kuharap kau tahu di mana berada dan dengan siapa kau bicara….”
Pemuda berambut gondrong yang bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan kepala. “Nama besarmu sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu itu bukan karena pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada taranya!”
Dewi Siluman naikkan hidungnya.
“Apakah maksud kedatanganmu ke Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?!”
“Kau bisa katakan demikian….”
Dewi Siluman tertawa panjang.
“Kau andalkan apakah maka berani membuat rencana dernikian?”
Wiro menjawab dengan balas tertawa.
Di atas sebuah meja di dalam kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung kendi yang terbuat dari emas. Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman menunjuk pada patung itu dan berkata. “Kau lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau sanggup melakukan seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di hadapanku!”
Habis berkata begitu Dewi Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan menghadap ke patung emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu laksana ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang beratnya tiga kilo itu naik ke atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman, lalu melayang lagi kembali ke tempatnya di atas meja.
Dengan senyum di bibir Dewi Siluman berpaling pada Wiro Sableng. “Bagaimana?
Sanggupkah kau melakukannya? Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun kepadaku! Kau tidak terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku!”
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.
Diam-diam memang Wiro Sableng mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi Siluman. Meski demikian mana Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja.
“Memang meniru seperti yang kau lakukan itu aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan terbalik!”
Dewi Siluman palingkan kepala dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi memang berdiri di atas meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di sebelah bawah.
Dewi Siluman putar kepalanya kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik demikian. Tiba-tiba sang Dewi keluarkan tertawanya yang merdu.
“Tenaga dalammu boleh juga orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus untukmu!” Dewi Siluman melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi tempat tidur.
“Aku yakin kau akan menyetujui usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu.”
“Apakah namaku itu perlu betul bagimu?” tanya Wiro.
“Tentu!” jawab Dewi Siluman seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia menambahkan. “Seorang gagah dan berilmu sepertimu ini musti diketahui dulu namanya!”
Wiro tersenyum. “Manusia dilahirkan tidak bernama,” katanya. “Karenanya tak perlu kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan usul bagus yang kau katakan itu!”
“Orang muda, kau terlalu jual mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang berhati keras, betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri tahu nama, namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap orang berilmu tinggi mempunyai cita-cita besar. Bagaimana kalau kita berdampingan satu sama lain dalam menguasai dunia persilatan?!”
Wiro merenung macam orang tua lalu manggut-manggut. “Usulmu memang bagus…,”
katanya. Paras Dewi Siluman kelihatan gembira. “Tapi,” sambung Wiro pula yang membuat Dewi Siluman kembali berubah parasnya. “Aku datang ke sini bukan untuk menerima segala macam usul atau membuat segala macam perjanjian….”
Paras Dewi Siluman menegang. “Lalu?” sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.
Wiro menatap paras jelita itu beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi bergetar hatinya.
“Segala sesuatu di dunia ini musti ada akhirnya,” Wiro Sableng membuka pembicaraan kembali. “Diakhiri atau berakhir sendirinya. Demikian pula dengan kejahatan….”
Dewi Siluman hendak membentak memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan mata si pemuda mulutnya tak kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di tempatnya.
“Setiap tokoh silat adalah wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia persilatan. Namun caranya juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa peri kemanusiaan.
Bukan dengan jalan membunuh anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak berdaya dan tak berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang mereka ke mari lalu menjebloskannya di Ruang Penyiksaan….”
Dewi Siluman terkejut amat sangat. Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar 212.
“Bukan pula dengan menculik gadis-gadis cantik lalu, meracunnya dengan obat kesetanan!
Hendak menguasai dunia persilatan dengan cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil, tapi akan membawa pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan, Kehancuran itulah suatu akhir.
Hancur sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau dihancurkan, Dewi Siluman. Bukankah begitu…?”
Tenggorokan Dewi Siluman turun naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. “Orang muda!
Bicaramu keliwat pandai! Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?!”
Laksana kilat Dewi Siluman hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru yang amat panas menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan “brak!” Dinding kamar di belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar kini.
“Kau menghancurkan dirimu sendiri, Dewi Siluman,” desis Wiro Sableng disertai lontaran senyum. “Tidak sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan melihat satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia persilatan ini!”
Dewi Siluman melotot besar sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari serangan “Angin Biru”nya tadi.
“Orang muda, pintu masih terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku menurut caraku!”
“Menyesal sekali, Dewi….”
“Kau yang akan menyesal jika kau menolaknya!” tukas Dewi Siluman. “Meski ilmumu setinggi langit tapi tak satu manusia pun yang bisa menghancurkanku!”
“Bukan orang lain yang akan menghancurkanmu, tapi kau sendiri,” sahut Pendekar 212.
Dewi Siluman tertawa aneh. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur.
“Jangan kelewat memandang sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku tidak melihat bahwa kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang aku sudah hancurkan kepalamu!” Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya perlahan-lahan di atas tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya digelorai oleh darah muda.
“Orang gagah, kemarilah!” panggil Dewi Siluman. Suaranya berubah merdu tidak membentak lagi.
Wiro tetap berdiri di tempatnya.
“Kemarilah….” Dewi Siluman lambaikan tangannya.
Pendekar 212 melangkah. Dia berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah mudanya semakin menyentak-nyentak.
Dewi Siluman menopang dagunya dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si pemuda lalu berkata. “Seluruh isi Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia persilatan akan berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah sekali…?” Dewi Siluman menggerak-gerakkan kakinya.
“Kedengarannya memang begitu,” sahut Wiro. “Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau menelan pil ini….”
Dewi Siluman kerenyitkan kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil hitam di tangan Wiro Sableng.
“Pil apa itu?” tanya Dewi Siluman acuh tak acuh.
“Pada dasarnya manusia itu semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi meracuni hati dan pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun hati dan racun pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman!”
Dewi Siluman tertawa berderai.
“Maksudmu kau mau mengobati diriku, orang muda?”
Wiro anggukkan kepala.
Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang.
“Hanya orang sakit yang minum obat. Aku tidak sakit.”
“Kau memang sakit Dewi Siluman, sudah sejak lama,” kata Wiro pula.
Dewi siluman luruskan kedua kakinya yang mulus bagus.
“Aku akan telan pil itu,” kata Dewi Siluman. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Berbaringlah di sampingku.”
Bergelegar dada Pendekar 212. Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang memukul batu karang di pantai curam.
“Kau perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu tidur,” kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan yang mengandung racun.
“Soal tidur soal gampang Dewi,” kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya.
“Kebaikan adalah yang paling dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini….”
Dewi Siluman tersenyum.
“Aku ingin sekali menghiburmu, tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini….”
“Inani maksudmu? Aku telah bertemu dengan dia.”
Kagetlah Dewi Siluman.
“Dan bukan dia sendiri. Dewi, tapi juga tujuh orang lainnya….”
“Kau apakan mereka?”
“Mereka gadis-gadis cantik yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!”
“Kau yang melakukannya?!”
“Kiai Bangkalan!”
Membersilah paras Dewi Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini kemudian mengendur sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali.
“Aku tak perduli dengan mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat, bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti!” Dan habis berkata begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa pakaian selembar benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu Dewi Siluman melompatinya.
“Orang muda, apakah aku tak boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh tubuhku pada tubuhmu…?”
“Boleh saja tapi sekarang bukan saatnya.”
“Justru sekarang inilah saatnya” dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih tubuh Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit.
“Kau keterlaluan orang muda! Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang muda. Cium parasku, bibirku, dadaku… semuanya….”
“Buset!” ujar Wiro Sableng dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya.
“Dengar Dewi, aku akan cium kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan pil ini….” Wiro acungkan tangan kanannya, Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar 212 terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya mental ke udara? Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada dalam genggaman Dewi Siluman. Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan hati itu.
“Sekarang tidak ada lagi segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang muda… mari…!”
Pendekar 212 mulai beringasan dan penasaran.
“Aku telah datang membawa kebaikan untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam dirimu memang sudah sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman Istana!”
“Kau mencari mati orang muda?!”
“Dan kau mencari mampus!”
“Bedebah!” maki Dewi Siluman. Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan memandang berkeliling dengan heran.
“Aha… kau memanggil anak-anak buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya telah dicekok dengan obat pembersih otak!”
Kaget Dewi Siluman bukan main.
“Manusia tolol! Diberi kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di Ruang Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ruang Penyiksaan hanya tinggal nama saja lagi!” sahutnya. “Tiga tokoh silat yang masih hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing hancur, satu pertanda bagi kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika otakmu masih diracuni oleh kejahatan, taman itu akan menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba larikan diri Dewi. Setiap jalan rahasia sudah dijaga!”
“Setan alas! Mampuslah!” teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka.
“Wuss!”
Dua sinar biru menderu ganas. Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari kamar itu.
***
Next ...
Bab 15

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 14"

Posting Komentar