Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 5

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
LIMA
Wiro Sableng si Pendekar 212 dari Gunung Gede duduk bersandar ke batang pohon yang dikelilingi oleh semak belukar. Rimba belantara dimana dia berada sunyi senyap, berudara lembab dan teduh dari teriknya sinar matahari. Rasa sakit pada tangan kanannya yang patah kini agak berkurang. Dengan susah payah dia telah mengobati sendiri tangan yang patah itu dan menopangnya dengan sebuah ranting kemudian dibubuhi dengan param yang dibuatnya dari akarakar pohon dan sejenis daun lalu dibungkusnya dengan sapu tangan. Cara mengobati seperti itu dipelajarinya dari gurunya Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede.

Dalam waktu tiga hari bisa diharapkan lengan yang patah itu akan sembuh dan tulangnya bertaut kembali.
Sambil duduk terperangah di bawah pohon besar dalam rimba belantara itu Wiro memandangi kaki kirinya yang hitam disambar pukulan Ilmu Jari Penghancur Sukma yang dilepaskan oleh Sepuluh Jari Kematian. Meski dia tahu bahwa racun pukulan tersebut tidak akan membahayakan dirinya karena tubuhnya kebal segala macam racun, namun yang mengherankan sang pendekar ialah karena sampai saat itu dia masih belum sanggup untuk melenyapkan warna hitam pada kulit kakinya itu. Dia telah menelan dua buah pil yang paling manjur khasiatnya juga berkali-kali telah mengerahkan tenaga ke telapak tangan kiri untuk mengusap kaki yang hitam itu, tapi hasilnya sia-sia belaka.
“Gila!” maki Wiro. Kalau warna hitam itu tak bisa dilenyapkan pasti dia akan cacat seumur hidup. Pendekar ini memaki lagi. Hatinya geram sekali terhadap Sepuluh Jari Kematian. Selama turun gunung, puluhan musuh telah dihadapinya, berbagai ilmu silat kelas tinggi dan kesaktiankesaktian luar biasa telah dijumpainya. Namun belum pernah dia menerima nasib sial seperti di hari itu. Kakinya hitam sedang lengannya patah. Disamping geram terhadap Sepuluh Jari Kematian, Pendekar 212 juga geram pada Si Telinga Arit Sakti. Perempuan tua itulah yang telah menendang lengan kanannya sehingga patah. Untuk kedua manusia itu Wiro Sableng bertekad akan membalaskan sakit hatinya. Wiro tidak tahu kalau sepergiannya tadi Si Telinga Arit Sakti telah tewas di tangan anak buah Dewi Siluman. Kemudian Wiro teringat pada empat orang gadis jelita berpakaian biru-biru itu. Betulkah mereka orang-orangnya Dewi Siluman? Orang-orangnya Dewi Siluman yang telah berbuat kejahatan dan kekejaman tiada tara, membunuh manusia-manusia tidak berdosa, memusnahkan kampung-kampung? Betulkah gadis-gadis cantik jelita itu yang melakukannya? Sungguh tak masuk di akal bahwa gadis-gadis semacam itu akan sanggup melakukan kejahatan tanpa perikemanusiaan demikian rupa. Hal ini membuat makin besarnya tekad Wiro Sableng untuk cepat-cepat mencari dan menemui Dewi Siluman itu. Jika anak-anak buahnya demikian kejam dan jahat, tentu Dewi Siluman sendiri jauh dan jauh lebih kejam. Tapi untuk mencari sarangnya Dewi Siluman dan membasmi kejahatannya Wiro musti menunggu sekurangkurangnya tiga hari yaitu sampai tangannya yang patah sembuh.
Dalam dia berpikir-pikir itu mendadak sontak dari atas pohon memancur air putih kekuningkuningan yang tidak enak baunya. Air itu jatuh tepat membasahi kepala Pendekar 212. Disaat itu pula di atas pohon terdengar suara tertawa cekikikkan yang menggetarkan seluruh rimba belantara.
Suara cekikikkan itu tiada ubahnya laksana ringkikkan kuda di malam buta ketika melihat setan di hadapannya!
“Bedebah!” maki Pendekar 212 seraya meloncat dan memandang ke atas pohon.
Sekelebatan dilihatnya satu bayangan putih!
Belum sempat Wiro memperhatikan siapa adanya bayangan putih itu, bahkan belum sempat dia meneliti paras makhluk itu, si bayangan putih lenyap laksana gaib. Wiro kemudian merasakan sekilas angin di mukanya. Pendekar ini pukulkan tangan kirinya ke depan. Tapi dia cuma memukul tempat kosong, sesudah itu dia tertegun sendirian dengan penuh rasa heran dan juga sedikit ngeri.
Tak dapat diyakininya siapa adanya sosok bayangan putih tadi. Apakah manusia atau setan atau dedemit penghuni rimba belantara itu. Gerakannya luar biasa cepat dan sebatnya. Begitu cepat hingga Wiro tak dapat meneliti siapa adanya bayangan putih itu. Dan cekikikkannya yang seperti kuda meringkik itu.
Kuncuran air yang tadi jatuh di atas kepalanya kini turun ke kening. Wiro menyeka kening yang basah itu dengan belakang telapak tangan. Dia memaki tiada henti. Diperhatikannya telapak tangan yang ditempeli air itu. Hidungnya menghirup bau yang tidak enak. Penasaran sekali Wiro dekatkan belakang telapak tangannya ke lobang hidung. Pendekar ini kernyitkan kening. Kemudian terdengarlah makiannya.
“Keparat sialan! Aku dikencingi!”
Wiro meludah ke tanah. Caci maki ke luar menyerapah dari mulutnya. Dengan beberapa helai daun disekanya kening dan telapak tandannya.
“Manusia apa dedemit! Perlihatkan dirimu’“ teriak Wiro. Rasa ngerinya tadi kini berubah menjadi kemarahan. Seumur hidupnya baru kali itu dia dikencingi manusia. Mungkin di dunia ini, cuma dia sendiri manusia yang dikencingi manusia. Tapi apa betul makhluk yang mengencinginya itu seorang manusia? Bukannya setan atau dedemit?
“Keparat yang mengencingiku! Perlihatkan dirimu!” teriak Wiro gemas.
Suaranya bergema dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar dari samping kanan suara tertawa mengikik macam tadi. Dengan serta merta Pendekar 212 memburu ke arah itu. Sekilas masih sempat dilihatnya satu sosok bayangan putih samar-samar karena bayangan itu bergerak luar biasa cepatnya. Tanpa pikir panjang Wiro Sableng gerakkan tangan kirinya lepaskan pukulan “Kunyuk Melempar Buah”.
Semak belukar berpelantingan, sebuah pohon patah dilanda pukulan itu. Tapi si bayangan putih sudah lenyap dari pemandangan.
“Sialan betul!” gerutu Wiro. Dia melompat ke arah lenyapnya bayangan itu lalu melesat ke sebuah pohon besar yang tinggi dari mana dia bisa melihat dengan jelas seantero rimba belantara.
Namun si bayangan putih tetap tiada kelihatan seakan-akan sirna ditelan bumi.
Dengan kertakkan geraham Wiro Sableng turun dari pohon itu. Mungkin sekali si bayangan putih tadi adalah Dewi Siluman. Tapi mengapa sang Dewi sengaja mempermainkan sedang dia telah mengutus empat orang anak buahnya untuk menangkapnya.
“Gila!” gerendeng Pendekar 212. Belum pernah dia berhadapan dengan peristiwa begini rupa. Kemudian bila hidungnya sudah tak sanggup lagi menghirup bau pesing kencing yang membasahi kepalanya pendekar ini segera tinggalkan tempat itu untuk mencari kali atau telaga guna mencuci kepalanya. Sewaktu dia melewati pohon besar tempat dia duduk tadi tanpa sengaja kedua matanya memperhatikan batang pohon itu. Bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu menyaksikan serentetan tulisan putih pada batang pohon besar itu.
“Ini lebih gila lagi!” kata Wiro. Dia melompat ke hadapan pohon dan meneliti apa yang tertulis di situ.
Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi.
Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal.
Punya senjata dilupakan.
Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi.
Wiro tak dapat memastikan dengan apa tulisan putih itu dibuat. Cuma dia yakin bahwa yang menulisnya pastilah si bayangan putih tadi. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di hadapan pohon itu merenung dan memikirkan apa arti serta tujuan rentetan tulisan itu. Namun tiada sanggup otaknya memecahkan. Perbuatan tangan manusia bukan suatu yang abadi. Wiro tahu akan kebenaran tulisan tersebut. Lalu: Manusia berilmu berpikir pendek berotak dangkal. Siapakah manusia yang dimaksudkan dalam rentetan tulisan yang kedua ini? Apakah tulisan itu ditujukan kepadanya? Punya senjata dilupakan. Hati Pendekar 212 tercekat sedikit. Di balik pakaiannya tersembunyi Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah senjata ini yang dimaksudkan oleh penggurat tulisan pada batang pohon itu? Senjata itu selalu ada di tubuhnya dan tak pernah dilupakannya.
Wiro membaca rentetan tulisan yang keempat: Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki.
Tentu saja adalah keterlaluan kalau Kapak Maut Naga Geni 212 dipakai untuk menebang kayu.
Tapi untuk menebas kaki lawan, sudah beberapa kali dilakukan Wiro dalam pertempuranpertempurannya.
Kaki siapakah yang dimaksudkan oleh tulisan itu?!
Wiro menepekur dan putar otak. Pandangannya membentur kaki kirinya. Tersentaklah pendekar ini. Mungkin kakiku yang hitam ini yang dimaksud, pikirnya. Lalu diperhatikannya rentetan tulisan yang terakhir. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Hanya tujuh warna pelangi…
Wiro garuk-garuk kepalanya. Karena kepalanya yang basah oleh air kencing itu belum dibersihkan maka dengan sendirinya kembali tangannya menjadi basah dan bau karena menggaruk itu. Dan Wiro menyerapah lagi.
Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Wiro mengulang. Berarti selain warna pelangi, tak ada warna yang abadi. Sekali lagi Wiro memandang ke kaki kirinya berwarna hitam, dan warna hitam itu bukan warna pelangi, jadi tidak abadi. Berarti bisa sirna bisa dilenyapkan. Tapi bagaimana caranya?!
Untuk kesekian kalinya Wiro membaca lagi rentetan demi rentetan tulisan di kulit pohon.
Tiba-tiba dipukulnya keningnya sendiri.
“Memang aku yang geblek!” katanya. Lalu cepat-cepat dikeluarkannya Kapak Naga Geni 212. Ditimang-timangnya senjata itu beberapa lama. Dan Wiro menggerutu pula. Apa yang akan dilakukannya dengan senjata itu? Bukan untuk menebang kayu atau menebas kaki. Hanya tujuh warna pelangi yang abadi. Kini Wiro jadi bingung kembali. Buncah otaknya. Hampir sepeminum teh lamanya dia memutar otak memecahkan kalimat demi kalimat di batang pohon itu. Apa kini yang harus dilakukannya? Perlahan-lahan Wiro duduk kembali di bawah pohon itu. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di atas pangkuan paha kiri. Pada saat senjata itu menyentuh pahanya maka detik itu pula dirasakannya satu hawa dingin menjalar dari mata kapak ke dalam kakinya. Senjata mustika itu memberikan reaksi terhadap ketidakwajaran pada kaki sang pendekar.
“Tolol! Betul-betul aku tolol!” Wiro memaki dirinya sendiri. Diambilnya kapak itu kembali dan ditempelkannya pada kaki kiri yang berwana hitam. Hawa dingin semakin santer dan detik demi detik Wiro Sableng menyaksikan bagaimana kulit kakinya yang hitam kini berangsur-angsur kembali kewarna seperti biasanya.
Ketika keseluruhan warna hitam itu lenyap, Pendekar 212 berseru gembira dan melompat dari duduknya. Lupa dia pada kegeraman hatinya karena dikencingi tadi. Wiro memandang berkeliling dan berteriak. “Bayangan putih! Siapa pun kau adanya, aku haturkan terima kasih atas petunjukmu!”
Begitu suara Wiro lenyap maka terdengarlah suara cekikikkan macam ringkikkan kuda.
Suara itu dekat sekali di samping kanannya. Sang pendekar berpaling. Dia melompat dengan cepat sewaktu melihat kelebatan bayangan putih di balik semak belukar. Dia kecewa karena ketika sampai di rerumpunan semak-semak itu si bayangan sudah lenyap lagi.
Wiro geleng-gelengkan kepala. Betul-betul luar biasa gerakan makhluk itu. Ilmu apakah yang dimiliki si bayangan putih? Wiro tahu, seseorang yang memiliki ilmu mengentengi tubuh yang bagaimana pun tingginya seseorang yang memiliki ilmu lain yang bagaimana cepatnya, tak akan mungkin akan bisa berkelebat dan lenyap secepat itu. Cuma setan dan bangsa jin yang sanggup berbuat seperti itu.
Meski agak kecewa tak dapat mengejar si bayangan putih namun Wiro gembira juga karena warna hitam pada kaki kirinya telah lenyap. Dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya kembali. Betul-betul dia telah berbuat tolol, berpikir pendek berotak dangkal, melupakan senjata itu. Padahal sewaktu di puncak Gunung Gede gurunya pernah menerangkan bahwa kapak sakti itu bukan saja bisa dipergunakan sebagai senjata hebat, tapi juga bisa mengobati dan menyedot segala macam racun jahat yang mengindap di tubuh manusia baik bagian luar maupun bagian dalam.
Wiro angsurkan kaki kirinya ke depan untuk memperhatikan kaki itu kembali. Disaat itulah matanya melihat lagi serentetan tulisan. Kali ini di tanah di hadapannya.
Kalau mau tahu tingginya langit dalamnya lautan.
Pada purnama empat belas hari
Datanglah ke Goa Belerang.
“Pastilah Si bayangan putih itu yang menulisnya,” kata Wiro dalam hati. Nyatnya dunia ini bukan saja penuh dengan kekejaman dan kejahatan, tapi juga penuh keanehan.
***
Next ...
Bab 6

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 5"

Posting Komentar