Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 6

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 008
Dewi Siluman Bukit Tunggul
ENAM
Suara petikan kecapi terhenti sewaktu pintu kamar diketuk dari luar.
“Masuk!” kata Dewi Siluman. Kepalanya dipalingkan ke pintu yang terbuka. Nariti masuk.
Gadis ini menjura tiga kali di hadapan sang Dewi. Inani gadis pemetik kecapi berdiri dan meninggalkan kamar itu.
“Kau berhasil?” tanya Dewi Siluman begitu dia tinggalkan berdua dengan Nariti.
“Aku dan kawan-kawan mohon ampunmu, Dewi,” berkata Nariti.
“Hah?! Jadi kalian tak berhasil menangkap pemuda itu?” Dewi Siluman bangkit dari pelaminannya. Matanya membeliak besar dan memandang lekat-lekat pada Nariti.
“Sebenarnya kami akan berhasil Dewi. Tapi….”
“Tapi apa?!” sentak Dewi Siluman.
“Manusia-manusia itu mengacaukan tugas kami hingga si pemuda lolos!”
“Manusia-manusia siapa maksudmu?!” bertanya Dewi Siluman sambil sandarkan punggung ke bantal besar di belakangnya.
“Sepasang Arit Hitam dan muridnya Si Telinga Arit Sakti serta Sepuluh Jari Kematian,”
jawab Nariti. Lalu dia memberi penuturan atas apa yang telah terjadi. “Si Telinga Arit Sakti yang berani menantang kekuasaanmu, telah kami penggal batang lehernya! Sepasang Arit Hitam kami tawan hidup-hidup dan Sepuluh Jari Kematian ikut bersama kami. Mereka berdua kini berada di ruang merah.”
“Sepasang Arit Hitam pindahkan ke ruang gelap. Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih!”
“Baik Dewi,” Nariti hendak menjura siap untuk tinggalkan kamar itu.
“Tunggu dulu!”
Suara Dewi Siluman keras dan lantang menggetarkan hati Nariti. Dia membalik dengan kecut.
“Ternyata apa yang menjadi tugas utamamu tidak kau laksanakan dengan baik! Kau musti terima hukuman!”
Pucatlah paras Nariti.
“Tapi Dewi, aku sudah jelaskan semua pada kau. Tiga manusia itu mengacaukan tugasku dan kawan-kawan. Bahkan….”
“Aku tidak perduli!” potong Dewi Siluman. Dia bertepuk satu kali. Lima gadis berbaju biru masuk ke kamar itu melalui sebuah pintu rahasia. Kelimanya menjura.
“Siap menunggu perintahmu, Dewi.” kata gadis baju biru paling depan. Nariti memandang kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka adalah anak-anak buah Dewi Siluman yang diberi jabatan sebagai petugas penghukum.
“Seret dia ke ruang hitam! Sekap satu hari satu malam!”
“Perintah segera dilaksanakan Dewi!” Lima gadis itu kemudian melangkah cepat ke hadapan Nariti. Menggigillah tubuh Nariti. Ruangan hitam adalah ruangan hukuman yang paling ditakuti oleh seluruh penghuni Istana Dewi Siluman. Ruangan ini khusus disediakan untuk mereka yang membuat kesalahan atau melalaikan tugas. Ruangan hitam merupakan sebuah ruangan sempit dan gelap luar biasa, tangan di depan mata pun tidak kelihatan. Seseorang yang dijebloskan di sana akan merasakan hawa panas ke luar dari empat dinding sempit di sekelilingnya sedang dari langitlangit dan lantai ruangan mendera hawa dingin luar biasa. Hawa panas membuat tubuh hangus melepuh sedang hawa dingin membuat kaki dan muka kaku tegang.
Nariti pernah menyaksikan keadaan seorang kawannya yang keluar dari ruang penyiksaan itu. Tubuhnya hitam legam, kakinya tak sanggup berdiri sedang parasnya rusak. Selama satu minggu dia diserang demam panas dingin, keadaannya antara hidup dan mati, mengigau siang malam tiada henti. Dua bulan kemudian baru penderitaan akibat hukuman itu lenyap dan parasnya berangsur-angsur baik kembali sedang kulit tubuhnya yang hitam berangsur-angsur mengelupas dan kembali kebentuk-nya semula. Betapa mengerikannya. Dan kini dia Nariti sendiri yang akan dijebloskan ke dalam ruangan hitam itu.
Beberapa pasang tangan memegang lengannya.
“Dewi….” suara Nariti seperti tercekik dan sendat.
“Seret dia lekas!” bentak Dewi Siluman.
Maka kelima petugas itu segera membawa Nariti. Meskipun rasa takut memuncak menyelubungi dirinya namun Nariti tak bisa berbuat apa-apa. Melawan berarti akan lebih celaka lagi. Di dalam hati Nariti berkobar kebencian dan dendam kesumat terhadap Wiro Sableng. Garagara Pendekar 212 itulah dia sampai mendapat hukuman.
Di dalam kamarnya Dewi Siluman memanggil Inani kembali. Kali ini tidak menyuruh gadis itu memainkan kecapi.
“Inani, kau bersama beberapa orang kawan segera pindahkan Sepasang Arit Hitam ke ruang gelap dan Sepuluh Jari Kematian bawa ke ruang putih.”
“Perintah segera kujalankan Dewi.” kata Inani. Gadis jelita ini menjura.
Sebelum Inani berlalu, Dewi Siluman memberi perintah lagi yaitu agar menyuruh Kemani menghadap.
Bila Kemani datang maka Dewi Siluman memberi keterangan singkat tentang pemuda yang dimaksudkan Nariti lalu memerintahkan agar Kemani bersama beberapa orang kawannya mencari si pemuda sampai dapat.
“Sebelum kau berhasil menangkap hidup-hidup pemuda itu dan membawanya ke hadapanku, jangan harap kau dan kawan-kawanmu diperbolehkan menginjak Istana ini kembali!”
Meski hati tergetar kecut namun Kemani mengangguk menjura.
Sementara itu di satu ruangan yang disebut ruangan putih….
Sepuluh Jari Kematian duduk di sebuah kursi di kepala meja. Dia memandang seputar ruangan yang keseluruhan lantai, langit-langit dan dinding serta isinya berwarna putih bersih. Lima orang gadis jelita telah membawanya ke dalam ruangan itu dan meninggalkannya seorang diri.
Kawannya yaitu Sepasang Arit Hitam entah dibawa ke mana oleh orang-orangnya Dewi Siluman.
Sambil terus memandang seantero ruangan, tokoh silat itu berpikir-pikir hal apa pula yang bakal ditemuinya di tempat itu? Meski kehadirannya di Pulau Madura adalah atas undangan Dewi Siluman, namun sesudah peristiwa pertempuran di jalan kecil tadi, bukan tidak mustahil dia akan menemui nasib buruk pula. Dicobanya mempertenang hati dan menunggu.
Telinga Sepuluh Jari Kematian yang terlatih dan tajam mendengar suara benda bergeser.
Tiba-tiba dinding di hadapannya membuka ke samping dan kelihatanlah tiga manusia berpakaian biru melangkah memasuki ruangan itu. Mereka bukan lain dari Dewi Siluman dan dua pengiringnya.
Langkah yang dibuat sang Dewi tetap berwibawa. Kepala mendongak ke atas dan air muka yang jelita itu membayangkan pula sifat kekerasan kalau tak mau dikatakan kekejaman.
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya dan menjura dalam.
“Aku merasa bersyukur dapat memenuhi undanganmu, Dewi Siluman. Ini merupakan satu kehormatan besar darimu.”
Dewi Siluman naikkan hidung ke atas lalu menjawab. “Cuma sayang, sikap hormatku itu dibalas dengan perbuatan sembrono hingga seorang yang hendak kutangkap berhasil meloloskan diri!”
Muka Sepuluh Jari Kematian kelihatan merah. Dia berbatuk-batuk beberapa kali lalu berkata.
“Bukan maksudku untuk bertindak semborono. Anak-anak buahmu terlalu bersikap keras dan ikuti kemauan sendiri.”
Dewi Siluman tertawa.
“Adakah cara yang lebih baik dari kekerasan dan mengikuti kemauan sendiri bagi seseorang yang hendak menguasai dunia persilatan? Bagi seseorang yang hendak memegang kendali delapan penjuru angin?!”
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian. Jadi betul rupanya dugaan-dugaan bahwa Dewi Siluman bermaksud hendak menguasai dunia persilatan dengan caranya sendiri yaitu menurut kehendak hatinya, berbuat kejam dan membunuh manusia-manusia tiada berdosa hingga namanya menjadi angker di kalangan rimba persilatan.
“Tentu saja kekerasan dan keteguhan hati sangat diperlukan Dewi!” berkata Sepuluh Jari Kematian. “Apalagi bagi seorang yang punya maksud hendak merajai dunia persilatan.”
“Bagus kalau kau berpendapat demikian. Sekarang terangkan mengapa kau dan kawan kawan tidak mau menyerahkan pemuda itu sebagaimana yang diperintah oleh anak-anak buahku?!”
Sepuluh Jari Kematian hela nafas dalam.
“Anak-anak buahmu keliwat kesusu, Dewi….”
“Hemm, begitu?! Lantas itu sebabnya kau bertindak ceroboh dan tidak memandang sebelah mata padaku?!”
“Tidak begitu. Dewi,” sahut Sepuluh Jari Kematian. “Pada saat itu aku dan kawan-kawan tengah menempur habis-habisan pemuda itu. Kami sama-sama punya dendam kesumat terhadapnya.
Dia membunuh muridku… “
“Aku sudah tahu semua!” potong Dewi Siluman. “Kau tak usah cari dalih! Sebenarnya aku punya rencana tertentu denganmu, tapi sesudah peristiwa itu terpaksa kubatalkan….”
“Harap Dewi tidak berpikir yang bukan-bukan terhadapku. Sampai saat ini aku masih merupakan sahabat baikmu seperti dimasa-masa lalu….”
“Justru karena mengingat hubungan baik masa lalu aku tak sampai menjatuhkan hukuman terhadapmu. Dalam waktu yang singkat kau akan meninggal.”
Seloki emas berisi tuak masih juga mengapung di hadapan Sepuluh Jari Kematian yang mukanya sudah menjadi merah karena jengah.
Tiba-tiba Dewi Siluman keluarkan tertawa mengekeh dan disaat itu pula seloki tuak bergerak perlahan ke muka Sepuluh Jari Kematian. Tokoh silat ini segera memegangnya. Ketika jari-jari tangannya menyentuh seloki itu, tuak di dalam seloki tumpah membasahi jari-jari tangan dan alas meja. Benar-benar ketinggian tenaga dalam sang Dewi tak sanggup dijajaki oleh Sepuluh Jari Kematian.
“Dalam waktu singkat pula kau harus angkat kaki dari Pulau Madura ini. Tapi sebelum pergi aku masih mau berbuat baik, menjamumu mencicipi tuak harum!”
Dewi Siluman berpaling pada gadis baju biru di samping kanannya. Gadis ini bertepuk dua kali. Dinding di belakang Dewi Siluman membuka. Seorang pelayan perempuan masuk membawa sebuah baki. Di atas baki ini terletak sebuah poci dan dua buah seloki besar yang juga terbuat dari emas. Tuak di dalam poci yang sangat harum segera dituang ke dalam kedua gelas itu. Selesai menjalankan pekerjaannya si pelayan segera berlalu.
Dewi Siluman memegang salah sebuah seloki emas itu dan mengacungkannya ke hadapan Sepuluh Jari Kematian yang duduk di kepala meja di seberangnya.
“Silahkan menikmatinya,” kata Dewi Siluman pula. Dan habis berkata begitu seloki emas itu dilepaskannya. Anehnya seloki itu tidak jatuh ke atas meja melainkan perlahan-lahan terbang ke arah Sepuluh Jari Kematian. Nyatalah bahwa sang Dewi memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya.
Sepuluh Jari Kematian tak berani menyambuti seloki berisi tuak itu secara biasa. Setelah kerahkan setengah bagian dari tenaga dalamnya ke lengan kanan sampai ke ujung-ujung jari, baru dia berani ulurkan tangan kanan untuk menyambuti seloki berisi tuak itu. Tapi sewaktu ujung-ujung jari Sepuluh Jari Kematian hampir menyentuh seloki tersebut, anehnya benda ini menjauh sehingga dia tak dapat memegangnya. Diam-diam Sepuluh Jari Kematian berjingkat sedikit dari kursi yang didudukinya. Sekali lagi dia hampir menyentuh seloki tuak itu, sang seloki menjauh kembali.
Nyatalah bahwa dengan kekuatan tenaga dalamnya Dewi Siluman telah “mempermainkan” benda itu.
Penuh penasaran Sepuluh Jari Kematian lipat gandakan tenaga dalamnya. Pertempuran tenaga dalam terjadi secara diam-diam. Dewi Siluman kelihatan duduk di kursinya dengan tenang dan sambil senyum-senyum. Sebaliknya Sepuluh Jari Kematian sudah keluarkan butir-butir keringat dingin di keningnya. Tenaga dalam tokoh silat utama ini yang sudah mencapai puncak tertinggi dan sempurna ternyata tak sanggup melayani kehebatan tenaga dalam yang luar biasa tingginya.
“Silahkan diminum tuak harum itu. Sepuluh Jari Kematian!” kata Dewi Siluman masih senyum dan sambil menangkau seloki tuak yang terletak di meja di hadapannya.
Sepuluh Jari Kematian menyeka dulu mukanya yang keringatan baru menempelkan tepi seloki ke bibirnya. Begitu seloki itu berada di bawah hidungnya, di antara keharuman bau tuak di dalam seloki dia mencium bau lain yang aneh. Hati tokoh silat ini bercuriga dan sepasang matanya memandang ke ujung meja dimana saat itu Dewi Siluman tengah mengangkat seloki tuak perlahanlahan ke bibirnya. Sepasang mata mereka berperang pandang.
Sepuluh Jari Kematian turunkan seloki yang dipegangnya.
“Ada apa, Sepuluh Jari Kematian?” tanya Dewi Siluman. Nada suaranya berubah lain.
“Dewi, aku tak dapat menerima kehormatanmu untuk minum bersama.Sebenarnya aku ada urusan lain yang sangat penting. Aku minta diri, harap dimaafkan.”
Tapi sebelum Sepuluh Jari Kematian berdiri, Dewi Siluman telah tegak lebih cepat. Kedua bola matanya membesar dan menyorot.
“Sepuluh Jari Kematian!” sentaknya. “Kau anggap aku ini siapakah?! Ini adalah satu penghinaan besar bagiku.”
“Tak ada maksudku untuk menghina demikian, Dewi….”
“Kenapa tuak itu tidak kau minum? Pasti kau mempunyai pikiran yang bukan-bukan terhadapku!”
Mulut Sepuluh Jari kematian terkunci rapat-rapat. Hatinya tergetar melihat pandangan yang mengerikan dari sang Dewi.
“Dewi Siluman, kuharap kau tidak melupakan hubungan baik kita sebagai dua sahabat sejak dulu,” berkata pada akhirnya tokoh kawakan itu.
“Justru karena mengingat hubungan baik kitalah aku mengundangmu ke sini! Dan kini kau menaruh prasangka yang bukan-bukan terhadapku. Menghinaku! Apa kau kira tuak harum itu beracun hingga kau tidak bernyali meminumnya? Jawab!”
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala perlahan-lahan.
“Kalau tuak itu beracun, aku akan mati duluan!” ujar Dewi Siluman. Habis berkata begini, gadis jelita ini teguk tuak dalam seloki sampai habis. Seloki emas dibantingkannya ke atas meja.
Dia berteriak dengan suara keras marah. “Apakah kau lihat aku mati saat ini karena minum tuak itu?!”
Sepuluh Jari Kematian telan ludahnya. Perlahan-lahan seloki yang dipegangnya ditempelkannya ke bibirnya kembali. Tiga kati teguk saja lenyaplah semua tuak di dalam seloki ke dalam perutnya.
Dewi Siluman duduk kembali ke kursinya. Dia memandang dengan tersenyum aneh pada Sepuluh Jari Kematian.
“Apakah tuak itu beracun?”
Sepuluh Jari Kematian gelengkan kepala.
“Atau kau merasa ada kelainan di dirimu saat ini?”
Sepuluh Jari Kematian kembali gelengkan kepala meski saat itu sesungguhnya memang dia merasakan ada satu kelainan yang tak dimengertinya.
Dewi Siluman tertawa mengekeh. Suara tertawa mengekeh yang sesungguhnya tak pantas kalau keluar dari seorang gadis jelita macam dia. Dan suara kekehan ini bernada yang mencurigakan bagi Sepuluh Jari Kematian. Hatinya mulai dirayapi kepastian bahwa Dewi Siluman telah memasukkan racun jahat ke dalam minuman itu. Tapi yang mengherankannya Dewi Siluman sendiri juga telah minum tuak itu, malah lebih dulu dari dia.
Dewi Siluman berpaling pada pengiring di samping kanannya dan berkata. “Tambahkan tuak untuk tamu kita itu.”
“Terima kasih Dewi. Kurasa satu seloki sudah cukup,” jawab Sepuluh Jari Kematian. Saat itu semakin terasa adanya kelainan dalam tubuhnya.
“Sepuluh Jari Kematian,” berkata sang Dewi dengan nada mengandung ancaman.
“Pernahkah kau bercita-cita untuk merajai dunia persilatan?”
Sepuluh Jari Kematian memandang sebentar paras jelita di hadapannya. Setelah merenung beberapa ketika lamanya lalu anggukkan kepala dan menjawab. “Memang pernah Dewi. Tapi itu bukan satu hal yang mudah. Di dunia ini penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti luar biasa. Kalau sekarang aku belum dapat merajai dunia persilatan, tapi delapan penjuru angin telah mengetahui siapa diriku. Dan itu merupakan hal lumayan.”
“Tepat sekali ucapanmu bahwa untuk merajai dunia persilatan bukan satu hal yang mudah.
Tapi jika tahu caranya pasti dalam waktu yang singkat cita-cita itu bisa dilaksanakan!”
Sepuluh Jari Kematian berpikir-pikir, kira-kira apakah tujuan Dewi Siluman mengajaknya bicara demikian. Dia juga memikirkan apa sebenarnya yang menjadi alasan gadis sakti itu tempo hari mengundangnya untuk datang ke Pulau Madura. Dalam dia berpikir-pikir itu Dewi Siluman berkata pula.
“Kau tentunya punya cara sendiri. Aku juga punya cara sendiri. Dan aku yakin caraku itu akan lebih berhasil dari padamu.”
Sang Dewi tertawa mengekeh.
“Ketahuilah Sepuluh Jari Kematian, mulai hari ini kau kuambil sebagai pembantuku dalam melaksanakan cita-cita untuk merajai dunia persilatan….”
Sepuluh Jari Kematian kernyitkan kening.
“Pembantu macam manakah maksudmu, Dewi?” tanya tokoh silat ini.
“Kau harus tunduk padaku dan turut perintah!”
Berubahlah paras Sepuluh Jari Kematian. Dia seorang tokoh silat terkenal dan ditakuti di ujung timur Pulau Jawa kini disuruh tunduk dan ikut perintah. Benar-benar satu penghinaan besar yang menusuk hati dan tiada memandang muka serta nama besarnya. Kalau saja bukan berhadapan dengan Dewi Siluman, pastilah saat itu tokoh silat ini sudah melabrak gadis itu.
“Mungkin ini satu hal yang tidak enak bagimu,” berkata lagi Dewi Siluman. “Tapi ini sudah menjadi takdirmu, Sepuluh Jari Kematian! Kau musti tetap di sini bersama orang-orangku dan menjalankan segala apa yang kuperintahkan! Kau dengar…?!”
Sepuluh Jari Kematian menggeram dalam hatinya.
“Terima kasih atas kepercayaanmu serta hormatmu padaku. Dewi Siluman. Namun kuharap kau bisa maklum. Manusia macamku ini tidak suka terikat, ingin hidup bebas dan malang melintang di delapan penjuru angin dunia persilatan. Kuharap kau tak usah gusar kalau aku terpaksa menolak permintaanmu itu. Apalagi aku orang buruk yang sudah tua renta ini. Tak ada guna dan untungnya mengambilku jadi pembantu….”
Dewi Siluman tertawa.
“Kau pandai sekali merendahkan diri,” katanya. “Namun rupanya tak ada jalan lain bagimu.
Kau harus tetap di sini, dan jadi pembantuku. Tenagamu sangat kuperlukan!”
“Mohon maaf Dewi. Aku tak bisa menerimanya….”
Bola-bola mata Dewi Siluman menyorot.
“Kuharap kau tahu di mana kau berada saat ini, Sepuluh Jari Kematian!”
Ucapan ini benar-benar menandakan ancaman bagi Sepuluh Jari Kematian. Dan dia mulai berpikir-pikir bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi perselisihan serta bentrokan antara dia dan Dewi Siluman. Melihat kenyataan tadi bahwa Dewi Siluman memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya, Sepuluh Jari Kematian maklum bahwa bertempur dengan gadis itu sukar baginya untuk menang, apalagi dia saat itu berada pula di sarangnya sang Dewi, di mana terdapat belasan orang-orangnya Dewi Siluman yang berkepandaian tinggi yang kehebatan mereka telah disaksikannya sendiri tadi.
“Kalau kau suka Dewi, aku bersedia carikan tokoh silat lain untukmu….”
“Aku bisa mencarinya sendiri!” sahut Dewi Siluman pula. “Yang kuperlukan sekarang adalah kau!”
“Menyesal Dewi, aku….”
Kalimat Sepuluh Jari Kematian itu dipotong oleh ucapan keras Dewi Siluman seraya menggebrak meja.
“Jadi kau berani membangkang terhadapku?!”
Sepuluh Jari Kematian coba tertawa. Jawabnya. “Sampai saat ini aku masih tetap mengingat hubungan baik kita. Sebelum aku minta diri, aku ucapkan terima kasih atas jamuanmu ini. Di samping itu kuharap pula kau suka membebaskan kawanku Sepasang Arit Hitam yang telah ditawan oleh orang:-orangmu.”
Sepuluh Jari Kematian berdiri dari kursinya.
“Kau tetap berkeras kepala untuk menolak kemauanku?!
“Aku sama sekali tidak menolak, tapi belum bisa. Di lain hari mungkin baru aku bisa memenuhi keinginanmu….”
Berubahlah paras Dewi Siluman. Perlahan-lahan dia berdiri dari kursinya. Mukanya mengelam Senyumnya lebih tepat kalau dikatakan seringai bengis.
“Baik Sepuluh Jari Kematian, kau boleh pergi. Bahkan Sepasang Arit Hitam boleh kau bawa serta. Tapi….” Dewi Siluman tak meneruskan kata-katanya. Dia memandang tepat-tepat pada tokoh silat tua di hadapannya itu lalu pecahlah suara tertawanya di ruangan putih itu. Sepuluh Jari Kematian merasa tak enak. Kemudian cepat-cepat dia membalik dan menuju ke pintu. Sebelum pintu itu sempat dibukanya, di belakangnya didengarnya suara Dewi Siluman.
“Sebelum kau pergi masih ada satu hal yang rasanya perlu kuberitahukan, Sepuluh Jari Kematian!”
Sambil memegang daun pintu, Sepuluh Jari Kematian palingkan kepala.
“Nyawamu cuma tinggal cuma satu minggu saja Sepuluh Jari Kematian!” Dan Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang seperti tadi.
“Apa maksudmu?!” tanya Sepuluh Jari Kematian dengan muka membesi.
“Apakah kau tuli kalau kukatakan bahwa nyawamu tinggal cuma satu minggu lagi?! Lewat satu minggu ususmu akan hancur, perutmu akan meloek dan seluruh isi perutmu akan berbusaian akibat racun yang telah kau teguk bersama tuak tadi!”
Terkejutlah Sepuluh Jari Kematian.
“Tapi kau sendiri juga telah meminumnya” buka suara tokoh silat itu.
Dewi Siluman tertawa lagi. “Aku memang telah meminumnya. Tapi aku tak akan mampus macam kau! Dalam seloki itu, pelayanku telah memasukkan sejenis bubuk yang mematikan racun yang ada di dalam tuak!”
Maka marahlah Sepuluh Jari Kematian.
“Perempuan laknat!” teriaknya menggeledek. “Sebelum aku mampus, kau akan kubikin minggat ke neraka lebih dulu!”
Dewi Siluman tertawa mengumandang.
“Tua bangka tak tahu diri! Kau andalkan apakah berani melawan kekuasaan Dewi Siluman?!” bentak Dewi Siluman.
“Aku andalkan ini perempuan iblis!” sahut Sepuluh Jari Kematian. Dan serentak dengan itu lima jari-jari tangan kanannya dijentikkan ke muka.
***
Next ...
Bab 7

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245



 

Related Posts :

0 Response to "Dewi Siluman Bukit Tunggul Bab 6"

Posting Komentar