Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 4

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
EMPAT
Petikan kecapi yang membawakan lagu cinta itu menggema ke luar kamar, sampai ke kolam dan taman dimana anak-anak buah Dewi Siluman tengah mandi-mandi dan duduk-duduk beristirahat. Semua mereka saling berpandangan lalu memutar kepala ke arah jendela di anjungan ketiga yang tingginya empat puluh tombak lebih.

“Aneh, sejak kapankah Dewi kita menyenangi lagu cinta-cintaan?” tanya salah seorang dari mereka.
Tak ada yang memberikan jawaban. Semua mata diarahkan ke jendela anjungan. Semua telinga mendengarkan. Suara kecapi yang merdu itu memasuki liang-liang telinga para gadis, laksana air gunung yang sejuk terus mengalir ke hatinya. Betapa indahnya sesuatu yang dipengaruhi oleh cinta. Betapa indahnya bercinta. Cinta kasih antara laki-laki dan pemudi. Dan mereka semua adalah gadis-gadis yang selama ini tidak mengenal apa artinya cinta. Di dalam Istana Dewi Siluman yang terletak di bawah Bukit Tunggul, itu hidup mereka hanyalah antara sesama gadis, sesama perempuan. Dan kini mendengar lagu cinta kasih itu, hati mereka laksana berontak, darah mereka menjadi panas. Walau bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa, gadis-gadis yang membutuhkan cinta kasih sayang seorang pemuda. Gadis-gadis yang selama ini hidup di alam suasana tertekan, dipaksakan untuk tidak mengenal cinta. Tapi kali itu melalui petikan kecapi yang dimainkan oleh Inani tanpa disadari, Dewi Siluman secara tak langsung telah memberikan kenyataan pada anak-anak buahnya bahwa sesungguhnya di dunia ini memang ada cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Melalui petikan kecapi itu Dewi Siluman membuat anak-anak buahnya menjadi sadar bahwa mereka semua adalah makhluk-makhluk hidup, manusia-manusia, gadis-gadis yang membutuhkan kasih seorang laki-laki, membutuhkan peluk dekap dan ciuman mesra seorang pemuda.
Lagu itu belum lagi sampai ke ujungnya. Tiba-tiba saja petikan kecapi berhenti dan gadisgadis yang di kolam serta di taman melihat tubuh Dewi Siluman muncul di ambang jendela.
“Kalian mendengarkan apakah?!” bentak Dewi Siluman marah. Suaranya menggetarkan seluruh Istana. “Semua masuk ke kamar masing-masing! Jangan kalian berani memikirkan kehidupan dunia yang bukan-bukan! Siapa yang tak dengar perintah akan menerima hukuman berat!”
Penuh ketakutan maka gadis-gadis itu segera tinggalkan kolam dan taman.
Sementara itu Nariti dan tiga orang kawannya dengan cepat meninggalkan Istana Dewi Siluman. Mereka mengambil jalan memotong yaitu melewati lorong-lorong di bawah bukit dan lamping gunung. Ketika Inani dan tiga kawan-kawannya itu sampai ke jalan kecil di tempat mana dia tadi bertempur dengan Pendekar 212 Wiro Sableng maka pada saat itu mereka melihat bagaimana pemuda itu terhampar di tanah. Tiga manusia berebut cepat untuk mengirimnya ke akhirat. Yang dua membacokkan senjata berbentuk arit sedang yang ketiga hendak memuntir dan menanggalkan kepala pemuda itu dari tubuhnya.
Dengan serta merta Nariti berteriak.
“Setiap nyawa manusia di Pulau Madura ini adalah milik Dewi Siluman! Kalian tak berhak merampas jiwa pemuda itu! Kecuali kalau mau ikut-ikutan mampus!”
Terkejutlah Si Telinga Arit Sakti, Sepasang Arit Hitam dan Sepuluh Jari Kematian. Pada saat itu empat bayangan biru melompat ke hadapan mereka. Keempatnya ternyata gadis-gadis berparas cantik.
Wiro sendiri yang tadi pejamkan mata menunggu detik kematiannya, kali ini membuka kedua matanya itu dan menjadi heran melihat kemunculan empat gadis itu. Merekalah orangorangnya Dewi Siluman? Gadis-gadis cantik begini macam? Sungguh tak dapat dipercaya. Gadis gadis begitu jelita bisa membuat kejahatan main bunuh di mana-mana. Membunuh manusia manusia tak berdosa termasuk anak-anak dan orang-orang tua tak berdaya.
Sepuluh Jari Kematian lepaskan kepala Wiro Sableng yang barusan hendak dipuntirnya itu.
Sepasang Arit Hitam dan Si Telinga Arit Sakti batalkan bacokan arit mereka.
Dengan kertakkan rahang penuh geram Sepuluh Jari Kematian membentak.
“Gadis-gadis baju biru! Kalian siapakah yang berani lancang ikut campur urusan orang lain?!”
Nariti mendengus.
“Orang tua jelek! Jangan jual omong besar di hadapanku! Serahkan pemuda rambut gondrong itu dan kalian bertiga ikut kami!”
Sepuluh Jari Kematian tertawa dingin. “Gadis jelita, meski kau seorang bidadari dari kahyangan, jangan kira aku yang tua ini berbelas kasihan untuk tidak merusak kecantikanmu itu!”
“Jangan banyak bacot!” bentak Nariti.
Marahlah Sepuluh Jari Kematian. Tangan kanannya diangkat ke atas.
“Kau mau keluarkan Ilmu Jari Penghancur Sukma? Silahkan teruskan!” mengejek Nariti.
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian melihat si gadis mengetahui ilmu kesaktian yang hendak dilepaskannya.
“Gadis, sebaiknya lekas beritahu siapa kalian. Kalau tidak kau berempat akan mampus percuma!”
Keempat gadis itu tertawa bergelak.
Nariti buka mulut. “Dasar orang tua pikun! Masih tak tahu siapa kami! Delapan penjuru angin dunia persilatan mulai beberapa waktu yang lalu adalah di bawah kekuasaan Dewi Siluman!”
“Oh, jadi kalian adalah orang-orangnya Dewi Siluman?” tanya Sepasang Arit Hitam.
“Sudah tahu kenapa berlagak pikun?!” sentak salah seorang kawan Nariti.
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk.
“Untung kalian lekas beritahu siapa kalian,” katanya. “Kalau tidak hampir saja aku salah turun tangan!”
Nariti sunggingkan senyum mengejek.
“Setelah tahu siapa kami apakah kalian bertiga tidak mau turut apa yang kami katakan…?”
Sepuluh Jari Kematian batuk-batuk lagi. “Sebetulnya kami masih belum jelas apakah yang kalian mau….” ujarnya.
Nariti menjawab. “Pemuda yang melingkar di tanah itu serahkan pada kami dan kalian bertiga ikut ke Istana Dewi Siluman!”
Sepuluh Jari Kematian hela nafas panjang. “Tak mungkin!” katanya.
“Bakul kentut! Apa yang tidak mungkin!” bentak Nariti.
Mendengar makian bakul kentut itu Wiro Sableng terkejut. Dia ingat akan pertempurannya dengan si nenek muka keriput sebelumnya. Si nenek telah memakinya dengan ucapan itu. Apakah si nenek bukannya gadis jelita ini, pikir Wiro. Sementara itu dia menunggu kesempatan yang sebaik baiknya untuk melakukan sesuatu yang dirasakannya paling baik.
“Tak mungkin!” mengulang Sepuluh Jari Kematian. “Pemuda bangsat ini punya hutang jiwa terhadapku! Dia telah membunuh muridku!”
“Di samping itu,” menimpali Si Telinga Arit Sakti. “Antara aku dan dia terdapat dendam kesumat yang belum terselesaikan!” .
“Perduli dengan hutang nyawa! Persetan dengan segala dendam kesumat! Apakah di Pulau Madura ini ada bangsa kwaci yang berani menantang perintah Dewi Siluman dari Istana Bukit Tunggul?!”
Marahlah Sepasang Arit Hitam karena dirinya dicap “bangsa kwaci” itu. Dia mendengus dan buka suara. “Kau terlalu pongah mengumbar mulut seenaknya, mencap aku dan dua kawanku manusia-manusia bangsa kwaci! Kau kira dunia persilatan ini kau dan Dewimu itukah yang menguasainya?! Apa kau yang masih pitit hijau ini masih belum pernah mendengar nama gelarku, Sepasang Arit Hitam? Belum pernah tahu gelar muridku, Si Telinga Arit Sakti?! Juga memandang rendah pada Sepuluh Jari Kematian yang merupakan tokoh ternama dirimba persilatan?!”
Nariti tertawa panjang.
“Gelar kalian memang hebat-hebat, menyeramkan! Tapi bagi kami orang-orangnya Dewi Siluman itu bukan apa-apa! Katakan saja apakah kau bertiga bersedia ikut atau mati di tempat ini sekarang juga?!”
Sepasang Arit Hitam renggangkan kedua kaki. Matanya yang cuma satu menyorot marah.
Namun dengan ilmu menyusupkan suara Sepuluh Jari Kematian segera memberi kisikan. “Jangan teruskan niatmu, Sepasang Arit Hitam. Gadis-gadis ini rata-rata berkepandaian tinggi. Meskipun kau sanggup kalahkan mereka tapi kita tak bakal bisa ke luar dari pulau ini dengan selamat!”
“Kalau kau mau dicap manusia kwaci mentah, biarlah! Jangan perduli aku!” bentak Sepasang Arit Hitam. Dia berpaling pada Nariti. “Apakah kau akan maju sendirian atau sekali berempat?!”
“Hem… jadi ini contoh manusianya yang minta cepat-cepat mampus?!” menyahuti Nariti.
“Tikus tua renta bermata picak mau jual tampang di sarang macan?!” Nariti dan ketiga kawannya tertawa gelak-gelak.
Sepasang Arit Hitam berkobar amarahnya. Dia maju dengan cepat. Tapi muridnya Si Telinga Arit Sakti mendahului.
“Guru, biar aku yang kasih pelajaran pada gadis ingusan bermulut besar ini!” kata Telinga Arit Sakti.
“Bereskan dia dalam tiga jurus!” perintah Sepasang Arit Hitam.
Si Telinga Arit Sakti keluarkan senjatanya yaitu sebilah arit. Semua orang yang ada di situ boleh dikatakan telah melupakan Wiro Sableng. Pada saat Si Telinga Arit Sakti menyerbu ke depan dengan satu sambaran dahsyat ke arah leher Nariti maka Pendekar 212 Wiro Sableng melompat dari tanah seraya berseru. “Kalian bertempurlah sampai mampus! Lain kesempatan kita bertemu lagi!”
“Kawan-kawan! Kejar pemuda itu!” teriak Nariti sambil mengelakkan serangan Telinga Arit Sakti. Tiga kawannya melompat ke muka, tapi Wiro Sableng sudah lenyap.
Kemarahan Nariti tertumpah bulat-bulat pada Telinga Arit Sakti dan Sepasang Arit Hitam.
Berserulah dia. “Kawan-kawan, tangkap hidup-hidup perempuan tua mata picak itu!”
Ketiga gadis yang tadi melompat mengejar Wiro berbalik dan kini mengurung Sepasang Arit Hitam.
“Bagus, kalian majulah sekali bertiga biar cepat kumusnahkan!” teriak Sepasang Arit Hitam.
Serentak dengan itu dia keluarkan sepasang arit hitam yang memancarkan warna menggidikkan.
Di lain pihak tiga orang anak buah Dewi Siluman keluarkan tiga buah jala berbentuk aneh.
Jala ini besarnya hanya segumpalan tangan, terbuat dari sutera halus berwarna biru. Ketiganya memencar mengurung Sepasang Arit Hitam.
Didahului dengan pekik yang dahsyat Sepasang Arit Hitam menyerbu dan bagaikan enam serangan arit kepada tiga orang lawannya. Warna hitam dari kedua senjatanya menderu mengerikan.
Memaklumi dua buah arit di tangan lawan adalah senjata-senjata mustika sakti, tiga orang anak buah Dewi Siluman tiada berani membuat jurus adu kekuatan. Mereka menyurut beberapa langkah ke belakang, begitu sepasang arit lewat maka ketiganya menyerbu ke muka. Secepat kilat tebarkan jala sutera biru.
Sepasang Arit Hitam sewaktu melihat tiga tebaran warna biru menyungkupi bagian atas tubuhnya dengan cepat merunduk dan sepasang senjatanya kini menderu ke arah lengan-lengan tiga orang anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul. Tapi serangannya yang kedua ini kembali mengenai tempat kosong karena dengan sebat tiga gadis baju biru tarik lengan serta jalanya untuk kemudian menyerang lagi dengan tebaran jala ke arah pinggang dan kaki Sepasang Arit Hitam.
Naiklah amarah Sepasang Arit Hitam. Tiga gadis anak buah Dewi Siluman itu ternyata tidak mudah baginya untuk merubuhkan. Dia melompat ke udara setinggi empat tombak dan babatkan arit di tangan kanan ke arah tiga buah jala sedang arit di tangan kiri disapukan dengan ganas pada kepala ketiga gadis yang mengeroyoknya.
Tiga gadis melengking keras. Tubuh mereka lenyap dan tahu-tahu Sepasang Arit Hitam merasakan bagaimana salah satu dari jala sutera lawan telah menjirat arit di tangan kanannya.
Betapapun dia coba untuk menariknya dengan sekuat tenaga namun tak berhasil. Dia terpaksa serahkan arit yang satu itu kepada lawan untuk menyelamatkan lengannya dari sambaran dua jala sutera lainnya.
Ketiga gadis tertawa mengejek.
Seorang di antara mereka berkata. “Inikah nenek-nenek sakti tokoh dunia persilatan terkenal yang bergelar Sepasang Arit Hitam itu? Huah! Nyatanya tak lebih dari bangsa kurcaci saja!”
Bola mata kiri Sepasang Arit Hitam kelihatan seperti berapi-api sedang mata kanannya yang berlobang besar tampak tambah cekung menggidikkan.
Perempuan tua ini pindahkan arit yang di tangan kirinya ke tangan kanan.
“Gadis-gadis keparat! Kenalkah kalian akan jurus lain?!”
Tiga orang anak buah Dewi Siluman sunggingkan senyum mengejek. Tapi karena ingin tahu mereka menunggu dan memperhatikan. Sepasang Arit Hitam berdiri dengan kaki merenggang.
Tangan kiri diangkat tinggi-tinggi agak ke belakang kepala sedang arit di tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke muka. Kelihatannya acungan arit itu merupakan bulan-bulanan serangan yang empuk, namun jika seorang coba menyerang maka secepat kilat tangan kiri akan memukul ke muka, arit berkiblat dan kaki kiri menendang. Jika tiga serangan ini masih gagal maka dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi, Sepasang Arit Hitam akan sanggup lancarkan serangan susulan yang lebih ganas dari yang pertama tadi.
Karena memang tidak mengenali jurus apa yang bakal dikeluarkan si nenek, namun melihat sikap dan tampang si nenek yang demikian menggidikkan, tiga gadis itu diam-diam memaklumi bahwa lawan mereka hendak mengeluarkan satu jurus serangan yang dahsyat. Karenanya ketiga gadis ini bersiap siaga. Bagi pihak mereka sendiri jika lawan mereka itu salah-salah langkah dalam lancarkan serangan akan segera pula menjadi mangsa mereka.
Sementara itu pertempuran antara Nariti dan Si Telinga Arit Sakti berjalan sangat seru.
Telinga Arit Sakti kirimkan jurus-jurus yang mematikan. Aritnya yang putih mengeluarkan sinar bergulung-gulung melanda ke arah Nariti. Namun Nariti sendiri bukanlah seorang lawan jenis murahan. Tubuhnya hampir lenyap dari pemandangan, cuma bayangan warna biru pakaiannya saja yang kelihatan berkelebat kian kemari.
Mendadak sontak terdengar pekik menggidikkan keluar dari mulut Nariti.
Belum habis pekik itu menyusul lengkingan Si Telinga Arit Sakti. Senjatanya kelihatan mental ke udara. Satu tangan menyambar senjata itu. Dan sekejap kemudian arit putih itu menderu laksana kilat ke arah batang leher pemiliknya sendiri.
“Tahan!” teriak Sepuluh Jari Kematian yang menyaksikan bagaimana Si Telinga Arit Sakti tiada sanggup mengelakkan serangan maut itu.
Tapi mana Nariti mau ambil perduli teriakan tokoh silat itu. Arit di tangannya terus menderu dan “Cras!” Putuslah leher Telinga Arit Sakti. Tubuh dan kepala terpisah. Darah menyembur mengerikan.
Sepasang Arit Hitam pelototkan mata kirinya besar-besar sewaktu di hadapannya menggelinding kepala muridnya sendiri. Dari tenggorokannya keluar suara mengaum macam harimau lapar dan sekejap kemudian tubuhnya pun berkelebat ke muka, lancarkan satu jurus
serangan yang sejak tadi disiapkannya yaitu jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut”.
Jurus ini memang bukan olah-olah dahsyat dan ganasnya. Arit di tangan kanan menderu berputar-putar macam kepala seekor naga. Tangan kiri memukul ke depan laksana kepala naga mematuk sedang kaki kiri menyapu laksana ekor naga mematil. Debu dan pasir jalanan beterbangan, daun-daun pohon bergetar dan banyak yang gugur karena untuk lancarkan jurus hebat itu Sepasang Arit Hitam kerahkan seluruh bagian tenaga dalamnya.
Tiga anak buah Dewi Siluman dari Bukit Tunggul tidak tinggal diam. Masing-masing mereka berteriak nyaring dan tangan kiri dipukulkan ke depan. Tiga larik sinar biru kelihatan dengan ganas memapas jurus “Tiga Naga Mengamuk Di Atas Air Laut” dari Sepasang Arit Sakti itu.
“Tobat! Tobat!” seru Sepuluh Jari Kematian seraya pukul-pukul keningnya sendiri. “Demi setan hentikan pertempuran ini! Kalau tidak kalian sama saja dengan bunuh diri!”
“Bakul kentut!” semprot Nariti. “Kau tak usah jual bacot! Jangan campuri urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan dirimu!”
Rahang-rahang Sepuluh Jari Kematian kelihatan menonjol. Kedua tangannya mengepal.
“Gadis….” desisnya, “Kalau tidak memandang muka Dewimu, aku tak akan terima ucapanmu itu!”
Nariti tertawa dingin dan mengejek. “Kalau kau punya nyali, silahkan masuk ke dalam kalangan pertempuran!” kata gadis itu seraya goyangkan kepalanya ke arah pertempuran yang berlangsung.
Sepuluh Jari Kematian hendak buka mulut namun di saat itu terdengar pekikan salah seorang dari tiga gadis pengeroyok sepasang Arit Hitam. Tubuh gadis ini mental dan lengannya sebelah kanan patah di makan tendangan kaki kiri sepasang Arit Hitam. Meski dapat mencelakakan salah seorang pengeroyoknya namun nenek-nenek sakti ini tiada sanggup mengelitkan libatan jala sutera biru salah seorang lawan lainnya pada kaki kirinya yang tadi menendang. Dalam dia bergulat untuk membebaskan kaki kiri itu, jala kedua menderu melibat bagian tubuhnya mulai dari dada sampai ke kepala. Betapapun tokoh silat ini bergulat untuk membebaskan diri namun sia-sia belaka.
Jala yang terbuat dari sutera halus biru itu mempunyai kekuatan yang hebat sekali. Sepasang Arit Hitam menggerung, jatuhkan diri ke tanah dan berguling dalam masih berusaha membebaskan diri.
Gulingan tubuhnya terhenti sewaktu Nariti injakkan kaki kanannya di perut tokoh silat tua itu.
“Tak satu kekuatan pun yang sanggup melepaskan jiratan jala itu!” kata Nariti dengan nada bengis. Sekali kakinya menendang maka pingsanlah Sepasang Arit Hitam.
“Kau keterlaluan!” teriak Sepuluh Jari Kematian marah sekali.
Nariti tertawa dingin dan menjawab. “Terhadapmu aku bisa berlaku lebih keterlaluan lagi, kakek-kakek bakul kentut!”
“Tutup mulutmu setan alas!” damprat Sepuluh Jari Kematian.
Nariti mengekeh. Meski wajahnya jelita, tapi mimiknya waktu mengekeh itu menyeramkan sekali.
“Orang tua bakul kentut sialan! Kalau saja Dewi kami tidak memerintahkan membawamu hidup-hidup ke istananya niscaya tubuhmu sudah jadi bangkai saat ini!”
“Penghinaan dan kesombonganmu sudah lewat batas, gadis hijau! Di lain hari kelak kau akan rasakan akibatnya!”
Nariti tertawa gelak-gelak. Tubuh Sepasang Arit Hitam dipanggulnya di bahu kiri kemudian katanya pada Sepuluh Jari Kematian. “Ikuti kami! Sekali kau berbuat yang tidak kuinginkan, kau akan menyesal sampai ke liang kubur!”
Meski kemarahan tidak tertahan lagi oleh tokoh silat yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan itu, namun mau tak mau, karena mengingat hubungan baiknya selama ini dengan Dewi Siluman dan kedatangannya ke Pulau Madura itu justru atas undangan Sang Dewi maka akhirnya Sepuluh Jari Kematian mengikuti juga keempat gadis itu dari belakang.
***
Next ...
Bab 5

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 4"

Posting Komentar