WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa
SEPULUH
SEPERTI telah dituturkan untuk mempercepat sampai ke Denpasar, Nyoman Dwipa sengaja menempuh rimba belantara. Menjelang tengah hari dia sampai ke kaki sebuah bukit. Bukit itu jarang didatangi manusia bahkan lewat di sanapun boleh dikatakan tak ada yang berani karena dibukit itulah bersarangnya gerombolan rampok yang dipimpin oleh seorang bernama Warok Gde Jingga. Sebenarnya nama asli orang itu adalah Warok Jingga saja. Namun kemudian ditambah di tengah-tengah dengan kata "Gde".
Bagi Nyoman Dwipa, bila dia mengelakkan bukit itu berarti memperpanjang perjalanannya selama setengah hari. Meskipun dia sendiri tahu bagaimana besarnya bahaya jika mendaki bukit tersebut namun karena ingin cepat-cepat sampai ke Denpasar dan ingin cepat-cepat melunaskan sakit hati dendam kesumat yang telah diindapnya selama beberapa bulan di lubuk hatinya, maka pemuda itu dengan tekat bulat sengaja menempuh bukit tersebut.
Beberapa jam kemudian dia sudah sampai kelereng bukit sebelah selatan. Sekurang-kurangnya menjelang magrib dia pasti sudah sampai ke kota tujuannya. Dia harus memasuki satu rimba belantara sebelum mencapai kaki bukit di mane membujur jalan yang menuju ke Denpasar. Hatinya gembira karena sampai saat itu nyatanya dia tak mengalami kesukaran apa-apa dalam menempuh Bukit Jaratan yaitu bukit tempat bersarangnya gerombolan rampok Warok Gde Jingga.
Sewaktu Nyoman Dwipa telah menempuh tiga perempat bagian dari rimba belantara itu, mendadak di sebelah muka di dengamya suara bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Tak dapat tidak itu pastilah suara orang yang tengah bertempur. Pemuda ini percepat larinya. Tak diperdulikannya lagi bagaiman baju birunya dikait semak belukar. Tepat di kaki bukit, di tepi jalan besar kelihatanlah satu pemandangan yang hebat!
Empat orang laki-laki berpakaian prajurit-prajurit klas satu tengah bertempur mengeroyok seorang perempuan berpakaian dan berkerudung kain hitam. Di tepi jalan sebelah sana berdiri seorang pe-empuan tua dengan tubuh mengigil sedang dibelakangnya, di tepi jalan berhenti sebuah kereta. Di bagian depan kereta, seorang kusir tua duduk dengan paras pucat pasi!
Perempuan yang parasnya ditutup dengan kain hitam itu gerakannya gesit sekali. Pedang perak di tangan kanannya berkelebat kian kemari, menangkis serangan-serangan golok panjang ke empat pengenyok bahkan juga sekaligus balas menyerang dengan gencarnya!
Namun betapapun hebatnya ilmu pedang perempuan itu, lawan-lawan yang dihadapinya adalah prajurit-prajurit klas satu yang berkepandaian tinggi. Ketika Nyoman Dwipa datang mereka telah bertempur lebih dari sepuluh jurus dan si baju hitam berada dalam keadaan terdesak yang cukup membahayakan keselamatannya!
"Breet"!
Tiba-tiba salah satu ujung golok panjang berhasil nembabat putus buhul kain hitam yang menjadi kerudung si baju hitam! Kini kelihatanlah paras di balik kerudung itu! Jangankan Nyoman Dwipa, keempat prajurit yang bertempurpun terkesiap saking tidak menyangka kalau paras di balik kerudung itu nyatanya adalah paras seorang dara yang jelita dan paras itu kelihatan pucat akibat sambaran senajata lawan yang hampir saja membelah batok kepalanya!
Salah seorang prajurit melompat ke muka dan berseru, "Dara hina dina! Kalau kau tak segera mengembalikan patung itu, jangan harap kau akan melihat matahari tenggelam sore nanti!"
Dara jelita berpakaian hitam mendengus dan meludah ke tanah! Sebagai jawaban dia kiblatkan pedang peraknya hingga pertempuran kembali berkecamuk! Tapi kali ini seperti tadi, lagi-lagi si baju hitam berhasil di desak, bahkan kini agaknya ke empat prajurit itu tak mau memberi hati lagi sehingga nyawa sang dara benar-benar terancam!
Meski dia tak ada sangkut paut dengan pertempuran yang berkecamuk itu, tapi Nyoman Dwipa merasa kasihan dan tidak tega kalau sang dara berbaju hitam sampai mendapat celaka di ujung golok-golok ke empat lawannya. Dari balik semak-semak di mana dia bersembunyi mengintai pertempuran itu, Nyoman melompat ke tengah kalangan pertempuran seraya berseru,
"Hentikan pertempuran!"
Karena suara itu disertai aliran tenaga dalam maka kerasnya mengumandang ke seantero rimba. Keempat prajurit berpaling terkejut dan kemudian menjadi marah melihat seorang pemuda tak dikenal mengganggu serta mencampuri jalannya pertempuran!
Salah seorang dari mereka memberi isyarat agar tak usah memperdulikan Nyoman Dwipa. Maka keempatnya kemudian kembali hendak menyerbu si gadis baju hitam. Tapi betapa terkejutnya mereka ketika melihat kenyataan bahwa dara itu tak ada lagi dihadapan mereka, sudah lenyap melarikan diri tatkala perhatian mereka tertumpah pada Nyoman Dwipa! Dengan sendirinya kemarahan keempat prajurit itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa kini! Maka langsung saja tanpa banyak bicara mereka kiblatkan golok panjang menyerang pemuda itu!
Karena sudah menyaksikan kehebatan permainan golok keempat orang prajurit itu Nyoman segera pula bertindak cepat. Golok pertama yang datang menusuk ke dadanya dikelit sigap dan tahu-tahu lima jari tangan kirinya yang dilipat sudah menyelinap ke mukal Prajurit itu berseru kesakitan! Goloknya terlepas sedang sambungan sikunya putus dihantam pukulan Nyoman Dwipa. Sementara tiga orang prajurit lainnya terkesiap melihat peristiwa itu, Nyoman Dwipa dengan cepat menyambuti golok yang jatuh. Lalu dengan golok itu Nyoman membabat golok-golok di tangan ketiga lawannya hingga satu demi satu bermentalan di udara!
Keempat prajurit itu kagetnya bukan alang kepalang! Tapi dalam hati mereka memaki habis-habisan. Bahkan salah seorang dari mereka secara blak-blakan berkata dengan suara keras penuh amarah.
"Pemuda tak tahu diri! Ada sangkut paut apakah kau dengan gadis bedebah itu hingga mencampuri urusan orang lain?!"
Prajurit yang kedua membuka mulut pula, "Tahukah kau siapa kami dan siapa gadis berbaju hitam tadi?!"
"Aku memang tak ada sangkut paut apa-apa." jawab Nyoman Dwipa tenang. "Juga tidak tahu siapa kalian, apalagi gadis yang kabur itu!"
"Tindakanmu ceroboh lancang! Tak tahu diri! Akibatnya bedebah itu berhasil merampas dan melarikan patung emas yang kami bawa!"
"Patung emas?!" ujar Nyoman.
"Ya, patung emas! Dan kau musti menggantinya! Kalau tidak kau kami tangkap dan clihadapkan pada Adipati Surabaya untuk menerima hukuman!" kata prajurit yang lain.
"Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya?" tanya Nyoman.
"Tak usah banyak tanya! Lekas serahkan dirimu!"
"Sobat, sebaiknya kau terangkan dulu asal musabab sampai kalian mengeroyok gadis itu. Jika memang dari keteranganmu nanti aku telah melakukan kesalahan, percayalah aku akan menebus kesalahanku itu."
Salah seorang dari keempat prajurit lalu mem berikan keterangan. Mereka adalah utusan dari Kadipaten Surabaya yang berangkat menuju ke Bali untuk melamar seorang gadis anak bangsawan yang tinggal di Denpasar. Sebagai bawaan, Adipati Surabaya telah memberikan sebuah patung emas untuk diserahkan pada keluarga si gadis sebagai tanda penghormatan. Setelah menyeberangi lautan, sesampainya di Bali mereka melanjutkan perjalanan dengan kereta. Perempuan tua yang ikut bersama keempat prajurit itu adalah orang yang bakal menyampaikan lamaran Adipati Surabaya kepada si gadis.
Sebagai orang asing tentu saja mereka tidak mengetahui bahwa bukit Jaratan dan daerah sekitarnya adalah tempat malang melintangnya gerombolan rampok yang dikepalai oleh Warok Gde Jingga. Ketika mereka lewat di kaki bukit di sepanjang tepi hutan, mereka telah dicegat oleh seorang perempuan berkerudung kain hitam. Kusir kereta yang pernah mendengar tentang ciriciri perempuan itu segera memberi tahu bahwa dia adalah Luh Bayan Sarti, adik kandung kepala rampok Warok Gde Jingga yang sangat ditakuti! Luh Bayan Sarti masih gadis. Karena memiliki ilmu silat yang tinggi maka dia selalu melakukan kejahatan seorang diri. Rupanya rampok betina ini sudah mencium bahwa rombongan utusan Adipati Surabaya itu ada membawa benda berharga. Maka begitu dia melakukan penghadangan dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam kereta dan berhasil merampas patung emas! Keempat prajurit Kadipaten Surabaya tentu saja tidak tinggal diam. Justru mereka telah diberi kepercayaan untuk melindungi barang berharga itu. Maka tanpa banyak cerita lagi segera mereka mengeroyok Luh Bayan Sarti.
Ketika mereka sudah hampir berhasil menghajar rampok betina itu tahu-tahu muncullah Nyoman Dwipa memberikan pertolongan hingga buntut-buntutnya Luh Bayan Sarti berhasil kabur dengan membawa serta patung emas!
Kini tahulah Nyoman Dwipa akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Tapi memang siapa yang bisa menduga kalau gadis secantik Luh Bayan Sarti itu adalah seorang perampok? Dan pemuda manakah yang tega membiarkan seorang dara jelita terancam bahaya mautl! Setelah merenung sejenak maka Nyomanpun berkata. "Memang besar salahku! Kurasa sebelum gadis itu berlalu jauh, sebaiknya kita lakukan pengejaran. Kalau perlu kita datangi sarangnya!"
Keempat prajurit Kadipaten Surabaya saling berpandangan. Kusir kereta yang sejak tadi berdiam diri karena ketakutan untuk pertama kalinya buka suara, "Mendatangi sarang Warok Gde Jingga berarti mencari mati!"
"Kalau begitu kalian tidak menginginkan patung emas itu kembali?"
"Tentu saja menginginkanl" jawab seorang prajurit. "Tapi pergi ke sarangnya gerombolan rampok itu besar sekali bahayanya. Karena itu kau yang punya gara-gara maka kau sendiri yang harus pergi ke sana. Kami menunggu di sini! Kami tak perduli apakah untuk mendapatkan patung emas itu kau harus menyerahkan kepalamu!"
"Kalau aku pergi seorang diri dan berhasil mengambil kembali patung itu, jangan harap aku akan membawanya ke sini….," kata Nyoman Dwipa dengan menyeringai.
"Kalau begitu …." kata seorang prajurit sesudah berpikir-pikir beberapa lamanya, "aku, kau dan dua orang kawanku berangkat ke sana. Yang lain tetap tinggal di sini."
Nyoman menyetujui pendapat itu, lalu tanpa menunggu lebih lama mengajak ke empat orang itu untuk segera berangkat. Kusir kereta mendadak membuka mulut, "Saudara-saudara dengar nasihatku. Adalah sia-sia kalian pergi mengambil kembali patung emas itu! Warok Gde Jingga memiliki ilmu silat tinggi sekali. Di samping itu dia memiliki anak buah yang banyak. Ditambah dengan Luh Bayan Sarti maka sekalipun kalian berjumlah lima kali lebih besar, jangan harap kalian akan berhasil. Kataku kalian cuma mengantar nyawa! Sebaiknya kembali dan seret pemuda biang runyam itu ke hadapan Adipati Surabaya!"
"Bagiku kemarahan Adipati Surabaya bukan apa-apa. Kalaupun aku dihukum, kurasa kalian semua juga tak luput dari hukuman! Kalau tak ada yang mau ikut, tak apa. Jangan menyesal kalau patung emas itu jatuh ke tanganku sedang kalian mendapat hukuman dari Adipati kalian!"
Nyoman Dwipa cepat berlalu dari situ. Tiga orang prajurit saling berpandangan. Akhirnya setelah mengambil senjata masing-masing yang tadi jatuh di tanah, ketiganya segera menyusul Nyoman Dwipa.
"Mereka akan mati percuma! Mati percuma!" desis kusir kereta sambil memperhatikan kepergian orang-orang itu.
***
Next ...
Bab 11
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 10"
Posting Komentar