Mawar Merah Menuntut Balas Bab 10

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

SEPULUH
WIRO Sableng keluarkan siulan nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si Bayunata hah? Bagus! Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya. Anak buah Bayunata menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat kosong. Secepat kilat dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih berbahaya. Namun saat itu Wiro telah lenyap dari hadapannya. Sebelum dia sempat mengetahui di mana pemuda itu berada, satu jambakan telah mencengkeram rambutnya dan di lain kejap tubuhnya terbanting keras ke tanah!
Perampok itu mengeluh tinggi. Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak. Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya telah terlepas entah ke mana.
"Sret!"
Suara golok dicabut terdengar susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu melihat kawan mereka dihajar demikian rupa, serentak mencabut senjata masing-masing dan tanpa banyak cerita langsung menyerang Wiro Sableng. Empat golok besar bersiuran, mencari sasaran di empat bagian tubuh Wiro. Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan tubuh terkutung-kutung. Namun serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan pernah berhasil. Di dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara. Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menabur serangan.
Dua pekik kematian terdengar. Rampok yang disamping kanan terbanting ke tanah dengan kepala rengkah sedang rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar tubuh untuk larikan diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak sejauh dua langkah, karena sangat cepat Wiro telah menjambak rambut mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya kepaia kedua rampok itu satu sama lain. Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke dalam telaga. Celakanya masing-masing mereka tidak bisa berenang.
"Tolong!" jerit mereka sambil menggelepargelepar dalam air. Keduanya laksana gila, berteriak don menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Semakin keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka amblas ke dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air telaga.
Wiro memutar tubuh dan melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka parah. Dibukanya totokan pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini kelihatan kembali mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang kedua matanya terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku pakaiannya. Darah yang mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk obat itu ditaburkannya di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu kemudian menelankan sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya di sebuah pohon. Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua matanya.
"Bagaimana rasanya, masih sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan … te … terima kasih, Sau … dara."
"Bernafaslah dengan teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan Wiro.
Dan bila orang itu dilihatnya agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau dan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke Kotaraja untuk menyampaikan uang emas yang ada di dalam kantong kulit dipunggungku ini. Entah bagaimana perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku dihadang di tengah jaian. Ketika aku menolak untuk memberikan uang emas yang kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha melawan. Namun jumlah mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Sewaktu salah seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi. Dadaku luka parah. Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai di tempat ini dan berternu dengan kau …"
Laki-laki itu meraba dadanya sebentar ialu menarik nafas panjang dan berkata lagi.
"Aku berhutang besar padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak bisa memberikan apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang ada di dalam kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit dipunggungnya. Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya.
"Menolong sesama manusia adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu, menolong merupakan satu kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa. Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan … "
"Uang ini kuberikan dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak keberatan."
"Sudahlah sobat. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan malam akan tiba."
Keduanya berdiri.
"Aku akan antarkan kau ke tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja dengan menumpang perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk.
Ketika malam tiba mereka sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah pangkalan perahu tumpangan.
"Kita berpisah di sini, sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi menerangkan nama dan tempat tinggalmu … " Laki-laki itu berpaling dan astaga! Terkejutlah dia. Wiro Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu Kuning dan nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik. Dengan mengandalkan ilmu lari masingmasing, menjelang tengah malam mereka berhasil mencapai Bukit Gong tempat kediaman Munding Wirya. Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak bersemedi. Beberapa kali telah dicobanya untuk menutup panca inderanya namun sia-sia belaka. Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran sedang entah karena apa hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan menjadi muridnya. Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya coba untuk bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan pikirannya. Selagi dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak menentu, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!" Munding Wirya bertanya.
Baru saja pertanyaannya itu selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok tubuh masuk ke dalam.
"Selamat berjumpa kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan seringai bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu melihat gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku datang untuk menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga ada di sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan cocok sekali dengan pepatah itu heh?!" Munding Wirya mengusap janggutnya yang panjang putih.
"Aku tidak percaya kau punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di luar yang agaknya menjadi andalanmu?!"
Pada saat itu di luar pondok terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang lakilaki bermuka kuning dan berbadan bungkuk.
"Hem … Kau rupanya Damar Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui kekotoran yang kau perbuat bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang kalian berdua keluarlah dari pondokku. Haram kaki kalian menginjak tempat ini!"
"Buset … buset … buset!" Damar Soka goleng-golengkan kepala. "Haram atau halal itu urusan kemudian. Yang jelas kau harus berterima kasih lantaran aku ikut kemari bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan kening.
"Sangkut paut apa aku musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik hendak minta kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku di sini pembalasannya yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh diri!"
Berubahlah paras Munding Wirya.
"Keluar dari sini atau aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai tuan rumah kau terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu dikeluarkannya senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah untuk mampus!"
Camperenik menerjang ke muka. Senjatanya berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun Munding Wirya siang-siang sudah berpindah tempat hingga serangan Camperenik hanya mengenai tempat kosong.
Dengan sebat nenek-nenek bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada saat itu satu gulungan berwarna kuning datang di hadapannya dengan amat cepat. Camperenik tidak menduga sama sekali kalau dikejapan itu Munding Wirya akan melancarkan serangan balasan dengan tongkatnya. Dia bersurut mundur namun serangan tongkat bambu kuning Munding Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya kemudian dengan sebat menderu ke kepalanya. Munding Wirya sengaja mengeluarkan jurus serangan yang amat hebatnya bernama "naga sakti menggulung bumi mematuk bulan".
Camperenik berseru tertahan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun menangkis! Sekejap lagi tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat otak Camperenik bertaburan, tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung. Selarik angin panas menyambar dari samping, satu pukulan kemudian melanda lengannya, hampir saja membuat tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajarl Kau mau main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning menyeringai buruk. "Tidak seorang manusiapun tega melihat kekasihnya dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau begitu lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya pula seraya mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan kepada kedua lawannya. Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah.
Seperti telah diketahui, bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi Munding Wirya untuk mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek muka hitam dibantu pula oleh Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang kepandaiannya tiga tingkat lebih tinggi dari Camperenik!
Sementara itu gadis cilik delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun dan dengan terkejut serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut pondok. Jurus demi jurus pertempuran semakin hebat. Mereka yang berkelahi hanya merupakan bayang bayang saja kini. Taburan serangan yang dilancarkan Munding Wirya laksana curahan hujan datangnya. Namun cuma sampai lima jurus orang tua itu sanggup menunjukkan kehebatannya. Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat tekanan-tekanan untuk kemudian dia musti bertahan mati-matian.
Dalam satu gebrakan hebat dijurus ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan tongkatnya kena dirampas oleh Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman tongkat ular Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati, bangsat tua ini hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar Soka berteriak memberi ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan tangan kanannya yang saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma saja. Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun terlanlbat. Sebagian sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas pinggang Camperenik. Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat bersama-sama dengan dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar di tanah, berkutik melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi. Di saat yang sama terdengar pula pekik Munding Wirya.
Meskipun Munding Wirya berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun dia sama sekali tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka yang membabat dari samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas pergelangan remuk hancur Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua ini melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Munding Wirya menyadari sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat itu, adalah mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka. Karenanya cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok dan berteriak. "Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!" Gadis cilik berumur delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si anak segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha dang di pintu menutup jalan. Dengan penasaran Munding Wirya menerjang dan melancarkan satu tendangan ke bawah perut Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan satu gerakan cepat yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada Munding Wirya. Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang di lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia bisa mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah darah dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan sakit bukan main. Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh. Dia melanygkah mendekati Munding Wirya.
"Bangsat tua bangka! Hari ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu Kuning menggerakkan kaki kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan lakilaki ini sampai dikepala Munding Wirya, dari arah pintu menderu lima buah benda berwarna putih perak menyilaukan. Hantu kuning terpaksa membatalkan tendangannya kecuali kalau dia inginkan kakinya dilabrak senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia menancap di dinding pondok. Bendabenda ini berbentuk bintang yang bertuliskan angka-angka 212 di tengah-tengahnya!
***

Next ...
Bab 11

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 10"

Posting Komentar