WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa
DUA BELAS
SENJATA di tangah Warok Gde Jingga adalah sebuah toya besi hitam yang pada kedua ujungnya digantungi masing-masing tiga buah kaitan besi yang juga berwarna hitam. Setiap ujung kaitan besi itu mempunyai tiga anak kaitan lagi dan masing-masing ujungnya tetah dicelup dengan racun yang amat jahat selama tiga tahun. Sekali manusia yang tidak memiliki kekebalan racun, meskipun memiliki tenaga dalam bagaimanapun tingginya pasti akan menemui kematian bila sampai kena tertusuk oleh ujungujung kaitan itu! Di samping itu kaitankaitan tersebut merupakan senjata yang berbahaya karena sanggup membetot daging atau urat seorang lawan! Menurut taksiran keseluruhan senjata itu beratnya lebih dari lima puluh kati. Tapi Warok Gde Jingga memegangnya tak ubahnya seperti memegang sebuah ranting kering belaka!
Nyoman Dwipa tahu benar kehebatan ilmu suit lawan yang dihadapannya itu. Jauh lebih tinggi dari ilmu silat Luh Bayan Sarti yang tadi telah dikalahkannya. Dan melihat kepada senjata di tangan Warok Gde Jingga, pemuda ini sudah maklum bahwa senjata itu amat berbahaya, maka tanpa menunggu lebih lama segera Nyoman Dwipa pasang kuda-kuda pertahanan yang bernama "elang menukik laut". Kedua kaki merenggang agak menekuk di bagian lutut. Tangan kiri agak mengembang ke samping sedang tangan kanan yang memegang tongkat bambu kuning dipalangkan di muka dada.
"Ayo majulah!" kata Warok Gde Jingga.
"Silahkan tuan rumah memulai lebih dulu." sahut Nyoman Dwipa.
Kepala rampok dari bukit Jaratan itu mendengus. Sementara itu anggota-anggota rampok yang mengelilingi tempat tersebut membuka mata masing-masing selebar mungkin untuk menyaksikan pertempuran yang bakal berlangsung yang tidak bisa tidak pasti sangat hebat!
"Awas perut!" teriak Warok Gde Jingga tiba-tiba. Teriakannya ini dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemimpin rampok itu. Ujung toya sebelah kanan menderu ke arah perut Nyoman Dwipa. Ujung-ujung kaitan berdesing siap untuk membetot dan membusaikan isi perut pemuda itu!
Nyoman Dwipa melompat ke belakang untuk mengelak. Di’saat itu pula dengan tak terduga, cepat sekali ujung toya besi yang sebelah kiri menyambar ke arah leher pemuda itu! Kejut Nyoman Dwipa bukan alang kepalang. Sambil membentak keras pemuda gemblengan Menak Putuwengi itu miringkan tubuhnya ke samping dan menggerakkan tongkat bambu kuningnya, memukul bagian tengah toya besi di tangan Gde Jingga.
Melihat lawan hendak memukul senjatanya, kepala rampok itu sengaja tidak mengelak! Dia beranggapan bahwa sekali tongkat bambu kuning itu membentur toya besinya pastilah akan patah dua! Tapi betapa terkejutnya Warok Gde Jingga sewaktu melihat bukan saja tongkat lawan tidak patah bahkan sewaktu bentrokan terjadi, toya besinya terpukul keras hampir saja terlepas dari genggamannya!
Dengan menggertakkan rahang Warok Gde Jingga menerjang ke muka. Toya besinya laksana titiran, menderu dan mengurung Nyoman Dwipa dari seluruh penjuru!
Sementara itu dari satu tempat yang terlindung di balik jendela rumah besar, sepasang mata menyaksikan pertempuran itu dengan hati cemas. Kecemasan itu tertuju pada diri Nyoman Dwipa. Kecemasan itu adalah kalau-kalau si pemuda akan menjadi korban mendapat celaka di tangan Warok Gde Jingga. Tapi cetika menyaksikan bagaimana Nyoman Dwipa dengan tenang melayani lawannya, orang yang mengntai itu merasa lega sedikit. Dan orang ini bukan ain Luh Bayan Sarti, adik Warok Gde Jingga yang telah dikalahkan oleh Nyoman Dwipa tadi!
Dua puluh jurus telah berlalu. Gerakan-gerakan Warok Gde Jingga semakin gesit dan ganas. Toyanya lenyap dalam sambaran-sambaran sinar hitam yang nengeluarkan angin dingin serta bersiutan. Debu dan pasir beterbangan di sekeliling orang-orang yang bertempur itu! Semakin bertambah jurus demi jurus, semakin meluap kemarahan Warok Gde Jingga. Sebagai kepala rampok yang ditakuti dan punya nama besar dikalangan rimba persilatan di Pulau Bali, baru kali ini dia menghadapi lawan yang demikian tanguhnya. Karena pertempuran itu disaksikan oleh anak-anak buahnya pula maka tentu saja rasa malu membuat amarahnya tambah menggelegak! Amarah yang menggelegak ini tak bisa lagi dikendalikan karena bagaimana pun dia menggempur lawan dengan toya besi serta dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat tetap saja menemui kesia-saan! Akibatnya saat itu semua orang menyaksikan bagaimana Warok Gde Jingga bertempur macam kerbau gila atau celeng kemasukan setan, seradak sana seruduk sini, melompat sini melompat sana! Keringat membasahi tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian. Gerakan-gerakannya yang gerabak-gerubuk itu tambah tak karuan lagi sewaktu dia dengan kalap terus menggempur marah karena ujung tongkat bambu kuning Nyoman Dwipa berhasil memukul ikatan kaitan di ujung toya sebelah kanan hingga kaitan-kaitan itu terlepas dan mental!
Tiga puluh lima jurus telah berlalu kini.
"Warok Gde Jingga apakah masih akan diteruskan pertempuran ini atau cukup sampai di sini saja?!" berseru Nyoman Dwipa.
Seruan ini membuat darah kepala rampok itu tambah mendidih. Dia balas berteriak, "Aku belum kalah! Kalau kepalamu sudah pecah terpukul toyaku baru pertempuran berhenti!"
Nyoman Dwipa tertawa kecil. Tiga perempat tenaga dalamnya dialirkan ke tongkat bambu kuning. Dan ketika tongkat itu membuat satu sambaran tajam ke bagian tengah toya besi di tangan Warok Gde Jingga, ketika benturan keras terjadi, Warok Gde Jingga merasa tangannya pedas dan sakit bukan main. Dia tak sanggup lagi mempertahankan toya itu hingga terlepas dari tangannya dan mental ke udara! Sewaktu toya itu menggeletak jatuh di tanah terbeliaklah mata Warok Gde Jingga. Badan toya yang kena dihantam bambu kuning temyata telah menjadi bengkok dan genting hampir putus!
Nyoman Dwipa tersenyum kecil lalu memasukkan tongkat bambu kuningnya ke balik pinggang kembali. "Permainan sudah selesai, Warok. Kuharap kau memenuhi janjimu, menyerahkan kembali patung emas yang telah dirampok oleh adikmu!"
Meskipun saat itu Warok Gde Jingga malu dan marah bukan main, meskipun dia seorang yang sudah terkenal kejahatannya namun dalam satu hal kepala rampok ini patut dipuji. Hal itu ialah sifatnya yang memegang teguh segala janji yang diucapkannya. Maka dia memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil patung emas dari dalam rumah. Benda itu kemudian diserahkannya pada. Nyoman Dwipa dan Nyoman Dwipa selanjutnya menyerahkan pada prajurit-prajurit Kadipaten Surabaya. Bukan main gembira prajurit-prajurit itu.
Di hadapan Warok Gde Jingga Nyoman Dwipa menjura dan berkata, "Terima kasih atas segala pelayanan yang kau berikan. Juga terima kasih yang kau sudah suka mengembalikan patung emas itu. Aku dan prajurit-prajurit ini hendak minta diri sekarang."
"Prajurit-prajurit itu boleh pergi, tapi kau tetap di sini, Nyoman!" sahut Warok Gde Jingga.
"Eh, kenapa begitu Warok?" tanya Nyoman Dwipa heran.
"Aku mau bicara denganmu," sahut kepala perampok dari bukit Jaratan itu.
Setelah berpikir dengan cepat, Nyoman Dwipa kemudian menganggukkan kepala dan berpaling pada prajurit-prajurit di sampingnya. "Kalian pergilah, biar aku tetap di sini dulu."
Setelah mengucapkan terima kasih pada si pemuda maka prajurit-prajurit itu kemudian meninggalkan sarang perampok tersebut dengan cepat. Mereka kawatir kalau-kalau mendapat kesulitan baru pula di tempat itu.
"Nah, mereka sudah pergi. Apa yang hendak kau bicarakan, Warok?" tanya Nyoman Dwipa.
"Kita bicara di dalam, Nyoman!" jawab kepala rampok itu lalu dibawanya Nyoman Dwipa masuk ke dalam rumah besar.
Sampai di dalam Nyoman dipersilahkan duduk di satu ruangan yang berperabotan serba mewah. Warok Gde Jingga memerintahkan bujang-bujangnya untuk menghidangkan makanan dan minuman yang lezat-lezat, Setelah menyantap hidangan itu barulah Warok Gde Jingga menerangkan maksudnya menahan Nyoman Dwipa.
"Ilmu silatmu tinggi sekali. Permainan tongkatmu lihay. Melihat kepada jurus dan gerak yang kau keluarkan, dan mengetahui bahwa di Pulau Bali ini cuma ada seorang tokoh sakti yang memiliki ilmu tongkat yang hebat luar biasa, apakah kau bukannya murid orang sakti itu, Nyoman?"
Nyoman Dwipa tertawa.
"Orang sakti manakah maksudmu?" tanyanya.
"Ah, kau pura-pura bertanya pula. Orang tua gagah yang bernama Menak Putuwengi itu tentunya!"
Kembali Nyoman Dwipa tertawa. "Guruku cuma guru silat biasa, Warok. Tokoh temama seperti Menak Putuwengi itu mana mau mengangkat aku jadi muridnya?"
Warok Gde Jingga meneguk tuaknya habishabis lalu berkata, "Baiklah Nyoman, soal siapa gurumu tak perlu kita bicarakan. Yang penting adalah kenyataan bahwa ilmu silatmu amat tinggi dan membuat aku benar-benar kagum. Bagaimana kalau kita bekerja sama memimpin orang-orangku yang ada di seluruh bukit Jaratan ini? Segala hasil yang kita dapat menjadi milik bersama, kita bagi dua! Bahkan harta kekayaanku yang ada sekarang akan kuberikan separohnya padamu!"
"Rupanya inilah maksud kepala rampok ini menahanku." kata Nyoman Dwipa pula dalam hati.
"Terima kasih atas tawaran dan kepercayaanmu itu. Warok. Tapi menyesal aku tak dapat menerimanya…."
"Ah! Mari, kau lihatlah dulu gudang penyimpanan harta kekayaanku. Kalau kau sudah melihat, pasti kau tak akan mau menampik lagi tawaranku." kata Warok Gde Jingga seraya hendak berbangkit dari duduknya. Nyoman melambaikan tangannya dan berkata, "Aku percaya harta kekayaanmu banyak sekali dan tak ternilai harganya,"
kata pemuda ini, "namun sebenarnya ada banyak urusan yang harus kusalesaikan. Untuk saat ini aku benar-benar tak bisa menerima tawaranmu, entah di lain ketika." Lalu pemuda inipun berdiri dari kursinya.
Warok Gde Jingga kecewa sekali. Kalau saja Nyoman Dwipa mau ikut bersamanya pasti seluruh Bali akan berada dalam genggamannya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa memaksa. Dan pemimpin rampok inipun lantas berdiri, mengantarkan tamunya ke ujung halaman.
***
Belum lewat sepeminuman teh lamanya Nyoman Dwipa meninggalkan bukit Jaratan telinganya dan perasaannya yang tajam menyatakan bahwa seseorang saat itu tengah menguntitnya. Di satu tikungan jalan pemuda ini menghentikan larinya dan menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon besar yang bagian bawahnya ditumbuhi semak belukar lebat. Dia menunggu dan selang beberapa ketika lamanya penguntit itupun muncul di tikungan jalan. Betapa terkejutnya Nyoman ketika melihat bahwa orang itu ternyata bukan lain dari Luh Bayan Sarti, adik kandung Warok GdeJingga adanya! Maka dengan penuh heran pemuda inipun keluar dari persembunyiannya.
"Selamat berjumpa kembali saudari." kata Nyoman.
Luh Bayan Sarti terkejut. Parasnya merah seketika kemudian dicobanya tersenyum dan berkata, "Aku tengah menuju ke Denpasar. Tak diduga bertemu denganmu di sini."
Nyoman berpikir apakah ucapan gadis itu bukan kedustaan belaka?
"Aku sendiri juga tengah menuju ke sana," kata Nyoman.
"Betul? Kalau kau tak keberatan . . . . "
Nyoman Dwipa sudah tahu kelanjutan katakata gadis itu maka diapun memotong. "Tentu saja aku tak keberatan pergi sama-sama denqanmu ke Denpasar". Namun dalam hatinya Nyoman merasa menyesal mengeluarkan ucapan itu. Maksudnya ke Denpasar adalah untuk mencari musuh bebuyutannya. Dan kini dia ke sana bersama gadis itu, tentu akan mencari tambanan pekerjaan saja dan salah-salah bisa cari urusan baru! Dipandanginya paras gadis itu. Cantik memang. Dan sungguh disayangkan kalau dara secantik ini menjadi adik kandung kepala rampok dan ikut-ikutan pula menjadi perampok!
"Agaknya kau menyesal mengeluarkan ucapan tadi?" tanya Luh Bayan Sarti tiba-tiba seraya mengerling pada si pemuda.
Nyoman tertawa lebar-lebar. "Seiring dengan dara secantikmu dalam perjalanan adalah satu hal yang menyenangkan," katanya. "Apakah maksudmu pergi ke Denpasar?"
"Hendak mengunjungi seorang sahabat lama." jawab Luh Bayan Sarti.
"Kawan atau kekasih?" tanya Nyoman pula.
Paras sang dara kembali menjadi kemerah-merahan. "Aku tak punya kekasih," katanya kemudian.
"Oh….!"
"Dan kau sendiri perlu apakah ke Denpasar? Kau tinggal di situ?" ganti menanya Luh Bayan Sarti.
"Ada urusan penting," jawab Nyoman. Dia memandang ke langit lalu berkata. "Kita harus berangkat cepat-cepat. Sebelum malam musti sudah sampai di Denpasar."
***
Next ...
Bab 13
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 12"
Posting Komentar