WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 013
Kutukan Empu Bharata
TUJUH
PERWIRA yang pertama mencelat mental, remuk tulang dadanya. Perwira kedua terguling beberapa tombak dengan tempurung lutut remuk sedang Perwira yang ketiga terhempas Ketanah tak berkutik lagi karena perutnya pecah dihantam tendangan! Pengemis Sakti Muka Bopeng mendonqak ke langit dan tertawa berkakakan lalu membentak pada prajurit-prajurit yang ada di sekelilingnya.
"Ayo maju kalau kalian kepingin mampus!"
Tentu saja sesudah menyaksikan Perwira-perwira mereka menemui nabis begitu rupa, semua prajurit itu sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menempur kakek-kakek bermuka bopeng itu. Dengan masih tertawa bekakakan Pengemis Sakti Muka Bopeng lari ke arah di mana tubuh Untung Pararean menggeletak pingsan. Sesaat kemudian diapun lenyap dari pemandangan dengan membawa tubuh Untung Pararean.
Untung Pararean siuman tak berapa lama kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari oleh kakek-kakek kurus kering itu. Pinggulnya terasa sakit karena tulang dibagian situ remuk akibat tendangar si kakek. Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan tenaga namun jangankan untuk bisa melepaskan diri dari kempit si kakek untuk bergerak sedikitpun dia tidak sanggup!
"Muka Bopeng, kau mau bawa ke mana aku?!" tanya Untung Pararean.
"Heh! Kau sudah siuman?!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan larinya.
Dia memandang berkeliling. Daerah itu adalah daerah rimba belantara tapi yang banyak terdapat batu-batu besar. Dulunya ada sebuah sungai mengalir di situ, tapi kemudian kering dan karena itulah ditempat! tersebut masih terdapat batu-batu sungai yang besar-besar.
"Bagus! Bagus! Tempat inipun cukup pantas untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku hendak merubah muka seorang manusia yang tampan gagah, seorang Perwira Kerajaan, menjadi muka yang tebih buruk, lebih mengerikan dari muka setan!"
Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak hingga seluruh rimba belantara jadi bergema. Beberapa burung hutan lari beterbangan karena dikejutkan oleh suara tertawa manusia itu! Dilepaskannya Untung Pararean dari kempitan lalu dilemparkannya ke atas sebuah batu besar hingga Perwira itu menjerit kesakitan!
Dengan mengeluarkan suara tertawa lebih dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng melangkah mendekati Untung Pararean. Untung Pararean tahu tak satu apapun yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Maka dengan susah payah dicobanya bangun dan berlutut lalu sambil meratap dia minta ampun berulang-ulang.
"Kau minta ampun? Puah . . . ! Tidak satu orangpun yang bisa mengampuni dosa terkutukmu!"
"Kalau kau mengampuni selembar nyawaku ini dan mengembalikan keris Mustiko Jagat. Aku berjanji akan memberikan lima ratus keeping uang emas, barang-barang perhiasan bahkan apa saja yang kau minta!" Pengemis Sakti itu cuma tertawa mendengar ucapan Untung Pararean.
"Manusia anjing! Aku memang tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus buatmu! Tapi apa yang aku lakukan percayalah, lebih mengerikan dari kematian!"
"Pengemis Sakti . . . "
"Sudah diam!" bentak kakek-kakek itu lalu secepat kilat menjambak rambut Untung Par,rean dengan tangan kirinya.
"Pertama sekali mulai detik ini kau akan menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini bila dilihat cuma dengan sebelah mata!".
"Begitu selesai berkata tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur kedepan. Dua jari tangan terpentang luruslurus dan "cras"! Biji mata Untung Pararean yang sebelah kiri mencelat mental, darah dan urat-uratnya berbusaian! Jerit laki-laki itu laksana mau merobek langit karena tekanan sakit yang tak dapat dilukiskan sedang di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak melihat hasil pekerjaannya!
"Bagaimana kau lihat dunia ini sekarang? Bukankah lebih bagus? Lebih indah … ? Ha … ha . . . .ha . . ha …!"
"Manusia biadab!" teriak Untung Pararean dalam sakitnya. "Kau hanya berani pada orang yang tak punya daya!"
"Kau masih bisa menceloteh hah?! Coba kau rasakan ini! Aku mau lihat apa kau nanti masih bisa bicara!" Tangan kanan Pengernis Sakti Muka Bopeng berkelebat lagi ke muka Untung Pararean. Untuk kedua kalinya terderigar jeritan laki-laki itu, tapi yang sekali ini tidak sedahsyat yang pertama tadi. Mungkin juga disebabkan oleh mulutnya yang sebelah karan robek sampai ke pipi dibeset oleh Pengemis Sakti Moka Bopeng. Tubuh Untung Pararean menggigil menahan sakit. Sebagian dari bibirnya yang sebelah bawah menjulai akibat mulutnya yang robek sedang darah yang keluar semakin menambah seram keadaan mukanya!
Pengemis Sakti Muka Bopeng bersurut mundur beberapa langkah. Lalu sambil bertolak pinggang ditelitinya wajah Untung Pararean.
"Masih kurang seram! Masih belum mengerikan!" katanya lalu maju lagi kehadapan korbannya yang manggeletak di atas batu besar. Untuk ketiga kalinya tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng bergerak. Kali ini kelima jari-jari tangannya yang berkuku panjang mencengkeram dimuka Untung Pararean yang saat itu befada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dan cengkeraman itu benar-benar membuat muka Untung Pararean kini menjadi sangat mengerikan dan berselomotan darah. Kulit kening dan kedua pipinya hancur bergurat-gurat. Cuping hidungnya sebelah kiri tanggal!
"Nah, sekarang baru kau betul-betul jadi manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku puas …! Aku puas! Ha . . . ha … ha!
Hiduplah kau sampai seribu tahun, Pararean! Tak satu manusiapun yang akan mau mendekatimu! Ha . . . ha … ha . . .!" Setelah puas tertawa beberapa lamanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu berkata, "Sekarang kau tunggulah sendirian di sini. Sebentar lagi tentu setan-setan, jin dan dedemit penghuni hutan belantara ini akan mengunjungimu! Heh, sebelum lupa, aku nasihatkan padamu agar jangan kembali ke kotaraja! Bisa-bisa semua orang akan kabur ketakutan melihatmu si Perwira Kerajaan yang telah berubah menjadi setan!"
"Ha … ha . . . ha!"
Pengemis Sakti Muka Bopeng hendak berlalu dari situ. Tapi mendadak diputarnya badannya. "Aku kelupaan!" katanya.
"Masih ada yang kurang! Masih ada yang kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke muka lalu bergerak ke telinga Untung Pararean. Sekejap kemudian kedua daun telinga laki-laki itupun buntunglah! Untung Pararean sendiri tak mengetahui apa yang telah terjadi dengan dirinya karena saat itu dia sudah tidak sadarkan diri lagi!
***
Sang surya telah menggelincir ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah redup kekuningan. Setiap benda yang disapu sinar itu seolah-olah berubah warnanya menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore itulah seorang kakek-kakek tua berjubah putih bersih kelihatan berada disekitar hutan belantara. Kelihatannya dia melangkah biasa saja tapi dalam tempo yang singkat dia sudah melewati belasan tombak! Nyatalah bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu lari yang luar biasa!
Bila angin timur bertiup sejuk, orar:g tua itu telah lenyap ke dalam rimba belantara. Tak selang berapa lama terdengarlah satu suara helaan nafasnya yan;j dalam sekali. Si orang tua ternyata telah menghentikan "langkah"nya dan berdiri di hadapan batu besar di mana tubuh Untung Pararean menggeletak!
"Tujuh puluh lima tahun hidup, baru hari ini aku melihat kengerian yang luar biasa ini," membathin si orang tua "Sungguh hebat kenyataan kutukan Empu Bharata…" desisnya lagi dalam hati. Setelah menghela nafas dalam untuk kedua kakinya orang tua ini melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung Pararean yang menggeletak di atas batu, sedikitpun tidak bergerak. Tak ada tanda-tanda getaran pernafasan pada dada ataupun perutnya. Namun sepasang mata si orang tua yang tajam mengetahui bahwa Untung Pararean saat itu masih hidup. Tanpa menunggu lebih lama orang tua itu lalu mengangkat tubuh Untung Pararean dari atas batu, memangulnya untuk kemudian meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke utara. Siapakah gerangan orang tua yang telah membawa Untung Pararean itu? Dia bukan lain Kiyai Supit Pramana yang dua hari lalu telah mengobati Untung Pararean di Istana! Bagaimana maka dia bisa pula sampai di situ baiklah kita tuturkan sedikit. Nama Kiyai Supit Pramana pada masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang dihormati dan disegani berkat ilmunya yang tinggi. Pada suatu malam di pertapaannya yang terletak di puncak Gunung Bromo dia bermimpi kedatangan almarhum gurunya yang bernama Eyang Pamanik. Dalam mimpi itu Eyang Pamanik berkata pada Kiyai Supit Pramana.
"Muridku, tinggalkanlah puncak Bromo ini dan pergi ke Kotaraja. Di dalam lingkungan Istana ada seorang Perwira Kerajaan yang menderita sakit keras! Sakitnya bukan sembarang, sakit, tapi sakit akibat kutukan Empu Bharata yang pernah diam di Gunung Slamet. Kau mempunyai kewajiban sebanyak tiga kali berturut-turut menolong Perwira itu. Pertama mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar Putih dan Air Tawar Hitam. Bila sudah tinggalkan Istana dan pergi kebukit Tulungsentana. Tunggu sampai satu setengah hari kemudian pergi kehutan yang terletatak di tenggara Kotaraja. Kelak di dalam hutan ini kau bakal menemui lagi Perwira itu dalam keadaan yang mengerikan. Itu adalah juga akibat kutukan Empu Bharata. Pertolongan kedua yang harus kau lakukan muridku, ialah membawa Perwira itu kepuncak Bromo ini, memberikan pelajaran ilmu silat padanya, tapi sekali-kali kau tak boleh mengambil dia sebagai murid! Pertolongan yang ketiga kelak harus kau lakukan di kemudian hari bila kau merasa bahwa nyawanya betul-betul terancam. Sesudah itu meski apapun yang terjadi dengan dirinya, kau tak berhak lagi menolongnya! "
Begitulah kira-kira ucapan Eyang Pamanik pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya. Keesokan paginya, lama Kiyai Supit Pramana merenungi makna mimpi mendiang gurunya itu. Memang pernah juga dia bermimpikan Eyang Pamanik, tapi dalam mimpi itu sang guru cuma sekadar memperlihatkan diri saja, tak pernah bicara apalagi sampai memberi pesan seperti itu. Yakin bahwa apa yang diimpikannya itu hanyalah bunga tidur belaka, maka Kiyai Supit Pramana tak mau lagi mengigatnya. Tapi pada malam berikutnya, mimpi yang sama datang kembali, bahkan terulang lagi di malam ketiga!
Kini Kiyai Supit Pramana merasa pasti bahwa mimpinya itu bukanlah sekedar mimpi biasa, bukan pula apa yang dikatakan bunga tidur. Tanpa menunggu lebih lama hari itu juga Kiyai Supit Pramana meniggalkan puncak Gunung Bromo menuju ke Kotaraja. Dalam perjalanan ke Kotaraja itulah orang tua yang berumur 75 tahun ini mengetahui bahwa saat itu Kerajaan tengah terancam bahava besar kaum Pemberontak. Timbul niat dalam hati orang tua sakti itu untuk turun tangan menumpas gembong-gembong pemberontak tapi dia ingat akan pesan gurunya di dalam mimpi. Dia tak berani bertindak sendiri di kala ada kewajiban yang harus dijalankannya. Karena itu dipercepatnya perjalanannya ke Kotaraja hingga tiga hari kemudian sampailah dia ditempat tujuan tersebut.
Memasuki Kotaraia kerrudian diketahuinya pula bahwa memang ada seorang Perwira Kerajaan yang bernama Untung Pararean sedang menderita sakit yang kritis bahkan ada yang mengatakan bahwa Perwira itu sudah gila, tak mau makan tak mau minum, kerjanya berteriak-teriak, kadang-kadang menangis menggerung-gerung memanggil-manggil anak isterinya yang pergi entah ke mana. Juga dikatakan bahwa siapa saja yang berani mendekati Perwira yang sakit itu, pasti dibunuh. Kabarnya pula Perwira itu memiliki sebilah keris bernama Mustiko Jagat! Sampai sebegitu jauh tak ada seorang yang sanggup mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri sudah tak berdaya apa-apa, mengingat pula saat itu yang menjadi pikiran Raja dan Perwiraperwira lainnya bukanlah Perwira yang bernama Untung Pararean itu, tapi bahaya besar yang mengancarn Kerajaan yakni serbuan kaum pemberontak yang sudah berada sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini betul-betul nyata bagi Kiyai Supit Pramana, bahwa impian dan pesan gurunya dalam mimpi itu bukanlah hal yang kosong belaka.
Bagaimana Kiyai Supit Pramana mengobati dan menyembuhkan Untung Pararean telah diceritakan. Sesudah melakukan pesan atau pertolongan yang pertama itu maka Kiyai Supit Pramana lalu meninggalkan Kotaraja menuju ke bukit Fulungsentana. Sesuai dengan pesan Eyang Pamanik, maka Kiyai Supit Pramana herdiam selama satu setengah hari di bukit tersebut. Selewatnya satu setengah hari dia lalu menuju ke hutan yang terletak di sebelah tenggara. Belum jauh memasuki hutan, langkahnya terhenti sewaktu menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas sebuah batu besar. Inilah rupanya sosok tubuh Untung Pararean sebagaimana yang diterangkan Eyang Pamanik lewat mimpi!
Oleh Kiyai Supit Pramana tubuh Untung Pararean yang berada dalam keadaan pingsan itu kemudian segera dilarikan kepuncak Gunung Bromo.
***
Next ...
Bab 8
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245
0 Response to "Kutukan Empu Bharata Bab 7"
Posting Komentar