Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 11

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa


SEBELAS
SEORANG anggota rampok yang berada di puncak sebuah pohon tinggi telah melihat kedatangan keempat orang itu. Cepatcepat dia turun dari atas pohon dan memberikan laporan pada pemimpinnya yaitu Warok Gde Jingga. Kebetulan saat itu Luh Bayan Sarti ada pula di situ.
"Coba terangkan ciri-ciri mereka!" kata Luh Bayan Sarti.
"Yang tiga orang berpakaian seragam, seperti pakaian prajurit. Yang seorang lagi pemuda berpakaian biru."
"Hem …." gadis itu mengguman lalu berpaling pada kakaknya. "Bagaimana pendapatmu?" tanyanya.
"Biarkan saja mereka datang kemari. Tak ada tang harus ditakutkanl" sahut si kepala rampok.
"Memang pendapatkupun demikian," kata Luh Bayan Sarti lalu menganggukkan kepala pada anggota rampok yang melapor.
Setelah anggota rampok itu pergi berkatalah Warok Gde Jingga. "Kau akan berhadapan kembali dengan tuan penolongmu yang gagah itu! Bukankah itu yang kau inginkan, Sarti?"
Luh Bayan Sarti menjadi merah parasnya. "Sebaiknya kita keluar saja menyambut kedatangan mereka!"
Warok Gde Jingga tertawa lalu mengikuti diknya keluar rumah besar. Mereka menunggu di langkan.
Karena telah dipesankan agar keempat pendatang itu dibiarkan saja, maka ketika memasuki perkampungan, tak ada seorang rampokpun yang mengalangi. Nyoman Dwipa dan ketiga prajurit-prajurit kadipaten itu. Di halaman rumah besar keempatnya berhenti.
Nyoman melirik sekilas pada Luh Bayan Sarti lalu berpaling pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang hanya mengenakan celana panjang hitam. Dadanya yang bidang tertutup oleh bulu sedang wajahnya diranggasi cambang bawuk yang lebat kaku.
"Apakah kami berhadapan dengan Warok Gde Jingga?" tanya Nyoman Dwipa sesudah terlebih dahulu menjura.
"Orang muda," kata Warok Gde Jingga "Sungguh nyalimu besar sekali untuk datang ke mari! Sesudah menolong adikku dari bahaya dikeroyok oleh prajurit-prajurit hina dina itu, apakah kedatanganmu ke sini hendak minta hadiah imbalan?!"
Nyoman Dwipa tertawa, lalu menjawab, "Jauh dari itu, Warok. Justru aku datang ke sini untuk menebus kesalahanku terhadap prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya ini. Satu-satunya jalan untuk dapat menebus kesalahanku itu ialah meminta kesudianmu untuk mau menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampas oleh adikmu ini." Nyoman lalu menggoyangkan kepalanya ke arah Luh Bayan Sarti.
Gadis itu tertawa cekikikan. Bola matanya sejak tadi tidak lepas dari memandangi paras Nyoman Dwipa yang gagah cakap itu.
"Enak betul bicaramu. Sudah lancang dating kemari, sekarang berani bertingkah! Apakah kau bersedia menyerahkan selembar nyawamu sebagai pengganti patung emas itu?!"
Nyoman tertawa lebar. Dalam tertawa itu dia harus mengakui bahwa paras Luh Bayan Sarti sungguh jelita. Kulitnya halus mulus. Sungguh sangat disayangkan dara sejelita ini hidup menjadi perampok, berbuat kejahatan dan diam di tengah-tengah manusia-manusia kasar!
Sementara itu Warok Gde Jingga mengusap-usap dagunya yang penuh dengan berewok.
"Selembar nyawaku bukan apa-apa," terdengar suara Nyoman Dwipa menjawab pertanyaan Luh Bayan Sarti tadi. "Yang penting patung emas itu harus diserahkan pada ketiga prajurit ini."
"Kalau begitu biar kutabas dulu batang lehermu. Kalau sudah kelak patung emas itu akan kuberikan pada manusiamanusia jelek ini!"
"Serahkan dulu patung emas itu pada mereka" ujar Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti mendelikkan kedua matanya. "Sret"! Gadis ini mencabut pedang peraknya.
"Tahan dulu, Sarti!" kata Warok Gde Jingga sambil memegang bahu adiknya ketika gadis itu hendak melompat ke hadapan Nyoman Dwipa. "Sebaiknya kita atur begini saja orang muda. Karena patung emas itu boleh dibilang milik ketiga kunyuk-kunyuk Kadipaten Surabaya ini maka kupersilahkan mereka turun tangan sendiri. Jika mereka bertiga berhasil mengalahkanku, kuserahkan patung itu kembali pada mereka. Tapi kalau mereka kalah, patung emas itu tetap milikku dan mereka kubebaskan. Untuk itu kau harus mempertaruhkan batang lehermu!"
Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya terkejut bukan main. Jangankan mereka bertiga, sepuluh orangpun mereka belum tentu sanggup mengalahkan Warok Gde Jingga yang kesaktian dan ilmu silatnya sangat tinggi itu! Nyoman Dwipa berbatuk-batuk.
"Warok Gde Jingga," kata pemuda ini, "karena aku yang punya gara-gara maka biarlah aku mewakili ketiga prajurit itu untuk memenuhi permintaanmu tadi."
Warok Gde Jingga tertawa gelak-gelak. "Kuhargakan nyalimu sobat dan kuberi kelonggaran padamu! Kau boleh maju bersama-sama prajurit-prajurit tak berguna itu!"
"Walau ilmuku sangat dangkal," sahut Nyoman Dwipa, "tapi mengingat kesalahanku biarlah aku menghadapimu seorang diri."
"Baik … baik … baik! Jika itu kehendakmu! Mari kita mulai!" kata Warok Gde Jingga seraya melompat ke halaman.
Tubuhnya yang tirrggi besar dengan berat lebih dari tujuh puluh kilo itu tak sedikitpun menimbulkan suara ketika kedua kakinya menjejak tanah halaman. Satu pertanda bahwa ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat yang tinggi! Nyoman Dwipa tak mau kalah siap! Sekali dia berkelebat maka bayangannya lenyap dan sedetik kemudian sudah berdiri enam langkah di hadapan kepala rampok itu! Warok Gde Jingga terkejut bukan main! Tiada diduganya pemuda yang dianggapnya sepele itu memiliki gerakan gesit serta ilmu meringankan tubuh yang tidak berada di bawahnya!
Melihat kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Luh Bayan Sarti tiba-tiba melompat dan berseru, "Kak Gde Jingga! Biar aku yang mengadapi pemuda sombong ini! Kau lihat sajalah bagaimana adikmu akan memberi pelajaran padanya!"
Tanpa menunggu jawaban kakaknya, Luh Bayan Sarti sudah menghadapi Nyoman Dwipa, tersenyum sekilas lalu berkata sambil mengerling dan mencabut pedang peraknya. "Silahkan kau mulai lebih dulu!".
"Ah, tuan rumahlah yang lebih pantas memulai," sahut Nyoman Dwipa pula. "Kuharap kau benar-benar memberi pelajaran berguna pada orang bodoh macamku ini, saudari!"
Luh Bayan Sarti tertawa kegenit-genitan. "Kau hati-hatilah orang muda karena pedangku ini tidak bermata." Ucapan itu dibarengi si gadis dengan satu serangan setengah melompat. Ketika menabas pedang peraknya hanya merupakan selarik sinar putih yang mengeluarkan suara bersiur karena saking cepatnya! Sebelumnya Nyoman Dwipa telah melihat ilmu pedang gadis itu yakni sewaktu Luh Bayan Sarti bertempur melawan prajurit-prajurit. Kadipaten Surabaya. Namun sekali ini dilihatnya si gadis mengeluarkan jurus serangan yang lain dari yang lain hingga Nyoman Dwipa tak mau bersikap memandang enteng, cepat mencabut tongkat bambu kuningnya yang kecil dan dengan gesit berkelebat mengelakkan tabasan yang mengincar pinggangnya!
Setengah jalan tiba-tiba sekali tabasan yang dilakukan Luh Bayan Sarti berubah menjadi satu tusukan tajam ke arah dada. Tusukan ini sebelum sampai memecah laksana kilat keempat bagian tubuh Nyoman Dwipa yaitu kepala, leher, dada dan perut! Ketiga prajurit Kadipaten Surabaya menahan nafas. Serangan yang dilancarkan si gadis adalah serangan hebat luar biasa.
Melihat dekatnya tusukan-tusukan pedang itu dari tubuh Nyoman Dwipa, ketiganya merasa cemas kalau-kalau si pemuda kali ini tak sanggup menvelamatkan dirinya!
"Hebat!" Justru dalam suasana yang tegang itu Nyoman Dwipa mengeluarkan seruan memuji. Tubuhnya lenyap menjadi bayang-bayang biru. Dan di antara bayangan biru itu bekelebatlah selarik sinar kuning. Itulah sinarnya bambu kuning di tangan Nyoman Dwipa.
Melihat lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat maka Luh Bayan Sarti kerahkan pula ilmu meringankan tubuhnya hingga dalam jurus pertama itu keduanya sudah merupakan baying-bayang saja!
Nyoman tersenyum melihat kecerdikan si gadis. Segera pemuda ini menggerakkan bambu kuningnya dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung". Jurus ini mengandalkan tenaga dalam yang dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dalam jurus kedua terjadilah hal yang sangat mengejutkan Warok Gde Jingga.
Sewaktu dalam jurus kedua Luh Bayan Sarti kembali melancarkan serangan yang hebat, bambu kuning di tangan Nyoman sudah bergerak dalam jurus "gendewa sakti membentur gunung" itu.
Luh Bayan Sarti heran ketika merasakan bagaimana tetakan pedangnya yang semula meluncur pesat tahu-tahu dengan tiba-tiba sekali tersendat laksana diterpa oleh satu angin yang luar biasa dahsyatnya. Belum habis rasa herannya itu, bambu kuning di tangan Nyoman tiba-tiba dilihatnya sudah berada dekat sekali di samping pedang peraknya!
Luh Bayan Sarti seorang berpikiran cerdik. Dari gerakan bambu kuning itu dan mengetahui bahwa tenaga dalam lawan tinggi sekali, tahulah dia bahwa Nyoman Dwipa hendak memukul badan pedangnya dalam satu pukulan yang hebat dan memungkinkan pedang perak itu terlepas dari tangannya! Karenanya dengan sigap gadis ini menaikkan tangannya ke atas lalu membabat ke samping, menaebas ke arah batang leher Nyoman Dwipa!
Di lain pihak Nyoman Dwipa tidak terlalu bodoh untuk menunggu lebih lama. Kedudukan tangan dan senjata lawan yang berada lebih tinggi di atas senjatanya sendiri justru itulah yang dikehendakinya! Bambu kuning di tangan pemuda ini menerpa ke atas Dan tahu-tahu Luh Bayan Sarti merasakan tangannya yang memegang pedang menjadi kesemutan. Dia melompat mundur tapi tak bisa karena pada saat itu bambu kuning di tangan lawan laksana seekor ular seakan-akan telah membelit pedangnya. Ketika Nyoman Dwipa memutar-mutar bambu kuningnya, pedang perak di tangan gadis itupun ikut berputar melintir. Luh Bayan Sarti tak bisa mempertahankan senjata itu kecuali kalau tangannya mau ikut-ikutan terpuntir dan tanggal dari persendiannya!
Warok Gde Jingga bukan olah-olah kejutnya menyaksikan bagaimana adiknya yang berkepandaian tinggi itu hanya mampu menghadapi pemuda itu dalam tempo dua jurus saja. Bahkan dalam dua jurus itu bukan saja dia dikalahkan tapi senjatanya sekaligus kena dirampas! Luh Bayan Sarti sendiri sesudah pedangnya tertarik dan berada digenggaman Nyoman Dwipa bukan main marahnya. Tapi dia juga malu sekali. Dengan paras merah sambil banting-banting kaki gadis ini memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Eh, saudari tunggu dulu! Ini kukembalikan pedangmu!" seru Nyoman Dwipa.
Luh Bayan Sarti tak mau berpaling apalagi hentikan langkahnya. Dia terus nyelonong ke langkan rumah Karena orang tak mau menerima kembali senjatanya maka Nyoman Dwipa menggerakkan tangan kirinya yang memegang pedang. Senjata itu lepas dan mendesing di udara lalu menancap di tiang langkan rumah, tepat pada saat Luh Bayan Sarti berada di samping tiang itu!
Luh Bayan Sarti berbalik dan mendelikkan kedua matanya pada Nyoman Dwipa. Sebaliknya pemuda itu hanya tersenyum saja, membuat si gadis benar-benar penasaran setengah mati. Di cabutnya pedang itu dari tiang langkan lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah!
Nyoman berpaling pada Warok Gde Jingga dan berkata. "Adikmu telah kupercundang. Karena dia bertindak sebagai wakilmu dan dia kalah maka kau harus menepati janjimu Warok. Harap kau segera mengembalikan patung emas itu pada ketiga prajurit ini…. "
Warok Gde Jingga mengusap-usap dadanya yang berbulu lebat lalu tertawa gelak-gelak.
"Ingatanmu selalu pada patung emas itu saja. Dan kau terlalu bangga dengan kemenanganmu! Terangkan dulu namamu dan siapa kau sebenarnya …"
"Kalau sudah kuterangkan lantas kau akan mengembalikan patung itu?!"
Kembali kepala rampok itu tertawa. Dia melirik pada anak-anak buahnya yang berdiri mengeliling halaman lalu menggelengkan kepalanya. "Sesudah aku tahu nama dan siapa kau adanya, kita main-main sebentar . . . "
Nyoman tahu apa yang dimaksudkan Warok Gde Jingga dengan kata "main-main" itu. Maka dia berkata, "Dan kalau dalam main-main itu kau mengalami nasib sama dengan adikmu, apakah kau juga mencari dalih lain untuk tidak menyerahkan patung emas itu?!"
Merahlah paras Warok Gde Jingga. "Aku tidak serendah yang kau kirakan, pemuda sontoloyo!" katanya keras.
"Ah kalau begitu baiklah. Namaku Nyoman Dwipa dan aku orang kampung. Nah, apakah kini kita bisa memulai permainan yang kau maksudkan itu?!"
Warok Gde Jingga menggeram. Tangannya ditepukkan. Maka dari dalam rumah besar keluarlah seorang pelayan membawa sebuah senjata milik Warok Gde Jingga yang bentuknya aneh dan dahsyat! Belum pernah Nyoman Dwipa melihat senjata semacam itu. Anak-anak buah Warok Gde Jingga sendiri kelihatan saling berbisik karena setahu mereka, Warok Gde Jingga jarang sekali mempergunakan senjata itu kalau tidak dalam keadaan terpaksa atau ketika menqhadapi lawan yang tangguh luar biasa!
***

Next ...
Bab 12

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 11"

Posting Komentar