WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas
LIMA
BAYUNATA adalah seorang kepala rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya terbanting keras ke lantai dia sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat seraya melepaskan satu tendangan ke arah mana sudut matanya melihat sosok bayangan putih yang barusan masuk. Yang diserang nyatanya bukan seorang yang berkepandaian rendah pula, karena tendangan kilat Bayunata berhasil dielakkannya dengan miringkan tubuh ke samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa kau?!" bentak Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak dikancing hingga kelihatan dadanya yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu, Bayunata!" kata si pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan yang dinamakan "sepasang lengan baja meminta jiwa." Selain cepat serangan ini menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda ditengah ruangan cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari lawan dengan amat cepat menyambar ke batang lehernya. Namun tak terduga begitu dia berhasil mengelak, sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba membabat ke kepala dan pinggang! Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai sedang kaki kanan berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan Bayunata! Ini adalah satu gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah gerakan itu adalah gerakan main-main! Ini memb’uat Bayunata penasaran setengah mati. Dia bertekad untuk membuntoh pemuda tak dikenal itu saat itu juga. Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata yang beratnya hampir duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih yang berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok yang demikian hebat. Selain golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin deras, sekali berkiblat senjata ini telah menebar tiga tabasan dan empat tusukan ke arah tujuh bagian tubuh si pemuda!
Dalam tempo yang singkat pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan menyambar berputar menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya celaka. Ketika dia mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata yang tercampak di lantai. Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk menghadapi lawan. Bayunata merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah miliknya sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia harus berhatihati karena meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu berobah menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda berambut gondrong. Di lain pihak pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-putar, menyusup di bawah golok lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu telah terlibat!
Bayunata berseru kaget. Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah senjatanya itu tahu-tahu sudah terlepas dari tangannya! Bayunata berteriak marah. Dia menerjang ke muka dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak tangan kanannya ke kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata terpelanting dan jatuh punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang bekas dipukul kelihatan berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka berwarna putih, angka 212!
"Pergunakanlah seperai tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut gondrong pada Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu dengan kain seperai maka si pemuda berkata lagi, "Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng.
"Aku dipesan untuk tidak melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia membungkuk mengambil golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak hendak melaksanakan niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak melarangku! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda mengambil golok besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari ikut aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher gadis itu.
Dalam keadaan kaku tegang Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di ambang pintu, dua orang rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak cerita keduanya terus menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus, marilah lebih dekat!"
Rampok yang pertama berteriak keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental keluar pintu. Rampok yang kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih baik dia angkat kaki. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di lain detik terdengar kepalanya diadu dengan sanding pintu pondok yang keras. Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat kemudian telah lenyap dari tempat itu.
***
Bukit itu berbentuk bulat. Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung ke atas, juga berbentuk bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit tersebut kemudian dinamakan bukit Gong.
Pada tanah yang muncung dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum kita mencari tahu siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut marilah kita ikuti perjalanan Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda berambut gondrong dari hutan Bludak yang menjadi sarang rampok Bayunata.
Sewaktu fajar menyingsing di timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai berair jernih. Si pemuda menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya di sebuah batu besar di tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut dengan kau!"
"Oh?" si pemuda menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!" Si pemuda tertawa perlahan.
"Kalau kau mau kembali, pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang memesan?"
"Seorang kakek-kakek. Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212 berdiri.
"Aku akan mandi di tepian sebelah sana," katanya pada Ratih. "Jika kau hendak melarikan diri, silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah sepanjang tepi sungai dan menghilang di balik rerumpunan pohon pohon bambu. Walau bagaimanapun hatinya masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak kenal siapa pemuda itu adanya. Seorang kakek-kakek memesannya untuk menyelamatkan dirinya. Dan si pemuda menerangkan bahwa adiknya ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya si kakek? Dan ke mana dia hendak dibawa?
Dia tak bisa mempercayai pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke dalam sungai. Dia menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya bahwa saat itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin dia akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa? Dengan mengomel dalam hati dia duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada menunggu kembalinya si pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa. Mudah-mudahan saja pemuda berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti yang dicurigainya.
Tengah dia melamuni nasib dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya terseruak. Di lain saat dari seruakan semak belukar itu muncullah seorang pemuda. Pemuda ini bertampang cakap. Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat. Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan diletakkan di atas kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip ngedipkan matanya beberapa kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!" katanya sambil mengusapusap mukanya, "Inilah gadis yang kucari-cari! Amboi cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin! Asyiik…!"
Pada mulanya Ratih merasa takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh serta edan itu hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak.
"Setan gila dari mana ini muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi! Suaramu merdu amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi aku bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia, sama dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak sehat, aku gila. Nah, kau mengerti …. ?"
Mau tak mau Ratih tertawa mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang.
"Bagus! Memang calon istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii … !!"
"Pemuda! Kau boleh bicara lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu! Siapa sudi jadi istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu urusan nanti. Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau mengerti!"
"Kau harus mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura marah.
"Soal muak atau tidak tak usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal lagi. Tadi kau bilang aku setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu … dengar, aku akan terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi nama waktu, bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu tak mungkin punya mata. Apalagi kalau matanya buta. Pagi buta … lucu sekali! Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan betapa nikmatnya kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi marah.
"Lancang amat mulutmu! Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat, masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah maju.
"Jangan mendekat!" sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut bersama kau. Orang gila …!"
"Orang gila tidak selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau pasti gembira melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan … "
"Pergi!" bentak Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal kalau…"
"Kalau … kalau … kalau apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan kepalanya. "Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda berotak miring itu.
"Plak!"
Karena kesal hatinya Ratih betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian kerasnya hingga salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat ini Ratih merasa menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa dan jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu, gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan aku akan minta agar ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi mas kawiiiiinnnn …!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah, sekarang kau tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku! Berarti kau sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku …! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si pemuda tertawa membahak. "Kau lucu … kau lucu! Tapi sebelum hari bertambah siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!"
Habis berkata begitu si pemuda lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis itu dibahu kirinya. Ratih hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan halus pada punggungnya membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Si pemuda temyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang teramat lihay!
Karena tak dapat berteriak, sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk mendambun punggung pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus! Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda membawanya berlari laksana angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi! Kau harus ketemu dengan ayahku … "
Ratih menggigit bibir. Kalau anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh kali lebih gila dari dia, begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal menimpa dirinya kelak? Diamdiam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata dan pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan.
***
Next ...
Bab 6
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424


0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 5"
Posting Komentar