WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 012
Pembalasan Nyoman Dwipa
EMPAT
DALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang kuda meninggalkan rumah I Krambangan dengan cepat. Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti. Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh perempuan di pangkuannya berkata pada tiga orang lainnya, "Kita berpisah di sini."
"Baik Tjokorda Gde Djantra. Hati-hatilah!" sahut salah seorang dari mereka. Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali kekang kudanya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam lamanya laki-laki ini memacu kudanya tanpa henti. Sewaktu fajar menyingsing dia sampai di sebuah lereng bukit dan memperlambat lari kudanya. Sambil menunggangi kuda tak henti-hentinya dia menundukkan kepala memandang paras jelita dari gadis yang berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di puncak bukit laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah sementara kuda tunggangannya menjilati air empun dan memakan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu meneruskan perjalanannya kembali.
Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo dari Klungkung dan lima belas kilo dari Denpasar terdapatlah sebuah pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi karena lantai, dinding dan atap dibuat dari kayu jati, meski tak terurus, keadaannya masih cukup baik untuk ditempati.
Tjokorda Gde Djantra menghentikan kudanya di tepi telaga lalu membawa perempuan yang diculiknya ke dalam pondok, membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. Setelah memandangi wajah gadis itu beberapa lamanya dengan seringai di bibir, Tjokorda Gde Djantra keluar dari pondok dan membersihkan diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia keluar dari telaga. Ketika dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis itu telah siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran.
"Kau sudah siuman Tantri … ?"
Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke arah pintu dengan cepat. Dia tak kenal dengan pemuda berparas pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia ingat pada peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa manusia ini pastilah salah seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis ini berdiri.
"Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri." berkata Tjokorda Gde Djantra.
Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah karena pemuda ini mengenal namanya. Melihat kepada pakaiannya yang bagus kemungkinan dia seorang pemuda bangsawan! Tapi siapa dia dan mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin bertambah besar detik demi detik. "
"Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!" tanya Ni Ayu Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum. Meski suara itu bernada keras namun sedap sekali terdengar di liang telinganya.
"Kau tak usah takut Tantri," berkata si pemuda, "kau memang tak kenal aku tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah kau dengar dalam beberapa hari belakangan ini."
"Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke Klungkung dengan cepat!"
"Kau tak akan kembali ke Klungkung Tantri," kata Tjokorda Gde Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. "Apa … Aku tak akan kembali ke Klungkung?!" tanyanya.
Tjokorda Gde Djantra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. "Kau akan kembali ke Denpasar.
Kerumahku. Dan kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang berbahagia!"
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis ini dengan siapa dia berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah pemuda bermuka pucat ini Tjokorda Gde Djantra, anak bangsawan yang telah ditolak lamarannya satu hari yang lewat! Dan ketika Tantri menyadari apa maksud penculikan yang dilakukan Tjokorda Gde Djantra sesudah lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! Gadis ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. Tjokorda Gde Djantra memegang lengan gadis itu dan menariknya ke tengah pondok.
"Tak ada yang harus kau takutkan Tantri," kata pemuda itu. "Seharusnya kau bergembira karena kita akan hidup bahagia! "
"Lepaskan aku!" teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. Tapi cekalan Tjokorda Gde Djantra terlalu keras dan erat untuk bisa dilepaskannya.
"Duduklah dulu ditumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa bicara baik-baik …"
"Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! Terkutuk!" teriak Tantri.
Tjokorda Gde Djantra tertawa pelahan. "Perbuatanku ini keji dan terkutuk?" ujarnya. "Justru perbuatan pemuda-pemuda Bali yang gagah dan berhati jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat kebiasaan pulau Dewata ini!"
"Lepaskan aku manusia keji! Lepaskan!" Sambil menjerit Tantri meninju dada pemuda itu berulang kali. Tjokorda Gde Djantra mendorong Tantri keras hingga terbaring di atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati.
"Aku tak mengerti," kata Tjokorda Gde Djantra seraya rangkapkan tangan dimuka dada, "tak mengerti mengapa kau sampai menolak lamaranku …"
"Manusia keji keluarkan aku dari sini!"
"Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, Betul?"
"Itu bukan urusanmu! Keluarkan aku dari sini, Keluarkan!"
"Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus nanti bisa serak, Tantri."
Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk melarikan diri sia-sia saja karena untuk kedua kalinya pemuda bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
"Nama pemuda kekasihmu itu Nyoman Dwipa bukan?"
Tantri tak menjawab melainkan menangis dan berteriak-teriak.
"Dengar Tantri," berkata lagi Tjokorda Gde Djantra. "Hidup berumah tangga bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-sia. Segala keperluan hidupmu kujamin penuh."
"Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu manusia keji! Keluarkan aku dari sini!"
"Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi buta dan tolol tak bisa lagi berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan hidup masa depanmu di tangan seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang masih panjang ini hanya karena kasih sayang gilamu …?!"
"Diam!" jerit Ni Ayu Tantri.
"Kekasihku memang tak punya apa-apal Tapi itu adalah seribu kali lebih baik dari pada kekejian yang kau lakukan ini! Menculik gadis yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! Kau adalah pemuda bangsawan yang paling rendah di atas dunia ini!"
"Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas dirimu, apakah masih akan menolak nanti untuk kawin denganku?" tanya Tjokorda Gde Djantra pula dengan seringai mengejek.
"Aku lebih baik bunuh diri dari pada kawin dengan kau!" jawab Ni Ayu Tantri blak-blakan!
"Tolol sekali mau mati muda begitu rupa," ejek Tjokorda Gde Djantra lalu melangkah maju.
"Pergi!" teriak Tantri!
"Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak kecil? Dengar … aku tak akan melakukan apa-apa atas dirimu jika kau bersedia menerima lamaranku."
"Lebih baik aku kawin dengan setan dari pada dengan manusia macammu!" jawab Tantri pula seraya mundur menjauhi pemuda itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri adalah hinaan luar biasa yang tak pernah diterima pemuda bangsawan itu selama hidupnya. Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi kelam merah. Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang kelaparan pemuda ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat. Ni Ayu Tantri Menjerit.
"Breet! Breet …!"
Suara robekan pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. Pekik Tantri mengumandang melengking tinggi. Kemanapun gadis ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan sepasang tangan Tjokorda Gde Djantra yang merobek-robek pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis itu sudah seperti tak berpakaian lagi.
Auratnya yang kuning langsat penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di tubuh Tjokorda Gde Djantra laksana mendidih!
"Ini kemauanmu sendiri Tantri!" desisnys. "Aku telah memberi jalan baik-baik padamu!"
"Bunuh aku! Bunuh saja!" teriak Tantri. Suaranya sudah serak akibat menangis dan menjerit terus-terusan.
Tjokorda Gde Djantra menyeringai macam setan muka putih. Sekali tangan kanannya mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami!
"Terlalu gila kalau aku mau membunuhmu,Tantri!" kata pemuda itu dengan mata yang bersinar-sinar penuh nafsu. Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat dia melompat tapi kembali tangan pemuda itu membuatnya jatuh tertelentang di atas tumpukan jerami!
"Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak kawin denganku, Tantri⁄" Suara Tjokorda Gde Djantra lebih merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu dari pada ucapan sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. Gadis ini coba menghantamkan salah satu lututnya ke perut si pemuda tapi Tjokorda Gde Djantra telah menghimpitnya membuat gadis itu tak punya daya apa-apa lagi selain dari pada menjerit parau dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai dimanakah kekuatan seorang perempuan menghadapi manusia yang laksana sudah berubah menjadi binatang buas!
Di luar pondok hujan rintik- rintik turun. Hembusan angin dingin dan sayu. Keadaan alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana meratap menangisi apa yang telah terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu tiada bergerak-gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis ini telah jatuh pingsan.
Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring Tjokorda Gde Djantra dengan tubuh mandi keringat, hidung kembang kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan tubuh itu. Dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu Tantri, bagi Tjokorda Gde Djantra jelas sudah bahwa baik Tantri sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa lagi menolak lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh Tjokorda Gde Djantra. Ketika dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, memandang pada tubuhnya sebentar lalu ketika sepasang matanya membentur Tjokorda Gde Djantra, dari mulut Ni Ayu Tantri keluarlah pekik yang mengerikan! Tjokorda Gde Djantra sendiri sampai berdiri bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termanggu-manggu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke arah dinding kayu jati.
"Tantri! Jangan!!" teriak Tjokorda Gde Djantra menggeledek. Dia melompat dengan sebat. Tapi nasib! Terlambat sudah!
Kepala Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat kerasnya. Terdengar suara pecahnya batok kepala perempuan itu. Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri adalah jauh lebih berharga daripada jiwanya!
***
Next ...
Bab 5
Loc-ganesha mengucapkan Terima Kasih kepada Alm. Bastian Tito yang telah mengarang cerita silat serial Wiro Sableng. Isi dari cerita silat serial Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek.Dengan Nomor: 004245


0 Response to "Pembalasan Nyoman Dwipa Bab 4"
Posting Komentar