Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 13

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa


TIGA BELAS
MEREKA memasuki Denpasar ketika sang surya baru saja tenggelam di ufuk barat. Untuk tidak menarik perhatian orang keduanya memasuki kota dengan jalan kaki biasa.
"Aku akan mencari penginapan." kata Nyoman Dwipa. "Bagaimana dengan kau, apakah akan terus ke tempat sahabatmu itu?"
"Tubuhku letih sekali," sahut Luh Bayan Sarti. "Rumah sahabatku terletak di sebelah barat luar kota. Karena kita datang dari jurusan timur cukup jauh juga untuk mencapai tempatnya itu. Kurasa sebaiknya aku juga mencari penginapan. Besok baru meneruskan perjalanan kerumahnya."
Nyoman menganggukkan kepala. Kini semakin yakin pemuda ini bahwa kepergian Luh Bayan Sarti yang katanya hendak menguniungi sahabat lamanya itu adalah satu kedustaan belaka. Sepanjang jalan dari bukit Jaratan sampai ke Denpasar banyak sekali sikap gadis itu yang dirasakannya aneh. Berulang kali dilihatnya Luh Bayan Sarti memperhatikannya secara diam-diam. Bila sekali-sekali mereka saling berbentur pandangan, paras gadis itu berubah kemerah-merahan dan kepalanya ditundukkan atau dipalingkan kejurusan lain. Nyoman sendiri jadi merasa aneh lama-lama mempunyai perasaan lain yang membuat hatinya jadi berdebar. Tapi perasaan itu dibuangnya jauh-jauh bila dia ingat pada almarhum kekasih yang dicintainya yaitu Ni Ayu Tantri. Kepergiannya ke Denpasar justru untuk menuntut balas kematian gadis itu, juga kematian ayah dan kawan-kawannya.
Dan kini hati yang mendendam kesumat itu dibayangi oleh perasaan lain tersebut membuat Nyoman merasa bahwa seolah-olah dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Ni Ayu Tantri!
Di sebuah rumah penginapan yang torletak di pusat kota Nyoman menyewa dua buah kamar.
Satu untuknya sendiri dan yang lain untuk Luh Bayan Sarti. Kalau sang dara begitu masuk ke kamar terus berbaring dan tertidur pulas maka Nyoman Dwipa terlebih dulu pergi mandi membersihkan diri. Habis mandi rasa letihnya agak hilang berganti dengan kesegaran. Dia memanggil pelayan dan memesan dua porsi nasi. Yang satu porsi disuruhnya mengantarkan ke kamar Luh Bayan Sarti. Sambil menyantap makanannya Nyoman berpikir-pikir apakah malam itu juga akan dilakukannya penyelidikan di mana letak tempat kediaman musuh besamya yang bemama Tjokorda Gde Jantra itu dan sekaligus melakukan pembalasan melampiaskan dendam kesumat yang dipendamnya selama hampir lima bulan. Atau ditunggunya sampai besok?
Tengah dia menyantap makanan dan berpikirpikir itu mendadak pintu kamar diketuk orang. Nyoman Dwipa meletakkan piringnya di atas meja lalu membuka pintu. Pelayan penginapan berdiri di muka pintu itu dan menerangkan bahwa ketika dia mengantarkan hidangan ke kamar Luh Bayan Sarti temyata kamar itu kosong melompong, si gadis tak ada di dalamnya.
"Saya rasa terjadi hal yang tidak beres." menerangkan pelayan itu.
Mulanya Nyoman Dwipa menyangka Luh Bayan Sarti sedang pergi mandi. Tapi mendengar keterangan pelayan itu dia jadi terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ada yang tak beres?"
"Jendela terpentang lebar, engselnya rusak!"
Tanpa menunggu lebih lama Nyoman Dwipa segera lari ke kamar Luh Bayan Sarti. Apa yang di terangkan oleh pelayan temyata betul. Kamar itu kosong, jendela terbuka lebar dan sebuah engselnya rusak. Buntalan pakaian milik Luh Bayan Sarti masih tergeletak di atas pembaringan. Tak ada tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian di kamar itu. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? Ke mana perginya Luh Bayan Sarti? Nyoman keluar dari rumah penginapan. Di luar hari telah malam. Udara dingin oleh hembusan angin. Gumpalan-gumpalan awan hitam menggantung di langit. Setelah melakukan penyelidikan di sekitar penginapan dan tak berhasil menemui Luh Bayan Sarti Nyoman Dwipa kembali menemui pelayan tadi dan berpesan agar tidak menerangkan peristiwa itu kepada siapapun. Lalu Nyoman sendiri kemudian meninggalkan rumah penginapan itu untuk menyelidiki ke mana lenyapnya gadis itu. Dalam hati kecilnya dia mengeluh. Jika betul terjadi apa-apa dengan gadis itu sedikit banyaknya dia harus bertanggung jawab. Ini berarti datangnya satu urusan baru padahal urusannya yang lebih penting yaitu melakukan pembalasan terhadap Tjokorda Gde Djantra sampai saat itu masih belum dilaksanakan!
Hampir dua jam lamanya Nyoman Dwipa meiakukan penye!idikan di seluruh Denpasar bahkan sampai ke-pelosokpelosok dan daerah luar kota. Penyelidikannya sia-sia belaka. Jangankan orangnya, jejak Luh Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinyal Bayan Sarti-pun tak dapat dicarinya!
"Berabe kalau begini." keluh Nyoman Dwipa. Dengan putus asa dan juga mengkal pemuda ini kembali ke penginapan.
***
Apakah sebenarnya yang telah terjadi dengan Luh Bayan Sarti?
Ketika petang itu Nyoman dan Luh Bayan Sarti memasuki Denpasar dari jurusan barat, seorang penunggang kuda yang tangan kanannya buntung memapasi mereka. Karena jalan yang ditempu memang banyak dilewati orang dan lagi pula saat itu hari sudah agak gelap maka baik Nyoman maupun Sarti sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang mereka papasi, termasuk penunggang kuda tadi. Namun penunggang kuda ini bukanlah orang yang lalu lalang biasa saja.
Dia bukan lain dari Ki Sawer Balangnipa, si manusia yang tampangnya macam ular yang telah pemah bertempur melawan Nyoman Dwipa dan Wiro Sableng beberapa waktu yang lalu! Karena manusia pemelihara ular ini seorang hidung belang bermata keranjang maka setiap melihat perempuan pasti tak akan luput dari pandangan matanya! Begitu juga ketika dia berpapasan dengan Luh Bayan Sarti. Melihat paras Sarti yang jetita, timbullah niat terkutuk dalam hati dan benaknya!
Namun sewaktu dia memperhatikan pemuda yang berjalan di samping sang dara, kagetlah Ki Sawer Balangnipa. Cepat dia mengenali Nyoman Dwipa sebagai pemuda yang telah bertempur dengan dia di tepi danau beberapa waktu yang lalu! Jika gadis itu ada hubungan apa-apa dengan si pemuda tentu saja dia tak punya nyali untuk melaksanakan maksud terkutuknya itu. Tapi sebagai seorang yang licik, Ki Sawer Balangnipa punya seribu satu macam akal. Sengaja dia melewati kedua orang itu sampai beberapa jauhnya kemudian berbalik kembali dan mengikuti Nyoman serta Sarti secara diam-diam. Dia sudah menyusun rencana sebagai berikut. Mula-mula akan diculiknya gadis berpakaian hitam yang sangat rnenarik hati dan merangsang nafsu bejatnya itu! Bila dia sudah dapatkan itu gadis akan dihubunginya beberapa tokoh-tokoh silat yanq berada di Denpasar lalu bersama-sama mereka akan mendatangi pemuda itu untuk rnelakukan pembalasan atas kekalahannya tempo hari dalam pertempuran di tepi danau!
Sewaktu melihat kedua orang itu memasuki sebuah penginapan, Ki Sawer Balangnipa berpendapat inilah kesempatan yang baik baginya untuk segera melaksanakan niat busuknya itu. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi Ki Sawer Balangnipa berhasil memasuki kamar penginapan di mana Luh Bayan Sarti terbaring tidur keletihan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun! Karena gadis itu sedang tidur nyenyak mudah sekali bagi manusia yang punya tampang seperti ular itu untuk menotok urat di tubuh Luh Bayan Sarti. Dalam keadaan masih tertidur gadis itu kemudian dilarikannya keluar kota.
Kuda yang ditunggangi Ki Sawer Balangnipa laksana anak panah lepas dari busurnya dalam gelapan malam. Menjauhi kota dia berpikir-pikir ke mana akan dibawanya gadis itu. Akhirnya dia ingat sebuah kuil tua yang terletak di sebelah barat Denpasar. Kuil itu sudah sejak lama tidak dipergunakan. Orang yang lalu lintas memakainya sebagai tempat beteduh di kala hujan dan panas terik. Segera laki-laki ini memutar kudanya ke jurusan barat. Di langit buan sabit muncul setelah beberapa lamanya bersembunyi di balik awan hitam tebal. Sinar bulan sabit ini tak sanggup mengalahkan gelapnya malam di saat itu.
Selewatnya sebuah pesawangan Ki Sawer Balangnipa membelok memasuki sebuah jalan berbatu dan mendaki. Kira-kira sepeminuman teh dia sampai satu persimpangan. Ki Sawer Balangnipa menghentikan kudanya karena di antara persimpangan itulah letak kuil tua yang ditujunya. Pada siang hari dua mulut jalan yang mengapit kuil tua itu ramai dilewati orang-orang yang lalu lintas terutama para pedagang. Tapi pada malam hari suasana di situ sunyi senyap. Tak satu orangpun yang berani lewat kecuali prajurit-prajurit kerajaan yang meronda. Daerah sekitar situ sering kali menjadi tempat beroperasinya gerombolan rampok Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan yaitu kepala rampok yang telah dikalahkan Nyoman Dwipa beberapa hari yang lalu.
Dengan memanggul Luh Bayan Sarti laki-laki itu melangkah memasuki halaman kuil. Semula dia hendak menurunkan tubuh gadis itu di bagian depan, tapi setelah berpikir sejenak akhirnya dia masuk ke bagian dalam kuil. Di sini keadaan lebih gelap, tapi dibandingkan dengan di luar keadaan lantai jauh lebih bersih. Ki Sawer Balangnipa menyandarkan Luh Bayan Sarti di dinding kuil. Seringai setan terpampang di wajahnya yang bermuka binatang itu. Di sekanya peluh yang mencicir di kening, kemudian dua jari tangan kirinya bergerak melepaskan totokan ditubuh gadis itu.
Luh Bayan Sarti membuka kedua matanya. Kegelapan menghambar di hadapannya. Kemudian ketika sepasang matanya menjadi biasa dengan kegelapan itu heranlah gadis ini. Di manakah aku berada, pikirnya. Dia memandang sekali lagi berkeliling. Tiba-tiba tersentaklah dia karena tidak dinyananya kalau saat itu dekat sekali di hadapannya duduk mencangkung sesosok tubuh yang hitam pekat di telan kegelapan. Tak dapat dipastikan oleh gadis ini apakah yang dihadapannya itu manusia atau setan tapi yang jelas paras sosok tubuh itu mengerikan sekali, macam kepala dan paras seekor ular!
"Mungkin aku bermimpi," pikir Luh Bayan Sarti. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dan pada saat itu makhluk di hadapannya datang mendekat, mengulurkan tangannya hendak menjamah tubuhnya. Di mulutnya tersungging seringai buruk yang menggidikkan dan dari sela bibirnya terdengar suara seperti mengekeh yang amat pelahan sedang dari hidungnya menghembus nafas panas!
"Siapa kau?!" bentak Luh Bayan Sarti seraya melompat.
Orang dihadapannya berdiri perlahan-lahan seraya keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Jangan bertanya segalak itu, gadis cantik. Kau berhadapan dengan Ki Sawer Balangnipa!"
"Aku tak kenal kau! Lekas angkat kaki dari dapanku!" Ki Sawer Balangnipa tertawa gelak-gelak.
"Gadis galak biasanya juga galak di atas tempat tidur! Sayang di sini tak ada tempat tidur . . . "
"Bangsat rendah! Kau kira berhadapan dengan siapakah?!" bentak Luh Bayan Sarti.
"Sreett!!"
Gadis itu cabut pedangnya dari balik pakaian. Sedetik kemudian tubuhnya sudah berkelebat dan pedang di tangan kanannya menderu dalam satu bacokan yang laksana kilat cepatnya ke batok kepala Sawer Balangnipa.
"Trang!!"
Pedang Luh Bayan Sarti menghantam tembok kuil hingga hancur berguguran. Entah bagaimana mendadak sekali Ki Sawer Balangnipa tahu-tahu lenyap dari hadapan gadis itu hingga serangan Luh Bayan Sarti mengenai tempat kosong dan terus melanda tembok kuil! Gadis itu mengutuk habisibisan dalam hati. Sewaktu dirasakannya sambaran angin datang disamping kanannya, gadis ini cepat membalik seraya kiblatkan pedangnya. Tapi lagi-lagi dia menghantam tempat kosong dan sebelum dia bisa berbuat suatu apa, sebuah totokan bersarang di dadanya membuat sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi kaku tegang dalam keadaan masih memegangi pedang!
Didahului oleh suara tertawa mengekeh maka anusia bermuka ular itu kembali muncul di hadapan Luh Bayan Sarti dengan cengar-cengir seenaknya.
"Senjata ini tak boleh dibuat main", kata Ki iwer Balangnipa dengan tertawa-tawa lalu diambilnya pedang dari tangan gadis itu dan dilemparkannya sudut kuil.
"Bangsat kau lepaskah totokanku atau tidak." bentak Luh Bayan Sarti.
"Siapa yang mau ambil risiko, nona manis?!" sahut Ki Sawer Balangnipa. "Sudahlah, kau tak usah bicara keras-keras yang hanya mengejutkan setan-setan penghuni kuil tua ini saja! Di samping itu tak baik berdiri terus-terusan. Mari kutolong kau berbaring di lantai sini."
"Setan alas! Kau mau bikin apa?!"
"Mau bikin apa …?" Ki Sawer Balangnipa mengulang sambil tertawa mengekeh. "Kau lihat saja nanti. Yang pasti kau bakal merasakan bagaimana pandainya aku merubah malam yang dingin ini menjadi malam yang hangat bagi kita!" Habis berkata begitu dengan tangan kirinya Ki Sawer Balangnipa meraih pinggang si gadis dan membaringkannya di lantai kuil!
"Keparat kalau kau tidak lekas melepaskan aku, niscaya kau akan menyesal seumur hidup bahkan menyesal sarnpai ke hang kubur!"
"Ha …. ha, siapa yang akan menyesal merasakan kemulusan dan kepadatan tubuhmu! Siapa yang menyesal merasakan kenikmatan dirimu sebagai seorang perempuan, seorang perawan?! Ha … ha . . . ! Matipun aku tidak menyesal nonaku!"
Sehabis berkata begitu Ki Sawer Balangnipa menyelinapkan tangan kirinya ke bawah baju si gadis! Luh Bavan Sarti laksana disengat kalajengking sewaktu merasakan bagaimana jari-jari tangan laki-laki itu menyentuh buah dadanya!
"Manusia dajal! Rupanya kau belum tahu siapa aku!"
"Ah sudahlah jangan mengoceh juga," desis Ki Sawer Balangnipa. Lalu dengan penuh geram nafsu dibetotnya baju gadis itu hingga kancing-kancingnya berputusan.
"Keparat! Nyawamu tak akan berampun! Aku adalah adik Warok Gde Jingga dari Bukit Jaratan!" Ki Sawer Balangnipa terkejut juga mendengar ucapan ,gadis itu. Sesaat kemudian kemheli terdengar suara tertawanya.
"Oh, jadi kau adiknya kepala rampok hina dina itu? Siapa takutkan dia? Sepuluh manusia macam dia dijejer di hadapan Ki Sawer Balangnipa pasti akan kulabrak musnah!" Lalu tangan laki-laki itu berjerak mengelus perut Luh Bayan Sarti untuk kemudian dengan sangat terkutuknya meluncur ke bawah!
"Keparat! Kalau tidak kakakku, kawanku pasti akan datang menabas batang lehermu!"
"Hem siapakah kawanmu itu?"
"Nyoman Owipa! Dia murid Menak Putuwengi!"
"Jangan menipuku! Menak Putuwengi sudah sejak lama lenyap! Sudah mampus!" Dan gerakan tangan Ki Sawer Balangnipa yang tadi terhenti kini kembali meluncur! Namun sebelum tangan terkutuk itu dapat meluncur lebih jauh, satu bentakan menggeledek dari ruang depan.
"Terkutuk! Di tempat suci berani bikin kotor!" Terdengar satu suara siulan melengking langit dan berbarengan denjan itu selarik angin keras dan dingin menggidikkan menyambar ke arah batok kepala Ki Sawer Balangnipa!
***

Next ...
Bab 14

Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245




0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 13"

Posting Komentar