Mawar Merah Menuntut Balas Bab 4

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

EMPAT
BAYUNATA tengah meniti jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke pondok di mana Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada saat itulah didengarnya lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh dan samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang tanpa pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana. Lamat-lamat terdengar suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok seberang sana Singgil Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke bawah. Bayunata berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!" tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang barusan terjadi. "Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh diri hah?!"
"Kami … kami tengah bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan lari sangat cepat ke pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu diri! Berlalu dari hadapanku!" sentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke tanah untuk menyuruh urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang sebelumnya telah dilemparkan oleh Bayunata. Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan meniti jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang mengawal dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut ruangan tengah menangis tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman Bayunata. Selain paling besar juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu. Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata Bayunata seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai setengahnya dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di tangan kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di dalam seloki disiramkannya ke muka Bayunata.
Kepala rampok itu undur beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang tersiram anggur terasa perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa lama sehingga rasa perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk pertama kalinya dia tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya Ratih dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur dalam seloki.
"Gadis galak, kau memang pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!" Bayunata tertawa perlahan.
"Setiap perempuan yang kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta dibebaskan! Mereka harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak mungkin bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh diri!" Dan Bayunata hendak menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi maksudnya itu kemudian dibatalkan.
"Hentikan tangismu. Jangan bikin aku muak dan marah." Bayunata berkata bilamana Ratih masih dilihatnya menangis.
Sebagai jawaban Ratih melemparkan seloki di tangan kananpya. Dengan tangan kirinya Bayunata menangkap seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak akan menyakitimu."
"Persetan dengan ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di atas sebuah meja kecil lalu melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya dengan ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai tubuhnya tertahan oleh pondok.
"Aku tak akan menyakitimu. Siapa namamu gadis… ?"
Ratih memepet ke dinding. Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan besar dari kuningan. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke kepala Bayunata.
Melihat sikap Ratih yang keras demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan lembut, kini naiklah darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar itu hancur berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak Bayunata beringas.
Ratih kaget bukan main.
"A … apa?! Ibuku bunuh diri …?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh diri dan mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya telah mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan ditindihnya sekaligus. Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya yang ada Ratih masih sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata. Kepala rampok itu mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya terguling dan jatuh di lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang kepalanya dilantai membuat pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya semakin lemah sedang jambakan Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat bertahan lebih lama.
Mungkin sudah menjadi takdir bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa. Air mata berderaian meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas diwajahnya. Dirasakannya jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain ditubuhnya. Dirasakannya tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas dadanya. Ratih menangis keras. Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah merapatkan kedua kakinya sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan Tuhan benar-benar datang!
Pintu pondok tanpa suara sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh bergerak cepat masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah dibantingkan ke lantai pondok!
***

Next ...
Bab 5

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 4"

Posting Komentar