WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 015
Mawar Merah Menuntut Balas
SEMBILAN
PENDEKAR 212 Wiro Sableng berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan memandang berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah lembah. Jauh disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat menghampar sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohonpohon besar berdaun rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro berdiri dan memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya lebih segar. Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba mendengar suara dua orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam telaga dan bersimbur-simburan air.
"Pasti ada sepasang muda mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro. Dia bermaksud untuk membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu pasangan yang tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa gelak-gelak. Wiro tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh. Bukan suara tertawa sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro meneruskan langkahnya menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar dan memandang ke depan. Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di situ, di tepi telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila … betul-betul gila!" kata Wiro dan cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir sepeminuman teh lewat. Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!" Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya adegan kotor itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata adegan yang dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah "memperkuda" laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil menyeringai-nyeringai!
"Geblek, biar kulempar mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati. Lalu dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah kedua insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan mustahil kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta tidak sopan sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka. Akhirnya dengan memandang ke jurusan lain Wiro menunggu.
Tak berapa lama kemudian ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya kedua orang itu terbaring berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara perlahan. Diam-diam Wiro melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka … " terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah. Tubuhku masih keringatan … " sahut si kakek dan si nenek tertawa cekikikan.
"Enam bulan Soka … "
"Sudah, sudah! Jangan sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh apa?!" Si nenek tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek membuka suara kembali.
"Kita cari anak itu dulu atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu mendengar nama Munding Wirya disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu didengarnya laki-laki tua yang dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia … "
"Betul, lebih cepat dia mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu pasti calon muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening. Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan sambil bergandengan tangan lari ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi seperti tadi!
Sewaktu matahari telah jauh condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain Damar Soka dan Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya lalu laksana terbang lari kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih lama Wiro Sableng segera berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta itu tadi, Wiro tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap Munding Wirya.
Tetapi baru saja Pendekar 212 menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang megap-megap .
"Sau … sauda … ra … tol … tolonglah … "
Wiro berpaling. Semak belukar di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah. Pada bahunya ada sebuah kantung kulit.
"Sau … saudara … " Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak memegang bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali lima orang berpakaian serba hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak belukar. Salah satu di antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh darah. Karena tak sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok urat besar di leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu berdiri dengan cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang golok menyeringai.
"Manusia rambut gondrong! Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas! Tak ada seorang bangsatpun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah Bayunata!" Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
***
Next ...
Bab 10
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 00424
0 Response to "Mawar Merah Menuntut Balas Bab 9"
Posting Komentar