Mawar Merah Menuntut Balas Bab 6

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

ENAM
KETIKA Ratih membuka kedua matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si pemuda masih terus berlari dengan cepat di selasela pohon-pohon yang tumbuh rapat bahkan kadangkadang dia melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa kali pemuda itu melompat dari satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih merasa gamang dan memejamkan matanya kembali.
"Nah kita sampai!" terdengar si pemuda berkata.
Ratih membuka kedua matanya. Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah! Lihat apa yang kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang tertutup langsung dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah menimangnimang seuntai tasbih jadi terkejut.
"Ranata! Apa-apaan kau ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya membesar sedang kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata. Lalu Ratih diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di hadapan ayahnya. Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang bukan lain hanya sehelai kain sepereil Dia berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon menantumu!" jawab Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak dan menari memutari Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Ratih memandang berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta kotor. Tapi bila sudah berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana! Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang kau culik ini?!"
"Amboi! Aku sama sekali tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku! Silahkan tanya kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak menjawab.
"Astaga, aku lupa membuka totokannya!" kata Ranata. Lalu dijentikkannya satu jarinya. Setiup angin halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan yang membuatnya tak bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam dan mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia yang dusta ayah! Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya kalau dia tak sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti dia angkat kaki melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak? Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau berpakaian aneh begini macam?" tanya laki-laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi nyatanya lakilaki itu amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini membuat Ratih bersedia membuka mulut memberikan jawaban.
"Nama saya Ratih, pak. Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang mandi sewaktu anak bapak datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada akhirnya diboyong oleh Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah padamu!" kata sang ayah pula.
"Itu memang sudah sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada keren.
"Tapi ayah jangan lupa akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya terbungkus alas tempat tidur! Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawini aku dengan dia!"
Sang ayah tertawa rawan.
"Anak orang kau larikan, lalu meminta aku mengawinimu dengan dia! Otakmu memang miring! Tapi jangan suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan! Aku harus berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara baik-baik. Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau adanya! Jangan bikin malu orang tuamu yang sudah hampir masuk ke liang kubur ini … "
Butiran-butiran air mata meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca. "Jika kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau menerima diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu … " Air mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih.
Siapakah ayah dan anak ini sebenarnya? Ratih memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini berwajah cakap. Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan air matapun jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat akan kematian ayahnya dan ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat ini tak tahu entah berada di mana.
"Ratih, kau boleh meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau akan keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala perbuatan anakku …"
"Tapi ayah!" Ranata maju ke muka.
"Ranata!" desis si ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu penuh wibawa. "Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau bakal dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu … " Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar terang berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari sarungnya. Dia bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah! Lebih baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi … amboi!"
Dengan air mata berlinangan sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
"Senjata mustika jangan dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata menggerung lalu menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling berangkulan. Air mata runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih memandang pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan menundukkan kepala. Ayah Ranata mengangkat kepalanya sedikit. "Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah … " Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di tempatnya.
"Bapak!" Ratih berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung halamanku musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi entah di mana sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa nasib. Aku hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk sementara di sini guna merawatmu sebisanya … "
Berubahlah paras ayah Ranata. Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras, berjingkrak-jingkrak dan tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu muncullah sesosuk tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang baru datang berkata.
Semua orang berpaling.
***

Next ...
Bab 7

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 6"

Posting Komentar