Mawar Merah Menuntut Balas Bab 7

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas

TUJUH
"WIRO!" seru Ratih begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa dia?!" tanya Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah pemuda berotak miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya telah kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan mereka saling bentrokan. Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan sama-sama menyadari bahwa orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!" sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih, bagaimana kau bisa berada di tempat ini … ?"
"Aku yang membawanya, aku!" Ranata yang menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini sesaat. Agaknya ada yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut.
"Kau memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh! Dia senang padaku, suka kasihan ayahku dan bersedia tinggal di sini. Bukan anehl Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda sinting itu.
"Bagiku adalah tetap satu keanehan," kata
Wiro sambil memandang pada orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai. Tahutahu gadis ini lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia memutuskan untuk tinggal di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu aneh kalau tidak ada apaapanya?"
Si orang tua tertawa kecil sedang Ranata terusterusan membantah bahwa itu tidak aneh.
"Murigkin aneh, mungkin juga tidak, orang muda … "
Ranata memotong ucapan ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di sini. Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro. Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri … "
"Dan jangan paksa dia untuk membatalkan niatnya itul Dia calon istriku! Amboiiii! Calon istriku! Kau dengar sobat berambut gondrong … ?" ujar Ranata pula menyambung ucapan Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil garukgaruk kepala dia memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya, dan akhirnya pendekar ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan perdulikan ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya … "
Wiro tersenyum dan anggukkan kepala.
"Nah, nah! Sekarang kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu istirahat!" kata Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu. Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya.
"Orang tua, apapun yang terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat satu tugas untuk membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu …? Siapakah yang memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak pinggang.
Wiro ganda tertawa mendengar ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci mulutmu sebentar. Aku bicara dengan ayahmu, bukan dengan kau…"
"Bah … ?!" Ranata tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut? Memangnya mulutku ini pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah… ! Tampangmu cukup keren sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan dariku!" Dan kembali Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan menggerendeng dalam hati.
"Ratih, berdirilah. Kau musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan Wiro dan berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak punya hak untuk memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa saja untuk kebaikan gadis ini."
"Tinggal di sini sudah merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu? Jadi kau juga telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua semacammu mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta peradatanl Gadis ini bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu dikawinkan dengan burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap tersungging seulas senyuman. Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!" seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata mundur. Dari mulutnya keluar ucapanucapan gusar.
"Sekarang begini saja orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian. Kau hadapi anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu boleh kau bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau musti berlalu dari gubukkul Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala macam perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak.
"Nyata sekali kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya.
"Jika kau hendak main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok menjadi lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai dengan dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah sangat keterlaluan. Dia menunding ke pintu.
"Aku tunggu kau di luar!"
Ranata tertawa.
"Kenapa musti di luar? Ruangan ini cukup besar. Dan amboi …, biarlah calon istriku menyaksikan sendiri bagaimana hebatnyarilmu silatku! Di samping itu ayahku akan menjadi saksi bahwa dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan kecurangan! Nah, kau sudah siap rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!" kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang lebih dulu!" sahutRanata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh.
"Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring tubuhnya berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat membabat ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan "pecut sakti menabas tugu".
"Ha … ha Kalau cuma serangan macam ini tutup matapun aku sanggup mengelakkannya!"
teriak Ranata dan sekali dia bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sesaput angin menderu kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara mengelak lawan. Tadinya dia hendak susul dengan satu serangan lain namun lagi-lagi dia dikejutkan oleh serangan balasan yang dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja satu jotosan melabrak dadanya!
"Sekarang jurus kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro membuka serangan dengan gerakan "membuka jendela memanah rembulan". Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya lenyap lagi dari pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur deras ke arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah bagaimana bisa dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu! Sebelum kakinya menjejak tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak garang. Sekaligus kedua tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan "kipas sakti terbuka".
Di hadapannya Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu dengan sangat tiba-tiba sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah. Wiro sadar meskipun serangannya bisa menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari Ranata tak mungkin pula dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan "gunung meletus batu melesat ke luar".
"Sekarang jurus terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya merunduk.
Kepalanya diluruskan demikian rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu saja ini sasaran yang empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari atas tangan kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya itu pasti akan m ngenai sasaran!
Namun untuk kesekian kalinya Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan bergerak ke samping. Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah mencengkeram ujung pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh Wiro.
Segera Pendekar 212 keluarkan gerakan "orang gila melenggang ke awan" untuk melepaskan diri. Tapi terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya robek.
"Buk!"
Satu tempelak menghantam bahunya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit. Dengan penasaran dia hendak menggempur lawan dengan jurus "menepuk gunung memukul bukit". Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi tahu bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian. Mau tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa menghentikan gerakannya.
"Amboi … ! Kau kalah rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah … aku mengaku kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu. Betapa sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan. Kenyataan pahit yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian … " kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan angkat kaki … "
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang bakal kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!" sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas dapat cucu!" Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia hendak mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang Ranata tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuuu … !"
Siapakah sesungguhnya orang tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang berotak sinting seperti Ranata itu? Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun yang silam sewaktu kerajaan Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu kesultanan Banten masih belum berdiri. Di antara sekian banyak para menteri istana yang menjadi pembantu Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata. Citrakarsa terkenal sebagai menteri yang baik, penuh tanggung jawab serta jujur. Di samping itu dia juga memiliki kepandaian silat yang tinggi. Ketika Mapatih Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan untuk mengangkat Citrakarsa sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan dilaksanakan, terjadilah satu peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan keluarganya. Kedudukan Mapatih Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi incaran seorang menteri yang berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa Citrakarsa hendak diangkat menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu rencana busuk.
Suatu hari diundangnya Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan. Makanan dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam dimasukkannya racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila yang hebat. Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan kepalanya amat pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama juga dialami oleh istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu telah berubah ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa dan anak istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah telanjang.
Apa yang terjadi atas diri menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib pandai di datangkan guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah seminggu kemudian istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri dengan sebilah keris yang ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian, penyakit yang diderita Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena dia mempunyai ilmu yang tinggi dan kekuatan bathin yang besar. Setelah menjalankan semedi hampir selama tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum sedikit akhirnya Citrakarsa sehat seperti semula. Hanya badannya saja kini yang kurus kering tinggal kulit pembalut tulang.
Beberapa bulan kemudian meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti sediakala tetapi Citrakarsa tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali dan berusaha menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri yang telah mencelakakannya. Di samping itu putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih belum berhasil disembuhkan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa namun tetap saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah ilmu silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya tidak sehat namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam tempo hanya tiga tahun. Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya untuk memperdalam ilmu bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh.
Adapun ilmu silat yang diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah yang membuat hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212 Wiro Sableng sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari bersinar panas membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan mempergunakan ilmu larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju ke utara. Pada raut wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa penasaran yang mendalam. Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju pada pertempuran yang telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata. Bertahun-tahun turun gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan, belasan macam musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya. Namun baru hari ini dia dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah yang dimiliki pemuda itu hingga aku demikian tololnya menerima kekalahan-kekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan gerakan "pecut sakti menabas tugu". Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan satu jotosan yang hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro menghentikan larinya. Dia berdiri dan membuat gerakan "pecut sakti menabas tugu ". Gerakan ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya mengingat gerakan Ranata waktu diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat gerakan mengelak dari kiri ke samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru membuat gerakan dari samping kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan satu jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan "menentukan serangan yang dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda itu membuat gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu tendangannya meluncur ke kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam ilmu silat yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu membuat gerakan "kipas sakti terbuka". Pada waktu itu Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana seekor burung besar hendak terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini benar-benar satu keadaan yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada sampai ke kaki tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan dengan menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri dan memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro. Digaruknya kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi setahap diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh memeras otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan ilmu silat manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya dilakukan secara terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan satu-satunya cara untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah dengan jalan membuat gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
***
Bukit Gong. Seperti telah dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada pertengahannya terdapat bagian tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga berbentuk bulat. Bentuknya yang seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan bukit Gong. Sebuah bangunan kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah tempat kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa gadis cilik adik kandung Ratih. Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng menuju. Wiro sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke barat. Dia langsung masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya.
Di samping si orang tua saat itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua. Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu telah terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek lalu bertanya.
"Apakah yang telah terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa yang dialaminya.
Munding Wirya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Coba terangkan ciri-ciri orang tua itu," katanya. Wiro menerangkan.
"Tak salah lagi, pasti dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak sebuah senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak miring tapi berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas panjang lalu menjawab,
"Dulu dia adalah seorang menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas, berbudi luhur, bijaksana serta jujur … " Lalu Munding Wirya menceritakan asal usul sampai Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan tinggal di dalam hutan. Mau tak mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang menyedihkan itu.
"Mungkin sekali, karena hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk tinggal di situ … " kata Wiro.
"Kurasa demikian …" menyahut Munding Wirya.
Setelah saling berdiam diri beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian menerangkan tentang kematian Ibu Ratih di hutan Bludak.
Munding Wirya mengatupkan bibirnya rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil di sampingnya. "Kelak hari pembalasan akan tiba bagi manusiamanusia terkutuk di hutan Bludak itu… " desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu dengan guruku …?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng.
"Jika begitu perkenankan aku minta diri sekarang. Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
***

Next ...
Bab 8

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
 

Related Posts :

0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 7"

Posting Komentar