Mawar Merah Menuntut Balas Bab 8

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

DELAPAN
DENGAN terpincang-pincang Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu matahari tenggelam, sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke arah muara. Waktu itu terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan yang ditempuhnya dan dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini sampai juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air laut terdapat sebuah delta subur berbentuk pulau kecil. Di sini berdirilah sebuah bangunan bambu yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera hitam bergambar kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam keadaan basah kuyup Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut. Jauh-jauh dia sudah berteriak .
"Soka! Soka … ! Adakah kau di dalam?!"
"Buset! Tamu dari manakah yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar suara menyahut. Lalu pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik sampai di hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air mata berderai matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku! Apaapaan kau ini Camperenik?!"
Teguran itu membuat tangis Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa, masakan aku menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian hama laki-laki tua renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan kepala, memegang bahu Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah Camperenik duduk disebuah kursi bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah, sekarang kau terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan kenapa kakimu pincang."
Untuk beberapa lamanya Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar Soka menarik ujung pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda mudi tengah berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik dan dia berbisik.
"Hentikan tangismu, Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang berbuat hingga kau sampai menangis begini rupa …" Camperenik hentikan tangisnya.
"Sebelas tahun aku mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan mendapatkannya, ketika calon murid itu sudah befada di tanganku, tahu-tahu datanglah Munding Wirya hendak merebutnya…"
"Dan dia berhasil merebut calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap mukanya.
Baik muka maupun kedua tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam, alisnya tebal menjulai dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipip. Keseluruhan parasnya persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar Soka mendekam di muara sungai. Siapa saja yang keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan, diwajibkannya membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan merekamereka yang tak mau mematuhi hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh namun tak seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat iblis. Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran "Hantu Kuning".
"Tidak, bangsat tua bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi ketika aku dan dia tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah menyambar calon muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding Wirya keparat itu melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet pinggulku hingga lariku jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan beri hajaran pada Munding Wirya …" berjanji Damar Soka seraya membelai rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu … "
"Kita akan cari sampai dapat … "
"Dan pinggulku yang sakit ini?" mengajuk Camperenik.
"Ah, aku akan mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu … " kata lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain yang melekat di tubuhnya hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset … tubuhmu masih semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa mengekeh meskipun sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan kulit-kulit loyo dan keriput!
Camperenik mencubit lengan Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit! Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya menarik
tangannya dan menjiwir telinga Damar Soka. Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan tangan kanannya dibelainya pinggul Camperenik yang agak kebiru-biruan. Camperenik menggeliat kegelian. Darah tuanya hangat. Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar oleh sentuhan tangan Damar Soka.
"Bagaimana rasanya sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa lamanya.
"Agak mendingan … Usaplah terus, Soka. Usaplah terus … " bisik si nenek bermata satu penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga di situ pastilah dia akan merasa amat jijik melihat tingkah laku kedua manusia tua bangka ini. Dan Damar Soka terus juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan tangannya kemudian bergerak mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini menggeliat kegelian dan menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil. Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si nenek. Carrrperenik terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas dan jatuh ke lantai. Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah telanjang begitu dia lari ke dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan matanya yang hitam bersinarsinar. Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke dalam.
Camperehik berbaring menghadap ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka memburu. Dia duduk di tepi tempat tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu Camperenik diam saja. Damar Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik membalik dan menggigit ibu jari Damar Soka hingga si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka … soka … ", bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua itu , dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu kau … Sudah terlalu lama Soka … Terlalu lama … "
"Ya, terlatu lama … " berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani membuat Carnperenik kelangsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur. Dari balik pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu topeng itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang amat cantik.
Damar Soka tertawa bergumam. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng kain. Begitu dipakai maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi wajah seorang pemuda tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik, Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah sekali!" balas Camperenik. Kedua kakinya bergerak dan sesaat kemudian tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh nafsu. Kedua kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa bahwa mereka sudah tua bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi.
Camperenik tertawa kecil sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan nafsu berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh pakaian kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka … enam bulan … " bisik Camperenik.
"Enam bulen! Buset … !" balas Damar Soka. Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya tubuh perempuan tua itu!
Dalam dunia persilatan di Jawa Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan nama-nama yang asing lagi. Kedua orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia kotor yang setiap bertemu selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti suami istri tanpa kawin syah. Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih terus juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana kegilaan mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua begitu mereka sengaja mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras mereka menjadi muda kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di dalam diri masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun. Disibakkannya lengan Camperenik yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri tetapi dirasakannya satu pegangan mencekal lengannya.
Dia berpaling. Dilihatnya Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana, Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon rnuridmu yang dilarikan itu?"
"Betul. Tapi sekarang masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Buset! Masih pagi katamul Coba kau lihat matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka masing-masing.
"Bagiku masih pagi, Soka. Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan matahari. Munding Wirya bisa menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh pasti akan kita temukan… " Camperenik menarik lengan Damar Soka dan memeluk tubuh laki-laki itu kembali.
Nafsu kotor masih belum lenyap dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka kembali ketularan rangsangan birahi pula.
"Enam bulan Soka … enam bulan … "
"Tapi bused! Kau mau bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian untuk kesekian kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
***

Next ...
Bab 9

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 8"

Posting Komentar