Mawar Merah Menuntut Balas Bab 11

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

SEBELAS
BEGITU terkejut melihat barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka memutar tubuh ke pintu. Rasa terkejutnya kini berubah menjadi rasa heran. Sekitar duapuluh tahun yang silam angka 212 itu telah menggetarkan dunia persilatan. Setiap muncul angka 212 berarti munculnya seorang nenek-nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini yang dilihat Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang pemuda bertubuh kekar, berpakaian putih-putih dan berambut gondrong, Pemuda ini menyengir seenaknya kepadanya!
"Buset kau budakl Lekas terangkan siapa kau!" Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan ibu jarinya ke belakang.
"Lekas keluar dari sini!"
"Hah?!" Damar Soka beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini keluar dari sini?!" Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya tawanya itu. Dia memandang lekatlekat ke wajah pemuda di hadapannya dan berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut pautmu dengan Sinto Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar, bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si pemuda.
Marahlah Damar Soka. Kedua tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut diayunkan, dua larik sinar kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu siulan. Si rambut gondrong lenyap dari pemandangan. Dikejap yang sama serangkum sinar putih berkiblat dari samping, menyapu ke arah tubuh Damar Soka.
"Pukulan sinar matahari!" seru Damar Soka kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke lantai pondok. Terdengar suara hiruk pikuk yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan hancur berkepingkeping dan hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya manusia yang memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si pemuda telah melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si Sinto Gendeng!
Dengan bola mata berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua tangannya yang berwarna kuning saling digosok-gosokkan sedang mulutnya berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu selama bertahun-tahun telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat golonganku. Jika aku dan kawan-kawan masa itu tak dapat menghancurkan batok kepala Sinto Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke liang kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan.
Munding Wirya yang sejak tadi menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu dalam keadaan megap-megap hampir kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berseru memberi peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas menyingkir dan selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa.
"Terima kasih atas peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu kehebatan pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya yang bungkuk. Tanpa melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata pada gadis cilik di sudut ruangan.
"Anak, kau lekas tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas …. "
Mawar si gadis cilik delapan tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu Damar Soka mengembangkan kedua tangannya ke samping laksana burung besar hendak terbang. Kedua tangan itu memancarkan sinar kuning yang menyilaukan dan menggidikkan. Tiba-tiba dari tenggorokan Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan dahsyat laksana seratus serigala melolong di malam butal Dan serentak dengan itu kedua tangannya didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu. Dua larik gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke arah Pendekar 212. Di lain pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan serangan segera pula memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan melancarkan ilmu pukulan "dewa topan menggusur gunung" yang dipelajarinya dari Tua Gila sedang tangan kiri melancarkan pukulan "sinar matahari" yang diwarisinya dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat. Pondok di mana pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur berantakan laksana diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya yang terhampar di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh tak bernafas dari Camperenik.
Di dalam kepekatan malam di atas reruntuhan pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali saling berhadapan. Pendekar 212 saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-denyut, aliran darahnya tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu Kuning mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri dengan betul. Lututnya bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin. "Tak mungkin aku sanggup menghadapi budak ini lebih lama … Dia kelihatan masih segar bugar." kata Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini melompat ke samping dan menyambar tubuh Camperenik terus hendak melarikan diri! Wiro bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke muka. Damar Soka kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda telah menghadang larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam begitu rupa adalah berbahaya untuk metancarkan serangan yang mengandalkan tenaga dalam namun di landa hawa amarah yang amat sangat maka Damar Soka memukulkan tangan kanannya. Selarik angin hitam berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di kegelapan malam dia melompat setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia melepaskan pukulan "sinar matahari" yang terkenal ampuh itu.
Sehabis melancarkan serangan tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang. Nafasnya menyesak dan tidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik kemudian bukubuku darah merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar Soka tersungkur. Tangan kirinya masih merangkul pinggang Camperenik. Sebelum tubuh Damar Soka mencium tanah, pada saat itulah pukulan "sinar matahari" yang dilepaskan Wiro Sableng datang menyapu!
Damar Soka terbanting ke tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Damar Soka amblas ke tanah sedalam beberapa senti. Tubuhnya dan juga tubuh Camperenik hangus hitam. Nyawanya lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah serta pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang berkeliling. Dilihatnya Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok, di sampingnya bersimpuh gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua.
Dalam keadaan megap-megap begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat sekali … Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku … puas.
Sebelum menutup mata aku … masih sem… sempat menyaksikan kematian dua man … manusia cabul itu … "
Wiro Sableng meraba dada Munding Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya pakaian si orang tua kelihatanlah kulit dadanya kuning pekat sedang tulang dada melesak ke dalam.
Beberapa iga jelas kelihatan patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada Munding Wirya.
"Tak usah Wiro … jangan", kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di bibir. "Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini … "
"Telanlah obat ini", kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua itu menggeleng. Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur. "Kehendak Tuhan segera akan berlaku atas diriku. Satu permintaanku padamu, bawalah Mawar pada Citrakarsa. Maksudku untuk mengambilnya jadi murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa yang melanjutkan. Aku … Wiro kurasa … kurasa … "
Ucapan Munding Wirya cuma sampai di situ. Nafasnya meninggalkan jazad. Orang tua ini menghembuskan nafas penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis kecil di sampingnya menangis terisak-isak.
Pendekar 212 Wiro Sableng menghela nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia melihat manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam cara mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut akan mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
***

"Dulu hidup ini sunyi dan sepi,
Kini indah berseri.
Dulu hidup ini penuh duka derita,
Kini semarak bercahaya.
Betapa tak akan indah,
Betapa tak akan berseri.
Apa yang dicita muncul di mata,
Telah datang seorang calon istri.
Dulu hidup ini ……………………….. "


Ranata mendadak menghentikan nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat. Sepasang telinganya telah menangkap suara orang berlari dikejauhan. Semak-semak di depannya tersibak, sesosok tubuh berpakaian putih mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi, rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!" Ranata berseru."Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu Wiro bersama Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku segala?!"
Wiro menahan kegusarannya. Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk mendadak terdengar seruan perempuan.
"Mawar! Adikku … !"
Seorang gadis yang bukan lain adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar dari dukungan Wiro, memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata berdiri bingung.
"Amboi .., amboi! Mengapa calon istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi? Adikmu…? Ah … wajahnya … wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku … ipar … ya iparku kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar, masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari dalam gubuk.
‘"Amboi! Semua masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat masuk, menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini menjura di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua orang duduk dan memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai menuturkan malapetaka apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah, orang tua … " kata Wiro menutup keterangannya. "Sebelum menutup mata Munding Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik Ratih ke sini, meminta agar kau mengambilnya menjadi murid karena dialah kelak yang bakal menuntut balas terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak, Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban.
"Apa yang dipesankan Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu tidak lekas sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu menyuruh Ranata untuk mengobrakabrik bangsat-bangsat di hutan Bludak itu."
Tiba-tiba Ranata mendongak ke atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa di luar?!"
Dan Pendekar 212 dalam kejap itu telah melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya sesosok bayangan hitam tinggi langsing di atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar namun orang itu lenyap dari pemandangan. Betapapun dia menyelidik dengan teliti di sekitar tempat itu tetap tak berhasil mencari jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam tadi!
Dengan menduga-duga siapa adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam gubuk. Saat itu dilihatnya Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas putih, bersama Ranata dia membaca serentetan tulisan yang ada di atas kertas itu.
Ketika Wiro menghambur keluar gubuk tadi, dari atas atap rumbia melesat segulung kertas yang saat itu tengah dipegang oleh Citrakarsa. Kertas apakah yang di tangan orang tua itu, demikian Wiro berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya semula. Citrakarsa mengangkat kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang sama dilakukan pula oleh Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari berputar-putar mengelilingi Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku akan sembuh dan … amboi! Ratih … Ratih! Dengarlah! Aku akan sembuh dan nanti suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting, bukan orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan Citrakarsa berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata orang tua ini.
Wiro menerima kertas yang diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang tertera di atasnya. Ternyata merupakan sebuah surat yang ditujukan kepadanya dan berbunyi:
Wiro muridku,
Percuma kau menguasai 1001 macam ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk
mengobati Ranata.
Sinto Gendeng.
Wiro Sableng tertegun melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat seperti itu. Pantas saja dia tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang berkelebat di atas atap gubuk karena ternyata orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi sedikit keterangan akan bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa sementara saat itu Ranata masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pemah membaca dan mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu pengobatan beberapa waktu yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan…."
"Kiai Bangkalan!", kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia persilatan memang dialah satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay". Dan harapan besar jelas terbayang di wajah si orang tua.
"Jika betul kau sudah mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata akan bisa disembuh kan!"
Wiro mengangguk pelahan.
"Menurut keterangan yang kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu meninggal, anakmu telah delapan tahun menderita sakit. Ini berarti membutuhkan waktu yang cukup lama pula untuk menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya setengah dari masa sakitnya"
"Aku tak perduli berapa tahunpun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku sembuh! Sembuh dan …. kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali Ranata.
Wiro menarik nafas dalam, lalu pejamkan mata dan menepekur. Hampir sepeminuman teh baru dia mengangkat kepalanya kembali dan memandang pada Citrakarsa lalu berkata :
"Pertama sekali harus disediakan satu guci anggur merah. Lalu disiapkan tujuhpuluh lembar daun sirih, tujuhpuluh serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih. Semuanya dimasukkan ke dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus diminum oleh anakmu sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa mengangguk-anggukkan kepala.
"Daun sirih dan akar cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah binatang-binatang itu didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada katak putih!" kata Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis Kiai Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh tempat dimana terdapat katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau Jawa ini. Di dasar kawah gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk menangkap binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam hari sewaktu muncul bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya semua itu akan kulaksanakan." kata Citrakarsa pula. Lalu orang tua iri berulang kali mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan dan petunjuk Wiro. Tak lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara Ranata saat itu kembali menari-nari kegirangan.
***

Next ...
Bab 12

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 11"

Posting Komentar